URAIAN TEORITIS
2.1 Paradigma Konstruktivis
2.1.1. Sejarah Paradigma Konstruktivis
Paradigma konstruktivis ialah paradigma di mana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif (nisbi). Pertama, dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma konstruktivis ditinjau dari konteks epistemologis, bahwa pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini, paradigma konstruktivis bersifat transaksional atau subjektif. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Dalam ilmu-ilmu sosial, paradigma konstruktivis merupakan salah satu dari paradigma yang ada. Dua paradigma lainnya adalah klasik dan kritis. Paradigma konsruktivis berada di dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) memiliki tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermenetik.
Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman, mereka banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi tentang sosial atas realitas. (Eriyanto 2004:13) menuliskan bahwa dalam konsep kajian
komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial struktur sosial yang eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Institusional, norma, sruktur dan lembaga sosial menetukan individu manusia. Sebaliknya adalah teori definisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai identitas yang otonom. Melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara keduanya.
Paradigma konstruktivis juga dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif sruktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikontrusikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
2.1.2. Konstruktivis
Konsep mengenai konstruktivis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman, mereka banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi tentang sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secra terus-menerus. Masyarakat lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi
kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang yang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya.
Proses dialektis tersebut mempunyai 3 tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat diman ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang terlepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik secara mental maupun fisik dari eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Hasil dari eksternalisasi-kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non material dalam bentuk bahasa. Baik alat jadi maupunbahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda maupun bahasa sebagai produk ekternalisasi tersebut menjadi realitas tang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil produk dari kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan realitas
subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap manusia.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala relitas diluar kesadrannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksikan. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas dasar suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2004: 13-15).
Konstruktivis merupakan sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia relitas yang ada, karena terjadi relasi sosial tantara individu dengan lingkungannya atau orang disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Dalam pendekatan konstruktivis, landasan berpikir yang perlu dipegang oleh peneliti adalah bahwa realitas sosial diciptakan dan dilestarikan melalui pemahaman subjektif dan intersubjektif dari para pelaku sosial. Para pelaku sosial ini dipandang aktif sebagai interpreter-interpreter yang dapat menginterpretasikan aktivitas-aktivitas simbolik mereka. Aktivitas-aktivitas
simbolik yang dimaksud adalah bahasa, misalnya makna-makna yang dikejar adalah makna subjektif dan makna konsensus.
Makna subjektif adalah makna yang mengacu pada interpretasi individu, sedangkan makna konsensus adalah makna yang diinterpretasikan secara kolektif. Sementara makna konsensus dikonstrusikan melalui proses-proses interaksi sosial.
Kedua makna tersebut pada hakekatnya merupakan makna-makna yang menunjukan realitas sosial. Asumsinya adalah bahwa realitas secara sosial dikontruksikan melalui kata, simbol, dan perilaku diantara anggotanya. Kata, simbol dan perilaku ini akan melahirkan pemahaman akan rutinitas sehari-hari dalam praktek-praktek kehidupan subjek penelitian (Rejeki, 2004: 110-111).
2.2 Fenomenologi
Secara etimologis, fenomenologi sebenarnya berasal dari kata Yunani, yakni phainimeon yang berarti penampakan, dan logos yang berarti rasio atau kata-kata, atau penalaran rasional. Fenomenologi dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurnianya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik sebagai suatu hasil rekaan, maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan.
Selajutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hedaknya memusatkan
perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya meniggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam keadaan kesadaran . barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena. (Husserl dalam Basuki, 2006:71). Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus dapat menyisikan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan institusi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Basuki, 2006:72).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah langsung terjangkau sebagaimana adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya mengarah kepada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensional ini kesdaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus secara cermat “menempatkan tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche (Husserl dalam Basuki, 2006:75). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetic yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transcendental
yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transedental, sedangkan kesadran terhadap pengalaman empirik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transedental.
Fenomenologi Transedental yang di formulasikan oleh Husserl pada permulaan abad 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebgai manuia. Tujuanya ialah kembali ke barang/ bendanya sendiri sebagimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataan abstrak tentang kealamian dunia secara umum.
Fenomenologi menekankan fenomena yang tampi dalam kesadran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita. Fenomenologi mengindetifikasikan strategi-strategi yang dapat memfokuskan diri dimana letak kemurnian fenomenolog dan merefreksikan apa yang kita bawa serta pada alktivitas presepsi dengan merasa, berpikir, mengigat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi.