• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Hukum dan Pengembanannya

Dalam dokumen Ilmu Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Halaman 135-140)

BAB V PENGEMBANAN HUKUM

B. Ilmu Hukum dan Pengembanannya

Pada dasarnya, inti kegiatan intelektual dalam pengembanan Ilmu Hukum berlangsung seperti proses pemahaman yang digam­ barkan di atas. Yang dimaksud dengan Ilmu Hukum di sini adalah ilmu normatif yang termasuk ke dalam kelompok­kelompok Ilmu­ilmu Praktikal yang keseluruhan kegiatan ilmiah nya (meng­ himpun, memaparkan, memsistematisasi, menganalisis, meng­ inter pretasi dan menilai hukum positif) pada analisis terakhir ter­ arah untuk menawarkan alternatif penyelesaian teraegumentasi yang paling akseptabel terhadap masalah hukum konkrit (aktual maupun potensial) berdasarkan dan dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku (Visser ‘t Hooft). Ilmu Hukum ini di Barat biasa disebut Rechtsdogmatic (Dogmatika Hukum) atau Practische

Rechtswetenschap (Ilmu Hukum Praktikal); ada pakar hukum yang

menyebutnya Ilmu Hukum Positif (Mochtar Kusumaatmadja) atau Ilmu Hukum Dogmatik (Philipus M. Hadjon). Masalah hukum berintikan pertanyaan tentang apa hukumnya orang dalam situasi kemasyarakatan konkret tidak diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh otoritas publik (pemerintah dan aparatnya).

Seperti semua ilmu, juga produk kegiatan pengembanan Ilmu Hukum adalah proposisi­proposisi yang berfungsi sebagai hipotesis yang harus terbuka bagi pengkajian rasional. Proposisi ini, disebut proposisi­yuridik (proposisi hukum), bermuatan (ran ca ngan) putusan hukum bagi situasi kemasyarakatan konkret tententu yang dapat dibayangkan mungkin terjadi dalam kenyataan. Putusan hukum tersebut menetapkan, berdasarkan kaidah hukum yang tercantum dalam suatu aturan hukum, siapa berkewajiban apa terhadap siapa berkenaan dengan apa dan atas dasar apa, atau, siapa berhak atas apa terhadap siapa berkenaan

dengan apa atas dasar apa, dan berdasarkan itu siapa harus me­ laku kan perbuatan apa. Kemudian proposisi­proposisi hukum yang dihasilkannya ditata atau disistematisasi ke dalam bangunan bersistem sehingga keseluruhan aturan­aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang jumlahnya tidak dapat dihitung, dapat secara rasional dipahami sebagai sebuah sistem, yakni tata­ hukum, yang sehubungan dengan fungsinya bersifat terbuka. Jadi, kegiatan pengembanan Ilmu Hukum itu berintikan kegiatan mendistilasi (mengekstraksi) kaidah hukum yang (secara implisit) tercantum dalam teks yuridik, yakni baik dalam aturan hukum tertulis (perundang­undangan) maupun aturan hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan). Mendisitilasi kaidah hukum dari teks yuridis adalah hakikat kegiatan menginterpretasi teks yuridik, yakni tindakan menetapkan makna dan wilayah penerapan dari teks yuridis tersebut. Karena itu, berdasarkan hakikat kegiatan pengembanan Ilmu Hukum, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hermeneutik memberikan landasan kefilsafatan (ontologikal dan epsitemologikal) pada keberadaan ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari Ilmu Hukum. Bahkan dapat dikatakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma, yang diapli­ kasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat.143 Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga ter­ hadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang ber­ sangkutan (misalnya menetapkan fakta­fakta yang relevan dan makna yuridikalnya).

Pengembanan Ilmu Hukum berintikan kegiatan menginter­ pre tasi teks yuridik untuk mendistilasi kaidah hukum yang ter­

kandung dalam teks yuridis itu dan dengan itu menetapkan makna serta wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (inter­ pre tator) dan teks yuridik itu tedapat jarak waktu. Teks yuridik adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan. Ter bentuknya teks yuridis itu terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan hukum yang dianut atau hidup dalam masyarakat atau pembentuk undang­undang.

Upaya mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks yuridis dengan mengisterpretasi teks tersebut, interpretator (ilmuwan dan praktisi hukum) tidak dapat lain kecuali dalam kerangka pra­ pemahaman dan cakrawala pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri, jadi terikat pada waktu yang di dalamnya inter pretasi itu dilakukan. Pada tiap peristiwa interpretasi teks yuridis terjadi proses lingkaran hermeneutik yang di dalamnya ber langsung pertemuan antara dua cakrawala dari interpretator. Per paduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridis itu (contoh: perkembangan interpretasi Pasal 1365 BW). Subjektivitas dari hasil interpretasi itu akan dapat dikurangi hingga ke tingkat paling minimal, karena pertama­ tama kegiatan interpretasi itu harus selalu mengacu cita­hukum (ke adilan, kepastian hukum, prediktabilitas, kehasilgunaan), nilai­nilai ke manusiaan yang fundamental dan sistem hukum yang berlaku.

