• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Mangrove

Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya

(3)

Mangrove

Karakteristik, Pemetaan, dan

Pengelolaannya

Oleh:

(4)

Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya

Oleh: Nurul Ihsan Fawzi

Diterbitkan oleh Penerbit Sibuku Media Bantul, Yogyakarta, 55713

Cover Mangrove di Sundarban, Bangladesh. Gambar diperoleh dari situs NASA

Diterbitkan pertama kali Maret 2016

Copyright © 2016 Nurul Ihsan Fawzi

Hak Cipta dilindungi undang-undang. All rights reserved.

Dilarang mengutup atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin penerbit atau penulis. Setiap publikasi atau referensi untuk penggunaan pribadi atau pekerjaan harus secara eksplisit mengidentifikasi sumber aslinya. Hal ini untuk menjamin hak cipta dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fawzi, Nurul Ihsan

Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaanya / Nurul Ihsan Fawzi. -- Yogyakarta: Sibuku Media, 2016.

viii, 100 p. : il. : ind ; 21 cm.

(5)

KATA

PENGANTAR

Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.

Harapannya, dengan membaca buku ini yang sistematis dirancang bertahap dimulai dari karakteristik mangrove, pemetaan, dan pengelolaannya; peneliti dan pembaca akan terbantu dalam penelitiannya. Terlebih lagi kebutuhan informasi tentang ekosistem mangrove menjadi semakin besar tatkala terdapat rencana-rencana pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan ekosistem.

(6)

Saran dan kritik

Jika ada saran dan atau kritik, termasuk koreksi terhadap buku ini, mohon disampaikan pada alamat berikut.

(7)

DAFTAR

ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... vii

BAB 1 KONSEPSI MANGROVE ... 1

1.1 Definisi ... 1

1.2 Distribusi Mangrove ... 1

1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini ... 1

1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove ... 3

1.3 Taksonomi Mangrove ... 7

1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan ... 7

1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove ... 19

1.4 Zonasi Mangrove ... 21

1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove ... 21

1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove ... 22

1.5 Manfaat dan Ancaman ... 27

1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove ... 27

1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove ... 27

BAB 2 PEMETAAN MANGROVE ... 29

2.1 Informasi yang Dipetakan ... 29

2.2 Metode Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ... 30

2.2.1 Dasar Penginderaan Jauh ... 33

2.2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh? ... 38

2.2.3 Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ... 38

2.2.4 Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh yang Digunakan ... 41

2.2.5 Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh ... 43

(8)

2.3 Review Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Penginderaan Jauh 51

2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah . 51

2.3.2 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Tinggi ... 64

2.4 Keterbatasan Menggunakan Penginderaan Jauh ... 68

2.4.1 Metode interpretasi yang “usang,” kurangnya aplikasi dari integrasi sumber data ... 68

2.4.2 Eror dalam melakukan monitoring dan rendahnya akurasi ... 68

2.4.3 Sulit membedakan jenis mangrove dalam komunitas ... 68

2.4.4 Kurangnya Perbandingan antar Metode Pemetaan ... 69

BAB 3 PENGELOLAAN MANGROVE ... 71

3.1 Kerangka Analisis dalam Pengelolaan Mangrove ... 71

3.1.1 Apa yang Dapat Dilakukan Terhadap Mangrove? ... 71

3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan ... 74

3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan ... 79

3.2 Pengelolaan Hutan Mangrove pada Wilayah Perkotaan ... 79

3.3 Pengelolaan Hutan Mangrove yang Terkonversi Menjadi Tambak80 3.4 Kehutanan – Silvikultur ... 88

3.5 Kesimpulan dan Rekomendasi ... 90

Daftar Pustaka ... 91

(9)

KONSEPSI

MANGROVE

Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar pengenalan mangrove. Termasuk dalam hal definisi, taksonomi, distribusi spasial, manfaat, dan ancamannya. Ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi mengenai “mangrove” yang dibahas pada bab ini.

1.1

D

EFINISI

Terdapat perbedaan definisi mengenai mangrove, atau lebih tepatnya banyak pendekatan-pendekatan untuk mendefinisikan ekosistem mangrove (Kuenzer, et al., 2011). Definisi pertama, mangrove didefinisikan atas lokasi hidupnya. Mangrove merupakan belukar atau pohon yang tumbuh di kawasan pesisir diantara 25 – 30o lintang selatan hingga 25-30o lintang utara (ini berbeda untuk

tiap ahli) dan mampu bertahan terhadap air payau, air laut, dan lokasi di mana terjadi penguapan yang membuat air asin dua kali salinitas air laut (Kuenzer, et al., 2011).

Definisi lainnya, mangrove diterjemahkan sebagai semua spesies atau komunitas spesies yang mampu hidup di air asin (Tomlinson, 1995). Terdapat 110 spesies mangrove, sekitar 54 spesies dalam 20 genus dari 16 family (tabel 1.1 dan 1.2) yang merupakan jenis mangrove yang dapat tumbuh di habitat mangrove itu sendiri. Secara umum mangrove dapat didefinisikan sebagai ekosistem yang berada di zona pasang surut yang mampu beradaptasi di lingkungan pesisir, yang beradaptasi dengan sistem perakaran yang menonjol (akar nafas/pneumatofor), sebagai suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau anaerob (Tomlinson, 1995).

1.2

D

ISTRIBUSI

M

ANGROVE

1.2.1

Distribusi Mangrove Saat Ini

Secara global, tanaman mangrove dapat ditemukan disekitar garis tropis (gambar 1.2). Sekitar 124 negara yang berlokasi diantara 25o 30o lintang

selatan hingga 25o -30o lintang utara menjadi lokasi habitat ekosistem mangrove

(10)

pantai di daerah tropis dan subtropis. Pada mangrove yang tumbuh disekitar garis ekuator, memiliki kandungan biomassa yang maksimal jika dibandingkan dengan lokasi lain. Penyebabnya semakin menurunnya level suhu yang mengakibatkan total biomassa akan turun semakin meningkatnya lokasi lintang. Total area mangrove saat ini berkisar antara 167.000 km2 hingga 181.000 km2

(Kuenzer, et al., 2011). FAO (2007) mengestimasi tutupan mangrove untuk tahun 2005 adalah 152.000 km2, turun dari 188.000 km2 pada tahun 1980.

Sedangkan Giri, et al. (2011) mendapatkan luas mangrove secara global menggunakan citra penginderaan jauh tahun 2000, didapatkan luasan mangrove sebesar 137.760 km2 yang tersebar di 118 negara. Hasil luas mangrove global

yang dihasilkan oleh Giri, et al. (2011) memiliki luas lebih kecil disebabkan oleh penggunaan resolusi citra penginderaan jauh yang digunakan yang lebih detail (30 meter) dibandingkan dengan yang digunakan oleh FAO (2007) dalam memetakan mangrove. Jumlah luas mangrove paling besar terdapat di kawasan Asia Tenggara (Indonesia), di mana lokasi yang baik untuk tumbuh dan memiliki diversitas spesies yang tinggi.

Tabel 1.1. Negara dengan jumlah mangrove terbesar.

(11)

Secara floristik terdapat dua perbedaan jenis mangrove dalam distribusi ini (gambar 1.1), yakni zona timur yang terdiri atas pantai timur Afrika, Asia Tenggara, kepulauan di Pasifik, dan Australia; dan zona barat yang terdiri atas pantai barat Afrika, pantai di Amerika, dan kepulauan Karibia (FAO, 1994). Secara intensif mangrove berkembang cukup pesat di muara sungai besar, seperti muara sungai Gangga di Banglades, muara sungai Mahakam di Kalimantan Timur, muara sungai Fly di Papua Nugini, dan muara sungai Mekong di Vietnam. Sedangkan muara sungai Amazon dan sungai Kongo, salah satu sungai terbesar di dunia ini, tidak memiliki hutan mangrove yang tumbuh secara intensif karena besarnya debit sungai yang memasok air tawar.

Gambar 1.1. Distribusi mangrove diseluruh dunia, direpresentasikan dengan garis tebal. Garis putus-putus secara vertikal menujukkan batas bio-geografi, dan garis putus-putus horizontal menunjukkan batas hidup mangrove yang berada pada daerah tropis.

Sumber: Hogarth (2007).

1.2.2

Faktor Pembatas Distribusi Mangrove

(12)

1.2.2.1 Campur Tangan Manusia

Beberapa habitat mangrove berada pada lokasi – lokasi yang berada dekat dengan perkotaan. Konversi habitat mangrove untuk pembangunan perluasan perkotaan seringkali tidak dapat dihindarkan. Akibatnya eksistensi mangrove pada daerah tersebut berubah, atau bahkan menghilang jika tidak dilakukan upaya perlindungan. Secara lebih luas, jika konversi mangrove tersebut dilakukan pada skala besar untuk aktivitas tertentu, maka peta distribusi mangrove yang ada saat ini perlu untuk direvisi.

