URAIAN TEORITIS
2.4 Corporate Social Responsibility (CSR)
2.4.2 Implementasi Program CSR pada Perusahaan
Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha sebagai akibat liberalisasi ekonomi, berbagai kalangan swasta, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan berupaya merumuskan dan mempromosikan tanggung jawab sosial sektor usaha dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan.
Namun saat ini–saat perubahan sedang melanda dunia–kalangan usaha juga tengah dihimpit oleh berbagai tekanan, mulai dari kepentingan untuk meningkatkan daya saing, tuntutan untuk menerapkan corporate governance, hingga masalah kepentingan stakeholder yang makin meningkat.
Oleh karena itu, dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing.
Upaya tersebut secara umum dapat disebut sebagai Corporate Social Responsibility atau Corporate Citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.
Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program Corporate Social Responsibility (CSR) karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (cost center). Corporate Social Responsibility (CSR) memang tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek.
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) no. 40 tahun 2007. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek
lingkungan (Triple bottom line). Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Siregar, 2007: 285).
Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya. Tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk semua perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau masih dalam kondisi merugi.
Namun Corporate Social Responsibility (CSR) akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program-program Corporate Social Responsibility (CSR) diharapkan keberlanjutan perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, program-program Corpoarate Social Responsibility (CSR) lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
Dengan masuknya program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk mengimplementasi kan rencana kegiatan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dirancangnya.
Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap investasi yang dikeluarkan dari program Corporate Social Responsibility menjadi lebih
jelas dan tegas, sehingga pada akhirnya keberlanjutan yang diharapkan akan dapat terimplementasi berdasarkan harapan semua stakeholder.
Saat ini telah banyak perusahaan di Indonesia, khususnya perusahaan besar yang telah melakukan berbagai bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR), apakah itu dalam bentuk community development, charity, atau kegiatan-kegiatan philanthropy. Timbul pertanyaan apakah yang menjadi perbandingan/perbedaan antara program community development, philanthropy, dan Corporate Social Responsibility (CSR) dan mana yang dapat menunjang berkelanjutan (sustainable)?
Tidak mudah untuk memberikan jawaban yang tegas terhadap pertanyaan di atas, namun penulis beranggapan bahwa “Corporate Social Responsibility (CSR) is the ultimate level towards sustainability of development”. Umumnya kegiatan-kegiatan community development, charity maupun philanthropy yang saat ini mulai berkembang di Indonesia masih merupakan kegiatan yang bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya.
Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (win win situation). Konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun
mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR), diperlukan komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap program-program Corporate Social Responsibility (CSR). Program Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa datang. Perusahaaan perlu bertanggung jawab bahwa di masa mendatang tetap ada manusia di muka bumi ini, sehingga dunia tetap harus menjadi manusiawi, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan kini dan di hari esok.
2.6 Humanistik
Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoloanalisis Neo-Freudian (Sebenarnya Anti Frudean) tetapi lebih banyak lagi mengambil dari fenomenologi dan eksistensilisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsikan dan diinterrpretasikan secara subjektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “alam pengalaman orang berbeda dari alam pengalaman orang lain” (Brouwer, 1983: 14).
Menurut Alfred Schutz, tokoh sosiologi fenomenologis, penggalaman subjektif ini dikomunikasikan oleh aktor sosial dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri dengan orang lain, atau “I-thou Relationship”. Istilah yang menunjukan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda;
subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek. Manusia, dalam pandangan ini hanya tumbuh dengan baik dalam “I-thou Relationship”, dan bukan “I-it Relationship”. Disinilah faktor orang lain menjadi penting; bagaimana reaksi mereka membentuk bukan saja konsep diri kita, tetapi juga pemuas- apa yang disebut oleh Abraham Maslow – “growth needs”.
Abraham Maslow (1970) mengemukakan Teori Hierarki Keperluan Maslow dengan andaian bahawa manusia tidak pernah berasa puas dengan apa yang telah dicapai. Mengikut Maslow kehendak manusia terbagi lima mengikut keutamaan yaitu keperluan asas fisiologi, keselamatan, penghargaan dan kasih sayang, penghormatan kendiri seterusnya keperluan sempurna kendiri. Rogers (1956) pula mengatakan bahawa manusia sentiasa berusaha memahami diri sendiri, mempengaruhi dan mengawal perlakuan dirinya dan orang lain. Rogers berpendapat bahawa manusia lahir dengan kecenderungan untuk kesempurnaan yang akan memandunya menjadi insan yang matang dan sehat. Jelas di sini bahawa pendekatan ini lebih memberi tumpuan kepada kemahuan seseorang dan menekankan keunikan manusia serta kebebasan mereka untuk memilih pengalaman hidup. Contohnya, Karim murid tahun enam yang tidak mendapat kasih sayang dari ibu bapanya dan sentiasa dinafikan haknya dari adik beradiknya yang lain telah menyebabkan ia suka menyendiri dan tidak yakin pada dirinya sendiri sehingga menjelaskan pelajarannya.
Perhatian pada makna kehidupan adalah juga hal yang membedakan psikologi humanistik dari mazab yang lain. Manusia bukan saja pelakon panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencarian makna.