• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKU 4 : “Meningkatnya sarana pengolahan kakao

Dalam dokumen DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN...1 (Halaman 44-52)

BAB III PENGUKURAN KINERJA

A. Pengukuran Kinerja Dukungan Direktorat Jenderal PPHP

IV. IKU 4 : “Meningkatnya sarana pengolahan kakao

untuk industri coklat dalam negeri”.

Rumus yang digunakan untuk menghitung berapa peningkatan sarana pengolahan kakao fermentasi adalah :

Jumlah peralatan fermentasi yang sudah difasilitasi oleh Ditjen Bun dan Ditjen PPHP tahun 2013 / (Kebutuhan kakao fermentasi industri olahan kakao di Indonesia 2013 : rata-rata kapasitas setiap box fermentasi) x 100%

1. Di Indonesia ada 19 industri kakao, yang membutuhkan kakao fermentasi adalah industri kakao yang menghasilkan powder, jadi hanya ada 5 industri kakao dimaksud. Jumlah kebutuhan industri kakao fermentasi tahun 2012 dan 2013 pada 5 industri kakao dimaksud antara

30.000 ton - 40.000 ton pertahun.

2. Kakao fermentasi yang diimport rata-rata 30.000 ton pertahun. Bila dibandingkan dengan kapasitas box fermentasi 15 kg maka setiap tahun dibutuhkan 2.000.000 box fermentasi yang operasional.

3. Jumlah peralatan fermentasi yang difasilitasi Ditjen PPHP tahun 2012 pada 41 Poktan/Gapoktan yang terdiri dari 35 box fermentasi per Poktan/Gapoktan; sedangkan tahun 2013 Ditjen PPHP memfasilitasi pada 47 Poktan/Gapoktan yang terdiri dari 25 box fermentasi per unit. 4. Jumlah peralatan fermentasi yang difasilitasi Ditjen Bun tahun 2012 dan

2013 : 48 Poktan/Gapoktan dan 10 unit. Masing-masing unit terdiri dari 16 box fermentasi.

5. Total jumlah peralatan fermentasi yang difasilitasi Ditjen PPHP dan Ditjenbun tahun 2012 sebesar (41 x 35 + 48 x 16) = 2.203 box

6. Dalam setahun box fermentasi tersebut dapat digunakan selama 2 x dalam sebulan selama masa panen selama 8 bulan setahun. Jadi tahun 2012 pemakaian 2.203 box setara dengan 2.203 x 2 x 8 = 35.248 box

fermentasi. Tahun 2013 pemakaian 1.335 box fermentasi setara

dengan 1.335 x 2 x 8 = 21.360 box fermentasi.

7. Kapasitas box fermentasi @ 40 kg kakao basah yang dapat menghasilkan 15 kg kakao fermentasi kering per box dalam jangka waktu 5 hari. Masa panen kakao pertahun selama 8 bulan mulai dari Juni sampai Oktober dan Februari sampai April. Box fermentasi selama masa panen tersebut dapat digunakan sebanyak 2 kali dalam sebulan. 8. Jadi produksi kakao fermentasi kering pada tahun 2012 adalah : 35.248

x 15 kg = 528.720 kg kakao fermentasi kering atau setara 528,7 ton. 9. Jadi produksi kakao fermentasi kering pada tahun 2013 adalah : 21.360

x 15 kg = 320.400 kg kakao fermentasi kering atau setara 320,4 ton. 10. Prosentase ketersediaan fasilitasi sarana pengolahan fermentasi kakao

dibandingkan kebutuhan sarana fermentasi kakao 2012 : 35.248 box fermentasi / 2.000.000 box fermentasi x 100% =1,8%.

11. Prosentase ketersediaan fasilitasi sarana pengolahan fermentasi kakao dibandingkan kebutuhan sarana fermentasi kakao 2013 : 21.360 box fermentasi / 2.000.000 box fermentasi x 100% =1,07%.