Perubahan-perubahan eksistensi mangrove akibat pengaruh manusia beragam untuk berbagai aktivitas yang berhubungan dengan faktor ekonomi tentunya. Horning, et al. (2010) menyatakan penelitian saat telah menginventarisasi kehilangan mangrove secara global mencapai 12% dari tahun 1975-2005. Penyebab utama deforestasi hutan mangrove secara global tersebut adalah untuk pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Akan tetapi, penyebab utama deforestasi hutan mangrove untuk setiap Negara adalah berbeda. Contohnya di Thailand, penyebab deforestasi mengrove terbesar adalah untuk pertanian (50%) dan pembangunan tambak (41%). Sedangkan di Filipina, konversi hutan mangrove menjadi menjadi tambak adalah penyebab kerusakan mangrove paling besar, hingga tahun 1981 konversi mangrove menjadi tambak telah dilarang (Janssen & Padilla, 1999). Hal ini tidak bisa dihindarkan, mengingat kebutuhan manusia untuk makanan terus meningkat, dan produksi tambak di areal mangrove menyumbang separuh dari konsumsi global untuk makanan laut (produksi mendekati 50 juta metrik ton) (FAO, 2013).

Untuk di Indonesia, Ilham, et al. (2016) menemukan bahwa konversi mangrove menjadi tambak adalah penyebab utama deforestasi mangrove. Lebih dari 600.000 ha mangrove telah terkonversi menjadi tambak. Fawzi (2016) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam yang menyebabkan 53,8% wilayah delta berubah menjadi tambak. Ini tentu akan mempengaruhi distribusi mangrove yang ada saat ini. Pada sisi lain, pengaruh distribusi mangrove tidak hanya diakibatkan oleh deforestasi yang terjadi. Upaya penanaman mangrove seringkali dilakukan pada lokasi yang sebelumnya tidak terdapat mangrove. Sehingga dapat dikatakan pada lokasi yang baru tersebut mangrove dapat tumbuh.

(13)

menggunakan bahan kimia beracun yang menyebabkan banyak mangrove mati dan merusak ekosistem.

1.2.2.2 Salinitas

Salinitas juga menjadi penentu dalam distribusi mangrove yang lebih kepada lokasi in situ. Hal ini karena spesies mangrove hanya dapat tumbuh pada rentang kondisi salinitas tertentu. Terkait dengan hal ini, Smith (1992) menjelaskan tentang syarat hidup jenis -jenis mangrove yang berhubungan dengan salinitas. Untuk spesies Avicennia spp., beberapa penelitian menberi nilai adaptasi spesies yang berbeda terhadap salinitas. Clarke & Hannon (1970) dalam Smith (1992) menemukan bahwa spesies Avicennia marina dapat hidup pada rentang salinitas 0 – 35 o/oo, dengan salinitas tumbuh maksimal adalah 7

14 o/oo. Smith (1992) juga menjelaskan bagaimana penelitian yang dilakukan

oleh Downton (1982) melaporkan bahwa Avicennia marina mampu hidup pada salinitas 3 – 20 o/oo. Untuk spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai tumbuh

optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika berada pada

salinitas diatas 18 o/oo. Untuk nilai salinitas maksimal untuk tumbuh bisa

mencapai 35 o/oo, yakni nilai salinitas air laut. Bahkan Smith (1992) dalam

kompilasi penelitiannya, menunjukkan bahwa spesies Avicennia spp. mampu hidup pada nilai salinitas >60 o/oo. Akan tetapi, untuk tumbuh secara optimal,

rentang salinitas 7 – 14 o/oo adalah yang paling sesuai.

Adaptasi yang dikembangkan oleh mangrove adalah akar nafas untuk beradaptasi pada kondisi pasang surut. Jadi, ketika terkena pasang, akar-akar nafas tersebut masih bisa memperoleh oksigen untuk pertumbuhannya. Dan karakteristik ini berbeda tiap spesies. Selain itu bentuk adaptasi lainnya adalah mengolah air dengan salinitas tinggi untuk dapat hidup. Mengrove memiliki beberapa metode untuk mendapatkan air tawar dari air laut, dengan menyerap air air asin dari akar, dan membuang kelebihan garam di daun dengan menggunakan kelenjar ekskresi garam (terutama pada genus Avicennia,

Aegiceras and Aegialitis). Pada spesies lain menggunakan transpirasi pada daun, atau mengakumulasi garam pada daun dan kemudian menggugurkannya. 1.2.2.3 Letak Lintang dan Iklim

Secara esensial mangrove merupakan tumbuhan tropis, yang dapat hidup dengan batasan terjauh di lintang selatan adalah Florida Selatan, Afrika Selatan, dan Victoria, Australia; dan betasan di lintang utara terjauh adalah Jepang bagian selatan. Berdasarkan letak lintang, mangrove dapat hidup pada lokasi paling selatan di titik terjauh yakni 38o59' lintang selatan, atau berada di

Australia, dan untuk batas lintang utara dapat hidup hingga 31o22' lintang utara

(14)

Tabel 1.2. batasan letak lintang untuk distribusi mangrove.

Benua

Letak lintang di mana mangrove ditemukan dapat tumbuh

Dalam hubungannya dengan iklim, persebaran mangrove secara langsung dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Mangrove merupakan tumbuhan yang tidak mampu beradaptasi pada suhu yang rendah. Mangrove dapat hidup dengan suhu permukaan laut minimal yakni 24oC. Lebih rendah dari suhu tersebut,

maka spesies mangrove akan sulit sekali beradaptasi dan tidak dapat tumbuh. Untuk wilayah tropis, suhu tidak berpengaruh pada mangrove karena permukaan laut selalu hangat dan terkena sinar matahari sepanjang tahun. Akan tetapi, pada wilayah subtropis, dan semakin mendekati kutub suhu permukaan laut semakin dingin, dan ini menjadi salah satu faktor pengaruh yang membatasi distribusi mangrove; berasosiasi dengan letak lintang.

1.2.2.4 Pasang Surut Air Laut

Pasang dan surut air laut mempengaruhi penggenangan air laut terhadap habitat mangrove. Jika semakin tinggi pasang dan area yang tergenang oleh air laut, maka distribusi mangrove pada habitat tersebut akan semakin luas. Jika pada area-area pantai yang terjal dan tidak tergenang oleh air laut, maka tidak terdapat mangrove. Selain itu, pada daerah muara sungai, pasang dan surut air laut akan mempengaruhi perubahan salinitas air di mana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut

1.2.2.5 Sedimen dan Ombak

(15)

1.3

T

AKSONOMI

M

ANGROVE

Saenger (2002) membagi mangrove secara umum dengan 26 family dan 39 genus. Berbeda dengan Tomlinson (1995) yang membagi mangrove dalam tiga kategori, yakni: mangrove utama, mangrove peralihan, dan asosiasi mangrove. Jadi pada definisi mangrove sebelumnya disebutkan terdapat 20 genus dari 16

family, pembagian tersebut pada mangrove utama dan mangrov peralihan. Pada pembahasan ini, kita akan mengacu pada Tomlinson (1995) untuk mempermudah dalam pembelajaran.

1.3.1

Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan

Melihat definisi mangrove yang merupakan tumbuhan halofit, terdapat dua pembedaan yang dapat dilakukan, yakni yang mampu beradaptasi penuh dengan air asin dan beradaptasi dengan air tawar. Berdasar hal tersebut, Tomlinson (1995) membagi taksonomi mangrove atas dua bagian utama, yakni ‘true

mangrove atau mangrove utama (major mangrove) dan mangrove peralihan (minor mangrove). Perbedaan keduanya adalah dari jenis adaptasi terhadap air tawar. Sebagaimana Avicennia yang mampu hidup optimal pada nilai salinitas 7 – 14 o/oo. Berbeda halnya dengan Heriteria littoralis yang hanya mampu

beradaptasi pada air payau saja ketika berada pada pasang tertinggi, selebihnya mampu beradaptasi pada air tawar. Jika Heriteria littoralis ‘diletakkan’ pada

wilayah yang sepenuhnya air asin, maka tidak dapat beradaptasi.

Pada mangrove utama, spesies mangrove yang termasuk didalamnya sepenuhnya beradaptasi dengan kondisi salinitas yang tinggi yang dikontrol oleh pasang surut. Bentuk adaptasi tersebut dapat berupa akar nafas atau pnematofora, bibit yang vivipary, mekanisme adaptasi sekresi garam, dan adaptasi fisiologis terhadap kondisi salinitas tinggi. Sedangkan pada mangrove peralihan, telah mampu beradaptasi dengan salinitas rendah dan atau air tawar, dan bahkan tidak mampu beradaptasi dengan salinitas yang tinggi (air laut). Mangrove peralihan ini berhabitat pada area pantai kearah darat.

Secara detail mengenai taksonomi mangrove dapat dijelaskan pada tabel 1.3 dan tabel 1.4. Penjelasan mengenai taksonomi mangrove secara detil pada tiap

(16)

Tabel 1.3. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove utama

Tabel 1.4. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove peralihan

(17)

Keterangan tabel 1.2 dan 1.3:

+ = memiliki akar gantung dan/atau vivipary, ++ = memiliki dan terbentuk cukup baik - .. = tidak memiliki

Vivipary= merupakan benih yang terbentuk, apakah mangrove memiliki “buah” yang menjadi benih untuk regenerasinya. yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Vivipary ini lebih sering dikatakan sebagai propagul.

