• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAN - RI PKKOD Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAN - RI PKKOD Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jakarta, 2007"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

LAN - RI PKKOD

Lembaga Administrasi Negara

Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah

(2)

EXECUTIVE SUMMARY

Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan “… Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi

lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”.

Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat (3) dan (4), sebagai berikut: “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan: ‟Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”.

Secara legal formal, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Dalam hubungan ini, tentunya dapat ditelusuri hadirnya berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia. Melalui metode kajian yang bersifat kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam di 14 (empat belas) provinsi dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota, kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: (1) Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional, bukan rasional, (2) Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara, dan (3) Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak menunjukkan kemajuan (progress) sebagaimana yang diharapkan.

(3)

daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan kabupaten/kota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa, terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru.

Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah:

a) Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura).

b) Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat.

c) Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa.

d) Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung (Tanggamus).

e) Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK).

f) Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan. Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.

(4)

 Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD.

 Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.

 Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah.

 Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan.

 Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut.

 Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan.

 Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah memberatkan

(5)

masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

b. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain :  Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi

adalah penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah.

 Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut.

 Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK.

Menurut hasil kajian, model evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan berdasarkan PP 129/2000, adalah sebagai berikut:

a.

Persyaratan dan kriteria: persyaratan dan kriteria yang ditetapkan lebih cenderung mengukur potensi/input. Sebagai contoh: dalam syarat/kriteria potensi daerah, indikator sarana pariwisata, tercantum sub indikator ”jumlah hotel/akomodasi lainnya; jumlah restoran/rumah makan; jumlah obyek wisata”. Pada indikator potensi daerah juga terdapat ‟sarana pendidikan‟ tetapi isinya bukan mengukur sarana tetapi kinerja. Dari syarat/kriteria dan indikator tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut:

 Tidak ada kejelasan kluster yang memayungi syarat/kriteria, indikator dan sub indikator tersedia, sehingga 7 (tujuh) syarat/kriteria tersebut seolah-olah terpisah satu sama lain.

 Indikator dan sub indikator tersebut lebih mengukur potensi, bukan output.

b.

Prosedur: untuk prosedur pemekaran daerah telah dirumuskan dengan cukup baik, tetapi tidak ada penekanan pada tahap implementasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan. Secara garis besar dapat dikatakan terdapat dua prosedur pemekaran yakni pemekaran melalui jalur pemerintah (eksekutif) dan jalur DPR (legislatif). Faktanya, pemekaran daerah lebih banyak berasal dari inisiatif DPR.

c.

Prosedur pemekaran yang terjadi selama ini tidak melalui model ‟transisi‟, sehingga daerah otonom baru langsung memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan daerah induknya.

Mencermati uraian pada kesimpulan di atas, Tim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemekaran daerah hendaknya didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemampuan daerah yang akan dimekarkan. Hal ini sekaligus dapat menjadi alat untuk meminimalisir implikasi negatif yang ditimbulkan akibat pemekaran.

(6)

Untuk itu, Tim mengusulkan persyaratan/kriteria untuk melakukan pemekaran daerah, sebagaimana terdapat pada rekomendas kajian poin 2.  Persyaratan/kriteria tersebut sebagian besar masih mengacu pada PP No.

129/2000, dengan menambahkan beberapa perubahan khususnya untuk kriteria pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Dari tabel dapat dilihat pelayanan yang dimakud adalah pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan.

 Pada indikator luas wilayah dan jumlah penduduk dibedakan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Jawa-Bali, hal ini ditempuh guna mengurangi terjadinya in-efisiensi.

 Namun, persyaratan dan kriteria seketat apapun pada akhirnya tidak akan bermanfaat jika tim penilai (evaluator) tidak memiliki integritas (: kejujuran) yang memadai. Terlebih lagi jika penilaian dilakukan melalui

self-assesment, maka faktor integritas menjadi kunci utama apakah

sebuah daerah layak dimekarkan.

2. Perlu dilakukan pentahapan dalam melakukan pemekaran daerah, yaitu daerah tidak langsung dimekarkan menjadi daerah otonom, tetapi dibentuk dalam ‟daerah persiapan‟.

 Pemekaran daerah dilakukan secara berjenjang. Secara bertahap, pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan akan dimekarkan menjadi ‟daerah persiapan‟ dimana untuk provinsi dengan nomenklatur ‟provinsi persiapan‟ dan ‟kabupaten/kota persiapan‟ untuk kabupaten/kota. Penetapan daerah persiapan ditungkan dalam bentuk Perpres.

 Setelah menjadi daerah persiapan selama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dilaksanakan penilaian oleh tim penilai, maka daerah persiapan tersebut dapat diubah statusnya menjadi daerah otonom.

 Setelah 5 (lima) tahun menjadi daerah otonom, daerah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dimekarkan kembali, apabila dinilai memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

3. Bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi mengalami keterbatasan-keterbatasan yang mengakibatkan tidak memenuhi persyaratan, maka dapat dilakukan penguatan (strengthtening) Kecamatan untuk mendekatkan pelayanan publik.

4. Pada tataran yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, Pemerintah perlu merevisi UU No. 32 tahun 2004 yang terkait dengan pengaturan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah (Pasal 5 s/d 8). Revisi UU No. 32 Tahun 2004 memang pernah diwacanakan, tetapi belum menyentuh pengaturan tentang pemekaran daerah.

