• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR)

2.1.1.2 Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR)

Tahapan dan sistematika pelaksanaan CSR dimulai dengan melihat kebutuhan masyarakat sekitar. Dengan mengidentifikasi masalah yang ada kemudian dicari solusi yang tepat dan terbaik menurut kebutuhan masyarakat. Setelah itu membuat rencana aksi, lengkap dengan anggaran dan jadwal juga sumberdaya manusia yang ditunjuk untuk melakukannya. Monitoring yang dapat dilakukan melalui survei maupun kunjungan lapang. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial. Menurut kaidah ekonomi, pemberdayaan masyarakat adalah proses kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk memperoleh surplus value sebagai hak manusia yang terlibat dalam kegiatan produksinya.

Soemanto (2007) menjelaskan setiap perusahaan selayaknya memahami bahwa setiap perusahaan yang hadir ditengah komunitas tertentu, akan menjadi bagian dari lingkungan sosial tertentu. Itulah sebabnya, perusahaan seharusnya menyadari dan tidak hanya cukup mengetahui bahwa lingkungan sosial harus dijaga, dengan cara mengusahakan kurangnya dampak atau imbas psikologis, ekonomi dan budaya terhadap orang disekelilingnya. Perhatian terhadap manusia disekeliling perusahaan harus semakin ditingkatkan jika perusahaan menyandang nama sebagai industri dengan skala besar. Dengan ringkas bisa disimpulkan seperti dikatakan oleh Savitz (2006) sebagaimana dikutip oleh Soemanto (2007) bahwa CSR akan sukses apabila perusahaan mencermati persinggungan antara usaha mencari keuntungan dengan kepentingan publik dan interaksi masyarakat.

John Elkington dalam Hardinsyah (2008) merumuskan Triple Bottom Lines (TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (planet). Ketika faktor ini juga terkenal dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profitdan planet. Ketiga faktor ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan.

Oleh karena itu, piramida CSR yang di kembangkan Achie B. Caroll dalam Hardinsyah (2008) harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebab, CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, seperti yang tergambat pada Gambar 2 :

1. Profit. Perusahaan harus tetap berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.

2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi masyarakat setempat.

3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme).

Gambar 2. Gambar Triple Bottom Linesdalam CSR

Sumber: Hardinsyah, 20083

Berdasarkan konsep Triple Bottom Lines(TBL) tersebut seharusnya konsep dan implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen. Dalam perjalanannya, implementasi CSR sering mengalami pembiasan dari nilai-nilai CSR yang “asli”. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakukan kegiatan bantuan atau charity atau “pemadam konflik sementara“ kepada masyarakat yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik.

3

Hardinsyah, op. cit., hal 3.

Profit (Keuntungan Perusahaan) People (Kesejahteraan Manusia/Masyarakat) Plannet (Keberlanjutan Lingkungan Hidup)

2.1.1.3 Kebijakan Perusahaan dalam CSR

Menurut Steiner (1997) yang dikutip oleh Mulyadi (2007) menyatakan bahwa kebijakan dianggap sebagai pedoman untuk bertindak atau saluran untuk berfikir. Secara lebih khusus, kebijakan adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh bidang tempat tindakan atau yang dilakukan. Kebijakan biasanya berlangsung lama serta cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa peninjauan dan penyempuranaan.

Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan menentukan petunjuk yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan dan untuk menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan. Berikut ini akan disajikan beberapa model yang menyangkut perangkat lengkap kebijakan yang mengatur aktivitas sosial perusahaan menurut Steiner (1997) sebagaimana dikutip Mulyadi (2007).

1) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mempertimbangkan tanggung jawab sosialnya dengan seksama. Kebijakan ini tidak mengikat perusahaan dalam program sosial tertentu, tetapi mengungkapkan bahwa perusahaan merasa tanggung jawab sosialnya yang pertama adalah memikirkan tanggung jawab sosialnya dengan seksama.

2) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk benar-benar memanfaatkan keringanan pajak melalui kontribusi. Kebijakan ini hanya memanfaatkan undang-undang perpajakan tetapi tidak mengikat perusahaan di luar kedermawanan minimum yang diperlihatkan saat sekarang kecuali apabila perusahaan merasa bahwa laba yang didapat cukup tinggi untuk memberi sesuatu lebih banyak.

3) Perusahaan menetapkan kebijakan memikul biaya sosial dalam operasi perusahaan tanpa mengorbankan posisi kompetisi atau keuangannya. Kebijakan ini menyatakan bahwa perusahaan ingin menghindari dampak negatif operasi terhadap masyarakat sejauh yang dapat dilakukan oleh perusahaan.

4) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosialnya pada tujuan terbatas. Perusahaan dapat mencapai lebih banyak kegiatan apabila memiliki bidang-bidang tertentu agar dapat memusatkan upaya yang dilakukan, sehingga perusahaan menetapkan batas tertentu pada program sosial.

5) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosial pada sejumlah bidang yang secara strategis berkaitan dengan fungsi perusahaan pada saat sekarang dan masa mendatang.

6) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memperlancar tindakan karyawan yang dapat dilakukan sebagai perorangan dan bukan sebagai wakil resmi perusahaan. Perusahaan tidak memaksa karyawan untuk terlibat dalam aktivitas yang lebih baik bagi masyarakat, tetapi perusahaan mendorong dan menyediakan sarana bagi para karyawan untuk memenuhi kepentingan sosial mereka.

7) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji ulang peluang produk dan jasa yang memungkinkan perusahaan mendapatkan laba dan meningkatkan kepentingan sosial; tetapi tidak semua tindakan sosial perlu dilakukan hanya untuk memperoleh keuntungan.

8) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengambil tindakan atas nama tanggung jawab sosial tetapi tidak berarti harus mengorbankan tingkat keuntungan yang diperluukan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan dinamika yang diinginkan manajemen puncak.

9) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan responsif secara sosial atas dasar keberlanjutan dan bukan bersifat ad hoc, sewaktu-waktu, atau untuk waktu yang singkat. Kebijakan ini didasarkan atas keyakinan bahwa persahaan akan dapat menimbulkan pengaruh yang lebih besar dengan biaya sedikit, melalui program berkelanjutan dibandingkan dengan melakukan tindakan yang terputus-putus.

10) Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji kebutuhan sosial yang perlu ditanggapi perusahaan, kontribusi yang dapat diberikan, resiko yang mungkin timbul, dan kemungkinan manfaatnya bagi perusahaan dan masyarakat. Kebijakan ini mengingatkan agar “melihat sebelum melompat”. Kebijakan ini mendorong agar perusahaan mengambil tindakan yang terorganisir, nalar, sistematis dan berlangsung dalam periode waktu tertentu.

2.1.2 Pengembangan Masyarakat

2.1.2.1 Konsep dan Definisi Pengembangan Masyarakat

Dalam bukunya Ambadar (2008) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekadar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain: community relation. Pemberdayaan masyarakat (comdev) intinya adalah bagaimana individu atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka menurut Shardlow (1998) dalam Ambadar (2008). Keragaman dalam menginterpretasikan beberapa pendekatan pengembangan masyarakat semakin meluas mulai dari perbedaan orientasi sampai dengan berbagai tujuan-tujuan.

Menurut Suharto (2005) pengembangan masyarakat adalah satu model pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat merujuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial atau usaha kesejahteraan sosial.

Community Development (comdev) memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian dilakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Comdev seringkali diimplementasikan dalam bentuk (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab (Payne, 1995)4.

Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial menurut Ambadar (2008). Sementara Shardlow (1998) dalam Ambadar (2008) menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat adalah bagaimana individu, kelompok atau

4

komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.

Upaya pemberdayaan yang cenderung tidak melihat mereka sebagai suatu komunitas dan bersifat charity (sumbangan) seolah-olah hanya mempersubur eksistensi mereka. Dalam kaitan dengan upaya pemberdayaan pada level komunitas, Rothman (1995) yang dikutip oleh Adi (2003) menggambarkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat melalui intervensi komunitas ini dapat dilakukan melalui beberapa model (pendekatan) intervensi, seperti pengembangan masyarakat lokal, perencanaan dan kebijakan sosial, dan aksi sosial. Dari ketiga model intervensi di atas, maka proses pemberdayaan terhadap masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan yang bersifat konsensus seperti pengembangan masyarakat lokal, kepatuhan seperti pendekatan perencanaan dan kebijakan sosial, atau pun melalui pendekatan konflik seperti aksi sosial.

Dunham (1958) dikutip oleh Adi (2003) menyatakan lima prinsip dasar yang amat penting bagi mereka yang berminat pada pengorganisasian masyarakat atau pengembangan masyarakat, yaitu:

1) Penekanan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat

2) Perlu adanya pendekatan antar tim dalam pengembangan masyarakat

3) Kebutuhan akan adanya community worker yang serba bisa pada wilayah pedesaan

4) Pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal

5) Adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam pengembangan masyarakat

Tahapan dalam pengembangan masyarakat yang biasa dilakukan pada beberapa Organisasi Pelayanan Masyarakat, yaitu:

1. Tahap persiapan, didalamnya terdapat tahap penyiapan petugas dan penyiapan lapangan yang merupakan prasyarat.

2. Tahap assessment, dengan mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan = felt needs) dan juga sumber daya yang dimiliki klien.