1.3.1.1 Avicenniaceae

Nama Avicennia didedikasikan dari nama Ibnu Sina (980-1037). Hal ini dikarenakan di Eropa ketika itu, Ibnu Sina terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia. Family

Avicenniaceae hanya memiliki satu genus, yakni genus Avicennia L. 1753 (Tomlinson, 1995). Genus ini memiliki 8 spesies, yang mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas yang tinggi. Tumbuh sebagai zonasi paling depan yang berhadapan dengan laut, dan mampu tumbuh hingga mencapai 30 meter. Untuk wilayah Indo-Pasifik dan Afrika Timur, spesies Avicennia yang ada yakni:

Avicennia officinalis, A. alba atau A. marina, A. lanata, A. eucalyptifolia, dan A. balanophora. Untuk daerah pantai barat Afrika dan Amerika, spesies Avicennia

yang ada yakni: Avicennia germinan, A. bicolor, A. schaueriana, dan A. africana. Cara membedakan spesies Avicennia dapat dilakukan berdasarkan bunga yang dihasilkan. Pada Avicennia germinan: berwarna putih dan memiliki panjang 10 – 13 mm, pada A. officinalis: berwarna kuning dengan panjang 6 –

8 mm, dan pada A. marina: berwarna kuning atau jingga dengan panjang 4 – 8

mm.

(18)

Gambar 1.2. Pohon Avicennia yang dicirikan dengan akar nafas yang muncul ke permukaan. Daun, bunga, buah, dan pohon dari Avicennia marina. Sumber: Noor, et al. (2006)

1.3.1.2 Bombacaceae

Pada family ini hanya memiliki satu genus, yaitu Camprostemon Masters 1872.

Genus Camprostemon memiliki dua spesies, yakni C. schultzii Masters 1872 di utara Australia dan Papua Nugini, dan C. philippinense (Vidal) Becc. 1898 yang menyebar dari Filipina hingga Kalimantan.

1.3.1.3 Combretaceae

(19)

Lumnitzera racemose Willd. 1803, dan Lumnitzera rosea (Gaud.) Presl. 1834; genus Terminalia L. 1767 yang memiliki satu spesies Terminalia catappa L. 1767; dan genus Conocarpus L. 1753 dengan satu spesies Conocarpus erectus

L. 1953. Genus Terminalia dan Conocarpus termasuk dalam asosiasi mangrove.

1.3.1.4 Euphorbiaceae

Euphorbiaceae adalah tanaman dengan jumlah spesies lebih dari 7000 spesies (Saenger (2002) menyebut hingga 8000 spesies). Euphorbiaceae memiliki dua genus mangrove, yaitu Exoecaria L. 1759, Hippomane L. 1753, dan Glochidion

J. R. & G. Forst 1776. Exoecaria menyebar dari Afrika dan Asia hingga ke Pasifik.

1.3.1.5 Lythraceae

Lythraceae termasuk dalam family yang cukup besar, karena memiliki hampir 25 genus dan 500 lebih spesies. Yang termasuk mangrove dalam Lythraceae hanya genus Pemphis Frost. 1776, dengan spesies Pemphis madagascariensis

(Baker) Koehne 1903. Spesies P. madagascariensis merupakan spesies endemic pada area savanna semi-arid di Madagaskar.

1.3.1.6 Meliaceae

Meliaceae memiliki hampir 50 genus dengan jumla spesies sekitar 1.200 spesies. Meliaceae yang termasuk mangrove hanya pada genus Xylocarpus

Kőnig 1784, dengan dua spesies yakni: Xylocarpus granatum Kőnig 1784 dan

Xylocarpus mekongensis Pierre 1897. Xylocarpus terdistribusi di timur Afrika dan daerah tropis Indo-malaya.

1.3.1.7 Myrsinaceae

Myrsinaceae memiliki 18 genus dan 300 spesies (Saenger (2002) menyebut 35 genus dan 1.000 spesies). Distribusi utama Myrsinaceae berada di Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Yang termasuk dalam mangrove dalam Myrsinaceae hanya satu genus, Aegiceras Gaertner 1788. Genus Aegiceras

memiliki dua spesies, yakni Aegiceras comiculatum (L.) Blanco 1837 dan Aegiceras floridum Roemer & Schultes 1819.

1.3.1.8 Myrtaceae

(20)

1.3.1.9 Palmae

Family Palmae merupakan family dari kelapa, dengan hampir 200 genus dan 2600 spesies. Akan tetapi, yang termasuk dalam kategori mangrove hanya terdapat 3 spesies, yakni Nypa fruticans, Calamus erinaceus, dan Oncosperma tigillarium. Nypa fruticans merupakan mangrove utama, sedangkan Calamus erinaceus dan Oncosperma tigillarium merupakan asosiasi mangrove.

Nypa Fruticans atau Nypa merupakan tanaman mangrove yang hidup pada muara sungai atau estuari. Habitat terbesar Nypa di Indoneisa berada di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Secara umum, distribusi Nypa berada dari Sri Langka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Tiongkok, dan Australia. Selain itu, Nypa juga telah ditanam menjadi spesies baru di wilayah Barat Afrika dan Amerika Tengah.

Gambar 1.3.Nypa fruticans yang berada di Delta Mahakam.

Secara habitat alami, Nypa dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi, mencapai variasi nilai salinitas 5o/oo 25o/oo. Fawzi (2016) menemukan bahwa

nilai salinitas tersebut yang bervariasi antara 5o/oo 25o/oo merupakan variasi

dari kondisi pasang dan surut air laut dan juga dipengaruhi oleh besarnya debit sungai Mahakam terkait musim kemarau atau hujan. Nypa fruticans mampu beradaptasi dalam kondisi salinitas ini. Zona transisi Nypa berada saat kondisi pasang dengan nilai salinitas air 6o/oo. Sebenarnya Nypa dapat beradaptasi pada

rentang 0 – 25 o/oo, karena pada saat surut, pada lokasi yang sama bernilai

salinitas 0o/oo yang artinya air tawar. Akan tetapi karena kondisi payau saat air

(21)

spesies asosiasi mangrove pada nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang.

Terkait dengan persebaran formasi Nypa fruticans, Tomlinson (1995) mendeskripsikan bahwa Nypa dapat hidup di estuari di mana terdapat masukan air tawar. Dengan kata lain, Nypa dapat hidup pada air payau dan tidak dapat hidup pada kodisi air tawar atau asin.

1.3.1.10 Pellicieraceae

Pellicieraceae memiliki satu genus Pelliciera Planchon & Triana 1862 dengan satu spesies Pelliciera rhizophoreae Triana & Planchon 1862. Pelliciera adalah pohon kecil, dengan ketinggian 5 – 10 meter. Untuk saat ini Pelliciera hanya ditemukan melimpah di Teluk Buenaventura, Kolombia, hingga ke Kosta Rika; dan pantai yang terletak di Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Karibia. 1.3.1.11 Plumbaginaceae

Plumbaginaceae adalah family kecil yang termasuk jenis semak-semak, dengan distribusi hampir di wilayah pesisir di seluruh dunia. Terdapat satu genus

Aegialitis R. Brown 1810, dengan dua spesies, yakni Aegialitis annulata R. Brown 1810 dan Aegialitis rotundifolia Roxburgh 1824. Aegialitis adalah semak dengan bunga sempurna, tinggi mencapai 3 meter, dan habitat biasanya pada daerah berpasir atau berbatu di wilayah pantai.

1.3.1.12 Pteridaceae

Pteridaceae adalah tumbuhan jenis pakis-pakisan dengan 35 genus dan lebih dari 1.000 spesies. Untuk genus yang mampu beradaptasi pada daerah asin adalah

Acrostichum L. 1753. Acrostichum terdistribusi pada asosiasi dengan

Rhizophora mangle dan pada wilayah estuari. Jumlah spesies yang termasuk dalam genus ini adalah 3 spesies, yakni: Acrostichum aureum Linneaeus 1753,

Acrostichum danaeifolium Langsdorff & Fischer 1810, dan Acrostichum speciosum Willdenow 1810.

1.3.1.13 Rhizophoraceae

Rhizophoraceae memiliki 16 genus dan 120 spesies yang terdiri atas jenis pohon dan semak-semak. Untuk jenis mangrove sendiri, terdiri atas 4 genus dan 16 spesies. Seringkali disebut dengan “mangrove Rhizophoraceae,” dengan 4 genus tersebut adalah Bruguiera Lamarck 1793-7, Ceriops Arnold 1838,

(22)

Spesies-spesies mangrove yang terdapat dalam family ini adalah:

Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. 1797-8, Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. 1816, Bruguiera exaristata Ding Hou 1957, Bruguiera parviflora

Wight & Arnold ex Griffith 1936, Bruguiera cylindrica (L.) Blume 1827, dan Bruguiera hainesii C.G. Rogers 1919;

Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1958 dan Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robinson 1908;

 Kandelia candel (L.) Druce 1914; dan

Rhizophora apiculata BL. 1827, Rhizophora mangle L. 1753,

Rhizophora samoensis (Hochr.) Salvoza 1936, Rhizophora x harrisonii

Leechman 1918, Rhizophora mucronata Lamk. 1804, Rhizophora racemosa Meyer 1818, Rhizophora stylosa Griff. 1854, Rhizophora x lamarckii Montr. 1860, dan Rhizophora x selala (Salvoza) Tomlinson 1978.