(7)

DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY………. i DAFTAR ISI ………. ix BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1 B. Perumusan Masalah ……….. 5 C. Ruang Lingkup ……… 8

D. Tujuan dan Kegunaan ……… 8

E. Sistematika Penulisan ……….. 9

BAB 2 KERANGKA KONSEP A. Konsep Desentralisasi ……….. 10

1. Pengertian Desentralisasi ……….. 11

2. Latar Belakang Desentralisasi ………. 13

3. Tujuan Desentralisasi ………. 14

4. Manfaat Desentralisasi……….. 15

5. Bentuk-bentuk Desentralisasi……… 16

B. Konsep Otonomi………. 21

C. Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia... 24

D. Konsep Pemekaran Daerah dan Pembangunan Demokrasi Lokal………... 27

1. Tujuan Pemekaran Daerah ………. 28

2. Kriteria Pemekaran Daerah ……… 28

3. Pembangunan Demokrasi Lokal ……….. 31

E. Pemekaran Daerah di Indonesia ……… 34

F. Kerangka Berpikir ………. 36

BAB 3 METODOLOGI A. Jenis Kajian ……….. 37

B. Metode Kajian ……… 37

C. Daerah Kajian ………. 37

D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ………... 39

E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………... 41

BAB 4 GAMBARAN EMPIRIS DAN ANALISIS PERKEMBANGAN PEMEKARAN DAERAH A. Latar Belakang Pemekaran Daerah dan Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000. 42 1. Latar Belakang Pemekaran Daerah……… 42

2. Implementasi Proses Pemekaran Daerah Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 ………. 60

(8)

B. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Penyelenggaraan

Pemeritahan Negara ………. 65

1. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Daerah …….. 65 2. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Pemerintah

Pusat ……….. 86

C. Kriteria Pemekaran Daerah ………. 97 1. Evaluasi Kriteria Pemekaran Berdasarkan PP No.

129 Tahun 2000 ……… 97

2. Proyeksi Pemekaran Daerah : Usulan Kriteria dan

Tahapan Pemekaran ………... 105 BAB 5 PENUTUP

A. Kesimpulan ……….. 113

B Rekomendasi ……… 117

(9)

Bab 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gerakan reformasi total yang telah dimulai sejak 1997/1998 lalu telah menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan, baik pemerintah, DPR/MPR, LSM/NGO, dan masyarakat secara keseluruhan, untuk menjadikan Indonesia lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Salah satu agenda reformasi yang telah menjadi komitmen seluruh penyelenggara negara adalah reformasi birokrasi. Gerakan reformasi birokrasi dipimpin oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) yang bertujuan menjadikan birokrasi sebagai daya ungkit utama (key leverage) pembangunan Indonesia.

Dalam blueprint yang telah disusun oleh Kementerian PAN atas inisiasi Lembaga Administrasi Negara, reformasi birokrasi meliputi kelembagaan, sumber daya aparatur, dan ketatalaksanaan. Penjabaran dari ketiga aspek tersebut menuntut adanya komitmen dan konsistensi dari seluruh

stakeholders, baik pusat maupun daerah. Sebagai contoh, pengaturan tentang

penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berada dalam jalur yang benar (on the track) , selaras dan sejalan dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemeritahan daerah sesuai dengan cita-cita dan keinginan para pendiri bangsa (founding fathers), yakni penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tetap menjunjung tinggi NKRI.

Reformasi pemerintahan daerah tetap perlu dilaksanakan tetapi dengan mengingat dan mempertimbangkan komitmen tersebut. Oleh karena itu, salah satu tuntutan yang muncul pada awal reformasi adalah adanya perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang dalam implementasinya dinilai terlalu sentralistik. Komitmen Pemerintah dan DPR untuk mendukung reformasi penyelenggaraan

(10)

1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kedua undang-undang tersebut telah memberikan kewenangan dan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Keleluasan pemerintah daerah yang sangat besar tersebut pada kenyataannya telah menimbulkan dilema tersendiri, di satu sisi keleluasan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat menjadikan pemerintah daerah semakin percaya diri dalam mengelola kewenangannya. Namun di sisi lain, keleluasaan dan kebebasan tersebut ternyata telah menyebabkan berbagai problematika yang cukup serius, yang salah satunya menyangkut permasalahan pemekaran daerah.

Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang lebih dipermudah. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang bagi terbentuknya daerah baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan “… Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah

jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”.

Hal senada juga diatur dalam Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 3 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) menyebutkan pemekaran dari satu

(11)

dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan: ‟Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”. Pengaturan tentang persyaratan pembentukan untuk sementara masih didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000, yang sampai saat ini belum dicabut, karena belum ada PP penggantinya.

Menurut Pasal 3 PP No. 129 Tahun 2000 dinyatakan bahwa, Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a) kemampuan ekonomi; b) potensi daerah; c) sosial budaya; d) sosial politik; e) jumlah penduduk; f) luas daerah; dan g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Akibat dari maraknya aspirasi pemekaran daerah, saat ini jumlah kabupaten dan kota yang ada telah membengkak, data mutakhir memperlihatkan jumlah kabupatan/kota telah mencapai angka sebanyak 473! (458 kabupaten/kota pada 2006 ditambah 15 kabupaten/kota pada awal 2007).

