• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 GAMBARAN EMPIRIS DAN ANALISIS PERKEMBANGAN

2. Implementasi Proses Pemekaran Daerah

akan mengelar rapat paripurna untuk mengembalikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua.

Proses pemekaran yang dimaksud disini adalah tahapan-tahapan yang dilampui oleh suatu daerah untuk menjadi DOB. Disamping itu, konflik yang timbul sepanjang berlangsungnya proses pemekaran tersebut dan bagaimana upaya yang ditempuh untuk mengatasi konflik tersebut juga turut dibahas pada bagian ini.

2.

Implementasi Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP Nomor 129 Tahun 2000

Pada umumnya, prosedur pemekaran yang terjadi mengacu pada PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Khususnya mengacu pada Bab V yang mengatur tentang Prosedur Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Pada Pasal 16 Bab V PP Nomor 129 Tahun 2000, disebutkan bahwa prosedur pemekaran daerah sama dengan prosedur pembentukan daerah.

Meskipun demikian, berdasarkan karakteristik daerah dan dinamika yang terjadi di lapangan yang sifatnya kasuistik, maka prosedur pemekaran daerah antara daerah induk yang satu dengan yang lainnya tidak sama persis walaupun secara garis besarnya kurang lebih sama. Berikut dipaparkan 2 contoh prosedur pemekaran daerah. Yang pertama adalah proses pemekaran yang terjadi di Kabupaten Bangka yang kemudian melahirkan DOB yakni Kabupaten Bangka Tengah. Kedua, proses pemekaran yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang yang melahirkan DOB Kabupaten Serdang Bedagai.

Kabupaten Bangka Tengah dibentuk dengan UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Nara sumber dari Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah (Bupati Bangka Tengah) mengatakan, bahwa:

”Munculnya ide untuk pemekaran daerah di Kabupaten Bangka yaitu dimulai pada Seminar Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka pada bulan Desember 1998 dan Lokakarya Repelita VII Kabupaten Bangka pada bulan Februari 1999 yang disampaikan oleh Tokoh-Tokoh Masyarakat, Orpol, Ormas dan Alim Ulama.”

Untuk selanjutnya, prosedur pemekaran dari Kabupaten Bangka yang kemudian melahirkan DOB yakni Kabupaten Bangka Tengah ini akan dipilah baik yang bersifat politis maupun yang bersifat administratif sebagaimana terdapat pada gambar di bawah ini.

Gambar. 1

Prosedur Pemekaran Kabupaten Bangka POLITIS:

 Aspirasi Masyarakat  Memorandum DPRD  Pembentukan Presedium

Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.

 Pertemuan-pertemuan antara DPR RI dengan Presedium dalam rangka penyampaian aspirasi dan untuk mendapatkan dukungan dari DPR RI.

ADMINISTRASI:

 Penyiapan data amal oleh

BAPPEDA/Bagian Pemerintah Kabupaten.  Penyusunan studi kelayakan oleh

Perguruan Tinggi Negeri/Balitbang DDN.  Pengajuan berkas usulan Pemekaran dari

Kabupaten Induk ke Gubernur.

 Penyampaian berkas usulan pemekaran dari gubernur ke DDN dan tembusan ke DPR RI.

 Peninjauan kelayakan pemekaran oleh DDN, Badan Pertimbangan Otonomi Daerah dan DPR RI.

Pembahasan RUU tentang Pemekaran Wilayah oleh DPR-RI bersama-sama dengan DDN serta LO Kabupaten dan LO Provinsi

a. Usul inisiatif DPR RI b. Usul dari DDN

Secara ringkas, tahapan yang dilalui dalam prosedur pemekaran sebagaimana terdapat dalam gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Aspirasi masyarakat;  Memorandum DPRD;

 Penyajian data awal oleh BAPEDDA/Bagian Pemerintahan;

 Pembentukan Presidium tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi;  Pembuatan studi kelayakan oleh Perguruan Tinggi

Negeri/BALITBANG DDN;

 Pertemuan-pertemuan antara DPR-RI dengan Presidium untuk mendapat dukungan;

 Penyampaian berkas usulan pemekaran dari Kabupaten Induk ke Gubernur;

 Penyampaian berkas usulan pemekaran dari Gubernur ke DDN;  Penilaian kelayakan oleh DPR-RI bersama-sama dengan DDN dan LO

dari Kabupaten Induk serta LO dari Provinsi: a. Bisa usul inisiatif dari DPR RI

b. Bisa usul dari DDN

 Pengesahan UU Pemekaran.

Sementara itu, pemekaran yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, prosedur yang ditempuh hampir sama dengan yang dilakukan oleh Kabupaten Bangka. Namun demikian, yang berikut ini akan dipaparkan adalah tahapan yang terjadi ketika usulan pemekaran itu telah masuk di DPRD Provinsi Sumatera Utara sehubungan dengan diajukannya usulan pemekaran Kabupaten Deli Serdang yang kemudian melahirkan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai DOBnya. Tahapan dalam rapat paripurna ini adalah sebagaimana yang diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Sumatera Utara, sebagai berikut:

Gambar. 2

Tahapan Dalam Rapat Paripurna Khusus DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam rangka Pembahasan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang

Sumber: diolah dari wawancara

Secara keseluruhan, proses pemekaran daerah tersebut bisa berasal dari inisiatif eksekutif maupun legislatif. Berikut adalah tabel yang menunjukkan proses inisiasi pemekaran daerah:

Tabel. 6

Proses Inisiasi Pemekaran Daerah Otonomi Baru

No. Daerah Otonomi Baru Proses Pemekaran

1.

Provinsi Sumatera Utara Kab. Deli Serdang Kab. Serdang Bedagai

DI DOB 2. Provinsi Kepulauan Riau Kota Pangkal Pinang

Kota Batam

DOB

DOB (melalui Depdagri) DOB (melalui Depdagri)

Pembahasan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang

Penjelasan Gub. Sumut tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang

Tanggapan/Pendapat Fraksi-fraksi

Pembentukan Tim Perumus

Pembacaan Konsep Keputusan Dewan tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang

Pengesahan Konsep Kep. Dewan tentang pemekaran Kab. Deli Serdang

Penandatanganan Kep. Dewan tentang Pemekaran Kab. Deli Serdang

No. Daerah Otonomi Baru Proses Pemekaran

3. Provinsi Riau Kab. Bengkalis Kab. Siak

DI DI

DOB (melalui Depdagri dan DPR) 4. Prov. Kep. Bangka Belitung Kab. Bangka Tengah

Kab. Bangka

DOB (melalui Hak Inisiatif DPR) DOB (melalui DDN)

DI 5. Provisi Lampung Kab. Lampung Selatan

Kab. Tanggamus

DI DOB 6. Provinsi Banten Kab. Serang

Kota Cilegon

DOB DI

DOB (melalui DDN)

7.

Provinsi Jawa Barat Kab. Ciamis Kota Banjar DI DI DOB (melalui DDN) 8.

Provinsi Kalimantan Timur Kab. Kutai Kertanegara

Kab Kutai Timur DI DOB

9.

Provinsi Sulawesi Utara Kab. Minahasa

Kab. Minahasa Utara

DI DI DOB 10. Provinsi Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Boalemo DOB DI DOB 11.

Provinsi Sulawesi Tenggara Kab. Konawe

Kab. Konawe Selatan

DI

DOB (melalui DDN) 12.

Provinsi Maluku Utara Kota Ternate

Kota Tidore Kepulauan

DI DOB DOB 13. Provinsi Papua Kab. Jayapura Kab. Keerom DI DI DOB (melalui DDN)

No. Daerah Otonomi Baru Proses Pemekaran

14. Provinsi Irian Jaya Barat Kab. Sorong Kota Sorong

DOB DI

DOB (melalui DDN)

Sumber: Ditjen Otda-Depdagri, 2007

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pemekaran daerah lebih banyak dilakukan melalui Departemen Dalam Negeri. Tentu hal ini berbeda dengan sinyalemen bahwa pemekaran lebih banyak diusulkan melalui hak inisatif DPR, padahal menurut DPOD usul pemekaran lebih banyak merupakan hak inisiatif DPR.

B.

IMPLIKASI PEMEKARAN DAERAH TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA

1.

Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Daerah

a.

Pembentukan Kelembagaan Baru

Sebagaimana dipaparkan pada bagian terdahulu, ternyata kebijakan pemekaran daerah telah menyebabkan berbagai implikasi terhadap penyelengaraan pemerintahan, baik di dalam tubuh pemerintahan daerah (daerah induk dan daerah pemekaran) maupun pemerintahan pusat (eksekutif dan lembaga tinggi negara lainnya, khususnya DPR RI). Selain penambahan kepanjangan tangan lembaga-lembaga vertikal di daerah, implikasi yang juga terjadi dalam hal kelembagaan daerah adalah mengenai perubahan status struktur kelembagaan pemerintahan daerah dan penataan wilayah akibat adanya pemekaran daerah ini.

