• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring Konversi Mangrove menjadi Tambak

Dalam dokumen Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng (Halaman 61-67)

yang Digunakan

2.3 R EVIEW P EMETAAN M ANGROVE M ENGGUNAKAN C ITRA PENGINDERAAN JAUH

2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah

2.3.1.2 Monitoring Konversi Mangrove menjadi Tambak

Fawzi (2016) melakukan pemetaan untuk monitoring hutan mangrove secara multitemporal di Delta Mahakam. Delta Mahakam berada di pantai timur Provinsi Kalimantan Timur, atau berlokasi antara koordinat 019'39" hingga 053'42" lintang selatan dan 11717'13" to 11737'47" bujur timur. Delta Mahakam terbentuk di muara Sungai Mahakam, yang berbatasan langsung dengan selat Makassar. Delta Mahakam memiliki luas sekitar 1.500 km2, yang tertutup vegetasi mangrove pada awal tahun 1990an (Dutrieux, 1991).

Monitoring yang dilakukan, terutama akibat konversi hutan mangrove menjadi tambak. Terutama untuk hutan mangrove pada daerah tropis, secara intensif telah dikonversi menjadi tambak untuk budidaya udang (Lee, 1999). Secara luas konversi mangrove menjadi tambak hampir terjadi pada kawasan-kawasan delta atau kawasan yang sesuai untuk pembudidayaan menggunakan tambak. Sebagai contoh di kawasan Delta Mahakam. Konversi hutan mangrove untuk pengembangan tambak udang terjadi di Delta Mahakam dan menjadi penyebab utama deforestasi pada kawasan delta (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al., 2014; Samad, et al., 2013; Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak tahun 1990, yang menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam terkonversi menjadi tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun

2000, hutan mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai 47%, dan meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006; Rahman, et al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang tahun 2000 hingga 2010.

Di sini, terdapat hubungan yang signifikan terhadap pembangunan tambak untuk budidaya udang dengan fragmentasi hutan mangrove. Seto & Fragkias (2007) meneliti pembangunan tambak di hutan lindung Xuan Thuy dan Tien Hai Vietnam, kawasan mangrove yang telah dilindungi secara hukum (atau secara global disebut dengan Ramsar). Data yang digunakan adalah citra Landsat TM untuk mendapatkan data mangrove secara spasial dan multitemporal. Hasilnya terjadi fragmentasi akibat pembangunan tambak, walaupun kawasan mangrove tersebut telah dilindungi. Li, et al. (2013) juga melakukan hal serupa di pantai Tiongkok. Dengan data citra Landsat dari tahun 1997-2010, dihasilkan perubahan tutupan mangrove akibat pembangunan tambak yang mengakibatkan fragmentasi mangrove. Akan tetapi, Li, et al. (2013) menjelaskan karena terdapat upaya untuk memperbaiki ekosistem, tutupan mangrove kembali bertambah di tahun 2010. Li, et al. (2013) juga menambahkan, perlu upaya yang serius untuk mengkonservasi tutupan mangrove, terkait perencanaan dan pengelolaannya.

Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra satelit Landsat multitemporal. Path/row citra yang digunakan berada pada path/row 116/60 dan 116/61. Data tersebut diinterpretasi secara visual untuk mendapatkan zonasi mangrove di Delta Mahakam. Data tersebut tidak merepresentasikan urutan tahun secara aritmetik atau bulan yang sama. Hal ini mengingat terbatasnya citra yang bebas awan. Data satelit Landsat yang digunakan diunduh pada situs resmi USGS (Badan Survei Geologi Amerika Serikat). Resolusi spasial untuk citra Landsat TM maupun Landsat OLI yang digunakan adalah 30 meter. Semua data penginderaan jauh telah terkoreksi geometrik level 1T dengan proyeksi

Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 M dengan datum WGS 1984. Di sini, karena wilayah penelitian mencakup dua citra satelit yang berbeda

path/row, maka sebelum dilakukan pengolahan data terlebih dahulu dilakukan penggabungan citra atau mozaik citra.

Tabel 2.5. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian. Satelit Tenggal Perekaman Tahun Perekaman Keterangan (terkait pemilihan tahun

pengamatan)

Landsat TM

17 Januari 1989

Tahun acuan untuk representasi hutan mangrove yang masih utuh di Delta Mahakam.