Ironisnya, sampai saat ini masih terdapat sejumlah usul pemekaran daerah baik kepada pemerintah (Departemen Dalam Negeri) maupun kepada DPR. Maraknya tuntutan pemekaran daerah juga tidak lepas dari adanya insentif dari pemerintah maupun daerah induk dalam bentuk bantuan dana dalam jumlah yang besar (Rp 5 miliar selama dua tahun, bahkan ada yang mencapai Rp 10 miliar seperti yang terjadi di Kota Kotamobago, dan Rp 15 miliar di Kabupaten Bolaang Mongondow), sehingga membuat usulan pemekaran daerah semakin menarik (Muchtar, dalam www.kemitraan. or.id; Kompas 30 Agustus 2006).

Meskipun demikian, secara empiris dijumpai bahwa dalam proses pemekaran daerah terdapat potensi penyimpangan yang memungkinkan diabaikannya sejumlah persyaratan yang semestinya dipenuhi sehingga berdampak pada bergesernya tujuan pemekaran daerah. Terkait dengan hal tersebut, pada saat bersamaan pemerintah sudah menyiapkan draft revisi PP Nomor 129 Tahun 2000 dengan memperketat syarat-syarat administratif,

(12)

teknis, dan kewilayahan, yang akan dijadikan pedoman bagi daerah dalam melakukan pemekaran.

Salah satu perubahan yang cukup mendasar adalah menyangkut persyaratan teknis yang menekankan pada kemampuan ekonomi dan keuangan daerah, yang diberi bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lainnya. Selain itu, penambahan persyaratan fisik kewilayahan dari 4 kabupaten/kota menjadi 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi juga merupakan salah satu penyempurnaan terhadap PP Nomor 129 Tahun 2000. Penyempurnaan kebijakan tersebut tentu menjadi „kabar baik‟ bagi kalangan yang peduli terhadap dampak pemekaran daerah, dan disisi lain menjadi „kabar buruk‟ dan kendala bagi berbagai kalangan yang berniat melakukan pemekaran daerah.

Namun apa pun itu, perubahan kebijakan pemekaran daerah dapat saja diberikan oleh institusi lain yang memiliki komitmen terhadap efektivitas penyelenggaraan kebijakan desentralisasi melalui upaya penyusunan kriteria-kriteria pembentukan sebuah daerah otonom yang mampu menyelenggarakan kebijakan otonomi daerah. Oleh karena itu, kiranya menjadi kewajiban Pemerintah Pusat untuk merumuskan kebijakan yang mampu mengatur dan menata kecenderungan terbentuknya daerah otonom baru yang mampu mencapai tujuan pemberian otonomi daerah.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Lembaga Administrasi Negara, dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (PKKOD) memandang perlu dilakukannya kajian tentang model evaluasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan daerah. Untuk itu, sesuai dengan DIPA LAN tahun 2007, PKKOD telah melaksanakan kajian tersebut yang diharapkan menghasilkan rekomendasi kajian, dan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam proses penyempurnaan pengaturan tentang pemekaran daerah. Sejumlah temuan menarik berkenaan dengan alasan dan proses pemekaran daerah, implikasi pemekaran daerah terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam membentuk daerah akan dipaparkan dalam laporan kajian ini.

(13)

B. PERUMUSAN MASALAH

Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya, permasalahan-permasalahan kebijakan pembentukan DOB atau sering dikenal dengan istilah pemekaran daerah adalah : 1) Daerah cenderung dimekarkan, 2) Implikasi pemekaran terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan 3) Kriteria-kriteria yang digunakan dalam melakukan pemekaran daerah.

Permasalahan Pertama, Daerah cenderung dimekarkan, yang ditandai

dengan penambahan jumlah DOB sebanyak 169 sejak 1999-2007, yang terdiri dari 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota. Dengan demikian, saat ini terdapat 33 provinsi dan 473 kabupaten/kota, dan jumlah ini pun masih dapat bertambah lagi jika Pemerintah dan DPR tidak memberikan kriteria yang tegas bagi terbentuknya DOB yang mampu berdiri sebagai daerah otonom. Selain itu, dalam proses pemekaran daerah juga terdapat sinyalemen pelanggaran terhadap mekanisme yang seharusnya ditempuh. Ketidaktaatan terhadap kriteria-kriteria yang telah ditentukan menyebabkan daerah yang terbentuk tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi daerah otonom yang mandiri. Kondisi demikian pada akhirnya menimbulkan rendahnya kinerja daerah otonom.

Berdasarkan hasil kajian Departemen Dalam Negeri (2006) dapat diketahui bahwa kinerja DOB dan daerah induk mengelompok pada kuadran II (DOB yang memiliki tingkat kinerja di bawah nilai tertentu, tetapi perkembangannya positif)*) yang mengindikasikan bahwa meski terdapat

perubahan positif, namun perubahan tersebut belum cukup signifikan untuk meningkatkan kinerja baik daerah otonom baru maupun daerah induk, daerah-daerah tersebut antara lain: Kota Palopo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Lembata, Kabupaten Pagar Alam, Kabupaten Lubuk Linggau, Kabupaten Padang Sidempuan, dan Kota Prabumulih. Sementara

*) Kuadran I: DOB yang memiliki tingkat kinerja di atas nilai tertentu, dengan perkembangannya positif; Kuadran III: DOB yang memiliki tingkat kinerja di atas nilai tertentu tetapi perkembangannya negatif; dan Kuadran IV: DOB yang memiliki tingkat kinerja di bawah nilai tertentu,

(14)

terdapat pula daerah yang kinerjanya di bawah nilai acuan dan bahkan memiki kecenderungan penurunan kinerja, seperti Kota Banjarbaru, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Rote Ndao.