3. Tahap perencanaan alternatif program suatu kegiatan, agen peubah (community worker) secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berfikir tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana mengatasinya.

4. Tahap pemformulasian rencana aksi, agen peubah (community worker) membantu masing-masing kelompok untuk memutuskan dan menentukan program dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. 5. Tahap pelaksanaan, sesuatu yang sudah direncanakan akan dapat melenceng

dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara agen peubah dengan warga masyarakat.

6. Tahap evaluasi, sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga.

7. Tahap terminasi, merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan komunitas sasaran.

Indikator keberhasilan suatu program pembangunan komunitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebersamaan yang dijalin antar pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan komunitas lokal yang terlihat dalam partisipasi dan keberlanjutan (sustainability). Partisipasi dapat dilihat sebagai keterlibatan para pihak di dalam mengelola program- program community development. Secara mendasar, partisipasi bukanlah milik dari komunitas lokal, akan tetapi semua pihak harus berpartisipasi. Ada dua motivasi utama yang mendasari perusahaan melakukan program CSR yaitu, pertama bersifat akomodatif kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik dan tidak lengkap, CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai perusahaan yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Kedua, bersifat legitimatif dengan tujuan untuk mempengaruhi wacana yang bermanfaat sebagai langkah awal dalam proses “metamorfosa” menjadi program CSR yang benar.

Sedangkan menurut Jack Rothman dalam Suharto (2005) model-model pengembangan masyarakat mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang pengembangan masyarakat yaitu, pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial, dan aksi sosial. Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi. Mengacu pada dua perspektif yang dikemukakan di atas, model pertama dan kedua sejalalan

dengan perspektif professional, sedangkan model ketiga lebih dekat dengan perspektif radikal.

Menurut Rudito dan Famiola (2007) lancar atau terhambatnya jalan sebuah korporasi tergantung pada kepekaan perusahaan dalam memperhatikan dan mengingat gejala sosial budaya yang ada disekitarnya, seperti munculnya kecemburuan sosial akibat dari pola hidup dan pendapatan yang sangat jauh berbeda antara perusahaan (karyawan perusahaan) dengan komunitas sekitar. Dalam kenyataannya, komunitas lokal tidak hanya berdiri pada sisi lingkungan sosial perusahaan, akan tetapi juga berada di dalam perusahaan sebagai karyawan. Untuk itu diperlukan suatu wadah program yang berguna untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial ekonomi mereka sendiri, maka diciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas yang sering disebut sebagai community development yang mempunyai tujuan untuk pemberdayaan komunitas (empowerment).

Keberlanjutan sendiri memiliki pengertian sebagai strategi program yang dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas yang dapat dilihat dari sisi-sisi manusia (human), sosial (social), lingkungan (environment) dan ekonomi (economic). Sehingga dengan adanya keberlanjutan, suatu usaha dapat dinikmati tidak hanya oleh generasi pada masa sekarang saja, akan tetapi juga oleh generasi selanjutnya dalam bentuk alih teknologi maupun bentuk pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu perangkat dalam melaksanakan community development yang baik adalah menempatkan audit sosial sebagai perangkat terakhir untuk menjadi awal dalam proses selanjutnya.

2.1.2.2 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat

Menurut Ife (1995) yang dikutip Nasdian (2006), pengembangan masyarakat dipandang sebagai perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas, yaitu: komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, mensinergikan strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait dan partisipasi warga, membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga, dan mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian dan gagasan warga komunitas.

Ife (2002:200-225) seperti dikutip oleh Nasdian (2006) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut :

a. Prinsip ekologis,ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu: holistik, keberlanjutan, keanekaragaman, pembangunan organis, dan keseimbangan.

b. Prinsip keadilan sosial, yaitu: menghilangkan ketimpangan struktural, memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of disadvantage), pemberdayaan, mendefiniskan kebutuhan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

c. Menghargai nilai-nilai lokal, yaitu: pengetahuan lokal, budaya lokal, sumberdaya lokal, keterampilan lokal, dan menghargai proses lokal.

d. Proses, yaitu: proses, hasil, dan visi, keterpaduan proses, peningkatan kesadaran, partisipasi, kooperasi dan konsensus, tahapan pembangunan, perdamaian dan anti kekerasan, inklusif, dan membangun komunitas.

e. Prinsip global dan lokal, yaitu: hubungan antara global dan lokal dan praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice),

2.1.2.3 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006) memberikan pengertian mengenai partisipasi yaitu “...participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of development projects rather than mercly receive a share of project benefits”.

Pengertian tersebut melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1980 sebagaimana dikutip oleh Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada mengenai pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006).

Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat tidak lagi menjadi obyek dari pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan, dimana masyarakat berperan dalam menyampaikan aspirasi, menentukan pilihan, memanfaatkan peluang dan menyelesaikan masalahnya. Melalui pendekatan partisipatif ini masyarakat dapat memiliki pengaruh dan kontrol terhadap berbagai inisiatif pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya yang akan mempengaruhi kehidupannya maupun lingkungannya. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

Partisipasi masyarakat juga dapat dikatakan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat. Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Kemauan dan kemampuan berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.

Menurut Arnstein yang dikutip Soemarjo5 dalam tulisannya Ladder of Citizen Participation6, partisipasi sering dilakukan tanpa adanya pengaruh signifikan terhadap keputusan yang diambil. Pengalaman partisipasi yang telah berlangsung di berbagai daerah studi juga menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan untuk dapat memproduksi suatu efek transformatif dan empowerment seperti yang diharapkan. Beberapa kelemahan yang mempengaruhi kualitas dan efektivitas partisipasi antara lain:

a) Belum meratanya kemauan politik maupun pemahaman di jajaran pemerintahan tentang pentingnya dan tentang keuntungan apa yang bisa diperoleh dari proses partisipasi. Tidak jarang partisipasi diselenggarakan semata sebagai formalitas proyek yang semakin lama kualitasnya semakin menurun.

b) Kebijakan dan peraturan yang ada yang mengatur tentang proses partisipasi dalam tata kepemerintahan di daerah tidak cukup mengikat dan tidak memberikan insentif yang cukup berarti untuk diterapkan secara serius dan berkelanjutan. Sementara itu proses monitoring dan penegakan hukum dari aturan-aturan ini juga belum menjadi prioritas dari pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi.

c) Forum-forum warga atau forum multi-stakeholders yang berpotensi menjadi media penyalur suara warga seringkali tidak mampu mengembangkan dan mempertahankan diri menjadi lembaga yang demokratis dan kuat. Anggota atau peserta membutuhkan penguatan-penguatan untuk menjadikan dirinya lebih kompeten dalam berpartisipasi. Walaupun masalah yang dihadapi setiap forum dan asosiasi berbeda secara detilnya, ada beberapa persoalan dasar yang dihadapi yaitu yang terkait dengan aspek kepemimpinan, transparansi, kompetensi, dan akses terhadap sumberdaya.

d) Para perencana, pelaksana dan fasilitator program partisipatif sering menghadapi kesulitan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya?” agar warga bisa berpartisipasi secara efektif dan agar tidak terjadi dominasi kepentingan tertentu dalam suatu forum partisipatif. Pengetahuan dan ketrampilan menyelenggarakan forum-forum partisipatif dan penguasaan metode serta teknik partisipasi harus diakui tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam beberapa tahun

5

Saat ini adalah Direktur B-Trust Advocacy Group, suatu lembaga independen yang bekerja memperkuat inovasi dalam tata kepemerintah daerah. Dikutip dalam tulisan berjudul Mengangkat Partisipasi Warga yang Bermakna dalam Pembangunan Jawa Barat 20 Tahun Mendatang.

6

Arnstein, S, ‘A Ladder of Citizen Participation in the USA’, Journal of the Royal Town Planning Institute, 1971.

belakangan ini, bahkan dapat dikatakan sedang mengalami proses involusi dan degradasi.

Pada Gambar 3 disajikan matriks tipologi yang dikenal dengan delapan tangga peran serta masyarakat (Eight rungs on the ladder of citizen partisipation) menurut Arstein (1969) yang dikutip Setiawan yang menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Kedelapan tingkatan partisipasi masyarakat dipaparkan sebagai berikut:

Gambar 3. Matriks Tingkatan Partisipasi Masyarakat Menurut Arsntein (1969) Tangga/tingkatan

Partisipasi

Hakekat kesertaan Tingkatan pembagian kekuasaan 1. Manipulasi Permainan oleh pemerintah

2. Terapi Sekedar agar masyarakat tidak marah/mengobati

Tak ada partisipasi

3. Pemberitahuan Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi

4. Konsultasi Masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai sarannya

Tokenisme/sekedar

justifikasi agar masyarakat mengiyakan

5. Penentraman Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan 6. Kemitraan Timbal-balik dinegosiasikan 7. Pendelegasian

Kekuasaan

Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh Progra)

Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat

8. Kontrol masyarakat Sepenuhnya dikuasai oleh Masyarakat

Sumber: Arsntein, 1969: 217 yang dikutip oleh Setiawan7

7

Disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema "Hak Suara Masyarakat dalam Proses Penyusunan