Selanjutnya, produk interpretasi selalu terbuka bagi pengkajian rasional terhadap argumentasi yang melandasi produk

inter pretasi tersebut oleh forum hukum dengan cita­hukum, nilai­nilai ke manusiaan yang fundamental dan sistem hukum se bagai kriteria pengujinya.144 Jadi, lewat berbagai perpaduan cakra wala dalam dialogia rasional dalam forum hukum (dan

for a dialogia rasional public) dapat diharapkan akan dihasilkan

produk interpretasi yang paling akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakuan intersubjektif. Landasan kefil­ safat an (dan sosiologikal) bagi kemungkinan terbentuknya ke­ berlaku an intersubjektif ini adalah unsur paling hakiki yang mem bedakan manusia dari makhluk lainnya, yakni bahwa tiap manusia memiliki akalbudi dan nurani yang lewat proses interaksi kemasyarakatan dalam kehidupan sehari­hari (proses

Bildung) dapat memunculkan persamaan persepsi secara umum

tentang cita­hukum dan kesadaran hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan. Apa yang dikemukakan di sini berlaku untuk semua bidang hukum (perdata maupun publik).

Ilmu Hukum adalah ilmu praktis normatif yang masalah pokok dan sasaran pengembanannya berbeda dari ilmu­ilmu Empiris. Perkembangan dalam lingkungan Filsafat Ilmu me mun ­ culkan berbagai pendapat yang berbeda tentang batasan penger­ tian ilmu, kriteria demarkasi, arti kebenaran, metode, obyek­ tivitas, testabilitas, nilai yang secara hermeneutis dapat terjadi “horisontverschmelzung” yang akan memunculkan kon sepsi ilmu yang lebih luas dan lebih produktif.

Pengembanan Ilmu Hukum memiliki ciri­ciri yang mencakup:145

144 Ibid.

145 Paul Scholten, 1945, De Structuur Der Rechtwetenschap, p. 39­43 dalam Bernard Arief Sidharta, 1999, Ibid, Hal. 214

1). Semua hal terberi (kenyataan faktual) dalam bidang ber sang­ kutan harus dikompilasi;

2). Kesatuan yang dituntut pemikiran logikal; 3). Kritis­logikal;

4). Ikhtiar penyederhanaan untuk mengusahakan agar tiap putus­ an diletakkan dibawah putusan yang lebih umum dengan pem bentukan pengertian dan klasifikasi;

5). Tiap temuan selalu terbuka bagi pengkajian oleh orang lain. Refleksi kefilsafatan tentang ilmu hukum, tidak terutama dimak sudkan untuk menjawab “sanggahan” terhadap status ke­ ilmu an nya yang hanya lebih merupakan ungkapan rasa infe­ rioritas saja dan tidak produktif, melainkan lebih bertujuan secara rasional mengungkapkan dan menganalisis landasan kefilsa­ fatannya, paradigma yang bertumpu diatasnya, asumsi­asumsinya, cara pengembanan dan batas­batas medan berkiprahnya, untuk memperoleh pandangan yang jernih tentang Ilmu Hukum dan fungsi kemasyarakatannya dalam rangka menjelajahi ber bagai ke­ mungkinan pengembanannya untuk meningkatkan pro duk tivitas kegunaannya bagi masyarakat.

Paradigma ilmu hukum yang bagaimana yang adequat bagi pengembanan Ilmu hukum yang sesuai dengan cita­hukum dan fungsional terhadap masyarakat masa kini dan dimasa datang, apa kekuatan dan kelemahan yang inheren dalam Ilmu Hukum, apa yang secara sah dapat diharapkan oleh masyarakat dari Ilmu Hukum dan pengembanannya, bagaimana melaksanakan pe­ ngem bangan Ilmu Hukum termasuk pendidikan hukum yang tepat, dsb.

Ilmu Hukum adalah ilmu praktis normatif yang pengem­ banannya dengan sendirinya secara langsung mempengaruhi

proses pembentukan hukum dan kehidupan hukum. Secara etis pengembanan ilmu hukum harus terbuka bagi produk ilmu lain, khususnya ilmu­ilmu sosial. Ini berarti bahwa pengembanan ilmu hukum merupakan medan berkonvergensinya berbagai ilmu. Dalam situasi dan kondisi kehidupan kemasyarakatan di Indonesia dewasa ini, lebih­lebih dalam konteks globalisasi yang tidak mungkin dicegah lagi, pembinaan ilmu hukum nasional sudah merupakan kebutuhan mendesak.

C. Keilmuan Ilmu Hukum

Dalam dokumen Ilmu Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Halaman 135-140)