OTONOMI DAERAH
B. Implementasi Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Administrasi Pemerintahan
Setelah penjelasan yang tertuang di atas terkait kewenangan pemerintah daerah pasca Undang-undang Cipta Kerja, pertanyaan yang mungkin timbul tentang otonomi daerah dalam undang-undang cipta kerja adalah apakah undang-undang cipta kerja mengimplementasikan semangat otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18?
Perlu juga diingat bahwa masih ada pasal 18 dan pasal 18A UUD NRI 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah, sehingga undang-undang cipta kerja secara substantif mengubah pola pemerintahan daerah kembali ke sentralisasi. Sekaligus bertentangan dengan dengan pasal 18 UUD NRI 1945. Padahal resentralisasi berpotensi untuk melawan semangat otonomi daerah pasca reformasi, serta menciptakan berbagai kelompok kepentingan di sekitar penegak kebijakan, sehingga meningkatkan upaya banyaknya oligarki dengan “mengamankan” suatu daerah untuk memperluas jangkauan kekuasaannya. Di satu sisi, penarikan kewenangan pemerintah daerah ke pusat menunjukan keengganan pemerintah pusat untuk memberdayakan pemerintah daerah dan memperbaiki kerangka hukum dalam rangka menciptakan otonomi daerah yang efektif.8
7 Putra Pradana Disantara and Dkk, ‘Skema Desentralisasi Asimetris Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja’, Law Review, XX, No 2.November (2021), 20-21
8 Putra Pradana Disantara and Dkk, ‘Skema Desentralisasi Asimetris Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja’, Law Review, XX, No 2.November (2021), 23.
67
Dalam sejarah, sistem pemerintahan kita pernah menggunakan pola sentralistik yang pada akhirnya menimbulkan banyak ketidakpuasaan di daerah sehingga mucul gagasan desentralisasi sebagai bentuk solusi atas sistem sentralisasi yang di nilai gagal memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia terutama di daerah. Kendati demikian Undang-undang Cipta Kerja memang mengakibatkan peraturan yang tumpang tindih menjadi lebih efisien karena fungsinya yang mencabut peraturan yang di nilai menghambat birokrasi. Namun, desentralisasi sendiri merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara kesatuan yang mengadopsi semangat demokrasi. Maka sudah barang tentu harus ada yang namanya pembagian kekuasaan di dalam pemerintahan, dalam hal ini daerah otonom yang dalam pelaksanaannya tetap menghargai kewenangan pemerintah pusat sebagai entitas tertinggi dalam sebuah negara.
Tujuan yang ingin dicapai pemerintah dengan menetapkan Undang-undang Cipta Kerja dalam upaya percepatan laju investasi ternyata menambah polemik baru, karena banyak elemen dari sektor lain juga ikut terkena imbas. Belum lagi dalam proses pembentukannya Undang-undang Cipta Kerja mendapat sorotan masyarakat dari berbagai kalangan karena di nilai tidak transparan dan cenderung terburu-buru. Maka dari itu rasanya sangat maklum apabila masyarakat memperlihatkan banyak penolakan karena dalam proses pembentukannya saja terkesan eksklusif dan minim sosialisasi kepada masyarakat. Untuk kedepannya alangkah baiknya pembentuk undang-undang lebih memperhatikan lagi aspek parsitipatif dengan berbagai kalangan atau stakeholder agar peraturan perundang-undangan bisa betul-betul mewadahi aspirasi masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi membacakan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan sebagian permohonan uji formil bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD
1945 dan Inkonstitutional bersyarat.9 Sesuai dengan bunyi amar putusan point ke tiga bahwasanya undang-undang a qou tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; dan tetap masih berlaku sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.10
Apabila setelah 2 tahun terhitung dari setelah putusan dibacakan tidak ada perbaikan maka undang-undang Cipta Kerja akan menjadi Inkonstitutional permanen dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Alasan MK memberikan tenggang waktu selama 2 tahun adalah untuk memberikan waktu perbaikan demi menghindari ketidakpastian hukum dan efek lebih buruk yang ditimbulkan. Namun akhirnya MK atas dasar keputusannya mendapat kritik dari masyarakat karena dalam hal ini MK di nilai tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum tetapi aspek politik juga serta menimbulkan banyak kebingungan di tengah masyarakat akibat pernyataan inkonstitutional bersyarat ini.11
9 Nano Tresna, ‘MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki Dalam Jangka Waktu Dua Tahun’, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2021, p. 1
<mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816#>. Di akses pada tanggal 27 Desember 2021, pukul 14:14
10 Putusan Mahkamah Konstitusi, 2021, pp. 1–327.
11 Ardito Ramadhan, ‘MK Nyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Pakar:
Kenapa Tidak Dibatalkan?’, Kompas.Com, 2021
<https://nasional.kompas.com/read/2021/11/25/18415541/mk-nyatakan-uu-cipta-kerja-inkonstitusional-bersyarat-pakar-kenapa-tidak>. Di akses pada 28 Des 21, 13.00
68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan secara mendalam, terdapat beberapa hal yang dapat penulis simpulkan:
1. Pasca pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja, Pemerintah Daerah diberikan kekuasaan oleh Pemerintah Pusat untuk tidak terlibat banyak dalam proses perizinan berusaha dan hanya sebagai pelaksana dari kebijakan pemerintah pusat yang telah ditetapkan.
2. Secara implementasi Undang-undang Cipta Kerja telah mengakomodir kemudahan dalam memberikan perizinan untuk membangun usaha, namun terdapat kelemahan yang terjadi pada pelaksanaan Undang-undang Cipta kerja, dimana secara administrasi pemerintah pusat tidak mengimplementasikan asas konkuren yang seharusnya disesuaikan terhadap dampak yang dihasilkan dari penerbitan izin usaha tersebut.
B. Saran
1. Ditujukan kepada Menteri Hukum dan Ham melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan agar nantinya peraturan yang sudah ada dalam Otonomi daerah itu tidak perlu diatur lagi secara sentralisasi, supaya apa yang telah jadi kewenangan daerah tetap jadi kewenangan daerah sehingga tidak ada pertentangan kembali terkait peraturan perundang-undangan yang justeru mengancam semangat otonomi daerah.
2. Kepada pembuat Undang-undang, pentingnya suatu regulasi terhadap apa yang telah menjadi harmonisasi yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Ham agar peraturan mengenai kewenangan pusat dengan daerah otonom menjadi harmonis.
69
DAFTAR PUSTAKA