BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
MEREK TERDAFTAR
C. Implementasi The TRIPs Agreement dalam memberikan Perlindungan Terhadap Merek Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan
TRIPS Agreement memiliki tiga prinsip pokok. Pertama adalah menetapkan standar minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPS Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi geografis, disain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi negara-negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
Kedua ialah bahwa tiap-tiap negara harus saling melindungi HMI warga negara lain, dengan memberikan mereka hak seperti yang tertuang dalam TRIPS Agreement. Prinsip ini dikenal dengan prinsip “national treatment”. Ketiga, negara
peserta tidak boleh memberikan perlakuan yang lebih merugikan kepada warga negara dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan pada warga negara sendiri.
Lebih lanjut, prinsip “the most favoured nation” berlaku di sini, yang artinya
bahwa hak apapun yang diberikan kepada warga negara dari suatu negara, harus juga diberikan kepada warga negara dari negara lain.38
Sebagai akibatnya, TRIPS Agreement mensyaratkan negara peserta untuk melindungi HMI yang pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Berne
38 Tonny H. Soerojo, “TRIPS dan Pengaruhnya Bagi Peraturan Perundang-undangan
Indonesia”, http://k
Convention, The Paris Convention, The Rome Convention, dan The Washington IPIC Treaty (Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits). Hasilnya adalah (atau akan menjadi) sebuah sistem perlindungan internasional dengan berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan didukung oleh basis minimum perlindungan di 117 negara penandatangan.
Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPS melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation / WTO), Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hak milik intelektual yang terdapat dalam TRIPS. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Terdapat lima langkah strategis dalam rangka penyesuaian, yaitu:
1. Legislasi dan Konvensi Internasional: merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HMI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HMI seperti Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang, juga mempersiapkan penyertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional.
2. Administrasi: menyempurnakan sistem administrasi pengelolaan HMI dengan misi memberikan perlindungan hukum dan menggalakkan pengembangan karya-karya intelektual.
3. Kerjasama: meningkatkan kerjasama terutama dengan pihak luar negeri; 4. Kesadaran masyarakat: memasyarakatkan atau sosialisasi hak milik intelektual. 5. Penegakan Hukum: membantu penegakan hukum di bidang hak milik
intelektual.39
Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), maka Indonesia harus menyesuaikan semua ketentuan hak milik intelektual yang ada dengan ketentuan TRIPS, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPS tersebut tidak merugikan kepentingan Indonesia.
Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization). Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.
Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan terhadap permasalahan yang diajukan maka pada bagian akhir ini akan diberikan kesimpulan yaitu:
1. Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak merek, sehingga dengan adanya undang-undang kepabeanan maka melalui aparatur Kepabeanan akan didapat nilai positif yaitu berupa pencegahan keluar atau masuknya produk hasil pelanggaran hak merek dari Indonesia maupun keluar Indonesia. 2. Peran Kepabeanan (Customs) dalam rangka perlindungan terhadap merek
terdaftar adalah sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang hak merek dan hak kekayaan intelektual dan atas perintah pengadilan dapat menghentikan masuknya dan keluarnya barang pelanggaran hak merek.
3. Implementasi TRIPS Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar khususnya dalam hal sebagai pintu terdepan dalam penanggulangan pelanggaran hak merek di Indonesia.
B. Saran
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini meliputi:
1. Pihak pemegang merek asli hendaknya dapat mempergunakan sarana-sarana hukum secara maksimal dalam mengambil sikap terhadap pemalsuan merek serta dapat bekerjasama secara baik dengan instansi yang berwenang seperti Kepabeanan.
2. Pemegang hak merek hendaknya dapat melakukan pendaftaran hak mereknya sehingga dapat ditindak lanjuti perlindungan hukumnya.
3. Pemerintah hendaknya dapat meningkatkan sumber daya manusia aparatur Kepabeanan sehingga dapat mengantisipasi pelanggaran hak merek secara lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Adof. Huala. & A. Chandrawulan. Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Bea. Direktorat Jenderal dan Cukai. “Peranan Bea dan CukaiDalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual.” Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights. Jakarta, 24-28 Mei 2004.
Erawaty. AF Elly. Hukum Ekonomi Internasional. Bandung: FH Parahyangan, 1998.
Gautama. Sudargo dan Rizawanto Winata. Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Hasan. Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Juwana. Hikmahanto. Hukum Perdagangan Internasional. Alumni. Bandung, 2003.
Kartadjoemena. H.S. GATT dan WTO Sistem. Forum dan Lembaga Internasional. Jakarta: UI-Press, 1996.
Maulana. Insan Budi. Sukses Bisnis Melalui Merek Paten & Hak Cipta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
____________. Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Nasional. Dinas Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 2003.
Prodjodikoro. WirjoNomor Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2000.
Saidin, OK. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
Setiawan.Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Alumni, 1982.
Simatupang. Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Simorangkir. JCT dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru, 2001.
Wahyuni, Erma, et. all. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, Yogyakarta: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, TT.
Suherman. Ade Maman. “Penegakan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23 Nomor 1. 2004. B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Republik Indonesia, Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
C. Website
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. http://id.wik ipedia.org/wik i/Bea_cuk ai (diakses tanggal 26 Maret 2013).
Elfrida Gultom. “Bea Cukai Sebagai Akselator Pelabuhan Untuk Meningkatkan
Devisa Negara”. www.legalitas.org (diakses tanggal 12 Juni 2013)
Tonny H. Soerojo, “TRIPS dan Pengaruhnya Bagi Peraturan Perundang-undangan
Indonesia”, http://klinikhukum.wordpress.com/2007/07/18/trips-dan-pengaruhnya-bagi-peraturan-perundang-undangan-indonesia/.