Rhizophora

Genus ini hampir berada diseluruh habitat mangrove di dunia. Dengan pohon yang mampu tumbuh mencapai 30 – 40 meter, dengan kecepatan tumbuh mencapai <1 meter/tahun (Duke, 2006). Dalam hal ini, Rhizophora menjadi genus yang penting dalam hubungannya dengan mangrove. Seringkali

Rhizophora menjadi rujukan dari kata mangrove itu sendiri. Dan terlebih lagi

Rhizophora sering digunakan sebagai bibit untuk penanaman kembali mangrove pada areal yang telah rusak.

Untuk membedakan spesies dalam genus Rhizophora adalah tidak mudah. Beberapa spesies dapat dibedakan hanya dengan bunga dan buah. Namun demikian, terdapat pola distribusi Rhizopora pada wilayah Indo-Pasifik yang berdasar pada karakteristik adaptasinya (gambar 1.4). Namun, Duke (2006) memberikan beberapa karakteristik pembeda untuk spesies Rhizophora, yakni:

R. mucronata dapat berada pada wilayah yang berasosiasi dengan aliran air tawar seperti sungai/muara sungai.

R. stylosa seringkali berada di daerah pantai, lebih mengarah pada wilayah pantai yang berhubungan langsung dengan laut (bukan pada muara sungai atau berdekatan).

R. apiculata dapat ditemukan pada lokasi yang hampir sama dengan R. mucronata, akan tetapi lebih sering tumbuh pada muara sungai atau estuari yang lebih besar.

(23)

Gambar 1.4. Distribusi Rhizophora yang berada di Indonesia dan sekitarnya. Terlihat batas persebaran spesies R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa. pada kenyataannya, terjadi overlap dari ketiga distribusi spesies tersebut di wilayah Indonesia. Sumber: Duke (2006).

Untuk beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi, Rhizophora juga memiliki akar nafas pnematafor yang berbeda bentuk dari Avicennia. Sedangkan untuk mendapatkan pasokan air tawar, Rhizophora melakukan transpirasi pada daunnya dan terdapat membran khusus untuk menyaring garam. Daun pada Rhizophora juga mampu meminimalkan kehilangan air berlebih, meminimalkan pemanasan berlebih, dan mampu memaksimalkan proses fotosintesis melalui optimasi sudut dan ukuran daun. Untuk berkembang biak, buah mangrove yang telah berkecambah akan jatuh dan langsung menancap ke tanah. Hal ini dapat terjadi karena bentuk adaptasinya yang memungkinkan hal tersebut terjadi (gambar 1.5).

(24)

Gambar 1.5.Kiri: Bunga Rhizophora yang telah dewasa (kiri ke kanan) Rhizopora apiculata, R. x lamarckii, R. stylosa, dan R. mucronata. Kanan: propagul pada R. stylosa. Sumber: Duke (2006)

(25)

Bruguiera

Bruguiera merupakan genus yang termasuk dalam family Rhizophoraceace, memiliki 6 spesies yang terbagi atas dua jenis utama. Jenis pertama adalah yang memiliki bunga relatif besar: Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. exaristata; dan jenis kedua adalah yang memiliki bunga relatif kecil: B. parviflora, B. cylindrica, dan B. hainesii (Tomlinson, 1995). Penamaan

Bruguiera berasal dari penghormatan terhadap penjelajah dan ahli biologi dari Prancis, Jean Guillaume Bruguière (1750–1798). Genus Bruguiera tersebat dari pantai timur Afrika dan Madagaskar, India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Polinesia di Samudra Pasifik.

Pohon Bruguiera mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 40 meter, selalu hijau sepanjang tahun dan juga selalu tumbuh, memiliki akar nafas yang pendek. Bunga pada Bruguiera dibedakan atas bunga yang relatif besar (panjang 2 – 4 cm) dan bunga yang relatif kecil (panjang 1 – 1,5 cm), dengan jumlah helai 13 pada bunga relatif besar dan 8 helai pada bunga relatif kecil.

1.3.1.14 Rubiaceae

Rubiaceae adalah salah satu family terbesar dengan lebih dari 500 genus dan 6.000 spesies. Untuk genus yang berada pada jenis mangrove hanya genus

Scyphiphora Gaertn.f. 1805. Scyphiphora hanya memiliki satu spesies mangrove peralihan, yakni Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn.f. 1805. Scyphiphora terdistribusi dari selatan India, Indocina, melewati kepulauan di Malaya dan Filipina, hingga ke Australia melalu kepulauan Palau.

1.3.1.15 Sonneratiaceae

Soneratiaceae memiliki satu genus Sonneratia L.f. 1781 dan 5 spesies. Spesies-spesies tersebut adalah Sonneratia caseolaris (L.) Engler 1897, Sonneratia alba

(26)
(27)

1.3.1.16 Sterculiaceae

Sterculiaceae memiliki 65 genus dan sekitar 1.100 spesies yang tersebar pada daerah tropis dan sub-tropis. Genus yang termasuk dalam Sterculiaceae adalah

Heritiera Aiton. 1789, dengan tiga spesies mangrove, yakni: Heritiera littoralis

Dryand. in Aiton 1789, Heritiera fomes Buch-Ham. 1800, dan Heritiera globose

Kostermans 1959. Heritiera globose hanya ditemukan di Kalimantan. Heritiera littoralis secara luas terdistribusi pada daerah tropis timur Afrika, Asia Tenggara, Australia, dan kawasan Samudra Pasifik. Sedangkan Heritiera fomes

ditemukan dari India dan Banglades hingga Myanmar.

1.3.2

Spesies Asosiasi Mangrove

(28)

Tabel 1.5. Spesies yang berasosiasi dengan mangrove

Flacourtiaceae Scolopia 1 37

Goodeniaceae Scaevola 2 90

Guttiferae Calophyllum 1 250

lecythidaceae Barringtonia 2 40

Leguminosae

Melastomataceae Octhocharis 1 5

Meliaceae Amoora 1 20

(29)

Lanjutan tabel 1.4.

Sapindaceae Allophyllus 1 190

Sapotaceae Pouteria 1 50

Tempat hidup mangrove sangat terkait dengan geomoforlogi tertentu, atau dapat dikatakan berada pada habitat yang telah “ditentukan.” Zonasi ekologis mangrove atau zonasi mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove yang mencirikan spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang berbeda dari arah laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992). Terkait zonasi mangrove itu sendiri, terdapat beberapa keadaan yang membuat zonasi mangrove berbeda. Dengan beberapa hal yang berpengaruh terhadap distribusi mangrove tersebut, pada dasarnya adalah menyangkut dengan kondisi habitat mangrove itu sendiri.

Pola yang terbentuk dari zonasi mangrove ini, dapat dibedakan dari arah laut ke darat atau sebaliknya. Dan pola-pola yang terbentuk akan berbeda di tiap-tiap habitat mangrove. Secara umum (pada gambar 1.9), pada wilayah yang berdekatan dengan laut, zonasi yang terbentuk adalah komunitas Avicennia dan

Sonneratia. Keduanya mampu beradaptasi dengan terpaan ombak dan genangan air laut yang lebih intens dan salinitas tinggi. Berikutnya akan diikuti oleh komunitas Rhizophora, biasanya ditemukan berasosiasi dengan komunitas

(30)

kemampuan adaptasi terhadap air asin yang semakin minim. Seringkali pada zona ke arah darat ini ditumbuhi oleh mangrove peralihan (mangrove minor). Untuk lebar zonasi mangrove sendiri, relatif terhadap gradient/topografi pantai yang menjadi habitat. Semakin landai maka semakin lebar hutan mangrove yang ada. Namun, lebar hutan mangrove/zonasi mangrove jarang melebihi 4 km (Noor, et al., 2006). Untuk pantai yang terjal, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter.

1.4.2

Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove

1.4.2.1 Penggenangan oleh Air Laut

Mangrove mampu beradaptasi dengan genangan oleh air laut yang memiliki kadar salinitas tinggi. Penggenangan terjadi ketika pasang, dan mangrove akan sedikit tergenang atau tidak tergenang oleh air laut ketika surut. Periode penggenangan oleh air laut berbeda-beda di setiap lokasi habitat mangrove, tergantung pada topografi pantai yang berasosiasi dengan karakteristik pasang surut, debit sungai, hujan, air tanah, dan evapotranspirasi. Genangan air laut yang terjadi mengakibatkan kadar oksigen pada tanah menurun. mangrove beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut dengan sistem akar yang lebih menghujam tanah lebih dalam. Hasilnya, ditemukan hampir biomassa akar mangrove ditemukan pada kedalaman 70 cm di bawah tanah.