12. Prosentase ketersediaan box fermentasi 2013 dibandingkan 2012 : 21.360 box – 35.248 box / 35.248 box x 100%= -39,4%.

13. Jadi ketersediaan sarana pengolahan kakao fermentasi bermutu untuk industri coklat dalam negeri berupa box fermentasi tahun 2013 menurun sebanyak 39,4% dibandingkan tahun 2012.

14. Capaian kinerja : -39,4% / 60% x 100%= -65%

15. Ketersediaan sarana pengolahan kakao fermentasi bermutu untuk industri coklat dalam negeri berupa box fermentasi tahun 2013 menurun sebanyak 39,4% dibandingkan tahun 2012. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu :

a. Alokasi pendanaan untuk Tugas Pembantuan (TP) Pengembangan Mutu Kakao Fermentasi tahun 2013 dari Ditjen PPHP menurun dibanding tahun 2012;

b. Gerakan National Kakao (multi years) dari Direktorat Jenderal Perkebunan dilaksanakan pada tahun 2009-2011. Program Pengembangan Mutu Kakao Fermentasi dari Ditjen PPHP disinergikan dengan Gernas Kakao;

dengan asumsi revitalisasi kebun dari Program Gernas Kakao sudah mulai menghasilkan biji kakao yang siap difementasikan. Program TP ini salah satunya berupa fasilitasi box fermentasi kepada Poktan/Gapoktan. Pada tahun 2013, fasilitasi box fermentasi menurun dikarenakan sebagian alokasi pendanaannya sudah mulai dialokasikan untuk penumbuhan agroindustro pengolahan kakao berbasis kakao fermentasi.

V. IKU 5 : “ Surplus neraca perdagangan komoditi petanian”

Rumus yang digunakan untuk menghitung berapa besar surplus neraca perdagangan adalah :

Neraca perdagangan : Nilai ekspor 2013 - nilai impor 2013

1. Perhitungan mengenai ekspor dan impor menggunakan data ekspor -impor yang diterbitkan oleh Pusdatin/BPS, sehingga diperoleh neraca perdagangan tahun 2013. Nomor HS yang digunakan adalah : HS 01-HS 24 kecuali 03 (perikanan); 01-HS 33 (minyak atsiri), 01-HS 40 (karet), 01-HS 30 (obat hewan); HS 41 (kulit dan jangat), HS 50 (ulat sutera); HS 51 (wol), HS 53 (serat), HS 43 (kulit biribiri); HS 44 (arang kelapa).

2. Pada Renstra Direktorat Jendral PPHP tahun 2010-2014 ditetapkan indikator kinerja prosentase peningkatan net-ekspor produk segar dan olahan komoditi pertanian sebesar 15% per tahun. Pada waktu penetapan Renstra tersebut, angka net-ekspor tahun 2010 masih pada angka sementara yaitu sebesar US$ 24,3 milyard, sehingga target net-ekspor tahun 2014 ditetapkan sebesar US$ 54,5milyard.

3. Mengacu kepada realisasi/angka tetap net-ekspor tahun 2009 sebesar US$ 13,14 milyard dan indikator kinerja prosentase peningkatan net-ekspor 15% per tahun, maka net- net-ekspor tahun 2010 seharusnya menjadi US$ 15,11 atau 15% meningkat dari angka net-ekspor tahun 2009. Dengan demikian target net ekspor untuk tahun 2013 menjadi US$ 22,98 milyard.

4. Neraca Perdagangan 2012 : (33.690.927.000 US$ - 13.929.927.000 Us$) = 19.761.000.000 US$

5. Neraca perdagangan 2013 : (30.673.703.000 US$ - 12.735.360.000 US$) = 17.938.343.000 US$

-Neraca perdagangan komoditi pertanian tahun 2013 menurun 9,22% terhadap neraca perdagangan tahun 2012.

7. Data realisasi nilai ekspor komoditi pertanian sampai dengan Desember 2013 menunjukkan nilai sebesar US$ 17,94 milyard, berarti perbandingan realisasi terhadap target ekspor 2013 mencapai 78,07%. Pertumbuhan nilai ekspor tahun 2013 terhadap tahun 2012 adalah

-9,22% (periode Januari – Desember ), hal ini tidak mencapai target

pertumbuhan net ekspor15%. Rerata pertumbuhan net ekspor produk pertanian periode 2009-2013 adalah 10,37%. Apabila dibandingkan dengan target pertumbuhan ekspor 15% pertahun, maka capaian kinnerja pertumbuhan ekspor hanya mencapai 69,13%.