3 Agustus 1997

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dan menjadi titik acuan peningkatan pembangunan tambak. 31 Maret 2004

Era titik puncak pembangunan dan peningkatan produksi tambak (Bosma, et al., 2012).

17 Juni 2009 20 tahun setelah tahuan acuan pengamatan.

Landsat OLI 1 Mei 2015

Kondisi Delta Mahakam saat ini dan untuk mengetahui perubahan yang terjadi.

Interpretasi dilakukan pada citra Landsat TM tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan citra Landsat 8 tahun 2015 untuk menghasilkan zonasi mangrove tiap-tiap tahun tersebut. Dasar interpretasi adalah perbedaan rona/warna pada citra dan perbedaan tekstur. Interpretasi visual yang dilakukan menghasilkan 8 kelas klasifikasi zonasi, yakni dengan membedakan tubuh air dan daratan, formasi

Avicennia spp. (Avicennia L. 1753) yang dalam hal ini berasosiasi dengan formasi Rhizophora spp. (Rhizophora L. 1753) dan Acrostichum aureum

Linnaeus 1753, formasi Nypa fruticans (Thunb.) Wurb. 1781, gabungan spesies

Heriteira littoralis Dryan. in Aiton 1789 dan Oncosperma tigillarium (jack) Ridl. 1900 sebagai zona transisi hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan kawasan tambak dan lahan terbuka.

Tiap-tiap spesies mangrove membentuk suatu formasi mangrove yang dipengaruhi oleh kondisi salinitas. Kondisi salinitas ini yang mempengaruhi formasi mangrove yang terbentuk pada zonasi mangrove yang dihasilkan. Pada zonasi Avicennia spp. merupakan formasi mangrove yang berbatasan dengan laut secara langsung. Nilai salinitas bervariasi antara 20 o/oo – 35o/oo. Pada zonasi

Avicennia spp. ini didominasi oleh genus Avicennia yang terdiri atas Avicennia officinalis, A. alba, A. lanata, dan A. marina. Karena didominasi oleh Avicennia,

maka terdapat spesies lain yang berada di zonasi ini dan mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas tinggi. Spesies tersebut termasuk dalam genus

Sonneratia terdiri atas 3 spesies, yakni: Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba

dan Sonneratia ovata. Sedangkan untuk genus Rhizophora terdiri atas 2 spesies, yakni Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata. Zonasi berikutnya adalah formasi mangrove yang dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi, dengan variasi nilai salinitas yang mencapai 5o/oo– 25o/oo. Zonasi ini didominasi oleh formasi Nypa fruticans. Berikutnya formasi Nypa mulai tergantikan pada nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang. Zonasi berikutnya adalah zona transisi antara tumbuhan mangrove dan tumbuhan air tawar. Zona transisi ini berada pada salinitas dengan kondisi asin saat pasang saja (0 – 10 o/oo). Zona transisi ini didominasi oleh tumbuhan Heriteira littoralis dan pohon kelapa

Oncosperma tigillarium yang biasa disebut dengan pohon nibung. Kemudian pada zonasi berikutnya adalah zona hutan hujan tropis yang berasosiasi dengan kondisi air yang tawar. Pada analisis distribusi ini, sebenarnya terdapat pemukiman, lebih tepatnya perkampungan di Delta Mahakam.

Tabel 2.6. Perubahan luas zonasi mangrove di Delta Mahakam. Zonasi Mangrove

Tahun dan luas perubahan mangrove (ha)

1989 1997 2004 2009 2015

Avicennia spp. 20.296,94 14.921,23 6.022,98 5.960,57 8.082,84

Nypa fruticans 77.368,09 66.492,03 27.713,51 28.859,13 33.276,21 Heriteira littoralis dan

Oncosperma tigillarium 8.603,33 9.791,00 9.776,23 9.776,51 8.462,52

Hutan hujan tropis 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14 Tambak 1.848,44 13.988,37 58.848,47 61.575,74 53.861,57 Lahan terbuka 323,44 3.225,83 5.680,97 1.745,57 4.136,58 Total 109.956,38 109.934,60 109.558,30 109.433,67 109.335,85

Gambar 2.11. Peta zonasi mangrove di Delta Mahakam untuk tahun 1989,1997, 2004, 2009, dan 2015. Ditampilkan pula legenda peta.

Gambar 2.12. Grafik perubahan luas mangrove yang terjadi di Delta Mahakam dalam satuan hektare. Terlihat terjadi peningkatan luas tambak pada rentang tahun 1997 – 2004, disertai turunnya luasan hutan mangrove, terutama Nypa fruticans.