Perbedaan lamanya waktu penggenangan dan lokasinya, mempengaruhi zonasi mangrove yang terbentuk. Hal ini pertama kali dipublikasikan oleh Watson (1928) dalam penelitiannya di semenanjung malaya. Secara umum, Watson (1928) telah membagi pola zonasi mangrove yang terjadi dengan beberapa klasifikasi yang sesuai. Pola-pola yang terbentuk dapat dijelaskan dengan klasifikasi berikut (secara rinci pada tabel 1.6).

1. Kelas 1: tergenang pada saat terjadi pasang. Dengan kata lain, spesies pada kelas ini mampu beradaptasi dengan tingkat penggenangan yang tinggi tatkala terjadi pasang air laut. Spesies mangrove yang mampu hidup adalah Rhizophora mucronata, R. stylosa dan R. apiculata. Untuk

R. mucronata lebih banyak tumbuh pada areal yang lebih banyak pasokan air tawar; dan R. stylosa dan R. apiculata dapat tumbuh dengan baik pada kondisi salinitas yang tinggi. Untuk beberapa wilayah seperti di Teluk Bintuni, Papua, zona ini didominasi oleh Avicennia. Terutama untuk wilayah-wilayah yang terbentuk daratan baru (akresi), akan melimpah spesies Avicennia (terutama Avicennia marina).

(31)

3. Kelas 3: mangrove tergenang pada saat pasang normal. Pada zona ini, banyak spesies yang mampu tumbuh, terutama mangrove minor/peralihan. Spesies yang dapat tumbuh pada zona ini antara lain dominasi oleh spesies Rhizopora, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum,

Lumnitzera littorea dan Excoecaria agallocha.

4. Kelas 4: mangrove tergenang hanya saat pasang tertinggi saja. Spesies mangrove peralihan banyak tumbuh dan mampu beradaptasi. Spesies yang tumbuh umumnya adalah Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera littorea, dan Excoecaria agallocha. Untuk Rhizopora jarang ditemui pada zona ini, mengingat terbatasnya penggenangan air laut yang terjadi. 5. Kelas 5: mangrove tergenang saat terjadi pasang yang sangat tinggi, seringkali dikategorikan sebagai zona abnormal. Pada zona ini didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha.

Tabel 1.6. Kelas penggenang air laut yang disampaikan oleh Watson (1928)

Kelas Genangan terjadi

Analisis yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang ekologi mangrove adalah tentang adaptasi mangrove terhadap komponen lingkungan yang spesifik. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap pertumbuhan tiap-tiap spesies mangrove. Hal ini dikarenakan tiap-tiap spesies memiliki prasyarat kondisi optimal untuk tumbuh dengan baik. Sehingga pada kondisi lingkungan tertentu, spesies yang paling beradaptasi adalah yang mampu tumbuh dengan baik; dan muncullah zonasi mangrove tersendiri.

(32)

mangrove yang tidak dapat hidup jika nilai salinitas yang rendah karena pengaruh air tawar. Seperti pada spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai tumbuh optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika

berada pada salinitas diatas 18 o/oo. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh

Fawzi (2016), ditemukan transisi formasi Avicennia dan Nypa berada pada kondisi dengan nilai salinitas 7o/oo yang ukur pada saat surut. Sedangkan pada

kondisi pasang, zona transisi tersebut berada pada salinitas 20o/oo. Dapat

dikatakan nilai Salinitas 7o/oo ini merupakan nilai adaptasi nilai salinitas

minimum yang dibutuhkan oleh spesies Avicennia untuk dapat tumbuh. Jika kurang dari nilai tersebut, maka secara progresif digantikan oleh spesies Nypa

yang mampu beradaptasi dengan nilai salinitas yang lebih rendah.

Gambar 1.8. zonasi mangrove yang terbentuk oleh gradien salinitas di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Sumber: Fawzi (2016).

1.4.2.3 Geomorfologi

Geomorfologi disini dapat dikatakan sebagai lokasi hidup mangrove. Perbedaan lokasi hidup mangrove memberikan pembedaan terhadap zonasi mangrove yang ada. Hal ini dikarenakan mangrove akan merespon perubahan geomorfologi yang terjadi dalam suatu habitat. Faktor geomorfologi yang mempengaruhi adalah suplai sedimen, jenis tanah, akresi, erosi, dan faktor iklim seperti curah hujan. Dari sini kita dapat membagi dua bagian utama pembeda zonasi mangrove, yakni zonasi mangrove pada daerah pantai dan zonasi mangrove pada muara sungai.

Pada zonasi daerah pantai adalah zonasi yang umum terjadi pada mangrove. Yakni pada bagian berbatasan dengan laut didominasi oleh Avicennia, kemudian

(33)

Gambar 1.9. Zonasi mangrove di Pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Sumber: Noor, et al. (2006)

Untuk zonasi mangrove yang berada pada muara sungai, cukup berbeda dengan di daerah pantai. Hal ini mengingat suplai air tawar dan air laut yang berbeda, akumulasi sedimen yang lebih besar, dan gradien pantai yang lebih landai. Beberapa lokasi hutan mangrove yang cukup besar berada di muara sungai. Hal ini dipengaruhi oleh pasokan sedimen yang cukup besar; mengandung banyak nutrisi untuk hidup kembang mangrove dan subtrat yang sesuai. Pada zona ini biasanya terbentuk delta seabgai habitat mangrove. Sebut saja muara sungai Gangga dan Brahmaputra di India, muara sungai Mahakam yang membentuk Delta Mahakam, muara sungai Mekong di Veitnam. Zonasi yang tebentuk seperti pada gambar 1.9, di mana terdapat gradien salinitas yang mempengaruhi spesies mangrove yang mampu beradaptasi. Pada zonasi ini, jenis mangrove lebih didominasi oleh mangrove peralihan.

1.4.2.4 Persebaran Propagul

(34)

tidak terbawa jauh oleh aktivitas pasang surut yang terjadi. “Sortir” yang terjadi tersebut, membentuk zonasi mangrove yang berbeda.

Gambar 1.10. Zonasi yang berbeda, di mana Avicennia berada pada lokasi ke arah daratan. hipotesis persebaran propagul inilah yang mampu menjelaskan. Sumber: Smith (1992)

1.4.2.5 Kompetisi Spesies

Bagaimana jika dua spesies mangrove mampu beradaptasi dalam kondisi biofisik yang sama? Apakah kedua spesies tersebut dapat tumbuh bersama atau hanya satu spesies yang dapat hidup. Jika sortir propagul yang terjadi membawanya ke “zona pertumbuhan yang salah,” maka apakah propagul tersebut mampu hidup berkompetisi dengan spesies yang telah ada di zona tersebut. Dalam penjelasan oleh Smith (1992), Ball (1980) melakukan penelitian tentang kolonisasi Rhizophora mangle dan Laguncularia racemose di Florida Selatan. Berdasar pada foto udara yang ada menunjukkan pada koloni mangrove di wilayah tersebut, Laguncularia telah digantikan oleh Rhizophora. Dutrieux, et al. (2014) yang melakukan penelitian di Delta Mahakam, mendapatkan bahwa suksesi yang terjadi di delta akibat konversi menjadi tambak, telah merubah zonasi yang ada. Maksudnya, spesies yang tumbuh akan berbeda dari spesies awalnya. Atau dengan contoh, pada banyak tempat di Delta Mahakam, Nypa

telah digantikan oleh Avicennia atau spesies lain. 1.4.2.6 Predasi Propagul

Watson (1928) mengatakan bahwa “musuh utama mangrove adalah kepiting.” Hal ini bukan tidak mendasar, karena kepiting adalah konsumen yang memakan propagul atau bibit mangrove. Akibatnya tentu saja persebaran mangrove akan terganggu. Jika propagule telah dimakan oleh kepiting, maka potensi untuk hidup akan kecil. Terdapat hubungan antara spesies dominan terhadap jumlah propagule yang dimakan oleh kepiting. Smith (1992) menjelaskan tentang eksperimen yang dilakukan di pantai timur laut Queensland, Australia. Pada pantai tersebut, zonasi yang ada menunjukkan tidak adanya A. marina. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan memagari bibit Avicennia marina

(35)

kata lain, tidak adanya A. marina pada hutan mangrove di pantai tersebut adalah karena predasi propagul yang dilakukan oleh kepiting.

1.5

M

ANFAAT DAN

A

NCAMAN

1.5.1

Manfaat Keberadaan Mangrove

Ekosistem mangrove tidak serta merta hanya hidup dan sebagai habitat makhluk hidup lainnya. Terdapat banyak peran dari kehadiran ekosistem mangrove, terutama sebagai penghalang dari dinamika laut yang seringkali terdapat erosi pantai. Kemampuan melindungi garis pantai ini secara luas juga melindungi dari bencana alam, seperti badai, tornado, dan tsunami. Secara umum, berikut adalah peran ekosistem mangrove bagi kelangsungan hidup manusia dan ekologi.

 Melindungi pantai dari erosi dan abrasi pantai.

