• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

C. Perjanjian Jual Beli Rumah

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian penting yang dilakukan sehari-hari, namun terkadang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentu saja memiliki akibat-akibat hokum tertentu.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak pernjual berjanji menyerahkan sesuatu barang atau benda (zaak), dari pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pernyataan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang diberi kepada penjual.

Tentang persetujuan jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH Perdata). Jual beli tiada lain dari pada persesuaian kehendak (wiils overeenstemming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga.

Barang dan hargalah yang menjadi unsur essensialia dalam perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tak mungkin terjadi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, dianggap jual beli tidak ada.

Disamping benda/barang, harga merupakan salah satu unsur essensialia persetujuan jual beli. Harga berarti sesuatu jumla yang harus dibayar dalam bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan kedalam jual beli. Harga yang berbentuk lain diluar uang, berada diluar jangkauan persetujuan jual beli. Kalau harga barang yang dibeli tadi dibayar dengan benda lain yang bukan berbentuk uang, jelas persetujuan itu bukan jual beli. Yang terjadi adalah persetujuan tukar menukar (ruil overeenkomst).

Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tentu saja tidak banyak menimbulkan masalah, terutama jika barang yang diperjualbelikan tersebut hanya satu macam barang dan barang tersebut dapat dilihat atau diamati langsung oleh pembeli, denikian pula pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara tunai dengan menggunakan uang tunai.Akan tetapi, perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli tidak selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak jarang menimbulkan masalah, diperlukan antara hukum yang mengatur tentang berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam perjanjian jual beli.

2.Risiko jual beli

Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan

bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang mmemikul risiko atas barang tersebut.

Persoalaan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“overmacht”, “force majeur”). Dengan demikian maka persoalaan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalaan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.

Risiko atas barang objek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai dengan sifat keadaan barang yang jadi objek jual beli.

a. Objek jual beli terdiri dari barang tertentu, resiko atas barang berada pada

“pihak pembeli”, terhitung sejak saat terjadinya persetujuuan pembelian. Sekalipun penyerahan barang terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah (Pasal 1460 KUH Perdata). Dari ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu; sekejap setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak dilevering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga.

Apa lagi jika ketentuan pasal 1460 tadi dihubungkan dengan pasal 1237 KUH Perdata yang menetukan : sejak terjadinya perjanjian barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut.

Akan tetapi oleh karena Pasal 1460 merupakan lex spesialis, ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata sebagai lex generalis, dengan sendirinya tersingkir

b. Objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan, “bilangan atau ukuran” resiko atas barang”, tetap berada dipihak penjual, sampai saat barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUH Perdata)

Sedangkan resiko jual beli dalam KUH Perdata ada tiga peraturan yaitu: 1) Mengenai barang tertentu (Pasal 1460);

2) Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal 1461); dan

3) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462).

3. Kewajiban penjual dan pembeli

Tentang kewajiban penjual, pengaturannya dimulai dari Pasal 1473KUH Perdata Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikat diri dalam persetujuan jual beli. Lantas, lebih lanjut pasal tersebut memberikan suatu

“interpretasi”. Segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli, atau yang mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang

“merugikan” bagi pihak penjual.Jika Pasal 1473 tidak menyebut apa-apa yang menjadi kewajiban pihak penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya. Yakni Pasal 1474 KUH Perdata. Pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri dari dua :

a. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

Selain kewajiban diatas masih ada kewajiban lain dari pernjual yaitu, seperti:

1) Menjamin bahwa barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli. 2) Penjual juga bertanggung jawab terhadap cacat-cacat tersembunyi yang

membuat barang tersebut tidak dapat dipakai atau dapat mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya sipembeli tahu keadaan tersebut, ia tidak akan membeli barang tersebut atau membelinya dengan harga yang kurang dari harga yang telah disepakati.

Adapun yang menjadi tanggung jawab pembeli, ialah:

a) Membayar harga barang yang telah disepakati. Jika ternyata pembeli tidak membayar harga barang yang telah disepakati, maka penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan, karena hal yang demikian itu merupakan wanprestasi.

b) Melakukan pembayaran tepat pada waktunya. Apabila barang yang dijual itu belum dibayar oleh si pembeli, penjual tidak diwajibkan atau diharuskan menyerahkan barang yang dijualnya itu, kecuali si penjual sendiri mengijinkan penundaan pembayaran oleh pembeli.

c) Menanggung biaya akta jual-beli, jika tidak diatur sebaliknya dalam perjanjian.

Sedangkan kewajiban utama sipembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

Harga tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang makan itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar-menukar”, atau kalau harga itu berupa suatu jasa perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan soal pihak ketiga. Dalam hal yang demikian maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu mebuat perkiraan tersebut atau menentukannya , maka tidaklah terjadi suatu pembelian.

4. Pengikatan Perjanjian Jual-Beli (PPJB)

Bila membeli rumah atau rusun, seorang konsumen pasti akan menjumpai dokumen-dokumen hukum (legal documents) yang penting, yaitu:

a. Perjanjian pengikatan jual beli, disingkat PPJB antara pengembang dan konsumen;

b. Akta jual beli yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan atau memecah pemilikan tanah dan rumah/sarusan dari pengembang kepada setiap konsumen;

c. Perjanjian kredit pemilikan rumah/apartemen/sarusun.

Dokumen yang pertama merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara pengembang dan konsumen, dimana pengembang mengikatkan diri untuk menjual rumah/sarusun dan tanah kepada konsumen, sedangkan konsumen membeli rumah dari pengembang dengan kewajiban membayar harga jualnya dalam bentuk: angsuran uang muka (down payment) dan sisanya diselesaikan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA)

Sedangkan dokumen yang ketiga menunjukan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan bank pemberi KPR/KPA. Di dalamnya, antara lain diatur jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan KPR/KPA, besarnya atau sistem perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen itu sangat penting untuk mengupayakan sejauhmana perlindungan konsumen diakomodasikan dalam instrument hukum perdata ini

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PPJB yaitu :

1) Uraian mengenai obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah dan bangunan, sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan pada obyek tanah dan bangunan tersebut.

2) Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya. Pembayaran harga tanah dapat juga ditentukan secara

bertahap yang pelunasannya dapat dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli atau AJB.

3) Syarat batal tertentu misalnya, misalnya jika ternyata pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan oleh

developermaka calon pembeli berhak membatalkannnya dan menerima kembali uang muka.

4) Penegasan pembayarn pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak dan biaya-biaya lain yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah dan biaya notaris/PPAT.12

Adanya praktek jual beli rumah atau sarusun/apartemen yang masih dalam tahap pembangunan atau dalam tahap perencanaan ditampung atau diakomodasikan dengan dokumen hukum perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dasar pemikiran hukumnya, PPJB bukanlah perbuatan hukum jual beli yang bersifat riil dan tunai. PPJB merupakan kesepaktan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di kemudian hari yakni pelaksanaan jual beli dihadapan PPAT, bila bangunan telah selesai bersertifikat dan layak huni.

Menurut Maria Sumardjono, masalah PPJB itu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.13

      

12www.legalakses.com di akses pada 12 Oktober 2014.

  13Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bandung, 2000, hal 75-85. 

Dokumen terkait