• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi, monitoring, dan pengelolaan yang adaptif

Dalam dokumen Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng (Halaman 84-88)

PENGELOLAAN MANGROVE

6. Implementasi, monitoring, dan pengelolaan yang adaptif

Ini adalah tahap akhir dalam suatu program pengelolaan mangrove. Bagaimana melakukan suatu rencana yang telah disusun. Hal terpenting setelah implementasi program adalah upaya monitoring. Kegagalan atau lebih tepat dikatakan sebagai kurang efektifnya suatu program dikarenakan tidak adanya monitoring. Monitoring ini dimaksudkan agar pengelolaan tersebut dapat dievaluasi dan dilakukan pengelolaan yang adaptif, atau penyesuaian suatu program pengelolaan agar lebih baik.

Dalam tahapan perencanaan ini, hal yang tidak boleh dilupakan adalah menentukan area perencanaan. Maksudnya adalah batas-batas area mangrove yang akan dikelola, terutama dalam penentuan batas administrasif. Ini berpengaruh pada “kewenangan politik” yang akan mempengaruhi jalannya program pengelolaan dimasa yang akan datang. Selain itu, durasi rencana pengelolaan haruslah didefinisikan juga. Dalam kaitannya dengan konservasi, durasi pengelolaannya mungkin tidak terbatas. Akan tetapi perlu pencapaian-pencapaian yang harus dihasilkan terutama dalam perencanaan pengelolaan yang adaftif. Beda halnya dengan rencana pengelolaan mangrove untuk direhabilitasi, ini apakah program dalam jangka pendek atau jangka panjang. Sedangkan untuk pengelolaan mangrove yang memproduksi kayu dalam bidang kehutanan, perencanaan pengelolaan haruslah dalam satu rotasi tebang-tanam. Ini sekitar 20 – 30 tahun.

Untuk penjelasan grafis mengenai tahapan dalam pengelolaan mangrove, dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2. Bagan sistematis yang menunjukkan tahapan dalam rencana pengelolaan mangrove. Hal yang menjadi garis bawah adalah inventori kondisi mangrove saat ini dan kondisi mangrove yang ingin dicapai.

Dalam pelaksanaannya, tidak sepenuhnya sistematika perencanaan pengelolaan mangrove harus sesuai dengan hal yang telah dijelaskan. Dalam prakteknya harus menyesuaikan dengan tujuan dan sasaran. Karena setiap desain program pengelolaan untuk permasalahan mangrove yang berbeda memiliki desain yang berbeda pula. Seperti yang dilakukan oleh Fawzi (2016) pada gambar (3.3), secara garis besar adalah langkah yang sama, tapi dengan desain yang berbeda.

Gambar 3.3. Langkah strategis dalam upaya rehabilitasi mangrove yang dapat dilakukan Mendefinisikan Masalah

1. Degradasi mangrove akibat konversi menjadi tambak

2. Rendahnya peran kelembagaan 3. Rendahnya kesejahteraan masyarakat 4. Rendahnya produktivitas tambak 5. Perlunya upaya rehabilitasi

Mendefinisikan Sasaran dan Tujuan

Sasaran: Restorasi ekosistem mangrove di Delta Mahakam.

Tujuan:

1. Rehabilitasi mangrove yang terdegradasi akibat pembangunan tambak.

2. Meningkatkan produksi tambak dengan integrasi hutan mangrove (silvofisheries)

3. Meningkatkan peran masyarakat dalam upaya rehabilitasi

Menentukan parameter keberhasilan

Kondisi mangrove saat ini  53,03% telah terkonversi menjadi tambak. Hanya 5% area yang tumbuh kembali menjadi tambak secara alami maupun hasil penanaman.

Kondisi Mangrove yang ingin dicapai? Dengan sistem silvofisheries hanya menghasilkan tutupan 80% hutan mangrove di kawasan delta.

Analisis SWOT

Setiap tujuan mempunyai program aksi untuk mencapai sasaran akhir. Program aksi ini lebih spesifik yang sesuai untuk pengelolaan mangrove di Delta Mahakam.

Program aksi

Implementasi dan Monitoring

Analisis ini membahas variabel-variabel dalam perencanaan. Termasuk membahas analisis perbandingan dari program-program lainnya yang telah dijalankan.

Kendala-kendala yang ada saat ini dan yang mungkin terjadi, dan upaya penyelesaiannya

Langkah akhir untuk mengevaluasi program-program yang dilakukan. Ini untuk perbaikan pada program selanjutnya.

Dalam implementasinya, monitoring menjadi bagian dari pengelolaan yang dinamis, mengingat banyak faktor dapat terjadi di lapangan.

3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan

3.1.3.1 Data Sumberdaya Pesisir Mangrove

Data ini adalah data dasar yang digunakan dalam suatu perencanaan pengelolaan dan bahkan dalam pengelolaan itu sendiri. Karena ini menjadi penentu karakteristik lingkungan mangrove secara keseluruhan. Data-data tersebut antara lain:

 Jenis tutupan/penggunaan lahan, dengan informasi persebaran mangrove pada wilayah perencanaan

 Persebaran kegiatan perikanan dan perkebunan

 Finansial/pembiayaan program

 Sumberdaya manusia

Data-data ini termasuk data untuk pelaksanaan operasional pelaksanaan program, seperti penyiapan lokasi untuk rehabilitasi, bibit mangrove dan matial pendukung jika akan melakukan penanaman, transportasi, dan hal-hal terkait lainnya.

3.1.3.2 Data Sosial-Ekonomi

Mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi adalah hal penentu dalam suatu pengelolaan pesisir. Jika tidak terdapat pertimbangan dengan faktor ini, maka dapat dikatakan rencana pengelolaan yang akan dilakukan tidak akan berhasil dengan baik. Terutama dalam penggunaan wilayah pesisir secara bersama dan berkelanjutan, data-data tentang sosial-ekonomi masyarakat sekitar wilayah perencanaan mutlak dibutuhkan.

3.1.3.3 Data Institusional

Faktor institusi merupakan faktor politik dalam pengelolaan dan menjadi dasar hukum dalam suatu rencana pengelolaan itu sendiri. Harus diperhatikan mengenai aturan kebijakan pemerintah yang ada, dasar hukum, analisis mengenai dampak lingkungan, dan hal-hal terkait lainnya. Termasuk hubungan antar lembaga perencana agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam program.

3.2 P

ENGELOLAAN

H

UTAN

M

ANGROVE PADA

W

ILAYAH

P

ERKOTAAN

Telah disebutkan bahwa kerusakan mangrove akibat campur tangan manusia terhadap ekosistem mangrove adalah hal harus diperhatikan. Terutama pada ekosistem mangrove yang dekat dengan pemukiman penduduk atau wilayah perkotaan. Ancaman terhadap habitat mangrove tidak hanya secara langsung terjadinya deforestasi mangrove untuk perluasan area perkotaan, seperti reklamasi pantai untuk perumahan dan pembangunan jalan tol. Akan tetapi,

terdapat ancaman tidak langsung yang menyertai, seperti pencemaran tanah dan air.

Dari sini dapat dikatakan bahwa deforestasi hutan mangrove untuk wilayah perkotaan bukan sebagai satu-satunya konsekuensi atas urbanisasi yang terjadi. Pada sisi lain, meningkatnya lahan terbangun meningkatkan pula aliran/limpasan permukaan. Hasilnya aliran tersebut langsung dapat terbawa ke habitat mangrove, dan dapat mengganggu kesetimbangan faktor pertumbuhan mangrove jika terjadi dalam jangka panjang. Jika pada musim kemarau, pencemaran yang terjadi dapat terakumulasi pada ekosistem mangrove. Walaupun secara kasat mata mangrove masih dapat terjada, namun bisa jadi sistem nutrient dapat terganggu. Ikan-ikan kecil yang hidup disekitar mangrove yang pada akhirnya akan dimakan oleh manusia, membawa kadar pencemaran yang meningkat jika dikonsumsi secara berkala.

Pada hutan mangrove yang berada di wilayah perkotaan, bentuk pengelolaan yang sesuai adalah dengan menjadikan objek wisata. Hal ini mengingat kebutuhan kota atas ruang terbuka hijau. Objek wisata yang dimaksud disini adalah berbasis eco-tourism. Selain itu, dapat dikembangkan pusat penelitian ekosistem mangrove yang terintegrasi dengan badan pengelola mangrove itu sendiri. Pusat penelitian tersebut harus berkerja sama dengan universitas-universitas untuk pengembangan penelitian mangrove.

3.3 P

ENGELOLAAN

H

UTAN

M

ANGROVE YANG

T

ERKONVERSI

Dalam dokumen Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng (Halaman 84-88)