Seperti yang dikatakan oleh nara sumber dari DPRD Kota Batam:

”Sehubungan dengan adanya peningkatan status Kotif Batam menjadi Kota Batam, maka struktur pemerintahan dan penataan wilayahnya juga mengalami perubahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pemekaran, Perubahan dan Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan

dalam Daerah Kota Batam, maka Batam yang semula terdiri dari 8 Kecamatan dan 51 Kelurahan berubah menjadi 12 Kecamatan dan 64 Kelurahan”.

Beliau juga menambahkan, bahwa:

”Kecamatan dan Kelurahan yang ada selama ini adalah Kecamatan dan Kelurahan sejak terbentuknya Pemerintahan Kota Batam dan secara nyata perlu dilakukan penataan, baik dalam kaitan dengan pemekaran, perubahan nama maupun pembentukan kecamatan dan kelurahan baru berdasarkan kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Kota Batam”.

Dari pemekaran daerah yang terjadi di 14 (empat belas) provinsi, ditemukan bahwa dalam pemekaran daerah telah terjadi perubahan struktur pemerintahan dan penataan wilayah baik daerah otonom baru dan daerah induk akibat berkurangnya daerah di daerah induk dan bertambahnya struktur pemerintahan dan penataan wilayah di daerah otonom baru. Hal ini terjadi sebagai konkuensi logis dan formal dari adanya kebijakan pemekaran pada daerah pemekaran.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat tiga bentuk perubahan status dalam struktur pemerintahan daerah dan penataan wilayahnya, yaitu pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran provinsi, pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran kabupaten, dan pemekaran daerah karena adanya peningkatan status dari bentuk kotif (kota administratif) menjadi kota atau perubahan nomenklatur dari bentuk kotamadya menjadi kota.

1) Pemekaran daerah sebagai hasil dari pemekaran provinsi.

Hal ini sebagaimana yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua, yang kesemuanya merupakan provinsi induk. Selain provinsi-provinsi tersebut di atas, sebenarnya Provinsi Sulawesi Barat juga merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan, sama halnya dengan pemekaran

Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan. Namun, baik Sulawesi Barat maupun Sulawesi Selatan bukan merupakan lokus kajian ini. Selain itu, pengkajian di lokus Sulawesi Tenggara adalah bukan mengenai pemekaran Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan, tetapi mengenai posisi dan kebijakan Provinsi Sulawesi Tenggara dalam pemekaran Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan. Adapun nama-nama provinsi yang merupakan DOB dalam lokus kajian adalah sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel.7 Pemekaran Provinsi

No. Daerah Otonom Baru Provinsi Induk Undang-undang 1. Prov. Banten Jawa Barat No. 23 Tahun 2000 2. Prov. Kep. Riau Riau No. 25 Tahun 2000 3. Prov. Kep.Bangka

Belitung Sumatera Selatan No. 27 Tahun 2000 4. Prov. Gorontalo Sulawesi Utara No. 38 Tahun 2000 5. Prov. Maluku Utara Maluku No. 46 Tahun 1999 6. Prov. Irian Jaya Barat Papua No. 45 Tahun 1999 Sumber: Komisi II DPR RI

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari keenam provinsi hasil pemekaran ternyata dua provinsi yaitu Provinsi Maluku Utara dan Irian Jaya Barat merupakan hasil pemekaran tahun 1999. Dengan kata lain, pemekaran keduanya belum didasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagaimana termaktub pada PP Nomor 129 Tahun 2000.

Berdasarkan hasil kajian lapangan, pembentukan keduanya didasarkan pada pertimbangan politis yang ditujukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan, khususnya pembangunan di kawasan timur. Beberapa narasumber menyatakan bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat

merupakan jawaban terhadap tuntutan rakyat Papua untuk merdeka.

Hal ini sebagaimana disampaikan Tokoh Pemuda Suku Arfak di Manokwari:

”Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat merupakan keinginan yang sudah lama sekali, tetapi baru dapat diwujudkan pada 1999 atau ketika reformasi tiba. Sebelum-sebelum ini rakyat Papua, khususnya di Papua Barat sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat. Sekali lagi kami katakan bahwa pembentukan provinsi ini sebagai suatu berkah yang harus disyukuri oleh kita disini...”

Pendapat senada juga diutarakan oleh nara sumber dari UNIPA, yang mengutarakan, hal berikut:

”Papua pernah dibagi menjadi beberapa Residen atau Pembantu Gubernur, tepatnya 3 residen. Salah satunya berkedudukan di Manokwari. Namun, pemberian kedudukan sebagai Pembantu Gubernur tersebut tidak disertai dengan perlengkapannya sehingga mereka memiliki wewenang tetapi tidak mampu menggunakan wewenangnya itu karena tidak adanya dukungan pendanaan dan sebagainya...” 2) Pemekaran daerah sebagai dari pemekaran kabupaten.

Terdapat 13 DOB yang berbentuk kabupaten/kota sebagai hasil pemekaran kabupaten yang terdapat di 14 provinsi daerah kajian. Hal ini terjadi antara lain pada Kota Sorong yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, dan Kabubupaten Minahasa Utara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa. Ke 13 DOB tersebut beserta kabupaten induknya juga merupakan daerah kajian. Adapun DOB yang berbentuk kabupaten/kota tersebut, adalah sebagai berikut:

Tabel. 8

DOB Hasil Pemekaran Kabupaten di Daerah Kajian Provinsi Daerah Otonom

Baru Kabupaten induk Undang-undang Papua Kabupaten Keerom Jayapura No.26/Th.2002 Irian Jaya Barat Kota Sorong Sorong No.45/Th.1999 Maluku Utara Kota Tidore

Kepulauan

Halmahera Tengah

No.1/Th.2003 Sulawesi Tenggara Kab. Konawe

Selatan Konawe *) No.4/Th.2003 Sulawesi Utara Kabupaten

Minahasa Utara Minahasa No.33/Th.2003 Gorontalo Kabupaten Boalemo Gorontalo No.50/Th.1999

jo UU

No.10/Th.2000 Kalimantan Timur Kabupaten Kutai

Timur Kutai No.47/Th.1999

Riau Kabupaten Siak Bengkalis No.53/Th.1999 Kep. Riau Kota Tanjung Pinang --- **) No.5/Th. 2001 Kep. Bangka

Belitung Kabupaten Bangka Tengah Bangka No.5/Th.2003 Sumatera Utara Kab. Serdang

Bedagai Deli Serdang No.36/Th.2003 Lampung Kabupaten

Tanggamus Lampung Selatan No. 2/Th. 1997 Banten Kota Cilegon Serang No.15/Th.1999

Catatan:

*)Kabupaten Konawe adalah nama baru dari Kabuparten Kendari. Pada tahun 2003, Kabupaten Kendari berubah nama menjadi Kabupaten Konawe.

**)Kota Tanjung Pinang tidak memiliki kabupaten induk. Pada saat pembentukannya, wilayah Kota Tanjung Pinang berasal dari sebagian Kabupaten Kep. Riau yang terdiri atas Kecamatan Tanjung Pinang Barat dan Kecamatan Tanjung Pinang Timur.

3) Pemekaran Pemekaran daerah karena adanya peningkatan

status dari bentuk kotif (kota administratif) menjadi kota atau

perubahan nomenklatur dari bentuk kotamadya menjadi

kota.

Peningkatan status terjadi pada Kotif Banjar yang meningkat statusnya menjadi Kota Banjar. Kotif Banjar ini semula masih bernaung dalam wilayah Kabupaten Ciamis di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2002, Kotif Banjar kemudian melepaskan diri dari Kabupaten Ciamis dan menjadi Kota Banjar.

Untuk kasus perubahan nomenklatur terjadi pada Kotamadya Batam yang kemudian berubah namanya menjadi Kota Batam. Perubahan nomenklatur Kotamadya Batam yang terletak dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau ini didasarkan pada UU Nomor 53 Tahun 1999. Sementara, pembentukan Kepulauan Riau sebagai suatu provinsi dengan nama Provinsi Kepulauan Riau yang memisahkan diri dari Provinsi Riau, didasarkan pada UU Nomor 25 Tahun 2000. UU tersebut disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 25 Oktober 2002. Hal ini berarti, perubahan nomenklatur Kotamadya Batam dilakukan jauh hari sebelum pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan nomeklatur dari Kotamadya Ternate menjadi Kota Ternate. Sebelum menjadi kotamadya, Ternate adalah sebuah kotif yang ada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Utara. Ternate menjadi sebuah kota otonom berdasarkan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Ternate dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 125, maka Kotamadya Ternate berubah namanya menjadi Kota Ternate.

b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran

Seperti diketahui Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan dengan baik pula. Maksudnya adalah bahwa tercapainya harmonisasi hubungan tersebut dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya.

daerah. Sebagai contoh, persoalan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan daerah adalah sebagaimana ditunjukkan dalam pemekaran Kabupaten Gorontalo menjadi Kabupaten Boalemo-Provinsi Gorontalo.

Di dalam undang-undang Pembentukan Kabupaten Boalemo, yakni Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan kabupaten Boalemo sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan kabupaten Boalemo disebutkan bahwa ”Ibukota Kabupaten Boalemo berkedudukan di

Tilamuta (Pasal 7 UU Nomor 50 Tahun 1999)”. Sedangkan pada Pasal

8 disebutkan ”Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun

terhitung sejak diresmikan Kabupaten Boalemo, ibukota dipindahkan ke Marisa”. Klausul pada pasal 8 inilah yang menyebabkan

masyarakat Marisa menuntut untuk segera memindahkan Ibukota kabupaten dari Tilamuta ke Marisa sesuai amanat undang-undang.

Pada tahun 2003, Kabupaten Boalemo mengalami pemekaran menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Boalemo dengan ibu kota Tilamuta, dan Kabupaten Pohuwato dengan ibu kota Marisa. Dengan demikian, maka wilayah Kabupaten Boalemo menjadi berkurang. Lima kecamatan, yakni Lemito, Marisa, Paguat, Popayato, dan Randangan menjadi wilayah Kabupaten Pahuwato, dengan dengan luas ± 4.244,31 km2 km2, berpenduduk 88.796 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 20,92 jiwa /km2 pada tahun 1997. Lima kecamatan lain, yakni Mananggu (536,16 km2), Paguyaman dan Wonosari (460,80 km2), ditambah Tilamuta dan Dulupi (1.520,40 km2), atau total luas 2.517,36 km2 tetap sebagai wilayah Kabupaten Boalemo.

Konflik yang terjadi akibat perebutan ibukota kabupaten telah menyebabkan lahirnya kabupaten baru, yakni Kabupaten Pohuwato. Potret yang demikian, menunjukkan bahwa implementasi pemekaran

pemekaran daerah sebagai bentuk dari demokrasi politik lokal masih memerlukan penanganan yang lebih serius dan bijaksana agar mendapatkan hasil yang optimal.

Masyarakat di daerah pemekaran sangat mengharapkan terciptanya kesejahteraan bukan malah menambah kesusahan. Namun terkadang pemekaran juga menimbulkan ekses.

Sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari LSM Komite Pelestarian Alam Minahasa:

”...akibat dari pemekaran ini mau tidak mau akan memberatkan masyarakat, dengan terbitnya perda-perda tentang pajak dan retribusi. Tapi untuk Minahasa, dari pemekaran Tomohon, Minut, dan Minsel (Minahasa Selatan) sampai saat ini tidak ada masalah dari pelayanan. Cuma yang perlu diperhatikan adalah pemekaran ke depan harus menjadi perhatian pemerintah pusat”.

Perebutan ibukota daerah pemekaran juga pernah terjadi di daerah Sulawesi Tenggara pada saat awal pembentukannya. Sebagaimana diutarakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai berikut:

"Pada saat itu ibukota awal berada di Buton, tapi karena infrastruktur yang menunjang berjalannya suatu pemerintahan daerah baru, berada di Kendari, maka Ibukota Sulawesi Tenggara pun kemudian ditetapkan di Kendari. Meskipun pada saat itu ada pro dan kontra, mengingat pejuang pemekaran Provinsi Sulawesi Tenggara lebih banyak yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Namun semuanya dapat diselesaikan dengan baik“.

Hal senada juga terjadi dalam proses pemekaran Kepulauan Riau (Kepri) dari Provinsi Riau, dimana salah satu nilai historis yang ingin dimunculkan dalam proses pemekarannya adalah ingin mengembalikan ibukota masyarakat Melayu Riau yang sesungguhnya untuk kembali ke khitahnya yaitu di Tanjung Pinang. Dahulu pada awal berdirinya Provinsi Riau, ibukotanya berada di Tanjung Pinang. (Sumber: Bagian Pemerintahan Kota Tanjung Pinang, LSM Bintan Crisis Centre, Tokoh Masyarakat Batam, dan Parpol Provinsi Kepri).

Selain persoalan di lingkup pemerintahan daerah sebagaimana uraian tersebut di atas, implikasi pemekaran juga dapat diidentifikasi pada persoalan hubungan daerah pemekaran dengan daerah induk. Dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 disebutkan bahwa setelah terjadi pemekaran, maka daerah induk diwajibkan membantu daerah otonom baru selama 3 tahun berturut-turut sampai daerah baru tersebut memiliki sumber keuangan yang mandiri. Namun demikian, masih terjadi beberapa daerah (induk) yang belum sepenuhnya menyerahkan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) kepada daerah pemekarannya.

Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Bangka Belitung:

”Meskipun provinsi induk (dalam hal ini Provinsi Sumsel) tidak memenuhi janjnya, kita tidak kecewa. Karena kita mampu menghadapi hal itu. Bandingkan saja, kami dengan penduduk mendekati 1.000.000, bisa memiliki PAD sebanyak 178 M. Sementara Banten yang sudah lama otonom menjadi provinsi tersendiri, dengan penduduk 9.000.000 memiliki PAD sebanyak 1,3 T. Meskipun dalam PP 129/2000 ada kewajiban daerah induk memberikan bantuan, tapi tidak pernah janji itu dipenuhi. Sehingga dapat disimpulkan, jangankan membina yang dimekarkan, memberikan hak DOB nya saja dia tak mampu”. Sementara itu, hubungan yang kurang baik nampak antara Provinsi Kepulauan Riau dengan daerah induknya, yakni Provinsi Riau. Sebagaimana dinyatakan oleh nara sumber dari BP3KR, sebagai berikut:

”Hubungan dengan daerah induk saat ini nampaknya kurang baik, karena ada beberapa beban dari provinsi induk yang tidak mau diselesaikan oleh provinsi induk, seperti hutang PDAM ataupun saham-saham milik Provinsi Kepri yang masih berada di propinsi induk dan belum dikembalikan kepada Provinsi Kepri”. Hal senada juga diutarakan oleh nara sumber Tokoh Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai (Sergei) dan LSM MANDIRI Sergei:

”Selama masa pembinaan awal terhadap Kabupaten Sergei sebagai kabupaten baru, daerah induk (dalam hal ini Kabupaten Deli Serdang) tidak pernah memberikan kewajibannya kepada

Sergei. Selain itu, hubungan kerja dengan daerah induk tidak begitu baik. Tetapi kalau secara personal, hubungan masih berjalan dengan baik”.

Demikian juga seperti yang dikatakan oleh Assiten I Provinsi Kepri:

”Hubungan dengan provinsi induk biasa-biasa saja, mungkin saling membatasi diri, misalnya hanya melakukan sesuatu yang bersifat formal. Sedangkan mengenai aset sudah diberikan, walaupun agak sulit sedikit dalam prosesnya“.

Sementara itu, membangun hubungan yang harmonis dengan provinsi induk merupakan salah satu langkah yang ditempuh Gubernur Provinsi Gorontalo, Ir. Fadel Muhammad. Sebagaimana dikemukakan oleh nara sumber dari DPRD Provinsi Gorontalo:

”Hubungan kerja yang harmonis (hubungan kerja Gubernur dengan DPRD, hubungan kerja dengan provinsi induk, dan hubungan kerja dengan pemerintah provinsi lainnya) merupakan ”modal dasar” dalam rangka membangun daerah.”

Beliau juga menambahkan, bahwa:

”...keberhasilan pembangunan merupakan hasil kontribusi semua pihak yang berkepentingan atau stakeholders baik di lingkup lokal, regional, nasional maupun internasional. Namun, semuanya berawal dari lingkungan lokal, yakni lingkup terkecil di dalam organisasi kita. Gorontalo tidak akan maju seperti sekarang jika Gubernur dan Dewan-nya (: DPRD) berantem...”. Berkaitan dengan pernyataan nara sumber sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa lingkup lokal, regional, nasional, dan internasional dapat mempengaruhi keberhasilan suatu daerah dan sebaliknya. Sebuah daerah dapat memberikan implikasi terhadap lingkup regional, nasional bahkan mungkin lingkup internasional. Secara regional, lahirnya Provinsi Gorontalo mungkin dapat memberikan semangat kepada provinsi lainnya di kawasan

Dokumen terkait