Rincian net-ekspor per tahun dapat dilihat pada Tabel 29 dibawah ini. :

Table 15. Target dan Capaian Surplus Neraca Perdagangan Komoditi Pertanian Per Tahun ( 2010-2014)

Uraian Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Prosentase Peningkatan Net Ekspor (%) 15 15 15 15 15

Target sesuai Renstra

(US$ milyard) 24,3 29,8 36,5 44,7 54,5

Target mengacu kepada Realisasi/ angka tetap 2009 (US$

milyard) 15,11 17,38 19,98 22,98 26,43 Realisasi (US$ milyard) 13,14 18,54 22,77 19,76 17,94 Capaian Realisasi /Target (%) 122,7 131 98,9 78,07 Realisasi peningkatan per tahun (%) 41,1 22,81 -13,22 -9,22 Rerata realisasi peningkatan per tahun 2010 – 2013 10,37% Prosentase capaian terhadap target 69,13%

8. Prosentase terhadap capaian : -9,22% /15% x 100% = -61,47% Prosentase terhadap capaian : - 9,22% / 23% x 100% = -40%.

Neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2013 yaitu sebesar 9,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana prosentase penuruan terhadap capaian menunjukkan kinerja negatif sebesar -61,47%. Penurunan kinerja ini telah diantisipasi sebelumnya yaitu dengan dasar surat Direktur Pemasaran Internasional untuk merevisi target pertumbuhan menjadi 23% dari sebelumnya sebesar 54%. Target sebesar 54% ini dianggap tidak sesuai karena pengambilan basis data (baseline data) hanya berdasarkan pertumbuhan tahun terakhir saja (2008/2009) dan bukan data rata – rata kumulatif 5 tahun sebelumnya (2005-2009). Kedepannya, penetapan target pertumbuhan akan didasari pada pertumbuhan rata-rata kumulatif tahun sebelumnya.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kinerja perdagangan sektor pertanian Indonesia pada tahun 2013. Faktor – faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal (exogen) dan internal (indogen).

Faktor Eksternal

a. Faktor eksternal utama yang mempengaruhi kinerja perdagangan sektor pertanian adalah pelambatan dan penurunan daya serap pasar internasional, terutama pasar – pasar tujuan ekspor utama Indonesia seperti Amerika Serikat (USA), zona Uni Eropa, Jepang, Tiongkok dan India pada tahun 2013. Pelambatan ini merupakan efek domino dari krisis finansial yang terjadi sejak tahun 2009 di negara – negara tersebut. Melambatnya pertumbuhan GDP USA, Uni Eropa, China dan India juga merupakan indikasi penurunan daya serap tersebut. Pada tahun 2013, laju pertumbuhan GDP USA pada kuartal pertama tercatat hanya sebesar 0,1% atau turun signifikan dibandingkan kuartal ke 4 tahun 2012 yang mencatat pertumbuhan GDP sebesar 2,8%. Pertumbuhan tersebut naik pada kuartal terakhir 2013 menjadi sebesar 4,1% namun terindikasi turun pada kuartal awal 2014 menjadi 2,6%.

Pertumbuhan GDP negatif juga diperlihatkan oleh pasar Eropa pada kuartal pertama tahun 2013 tercatat pertumbuhan sebesar (-0,5%) yang kemudian tumbuh stagnan, dimana pada kuartal ke 4 tercatat pertumbuhan sebesar 0,1%. Pasar Tiongkok juga menunjukkan tren yang sama, dimana Q1 2014 tren pertumbuhan hanya mencapai 1,5%, yang kemudian membaik pada Q3 menjadi sebesar 2,3%. Pasar tujuan ekspor lainnya yaitu Jepang dan India

Jepang tercatat hanya 0% dan India sebesar 1,5%. Pertumbuhan GDP Jepang kemudian membaik pada Q2, namun turun menjadi 0,3% pada Q4 2013 (stagnan). Sedangkan pertumbuhan GDP India turun menjadi 0,7% pada Q3 2013, namun kemudian membaik pada Q4 dengan pertumbuhan sebesar 1,8%.

b. Selain dari pelambatan daya serap pasar internasional, harga beberapa komoditi pertanian di pasar internasional juga mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Tanaman Pangan

Harga bulanan beras kualitas Thai broken 25% turun signifikan sebesar 45% pada periode Juni 2012 – Desember 2013. Harga kedele juga turun walaupun relatif dibandingkan beras. Penurunan harga tercatat hanya 6,8% pada periode yang sama. Harga gandum relatif stabil. Harga jagung tertinggi tercatat pada bulan Agustus 2012 dan terendah di bulan Desember 2013. Penurunan harga

internasional tersebut dipicu oleh tingginya

pasokan beras, jagung dan kedele di pasar internasional serta adanya panen raya di negara – negara produsen beras utama seperti Thailand dan Vietnam.

Pertumbuhan GDP USA Pertumbuhan GDP Uni Eropa Pertumbuhan GDP Tiongkok Pertumbuhan GDP India

 Perkebunan dan Peternakan

Harga internasional kakao relatif stabil cenderung meningkat pada tahun 2012 – 2013, dimana kenaikan harga mencapai 24% dengan titik tertinggi pada bulan Desember 2013 dan titik harga terendah berada pada bulan Maret 2013. Kenaikan harga kakao tersebut dipicu oleh turunnya ekspor biji kakao dan naiknya ekspor kakao olahan dari negara produsen utama kakao. Harga kopi Arabika mengalami penurunan yang tajam pada periode Juni 2012 – Desember 2013 dimana titik harga tertinggi berada pada bulan Juli 2012 dan terendah pada bulan November 2013. Harga kopi Robusta juga mengalami penurunan drastis dengan rerata 38% antara harga terendah dan tertinggi pada periode Juni 2012 – Desember 2013. Penurunan harga tersebut diakibatkan oleh turunnya daya beli di negara – negara konsumen utama seperti di Uni Eropa dan Inggris akibat krisis finansial.

 Harga karet cenderung berfluktuasi dengan rerata harga mencapai US$ 2808,84/MT dalam periode 17 bulan terakhir. Harga minyak sawit, gula dan sapi hidup pada tahun 2012 – 2013 cenderung stabil dan tidak berfluktuasi secara signifikan. Harga gula cenderung berada dibawah US$ 500/MT sedangkan harga CPO tertinggi tercatat pada bulan Juli 2012. Harga sapi hidup juga cenderung stagnan dengan rerata harga mencapai US$ 2758,57/MT.

 Faktor terakhir yang mempengaruhi perdagangan sektor pertanian Indonesia adalah tumbuhnya produsen pesaing komoditas ekspor unggulan seperti Vietnam (teh dan kopi), Malaysia (kelapa sawit, kakao, dan lada), Thailand (karet dan beras), Pantai Gading (kakao dan kelapa sawit), Ghana (kakao), Nigeria (kakao dan kelapa sawit) serta negara – negara Amerika Latin untuk komoditi kopi, kakao dan kelapa. Hal ini mengakibatkan turunnya daya saing produk pertanian Indonesia di pasar internasional yang juga disebabkan oleh rendahnya mutu produk serta rendahnya produk olahan yang diekspor keluar negeri, dimana hampir seluruh produk pertanian Indonesia diekspor dalam bentuk mentah / primer.

Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi penurunan perdagangan sektor pertanian antara lain masih banyaknya produk pertanian olahan berorientasi ekspor yang belum memenuhi standar yang telah diterapkan maupun belum berdasarkan persyaratan yang diminta oleh pasar. Selain itu, masih banyaknya produk primer yang diekspor, jauh melebihi produk olahan yang bernilai lebih tinggi.

Dalam dokumen DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN...1 (Halaman 44-52)

Dokumen terkait