Permasalahan Kedua, pemekaran daerah telah menimbulkan

implikasi bagi pemerintahan daerah maupun bagi pemerintahan pusat. Implikasi terhadap pemerintahan daerah di antaranya menyangkut perubahan kelembagaan daerah, dinamika politik lokal, pola hubungan dengan pemerintah pusat, sumber daya manusia aparatur, dan sarana-prasarana. Sedangkan implikasi terhadap pemerintahan pusat meliputi pembentukan kelembagaan pusat di daerah (seperti kejaksaan, keuangan, agama, pertahanan dan keamanan), dan anggaran.

Salah satu implikasi terhadap Pemerintahan Pusat adalah beban anggaran yang nampak pada fakta besaran DAU (Dana Alokasi Umum) yang diberikan kepada DOB, sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel. 1.

Jumlah DAU Tahun 2004

No. Daerah Otonom Baru UU Pembentukan Jumlah DAU 1. Kabupaten Siak UU No. 53 Tahun 1999 Rp. 95.609.000.000 2. Kabupaten Bangka Tengah UU No. 5 Tahun 2003 Rp. 33.853.000.000 3. Kota Banjar UU No. 27 Tahun 2002 Rp. 42.501.000.000 4. Kota Cilegon UU No. 15 Tahun 1999 Rp. 95.542.000.000 5. Kab. Minahasa Selatan UU No. 10 Tahun 2003 Rp. 125.425.000.000 6. Kabupaten Boalemo UU No. 50 Tahun 1999 Rp. 68.120.000.000 7. Kabupaten Konawe Selatan UU No. 4 Tahun 2003 Rp. 91.950.000.000 8. Kota Ternate UU No. 11 Tahun 1999 Rp. 126.042.000.000 9. Kota Tidore Kepulauan UU No. 1 Tahun 2003 Rp 64.480.000.000 10. Kota Batam UU No. 53 Tahun 1999 Rp. 104.201.000.000 11. Kota Tanjung Pinang UU No. 5 Tahun 2001 Rp. 59.818.000.000 12. Kota Sorong UU No. 45 Tahun 1999 Rp. 152.401.000.000

(15)

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa beban pemerintah pusat dalam bentuk DAU sangat besar, yang mencapai puluhan bahkan ratusan miliar. Hal ini akan lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan angka Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk daerah yang bersangkutan. Sebagaimana terjadi di Kota Banjar (pemekaran dari Kabupaten Ciamis), DAU yang diterima sebesar Rp. 42,501 miliar, sementara angka PAD-nya hanya sebesar Rp. 5,981.95 miliar (atau hanya senilai 14% dari DAU, atau hanya 7% dari total penerimaan). Kondisi serupa juga terjadi di Kota Ternate, DAU yang diterima pada tahun 2004 sebesar Rp. 126,042 miliar, sementara PAD-nya hanya sebesar Rp. 10,366.96 miliar (nilai PAD hanya 8% dari DAU, atau 6% dari total penerimaan).

Kondisi tersebut sesungguhnya menggambarkan tingginya ketergantungan anggaran pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, baik yang berasal dana perimbangan lainnya (pos dana bagi hasil pajak, pos dana bagi hasil bukan pajak sumber daya alam, dan dana alokasi khusus) maupun bagian lain-lain penerimaan yang sah (penerimaan dari pemerintah, penerimaan dari provinsi, penerimaan dari kabupaten/kota lainnya, dan lain-lain).

Permasalahan Ketiga, pemekaran daerah yang didasarkan pada

kriteria-kriteria PP 129/2000 ternyata tidak menjamin terlaksananya pemekaran yang diharapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar apakah kriteria-kriteria tersebut tidak mampu mengukur? Atau mungkin kriteria-kriteria tersebut tidak ditaati dalam proses pemekaran suatu daerah?

Dari uraian pokok masalah tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini adalah:

1. Mengapa suatu daerah perlu dimekarkan dan bagaimana prosesnya? 2. Bagaimana implikasi pemekaran daerah terhadap penyelenggaraan

pemerintahan negara?

(16)

C. RUANG LINGKUP

Kajian ini telah dibatasi pada evaluasi proses pemekaran daerah otonom baru, sehingga terminologi „evaluasi‟ yang dimaksudkan bukan untuk mengukur, menganalisis dan me-ranking daerah otonom sebagaimana evaluasi yang dikenal pada umunya, tetapi lebih kepada upaya mengevaluasi proses dan implikasi pemekaran daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada keprihatinan PKKOD-LAN terhadap fenomena pemekaran daerah yang cenderung tidak terkendali beberapa tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini telah melihat pemekaran daerah dari sisi (angel) yang berbeda, yakni dari lingkup alasan/argumen, implikasi pemekaran, dan kriteria yang digunakan dalam melakukan pemekaran daerah.