 Melindungi pemukiman penduduk dari terpaan badai dan angin dari laut.

 Mencegah intrusi air laut.

 Tempat hidup dan berkembang biak berbagai satwa liar seperti ikan, udang, kepiting, burung, monyet, dsb.

 Menghasilkan bahan-bahan alami yang bernilai ekonomis seperti kayu untuk bahan bangunan, bahan perahu dan kayu bakar.

 Memiliki potensi edukasi dan wisata.

 Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dari udara, dan lain-lain.

Dari peran itu semua, terdapat peran ekonomi yang sering dilupakan. perhitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah sebesar US $9.900/ha (Constanza, et al., 1997). Untuk total keseluruhan nilai ekonomi ekosistem di Bumi, nilai estimasi (sebagian besar tidak terdapat di pasar) berkisar antara US $ 16-54 triliun (1012) per tahun.

1.5.2

Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove

(36)

Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak tahun 1990, yang menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam terkonversi menjadi tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun 2000, hutan mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai 47%, dan meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006; Rahman, et al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang tahun 2000 hingga 2010. Fawzi (2016) yang melakukan pemetaan dengan sumber data tahun 2015, menemukan konversi di delta tersebut telah merubah 53,8% mangrove menjadi tambak.

Konversi hutan mangrove menjadi tambak ini juga menurunkan kualitas tanah dan perlindungan pesisir terhadap pengaruh gelombang laut (Bosma, et al., 2012). Akibatnya, selain kerusakan ekosistem mangrove, terjadi penurunan produksi udang yang hanya memproduksi 45 kg/ha per tahun (Bosma, et al., 2012). Angka produksi tersebut hanya 10% dari pengelolaan tambak secara ekstensif dengan integrasi hutan mangrove sebagai bagian dari produksi udang (Janssen & Padilla, 1999). Konversi tersebut juga mempengaruhi parameter-parameter yang mempengaruhi perkembangan adaptasi mangrove. Terjadinya konversi menjadi tambak tentu mempengaruhi perkembangan mangove dan dapat mengubah zonasi mangrove.

(37)

PEMETAAN

MANGROVE

Artikata pemetaan dalam buku ini adalah tentang perolehan informasi spasial mengenai kondisi mangrove suatu wilayah tertentu. Hal ini mengingat ketika kita mengalisis suatu wilayah dimuka Bumi, hal tersebut selalu berkaitan dengan informasi spasial dan perlu untuk dipetakan. Pemetaan ini untuk mempermudah analisis dan deduksi informasi untuk penentukan keputusan akhir.

2.1

I

NFORMASI YANG

D

IPETAKAN

Informasi yang dimuat dalam pemetaan mangrove adalah sangat beragam. Hal mendasar dalam informasi tersebut adalah skala peta yang digunakan. Semakin besar skala yang digunakan, maka informasi yang dapat dimuat akan semakin banyak dan semakin detil, berlaku sebaliknya. Pada skala kecil, informasi yang dipetakan hanya informasi mangrove dan non-mangrove saja. Pada skala yang lebih detil, informasi yang dapat dipetakan dapat berupa kerapatan mangrove, zonasi mangrove, jenis spesies, tingkat kerusakan, dan lain-lain. Penggunaan skala yang berbeda ini dipengaruhi oleh tujuan pemetaan itu sendiri. Jika mengacu pada level perencanaan, untuk perencanaan operasional tentu membutuhkan data yang lebih detil dibandingkan dengan perencanaan tata guna lahan.

Pada intinya tujuan pemetaan adalah prasyarat untuk mendapatkan informasi yang akan dipetakan. Jika tidak terdapat tujuan yang spesifik, mungkin kita hanya memperoleh informasi tentang informasi mangrove dan non-mangrove saja. Akan tetapi, jika dikembangkan tujuan seperti untuk mengetahui produktivitas mangrove, tentu kita memerlukan informasi yang terkait dengan tujuan tersebut. Informasi tersebut seperti kerapatan mangrove, produktivitas primer, biomassa, sebaran spesies, dan informasi lainnya yang terkait.

Secara singkat, penginderaan jauh untuk ekosistem mangrove dapat digunakan untuk memperoleh informasi berikut (Kuenzer, et al., 2011).

(38)

 Perubahan dan monitoringnya, terutama akibat dinamika perubahan penggunaan lahan. Hal ini seringkali sebagai dasar upaya konservasi dan restorasi ekosistem mangrove.

 Menyediakan informasi untuk manajemen bencana;

 Menyediakan informasi untuk dapat mengerti mengenai proses ekologi dan biologi yang terjadi pada ekosistem tersebut.

Mumby & Edwards (2000) menemukan beberapa informasi yang dibutuhkan untuk mangrove. Informasi tersebut yang paling utama adalah tentang batas-batas mangrove yang terdapat dipesisir terhadap jenis tata guna lahan lainnya. Berikutnya adalah tentang informasi mangrove yang telah rusak, informasi tinggi dan kerapatan mangrove, komposisi spesies dalam suatu habitat mangrove dan biomassanya. Informasi-informasi tersebut adalah bersifat spasial dan dan dapat dipetakan. Melana, et al. (2000) memberikan pembedaan jenis informasi yang harus dipenuhi untuk pengelolaan mangrove. Informasi tersebut adalah mengenai mangrove itu sendiri, seperti jenis mangrove dan kerapatannya, dan informasi pendukung pengelolaan, seperti penggunaan sumberdaya dan permasalahan yang terjadi pada kawasan tersebut (tabel 2.1). Akan tetapi, informasi yang paling dibutuhkan saat ini adalah pemetaan mangrove yang bersifat multitemporal (time-series), mengingat ini bagian dari upaya monitoring mangrove untuk mencegah degradasi mangrove yang lebih intens.

2.2

M

ETODE

P

EMETAAN DENGAN

P

ENGINDERAAN

J

AUH

(39)

Tabel 2.1. Jenis-jenis peta yang dapat digunakan dalam pengelolaan mangrove

Jenis Peta Informasi

Zonasi mangrove atau jenis pohon

Mengidentifikasi jenis-jenis spesies mangrove dalam suatu zonasi

Kerapatan dan tinggi pohon mangrove

Menentukan kerapatan pohon dan tinggi pohon dengan satuan pohon per hectare dalam suatu zonasi mangrove

Penggunaan sumberdaya pesisir

Menentukan jenis-jenis penggunaan lahan di pesisir mangrove, seperti tambak, permukiman, budidaya perikanan, penggunaan kayu mangrove, dan lain-lain.

Permasalahan, isu-isu terbarukan, dan konflik yang terjadi

Menentukan permasalahan yang terjadi pada wilayah habitat mangrove. Permasalahan, isu-isu, dan konflik dapat dipetakan dengan mengaitkan informasi tersebut dengan lokasi spasialnya. Sebagai contoh tambak illegal, pemukiman illegal, lokasi-lokasi habitat mangrove yang menjadi sengketa kepemilikan, dan lain-lain.

Jenis informasi lainnya Informasi ini seperti informasi aliran sungai, tambak yang masih aktif dan tidak, pasang surut, dan lain-lain.

Sumber: Melana, et al. (2000)

(40)

Gambar 2.1. Representasi grafis dari zonasi mangrove di Malaysia oleh Watson (1928).

(41)

2.2.1

Dasar Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan teknik untuk mendapatkan informasi mengenai objek di permukaan bumi tanpa kontak fisik dengan objek tersebut. Teknik ini menggunakan perekaman atas area di permukaan bumi yang direpresentasikan dalam sebuah citra atau gambar. Berbagai citra yang dihasilkan ini selanjutnya diproses untuk beragam aplikasi di bidang pertanian, kebumian, dan bidang-bidang lainnya. Lo (1996) menjelaskan, bahwa tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tersebut disampaikan melalui gelombang elektromagnetik. Inti dari penginderaan jauh adalah interpretasi permukaan bumi dari sebuah citra atau perekaman fotografik. Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang mendekati kenyataan, maka perlu mengetahui karakteristik sistem penginderaan jauh itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diterjemahkan dalam bentuk informasi tematik.

Gambar 2.2. Sensor satelit penginderaan jauh yang merekam enegi dari objek dipermukaan bumi, baik energi yang dipantulkan maupun yang dipancarkan oleh objek, termasuk energi yang dipancarkan oleh sensor dan diterima kembali (sistem RADAR).

Memancarkan radiasi termal

Atmosfer

Vegetasi Tubuh air Rumput Tanah Jalan Lahan Terbangun

Memantulkan radiasi dari matahari

Matahari

(42)

Dalam penginderaan jauh, terdapat empat komponen dasar dalam sistem yang bekerja: target (objek di permukaan bumi), energi, transmisi, dan sensor (gambar 2.2). Keempat komponen tersebut menjadi sistem tak terpisah untuk mendapatkan informasi mengenai target tanpa menyentuh objek (gambar 2.3). Sumber energi menyinari target sebagai bagian dari penginderaan jauh pasif, pada penginderaan jauh termal, objek di permukaan bumi yang memancarkan energi. Energi yang ditransmisikan tersebut mengenai sensor untuk direkam dengan merubah nilai radian menjadi di proses menjadi sinyal elektrik untuk diterjemahkan menjadi sebuah citra. Dalam transmisi energi ini, terdapat interaksi dengan atmosfer yang melemahkan sinyal energi.

