BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
MEREK TERDAFTAR
B. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Merek
Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang aspek-aspek dagang HKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus dipakai berkenaan dengan HKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan silang atau cross-retaliation. Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif HKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan
lain-lain. 35
Tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HKI telah disatukan dengan perdagangan HKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut telah mengubah HKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam perdagangan internasional, dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HKI, serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan perlindungan terhadap HKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang sah.36
Amerika Serikat sebagai negara maju menghendaki negara-negara berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HKI, dan menjadikan kondisi demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi. Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya, Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HKI karena banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap HKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka.37
Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi kepabeanan dalam perlindungan HKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup ‘Special Requirement Related to Border Measures’ (ketentuan yang
35Ibid., hlm. 36.
36Ibid.
mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HKI) dalam section 4, diantaranya memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’
(penangguhan pengeluaran barang dari kawasan pabean), yang merupakan ketentuan standar yang harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara penandatanganan WTO Agreements / TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan perlindungan HKI.
Perlindungan HKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/ peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi apabila ada jaminan perlindungan HKI yang baik.
Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan terhadap HKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) pada akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas
scope perlindungan tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai penegakan hukumnya (enforcement), dan aturan-aturan mengenai penyelesaian perselisihan (antar negara anggota WTO). Sejumlah kewajiban yang diatur dalam TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs
diakui sebagai suatu dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan perundang-undangan di bidang HKI bagi negara-negara anggota WTO.
Dengan diterbitkanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World
Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat).
Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian undang-undang nasional masing-masing di bidang HKI. Demikian juga di Indonesia, pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HKI mengalami perubahan agar sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-Undang Kepabeanan juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur Direktorat Jenderal Bea dan Cukaidalam pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran HKI, dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64.
Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di bidang HKI (Enforcement of IPR), dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HKI (Part III Section 4: Special Requirement Related to Border Measures). Part III
Section 4 ini mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh
kepabeanan. Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar tersebut telah dimuat dalam UU Kepabenanan, yaitu dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64. Dengan demikian, perlindungan HKI yang dilaksanakan oleh institusi kepabeanan di Indonesia (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) telah mengacu pada standar minimum yang ditentukan dalam TRIPs, yang berlaku secara Internasional.
Dikaitkan dengan UU Kepabeanan, ditegaskan pada Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 bahwa pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara dan menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran hak merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti DJBC turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.
Ketentuan tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual pada UU Kepabeanan merupakan implementasi dari Perjanjian Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs) Section 4 part 3, Article 51sampai dengan Article 60 tentang Boundary Measures Suspension of Release by Customs Authorities yaitu tindakan untuk menyita barang yang melanggar HKI yang masuk ke suatu negara. Implementasi ini adalah suatu kemajuuan dimana Indonesia telah mengadopsi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Namun dalam pelaksanaanya, hingga saat ini, Peraturan Pemerintah tentang HKI dalam UU Kepabeanan sebagai peraturan
pelaksana belum diberlakukan/belum selesai dibuat. Kondisi ini tentu tidak optimal dalam mendukung perlindungan HKI.
C. Implementasi The TRIPs Agreement dalam memberikan Perlindungan