Dari hasil perhitungan, didapatkan luas Delta Mahakam mencapai 110.000 hektare atau 1.100 km2. Terjadi variasi perubahan hutan mangrove menjadi tambak pada rentang tahun 1989 hingga tahun 2015. Pada rentang tahun 1989 – 1997, telah terjadi perubahan hutan mangrove menjadi tambak dan lahan terbuka seluas 15.042,3 ha atau 15,65%. Selama 8 tahun pengamatan tersebut, pembuatan tambak dilakukan secara perlahan dan berada pada bagian formasi

Avicennia dan sedikit pada Nypa.

Perubahan mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998. Selain akibat permintaan pasar yang besar terhadap komoditas udang yang meningkat dan mudahnya pembukaan lahan, melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor penyebab utama. Di mana keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh jika dilakukan ekspor udang keluar negeri. Selama rentang pengamatan tahun 1997 – 2004, telah terjadi perubahan lahan mangrove menjadi tambak atau peningkatan total luas tambak mencapai 44.860,10 ha atau sekitar 40% dari area delta terkonversi hampir hanya selama 7 tahun. Akibatnya sekitar 64.529,4 ha atau 58,89% area delta telah terkonversi menjadi tambak pada tahun 2004. Perubahan menjadi tambak tersebut sebagian besar terjadi di formasi Nypa. Pengaruh salinitas yang sesuai untuk budidaya udang pada formasi Nypa,

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 Avecennia spp. Nypa fruticans Heriteira littoralis dan Oncosperma tigillarium Hutan hujan tropis Tambak Lahan terbuka Grafik perubahan luas mangrove

menjadi faktor penentu konversi menjadi tambak. Sehingga tidak ditemui konversi menjadi tambak pada zona transisi hutan mangrove, karena kondisi hidrologi didominasi oleh air tawar. Selain itu, pembukaan tambak pada formasi

Nypa lebih kepada efisiensi, yakni mudah untuk ditebang sehingga lebih murah untuk membuat tambak (Bosma, et al., 2012).

Tren pembukaan tambak sedikit meningkat hingga tahun 2009, bahkan terkesan relatif tidak berubah. Selama rentang tahun 2004 - 2009, pembukaan hutan mangrove menjadi tambak hanya 2.727,27 ha. Jumlah ini adalah lahan terbuka yang dipersiapkan untuk menjadi tambak. Tren berikutnya terjadi penurunan luasan tambak di Delta Mahakam akibat turunnya produktivitas tambak ataupun tidak efisien lagi melakukan budidaya tambak di delta. Akibatnya terjadi penurunan jumlah tambak yang mencapai 7.714,17 ha atau 7% selama rentang tahun 2009 - 2015.

Penurunan luas tambak ini berimplikasi pada peningkatan jumlah mangrove yang ada di Delta Mahakam. Penambahan jumlah mangrove ini akibat penanaman yang dilakukan, maupun akibat suksesi sekunder yang terjadi. Hal lain yang menjadi perhatian bahwa akibat perubahan faktor biofisik delta akibat pembangunan tambak, mangrove yang tumbuh kembali dapat berbeda dengan kondisi awalnya. Terutama karena penanaman mangrove ataupun ketersediaan bibit yang ada dalam proses suksesi yang terjadi. Selama rentang tahun 2009 – 2015 yang terjadi penurunan luasan tambak dan peningkatan lahan terbuka, terjadi pula peningkatan luasan mangrove. Pada formasi Nypa, terjadi penambahan seluas 4.417,08 ha, dan pada formasi Avicennia, terjadi penambahan luas sebesar 2.122,27 ha.

Evaluasi mangrove menjadi penting mengingat tekanan kebutuhan manusia dari segi ekonomi. Pada sisi lain dalam pemetaannya, kendala resolusi yang cukup kasar pada citra yang digunakan dapat diselesaikan dengan validasi lapangan dan uji akurasi. Dalam pemetaan ini, melalui uji akurasi menggunakan metode

confussion matrix, didapatkan nilai akurasi pemetaan zonasi mangrove untuk tahun 2015 adalah sebesar 94,1%. Nilai ini menandakan bahwa 94,1% informasi pada peta adalah benar dan diatas dianggap baik karena berada pada nilai diatas 85% (Anderson, et al., 1976).

Dalam dokumen Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng (Halaman 61-67)