Gambar 2.3. Komponen dalam penginderaan jauh, merupakan suatu siklus analisis untuk menghasilkan pemetaan yang lebih baik. Sumber: Liang, et al. (2012)

Energi dari objek yang ditransmisikan ke sensor merupakan radiasi elektromagnetik. Radiasi, dalam fisika, merupakan proses transmisi energi melalui ruang. Transmisi energi tersebut dapat terjadi walaupun tidak ada medium, dengan kecepatan 300.000 km/detik. Energi elektromagnetik dipancarkan atau dilepaskan oleh semua massa di alam semesta pada level yang berbeda-beda. Semakin tinggi level energi dalam suatu sumber energi, semakin rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan dan semakin tinggi frekuensinya.

(43)

tampak dengan panjang gelombang dominan terjadi pada 0,5 μm. Mata manusia tidak dapat mendeteksi panjang gelombang lainnya karena mata hanya sensitif pada gelombang tampak dengan panjang gelombang dari 0,4 μm hingga 0,7 μm. Berbeda dengan hal tersebut, suhu pemukaan bumi jauh lebih rendah yaitu 300 K. Menurut hukum pergeseran Wien, panjang gelombang yang dominan berubah pada panjang gelombang yang lebih panjang yaitu 9,7 μm. Inilah mengapa dalam sistem penginderaan jauh sistem termal, panjang gelombang yang digunakan berkisar pada panjang gelombang puncak yang dipancarkan oleh permukaan Bumi. Terlebih semua benda di alam yang memiliki suhu di atas suhu nol mutlak (0 derajat Kelvin atau minus 273oC), memancarkan radiasi

gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang yang luas yang bergantung pada suhu objek itu sendiri. Dengan demikian semua jenis benda di permukaan bumi memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik dengan energi yang dipancarkan berbeda-beda.

(44)

Gambar 2.4. Spektrum gelombang elektromagnetik: panjang gelombang, frekuensi, dan suhu objek pada panjang gelombang tertentu. Sumber: NASA (2007); gambar ini merupakan domain publik dengan lisensi Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0.

(45)

Gambar 2.5. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik, tipe absorbsi oleh gas dan air di atmosfer, dan jendela atmosfer untuk variasi panjang gelombang dalam sistem penginderaan jauh. Sumber: (Lillesand, et al., 2008).

Pada akhirnya, setelah energi ditransmisikan melalui atmosfer, energi yang dipantulkan atau yang dipancarkan oleh objek tersebut akan direkam oleh sensor penginderaan jauh. Energi atau unit radiasi elektromagnetik yang direkam sensor adalah W/(m2.sr.μm). Artinya transfer energi radiasi (Watt, W) yang

direkam oleh sensor, per meter persegi di permukaan bumi, untuk satu steradian (sudut 3 dimensi dari bumi ke sensor), per unit panjang gelombang yang diukur. Sehingga ini seringkali disebut dengan nilai radian atau radian spektral. Mengacu Reeves, et al. (1975), nilai radian spektral didefinisikan sebagai fluks radian per unit pada sudut tertentu yang di radiasikan oleh suatu objek ke arah tertentu. Nilai ini tidak sama dengan nilai reflektan. Nilai reflektan merupakan rasio energi yang dipantulkan dengan total energi yang mengenai suatu permukaan per unit area (Reeves, et al., 1975). Ekspresi lain yang mendekati maksud ini agar mudah di mengerti adalah albedo. Nilai reflektan diperoleh dengan melakukan konversi dari nilai radian menjadi nilai reflektan, dengan parameter yang berbeda tiap sensor.

(46)

Seringkali, sebelum peluncuran satelit, hubungan antara nilai radian dan nilai piksel telah ditentukan. Ini dinamakan kalibrasi sensor.

2.2.2

Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh?

Data penginderaan jauh saat ini telah banyak tersedia, baik dapat diunduh secara gratis ataupun berbayar. Citra dengan resolusi menengah seringkali telah dapat diunduh secara gratis. Sedangkan citra dengan resolusi tinggi, hampir seluruhnya harus dipesan dan berbayar. Jika ingin mendapatkan secara gratis untuk penelitian, ada baiknya untuk menghubungi LAPAN dan mengikuti prosedur untuk mendapatkannya. Akan tetapi, hal ini berbeda halnya dengan perolehan citra melalui foto udara, harus melalui banyak persiapan dan biaya yang tidak sedikit.

Beberapa direktori untuk memperoleh data penginderaan jauh disajikan pada tabel 2.2.

2.2.3

Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh

Citra satelit penginderaan jauh secara luas telah digunakan untuk memetakan mangrove dengan derajat kesuksesan yang berbeda (Li, et al., 2013; Simard, et al., 2006; Myint, et al., 2008; Green, et al., 1998). Seri satelit Landsat dan SPOT lebih banyak digunakan karena satelit ini telah lama mengorbit dan menyediakan data dengan resolusi temporal yang lebih lama. Jika untuk monitoring, maka koleksi waktu pengamatan menjadi penting. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Gao (1999) menunjukkan bahwa penggunaan Landsat dengan resolusi 30 meter, menghasilkan peta mangrove yang lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan citra SPOT yang masing-masing memiliki resolusi 20 dan 10 meter. Penggunaan satelit Landsat dikonfirmasi dapat memetakan mangrove lebih akurat dibandingkan dengan citra satelit SPOT yang memiliki resolusi 10 dan 20 meter (Gao, 1999).

(47)

Tabel 2.2. Penyedia produk penginderaan jauh dan direktori unduhan.

Nama Penyedia Keterangan

USGS earth explorer Earth Explorer menyediakan pencarian online untuk data penginderaan jauh pada arsip USGS, yang memungkinkan untuk mengunduh citra penginderaan jauh, foto udara, data ketinggian, produk tutupan lahan, dan peta digital. mengunduh citra pada glovis, kita perlu membuat akun terlebih dahulu (yang dapat digunakan juga di earth explorer).

Citra yang tersedia di glovis antara lain untuk citra satelit/sensor: foto udara wilayah Amerika Serikat, ASTER, EO-1 ALI dan Hyperion, seri satelit Landsat (MSS, TM, ETM, dan OLI), dan MODIS

url: http://glovis.usgs.gov/

USGS Data Pool url: https://lpdaac.usgs.gov/data_access/data_pool NASA Reverb Reverb adalah situs generasi terbaru yang disediakan

oleh NASA untuk mengunduh data yang dimiliki oleh

Earth Observation System (EOS) NASA. Beragam citra satelit dan sensor, serta produk kebumian dapat diunduh. url: http://reverb.echo.nasa.gov/reverb/

NASA Untuk mengunduh citra satelit AVIRIS, yakni

http://aviris.jpl.nasa.gov/alt_locator/

European Space Agency

Beberapa satelit yang dikelola oleh European Space Agency (ESA) dapat diunduh secara gratis setelah melakukan registrasi.

China–Brazil Earth Resources Satellite program

(CBERS) adalah salah satu satelit yang tidak banyak diketahui oleh khalayak. Satelit ini merupakan hasil kerjasama antara agensi antariksa Brazil dan Cina, yang memiliki resolusi spasial bervariasi dari 2,7 m

(48)

Opa (2010) melakukan hal yang sama dengan menganalisis perubahan luasan mangrove di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, menggunakan citra Landsat TM. Perubahan tersebut diekstrak menggunakan klasifikasi maximum likelihood dan NDVI. Parameter-parameter yang dikaji adalah konversi lahan terutama untuk pemukiman dan tambak. Terdapat hubungan antara berkurangnya areal hutan mangrove dan peningkatan kawasan pemukiman dan tambak. Sedangkan Lee & Yeh (2009) menggunakan citra SPOT, Landsat, dan Quickbird untuk monitoring distribusi spasial dari hutan mangrove. Pada penelitian yang dilakukan di estuari sungai Danshui, Taipei, Taiwan, ditemukan usaha konservasi ekosistem mangrove yang dilakukan menunjukkan tren yang positif. Artinya, setelah adanya usaha restorasi hutan mangrove, terjadi peningkatan luasan mangrove pada area tersebut.

Giri, et al. (2014) melakukan klasifikasi zonasi ekologi hutan mangrove di India menggunakan metode klasifikasi maximum likelihood. Hasilnya, Giri, et al. (2014) dengan data citra Landsat tahun 1999 dan 2010, mampu memetakan enam kelas spesies mangrove, yakni Avicennia sp., Excoecaria sp., Phoenix sp.,

Bruguiera sp., Ceriops sp., dan kelas campuran. Akurasi pemetaan masing-masing tahun 1999 dan 2010 adalah 80% dan 85,71%. Sedangkan Sulong, et al. (2002) menggunakan Landsat TM untuk memetakan mangrove di Malaysia. Kelas zonasi ekologi spesies mangrove yang dihasilkan mencapai 7 kelas klasifikasi dengan akurasi 87,8%.

Penggunaan satelit SPOT untuk analisis perubahan mangrove dilakukan juga oleh Conchedda, et al. (2008). Menggunakan klasifikasi berbasis objek, menggunakan citra satelit SPOT XS tahun 1986 – 2006 untuk daerah Sinegal. Klasifikasi yang dihasilkan memberikan akurasi hingga 86%, dan terjadi peningkatan luasan mangrove di area Low Casamance, Sinegal, yang diakibatkan musim hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di sini pengaruh kegiatan manusia sangat terbatas.

Untuk resolusi yang rendah, Rahman, et al. (2013) menggunakan citra MODIS dengan resolusi 250 meter untuk memetakan mangrove di Delta Mahakam dari tahun 2000 – 2010. Hasilnya didapatkan luasan sebesar 21.000 ± 152 hektare mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang selama 11 tahun pengamatan tersebut. Di sini, faktor perubahan ekosistem mangrove dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi menyebabkan deforestasi hutan mangrove yang mencapai 75% dari luas awal.

(49)

resolusi spasial tinggi menghasilkan klasifikasi mangrove hingga tingkat spesies yang cukup baik. Selain itu, kombinasi satelit multispektral dan penggunaan radar juga menjadi salah satu metode dalam pemetaan ekosistem mangrove. Penggunaan citra Synthetic Aperture Radar (SAR) dari satelit JERS-1 SAR and ALOS PALSAR memberikan citra yang bebas dari awan (Nascimento, et al., 2013). Integrasi memberikan hasil akurasi hingga 96%, dan tren mangrove tidak berkurang, tapi meningkat di muara sungai Amazon dari 6.705 km2 menjadi

7.423.60 km2. Nascimento, et al. (2013) merekomendasikan penggunaan data

radar tersebut untuk pemetaan distribusi mangrove, mengingat akurasi yang dihasilkan cukup tinggi.

Dari itu semua, terdapat peluang aplikasi dengan diluncurkannya satelit dan sensor-sensor penginderaan jauh yang baru. Terutama untuk aplikasi menggunakan sumber data citra resolusi tinggi maupun citra hiperspektral.

2.2.4

Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh

yang Digunakan

Jika berbicara tentang data penginderaan jauh, terdapat satu hal yang melekat, yakni hubungan antara resolusi spasial dan skala yang dihasilkan. Resolusi spasial pada citra penginderaan jauh menentukan skala pemetaan yang dihasilkan, atau sebaliknya. Jika kita menginginkan skala tertentu, maka membutuhkan resolusi spasial yang sesuai juga. Untuk citra penginderaan jauh resolusi tinggi tentu akan menghasilkan informasi tentang mangrove yang lebih detail, dan ini yang dibutuhkan. Akan tetapi, terkait masalah pembiayaan citra tersebut yang relatif mahal, menjadi keterbatasan dalam penelitiannya. Pada akhirnya pemetaan yang akurat, seberapapun skalanya; adalah hal esensial yang harus diperhatikan dalam perolehan informasi mangrove dan untuk pengelolaan yang tepat. FAO (1994) menjabarkan bahwa pada skala 1:25.000, mampu memisahkan spesies Avicennia dan Rhizophora dengan baik. Akan tetapi, pada komonitas mangrove yang tercampur atau lebih satu spesies lebih susah untuk dikenali pada citra.

(50)

Tabel 2.3. Kedetilan informasi klasifikasi mangrove dan sumber data penginderaan jauh yang relevan.

Skala Sumber data PJ Resolusi spasial

Sumber: Modifikasi SNI survei dan pemetaan mangrove.

Pada citra penginderaan jauh resolusi rendah atau dengan skala 1:250.000, tidak memungkinkan klasifikasi mangrove yang detil. Seringkali hanya untuk membedakan mana yang mangrove dan non-mangrove. Dalam hal ini yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan akurasi pemetaan, karena pada satu piksel bisa jadi memuat informasi campuran antara mangrove dan bukan yang dapat membuat kesalahan informasi. Sama halnya jika skala yang semakin besar, kedetilan informasi mengharuskan pula validasi yang lebih detail untuk memastikan informasi yang diekstrak melalui penginderaan jauh adalah sesuai dengan kondisi permukaan Bumi.

(51)

Tabel 2.4. Jenis informasi yang diperlukan pada level skala aplikasi yang berbeda.

Level Aplikasi Informasi yang dipetakan Skala

Level nasional  Distribusi mangrove  Tipe tutupan lahan secara

2.2.5

Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh

Untuk mengetahui karakteristik mangrove di citra penginderaan jauh, maka harus diketahui karakteristik objek mangrove itu sendiri. Mangrove yang hidup di kawasan pesisir, komposisi objek yang terekam yakni vegetasi, tanah, dan air (Kuenzer, et al., 2011). Seringkali objek yang terekam oleh sensor adalah objek campuran akibat pengaruh dari pasang surut dan musim. Akan tetapi, walaupun terdapat campuran antara mangrove dan vegetasi lainnya, teknik penginderaan jauh mampu membedakan mangrove dan vegetasi lainnya tersebut (Lee & Yeh, 2009). Sehingga mengetahui karakteristik dasar tersebut, akan sangat membantu dalam identifikasi mangrove dari penginderaan jauh.

Salah satu komponen lain yang harus diketahui adalah tentang spesies mangrove itu sendiri, mengingat tiap spesies memiliki perbedaan karakteristik. Dengan keanekaragaman spesies tertinggi di kawasan Asia Tenggara, akan membuat kesulitan dalam pembedaan masing-masing spesies tersebut. Untuk spesies mangrove yang dominan di Indonesia secara umum dan di area Asia Pasifik, terdiri atas spesies pada genus Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan

(52)

2.2.5.1 Karakteristik Spektral Mangrove pada Penginderaan Jauh Optik

Pada penginderaan jauh optik, sistem yang digunakan adalah sistem pasif. Yakni menggunakan pantulan sinar matahari yang kemudian di rekam oleh sensor. Dengan demikian, faktor spektral yang berpengaruh pada mangrove adalah kanopi dan daun, karena objek tersebut yang nampak di permukaan. Secara rinci, spektral yang terekam oleh sensor dipengaruhi oleh kanopi yang homogen atau heterogen (campuran terdiri banyak jenis kanopi dan spesies). Hal tersebut tergantung pada komposisi spesies, pola distribusinya, pola pembentukan dan pertumbuhannya, kerapatan, dan tinggi pohon. Beberapa peneliti juga menyebutkan walaupun kanopi berpengaruh terhadap pola spektral yang terekam, tetapi kondisi bawah permukaan mangrove memiliki hubungan juga terhadap karakteristik spektral, seperti Leaf Area Index (LAI), pantulan dari permukaan bawah kanopi (tanah tempat hidup mangrove), dan inklinasi daun (Diaz & Balckburn, 2003).

Untuk karakteristik spektral pada spesies tunggal, ditentukan oleh umur tanaman, kemampuan beradaptasi pada kondisi pasang maupun surut, dan karakteristik fisik dan fenologi. Hal yang menentukan karakteristik tersebut adalah periode iklim yang dapat mengubah dan mempengaruhi respon terhadap penuaan dan pengguguran daun. Jadi dapat dikatakan, tiap musim, ketika daun terbentuk, daun menua dan gugur, akan mempengaruhi respon spektral yang diberikan.

Gambar

Tabel 1.1. Negara dengan jumlah mangrove terbesar.
Gambar 1.1. Distribusi mangrove diseluruh dunia, direpresentasikan dengan garis tebal
Gambar 1.2. Pohon permukaan. Daun, bunga, buah, dan pohon dari Avicennia yang dicirikan dengan akar nafas yang muncul ke Avicennia marina
Gambar 1.7. Perbedaan buah dari spesies Bruguiera yang berbeda: 1: B. sexangulaA. batang dan buah dari Bruguiera, dan B
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan jika masih banyak keluarga yang belum paham betul informasi HIV/AIDS sehingga perlu diadakan pendekatan dengan

2017.. SOSIAL MEDIA SEBAGAI STRATEGI PROMOSI UNTUK MENARIK MINAT PENGUNJUNG DI BADAN PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN KABUPATEN MADIUN. Tugas Akhir: Diploma III

Panjang akar dan kandungan klorofil yang ditunjukan oleh eceng gondok dipengaruhi oleh jenis perairan terutama jenis limbah yang mengandung logam,

Tujuh penghargaan bergengsi dari 8 kategori kompetisi Contact Center World se-Asia Pacific di Singapura bagi BNI Contact Center Contact, 2-6 Juni 2014, 4 diantarnya

Pasar produk atau pasar faktual dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Segala puji syukur kehadhirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Penerapan

kepala rekam medis dan perekam medis yang bekerja di ruang Unit Rekam Medis saat ini sudah merasa tidak nyaman dengan ruang kerja saat ini dikarenakan ruang kerja dan

Alhamdulillahhirobbil’alamin selalu penulis panjatkan atas nikmat dan berkah yang senantiasa allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang