BAB II LANDASAN TEORI
F. Implementasi Pendidikan Karakter
Implementasi atau penerapan merupakan suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Implementasi pendidikan karakter merupakan kegiatan inti dari pendidikan karakter.
35
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010) (dalam Zubaedi, 2011: 193), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (inntelectual development), olahraga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) yang secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut:
OLAH PIKIR (Cerdas)
OLAH HATI (Jujur, bertanggung jawab) OLAHRAGA (KINESTETIK)
(Bersih, sehat, menarik)
OLAH RASA dan KARSA (Peduli dan Kreatif)
Umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan turut membentuk karakter peserta didik. Penciptaan lingkungan
36
yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode sebagai berikut: (1) penugasan, (2) pembiasaan, (3) pelatihan, (4) pembelajaran, (5) pengarahan, dan (6) keteladanan (Mulyasa, 2012: 9).
Menurut Daryanto (2013: 75), implementasi pendidikan karakter dalam KTSP adalah dengan:
1. Kegiatan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan belajar aktif seperti pendekatan belajar lontekstual, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis kerja, ICARE (Intoduction, Connection, Application, Reflection, Extencion) dapat digunakan untuk pendidikan karakter.
2. Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajaR
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dapat dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:
a. Kegiatan rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upaca besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas,sholat jamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.
b. Kegiatan spontan, yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga. Misalnya, mengumpulkan sumbangan
37
ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
c. Keteladanan, merupakan perilaku sikap guru, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya, nilai disiplin (kehadiran guru yang lebih awal dibanding peserta didik).
d. Pengkondisian, yaitu penciptaan kondisi yang mendukung terlaksananya pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam kelas.
e. Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler. Terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter memerlukan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dan revitalisasi kegiatan yang sudah dilakukan di sekolah. f. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Dalam kegiatan ini
sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat. Sekolah dapat membuat angket berkenaan nilai yang dikembangkan di sekolah, dengan responden keluarga dan lingkungan terdekat anak/siswa.
38
Selain hal di atas, implementasi pendidikan karakter juga dapat mengefektifkan alokasi waktu yang tersedia dalam rangka menerapkan penanaman nilai budaya dengan menggunakan metode pembelajaran aktif. Hal ini dapat dilakukan sejak guru mengawali pembelajaran, selama proses berlangsung, pemberian tugas-tugas mandiri dan terstruktur baik yang dilakukan secara individual maupun berkelompok, serta penilaian proses dan hasil belajar. Adapun strategi penambahan waktu pembelajaran yang dapat dilakukan, misalnya:
1. Sebelum pembelajaran dimulai atau setiap hari seluruh siswa diminta untuk membaca kitab suci, melakukan refleksi (masa hening) selama kurang lebih 5 menit.
2. Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran di mulai dapat dilakukan berbagai kegiatan paling lama 30 menit, misalnya berceramah dan kegiatan bersih lingkungan di hari Jum‟at/ Sabtu.
3. Pelaksanaan kegiatan bersama di siang hari selama 30-60 menit.
4. Kegiatan-kegiatan lain di luar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran selesai (Daryanto, 2013: 75-76).
Damayanti (2014: 57) menyebutkan prinsip-prinsip yang digunakan dalam implementasi pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
1. Berkelanjutan, berkelanjutan adalah proses implementasi nilai-nilai karakter yang merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari satuan pendidikan.
39
2. Integrasi, integrasi atau penyatuan dalam pendidikan karakter merupakan langkah awal untul implementasi pendidikan karakter kepada peserta didik. Pengintegrasian nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan belajar mengajar, setiap kegiatan ekstrakurikuler dan budaya sekolah. 3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan. Artinya, materi nilai karakter
bukanlah bahan ajar biasa, atau sering disebut dengan hidden curriculum.
4. Proses pendidikan karakter dilakukan dengan penekanan agar peserta didik semua aktif dan menyenangkan.
Lickona (dalam Muslich, 2011: 129) menemukan sebelas prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif. Kesebelas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik.
2. Definisikan „karakter‟ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter.
4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian. 5. Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
6. Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil.
40
8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa. 9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan
jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter.
10.Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11.Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidikan karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.