Pada lingkup yang pertama, alasan/argumen mengapa suatu daerah ingin dimekarkan, karena setiap daerah yang dimekarkan tentunya memiliki argumen atau alasan-alasan sehingga perlu dimekarkan. Selain itu, pada bagian ini Tim juga melihat proses dan tahapan-tahapan terjadinya pemekaran suatu daerah.

Lingkup kedua adalah implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. Implikasi terhadap pemerintahan daerah antara lain: perubahan kelembagaan daerah, dinamika politik lokal, pola hubungan dengan pemerintah pusat, dan SDM Aparatur. Adapun implikasi terhadap pemerintahan pusat meliputi pembentukan kelembagaan pusat di daerah dan implikasi terhadap anggaran.

Lingkup ketiga adalah penyempurnaan persyaratan dan kriteria-kriteria pemekaran daerah. Untuk membahas hal ini Tim berpedoman pada draft revisi PP Nomor 129 Tahun 2000, yang saat ini sudah menjadi draft final dan tinggal menunggu pengesahan dari Presiden. Selain persyaratan dan kriteria pemekaran daerah, pembahasan pada lingkup ini juga akan mencakup rekomendasi yang terkait dengan tahapan pemekaran daerah.

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN Tujuan kajian adalah:

(17)

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah dan proses pembentukan suatu daerah otonom baru;

2. Menggambarkan implikasi pemekaran daerah terhadap peyelenggaraan pemerintahan.

3. Merumuskan konsep/kriteria pembentukan daerah.

Adapun kegunaan kajian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penataan daerah otonom baru, dalam hal ini dapat dijadikan saran kebijakan dalam penyempurnaan PP Nomor 129 Tahun 2000.

E. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN

Laporan kajian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan memuat Latar Belakang, Perumusan Masalah, Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Kajian, dan Sistematika Penulisan Laporan. Bab II Kerangka Konsep memuat Konsep-Konsep Desentralisasi, Konsep Otonomi, Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia, Pembentukan Daerah Otonom Baru dan Kerangka Pikir Kajian.

Bab III Metodologi Kajian memuat Jenis Kajian, Metode Kajian, Pengumpulan Data, Lokasi Kajian dan Analisis & Pengolahan Data

Bab IV Gambaran Empiris dan Analisis Perkembangan Pemekaran Daerah, memuat Latar Belakang dan Proses Pemekaran Daerah, Implikasi Pemekaran Daerah Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, dan Kriteria Pemekaran Daerah.

Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Bab ini secara khusus akan memuat rekomendasi tentang usul penyempurnaan persyaratan dan kriteria serta tahapan-tahapan yang dapat ditempuh dalam melakukan pemekaran daerah.

(18)

Bab 2

KERANGKA KONSEP

A. KONSEP DESENTRALISASI

Secara garis besar terdapat dua tipe penyelenggaraan pemerintahan.

Pertama, sentralistik dan kedua adalah desentralistik. Sentralisasi

pemerintahan adalah pemusatan wewenang pada pemerintah pusat dalam hubungan pusat dan daerah. Sebaliknya, desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Penyerahan urusan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang untuk selanjutnya akan menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut.

Desentralisasi menjadi wacana hangat bagi penyelenggaraan pemerintahan saat ini di seluruh dunia. Desentralisasi yang merupakan antitesis dari ajaran sentralisasi, menjadi acuan utama akibat ketidakmampuan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Hal ini juga dipertegas oleh Bowman dan Hampton (1983) yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem pemerintahan sentralisasi.

Dengan demikian, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konteks politis maupun secara administratif kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemrintahan.

(19)

Dalam sub bab Konsep Desentralisasi ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan konsep desentralisasi itu sendiri yang akan dimulai dari pengertian desentralisasi, tujuan adanya desentralisasi, latar belakang perlunya desentralisasi, bentuk-bentuk desentralisasi, dan manfaat apa yang bisa dipetik dari adanya desentralisasi ini.

1. Pengertian Desentralisasi

Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin,

de yang berarti „lepas‟ dan centrum yang berarti „pusat‟. Jadi bila

diterjemahkan, desentralisasi berarti „melepaskan dari pusat‟. Secara terminologi, ternyata terdapat beberapa pengertian dan defenisi dari desentralisasi, yang antara lain dapat disimpulkan dari Soejito (1981), Rondinelli (1981), Suryaningrat (1981), Bryan dan White (1982), Bowman dan Hampton (1983) dan Kaho (1991), yaitu:

 Pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan adminstrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

 Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.  Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa

kekuasaan administratif departemen pemerintah pusat ke daerah dan dikenal dengan nama “dekonsentrasi”.

 Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal yang dikenal dengan istilah “devolusi”.

 Dipahami sebagai delegasi diartikan sebagai pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar struktur pemerintahan pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.

 Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagi penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.

(20)

 Penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut.

Sedangkan pengertian desentralisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia”.

Sementara itu, dalam pengertian yang hampir sama, Maddick (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Devolusi adalah penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah, sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintahan pusat yang tinggal di luar kantor pusat.

Dari uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan, bahwa desentralisasi secara umum diartikan sebagai penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk seterusnya menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut. Dalam perkembangannya kemudian, di Indonesia sebagai implementasi dari konsep desentralisasi tersebut lalu diadakan otonomi daerah baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota.

Otonomi daerah itu sendiri berarti hak, wewenang, dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi “mengatur” diberikan kepada legislatif yakni DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi “mengurus” diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya.

(21)

2. Latar Belakang Desentralisasi

Cheema dan Rondinelli (1983) mengemukakan setidaknya terdapat 14 alasan yang melatarbelakangi pentingnya penerapan desentralisasi dalam suatu pemerintahan, yaitu:

 Desentralisasi ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik.

 Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang terstruktur dari pemerintah pusat .

 Desentralisasi memberikan fungsi yang dapat meningkatkan pemahaman pejabat daerah atas pelayanan publik yang diemban.  Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih

baik dari pemerintah pusat bagi daerah terpencil, dimana sering rencana pemerintah tidak dipahami masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal.

 Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan dalam perencanaan pembangunan.

 Desentralisasi dapat meningkatkan kemampuan maupun kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah.

 Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi mereka menjalankan tugas rutin.

 Desentralisasi dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs (Non Government

Organizations).

 Desentralisasi digunakan untuk melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.

 Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan berbagai aktivitas yang dilakukan elit lokal yang kerap tak simpatik dengan program pembangunan.

(22)

 Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpin daerah menetapkan pelayanan secara efektif di tengah masyarakat terisolasi.

 Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah.

 Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah.

Sementara itu, Kaho (1991) mengemukakan alasan mendasar mengapa desentralisasi diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia yaitu:

 Secara kultural masyarakat Indonesia sangat bhineka, sehingga mudah menimbulkan perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat manakala segalanya diatur secara sentralistis yang seragam dari atas. Karena itu perlu diselenggarakan pemerintahan daerah secara benar dan sendiri-sendiri untuk mengurus daerah sesuai dengan kondisi daerahnya.

 Secara politik (kesadaran berbangsa dan bernegara), desentralisasi mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan diharapkan dapat meningkat terus menerus.  Meningkatkan keefektifan dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Meningkatkan iklim demokrasi dengan terlaksananya demokrasi di

atau dari bawah.

3. Tujuan Desentralisasi

Mawhood (1987) mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal, dan pertanggungjawaban pemerintah lokal. Di sisi lain, Rondinelli (1981), menegaskan bahwa tujuan diterapkannya kebijakan desentralisasi adalah untuk mengurangi kepadatan beban kerja pemerintah pusat. Melalui

(23)

keterlambatan-keterlambatan bisa dikurangi secara maksimal. Dengan demikian, pelaksanaan sebuah pemerintahan yang mendasarkan pada aspirasi masyarakat bisa dilakukan secara cepat, tepat, efektif, dan efisien.

Hal senada diungkapkan Maddick (1983), bahwa desentralisasi bertujuan: untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif, dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala timbul permasalahan dalam pelaksanaan program-program tersebut.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa tujuan desentralisasi pada dasarnya adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan kemampuan pemerintah daerah menjadi mandiri dan independen.

4. Manfaat Desentralisasi

Desentralisasi dalam sistem administrasi negara memiliki beberapa manfaat (Berkeley dalam Pamudji, 1984; Mc. Gregor dalam Pamudji, 1984; Osborne dan Gaebler, 1992) yaitu:

 Sebagai pendorong pengambilan keputusan yang lebih tepat dan luas.  Memperbaiki kualitas pengambilan keputusan.

 Mendorong organisasi menjadi lebih fleksibel, inovatif, dan meningkatkan moral serta komitmen kepada produktivitas tinggi..  Memberikan iklim kondusif bagi pelaksanaan kebijakan yang lebih

efektif.

 Merangsang fleksibilitas aparat lokal dalam memecahkan masalah.  Meningkatkan sensivitas aparat terhadap kebutuhan daerah.  Meningkatkan dukungan politis dan administratif pada daerah.  Mendorong persatuan dan kesatuan serta meningkatkan efisiensi.

Kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah di negara-negara yang bersifat demokratis, sedikitnya memiliki dua pokok

(24)

 Manfaat politis: yang ditunjukkan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah sekaligus dalam rangka memperkuat stabilitas politik secara nasional.

 Manfaat administratif dan ekonomis: untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disana.

Meskipun manfaat desentralisasi sangat mendasar, perlu disadari bahwa tidak semua tugas-tugas pemerintahan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Ada beberapa penyebab mengapa suatu tugas pemerintahan tidak dapat diserahkan oleh pemerintah pusat.

Pertama, tugas-tugas pemerintahan itu dapat diselenggarakan secara

efektif dan efisien manakala dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Kedua, masyarakat setempat (daerah) dianggap belum cukup mampu untuk mengurus tugas-tugas tersebut.

5. Bentuk-bentuk Desentralisasi

Kaho (1991) membagi desentralisasi dalam 2 bentuk yakni: (1)

desentralisasi territorial: yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri. (2) desentralisasi fungsional: yakni pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu.

Di sisi lain, Perserikatan Bangsa Bangsa (dalam Putra, 1999) membagi desentralisasi dalam 2 bentuk yakni: (1) dekonsentrasi, yang juga disebut dengan desentralisasi administrasi, dan (2) devolusi, sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.

Sementara itu, Sarundajang (1999) membagi desentralisasi dalam 4 bentuk, yakni:

 Sistem pemerintahan daerah yang menyeluruh (comprehensive local

(25)

macam (multi purpose local authorities). Aparat daerah melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Kesempatan berprakarsa atau berinisiatif untuk melakukan pengawasan atas semua bagian terbuka baik bagi aparat daerah maupun bagi aparat pusat.

Disini, aparat daerah melakukan pelayanan tugas-tugas aparat pusat, sehingga terjadi pemindahan atau transformasi tugas-tugas dari aparat pusat kepada aparat daerah.

 Partnership system (sistem kemitraan). Dalam hal ini beberapa jenis pelayanan dilaksanakan secara langsung oleh aparat pusat, sementara beberapa jenis pelayanan yang lain dilakukan bersama-sama dengan aparat daerah.

 Dual System (sistem ganda). Dalam sistem ini aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara langsung demikian juga aparat daerah.

 Integrated administrative system (sistem administrasi terpadu), yaitu aparat pusat melakukan pelayanan teknis secara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat yang bertindak sebagai koordinator. Aparat daerah disini hanya punya kewenangan kecil dalam melakukan kegiatan pemerintahan.

Pada dasarnya menurut Dwidjowijoto (2000), desentralisasi terbagi menjadi dua, yakni: desentralisasi teritorial/kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi kewilayahan, berarti pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada wilayah di dalam negara. Sedangkan desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu pada fakta adanya ‟span of control‟ dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara ”bersama-sama”.

(26)

Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pembagian bentuk– bentuk desentralisasi, maka secara umum desentralisasi terbagi dalam 3 bentuk, yakni:

 Desentralisasi Administratif

Rondinelli dan Nellis (1986: 5, dikutip dari UNDP, 1999: 9) mendefinisikan desentralisasi administratif sebagai “transfer tanggung jawab untuk merencanakan, memanajemen, menaikan dan mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, perusahaan, otoritas regional atau fungsional, NGO atau organisasi-organisasi volunteer.

Menurut Litvack dan Seddon (1998), desentralisasi administratif mencari dan mendistribusikan kembali, tanggung jawab dan urusan finansial untuk penyediaan pelayanan publik di antara tingkatan pemerintahan yang berbeda.

Tipe desentralisasi pertama ini banyak diungkapkan dalam berbagai literatur desentralisasi. Asumsi dasarnya adalah sistem yang secara administratif terdesentralisasi menempatkan proporsi otonomi administrasi yang lebih luas di tingkat daerah dibandingkan di tingkat pusat (Schneider, 2003: 11). Schneider terlebih mencatat bahwa jumlah desentralisasi administratif bervariasi secara berlanjut di lintas sistem dari sistem yang secara lebih kecil memberikan otonomi kepada mereka yang lebih memberikan kewenangan yang besar secara administratif.

 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, ekspansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman

(27)

Pada dasarnya desentralisasi fiskal, menurut Smoke (2001: 4) berawal dari sebuah teori fiscal federal yang menyatakan bahwa desentralisasi memfokuskan pada pemaksimalan kesejahteraan sosial yang digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi yang efisien dan distribusi yang sama (Musgrave, 1958 dalam Schneider 2003: 10).

Selanjutnya, desentralisasi fiskal yang memfokuskan pada stabilitas ekonomi berasumsi bahwa organisasi non sentralistik mengeluarkan dan menyerap proporsi resources yang lebih besar yang akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi (Schneider, 2003: 10). Argumen alokasi ini menyatakan bahwa kesejahteraan dapat diraih melalui desentralisasi sebab masyarakat yang berbeda daerah yurisdiksi dapat memilih pelayanan publik dan pajak yang sangat cocok dengan preferensi mereka (Smoke, 2001: 6).

Secara umum framework desentralisasi fiskal dibangun atas dasar asumsi bahwa sistem yang secara fiskal terdesentralisasi akan menempatkan proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar pada level lokal dibandingkan pada level pusat (Schneider 2003: 10). Sumber-sumber utama lain dari pendapatan lokal di negara-negara berkembang adalah transfer keuangan antar daerah. Di Indonesia, di bawah UU No. 25 Tahun 1999, untuk Dana Alokasi Umum (DAU), sebanyak 25% dari total pendapatan ditujukan untuk fiskal transfer, sebanyak 2,5% dialokasikan ke provinsi dan 22,5 % dialokasikan kepada kabupaten dan kota.

Dari penjelasan tersebut, sangat logis jika masyarakat daerah ingin memisahkan diri dari pemerintah induknya, yakni untuk memperoleh proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar bagi daerahnya, baik yang berasal dari pengelolaan potensi alam maupun transfer keuangan dari pemerintah pusat.

(28)

 Desentralisasi Politik

Desentralisasi politik yang dimaksud disini adalah termasuk transfer kekuasaan administratif, keuangan dan politik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwakilan, kebijakan dan pelayanan (UNDP, 1999: 10). Hal ini dapat mendorong proses demokrasi melalui pemberian pengaruh kepada rakyat atau perwakilannya dalam formulasi dan implementasi kebijakan. (Litvack dan Seddon, 1998: 2).

Mainstream jenis desentralisasi politik atau demokrasi, menurut

Schneider (2003: 13) adalah sistem-sistem yang secara politik terdesentralisasi melembagakan proporsi fungsi politik yang besar pada level daerah dari pada pusat. Pada konteks ini, Crook dan Sverrisson (2001: 2) mencatat bahwa desentralisasi sesungguhnya mengenai distribusi kekuasaan dan resources baik pada level yang berbeda dan teritorial dari suatu negara dan di antara kepentingan yang berbeda dalam hubungan mereka kepada elit yang berkuasa. Manor (1997: 8) juga berpendapat bahwa desentralisasi politik disusun sebagai alat untuk mempertajam demokrasi atau membuka sistem yang tertutup, untuk memberikan ruang gerak bagi kelompok-kelompok kepentingan guna mengorganisasi, berkompetisi dan membuka diri mereka sendiri.

Desentralisasi politik atau demokrasi adalah penting untuk membawa pemerintah dekat dengan masyarakat. Bank Dunia (1995: 2) menyatakan bahwa desentralisasi sumber-sumber dan kewajiban tanpa reformasi di bidang politik/demokrasi akan tidak lengkap atau tidak kondusif bagi hasil-hasil sosial yang efektif.

Secara lebih luas, Manor (1997: 8) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk dari desentralisasi politik termasuk kasus-kasus dimana orang-orang di dalam institusi atau otoritas tertentu dipilih melalui pemilu. Hal ini termasuk juga kesepakatan yang tidak konvesional dimana

(29)

kekuasan menentukan kekuasan di DPR. Manor selanjutnya menegaskan, bahwa desentralisasi politik juga meliputi usaha dimana masyarakat pada level lokal mempunyai beberapa pengaruh melalui pembentukan komite-komite lokal yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat.

B. KONSEP OTONOMI

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan terminologi „desentralisasi‟ dan „otonomi‟ sering dipertukarkan satu sama lain, dalam arti keduanya dianggap memiliki pengertian dan makna yang kurang lebih sama. Namun sesungguhnya kedua hal tersebut memiliki pengertian dan makna yang berbeda, desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi. Secara bahasa, otonomi bermakna memerintah sendiri (berasal dari bahasa Yunani: autos = sendiri, nomos = perintah). Dengan demikian, otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sarundajang, 1999:27).

Sementara menurut Muttalib (1982: 234), konsep otonomi sebenarnya merupakan konsep yang sudah cukup tua, akan tetapi konsep ini digunakan pada situasi modern dimana konsep tersebut sejalan dengan ketersediaan kerangka hukum pada badan-badan sosial dan kebebasan aktual yang dimilikinya, memberikan kontribusi kepada feodalisme dengan esensi penekanan pada perjanjian dan norma, sejalan dengan pertumbuhan kapasitas legislatif dan administratif, yang dapat menjamin asosiasi-asosiasi tersebut berhubungan secara damai, dalam situasi lebih banyak atau lebih sedikit diatur oleh negara.

Dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa otonomi adalah keleluasaan dan kebebasan untuk mengelola badan social, organisasi, asosiasi, dan pemerintahannya sendiri dalam suasana yang lebih banyak atau sedikit diatur oleh negara. Atau dengan kata lain, dalam konteks

(30)

mungkin pengaruh dari pemerintah pusat, karena pemerintah daerah telah memiliki seperangkat kebijakan, kelembagaan, SDM Aparatur, Sarana-Prasarana untuk mendukung berlangsungnya otonomi daerah dimaksud.

Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 butir 5). Dari definisi tersebut secara tersirat nampak bahwa implikasi dari penerapan konsep otonomi daerah adalah terbentuknya daerah otonom (DO), yaitu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terkait dengan daerah otonom, Sarundajang (1999: 38-44) memberikan 5 klasifikasi daerah otonom (DO) sebagai berikut:

1. DO dengan otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi ini menyatakan bahwa rumah tangga adalah keseluruhan urusan yang menentukan mati hidupnya badan otonomi atau daerah otonom.

2. DO dengan otonomi formal atau rumah tangga formal, yaitu apa yang menjadi urusan otonomi itu tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

3. DO dengan otonomi materiil atau rumah tangga materiil, dimana kewenangan DO itu dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitative dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur di dalamnya.

4. DO dengan otonomi riil atau rumah tangga riil, yaitu DO yang menyatakan bahwa penentuan tugas peralihan atau penyerahan wewenang-wewenang urusan tersebut didasarkan kepada kebutuhan dan keadaan serta

(31)

5. DO dengan otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis, dimana kepada DO diserahi suatu hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan di bidang tertentu. Otonomi nyata artinya disesuaikan dengan factor-faktor tertentu yang hidup dan berkembang secara obyektif di daerah; otonomi bertanggung jawab dalam arti selaras atau sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan; dan otonomi dinamis dalam arti dapat memberi dorongan lebih baik dan maju atas segala kegiatan pemerintahan.

Senada dengan hal tersebut, UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Dalam arti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya, daerah-daerah otonom menerapkan ketiga prinsip tersebut sehingga diharapkan akan mencapai suatu kemandirian daerah.

Lebih lanjut Dwidjowijoto (2000: 48) menegaskan bahwa otonomi adalah derivate atau turunan dari desentralisasi, sedangkan daerah-daerah otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat desentralisasi, maka akan semakin tinggi tingkat otonomi daerah.

Hal ini dapat dicermati ketika terjadi pembentukan kota administrative (kotatif) pada masa ORBA, dimana kotatif-kotatif ini merupakan daerah-daerah yang diberi kewenangan untuk mengelola sebagian urusan pemerintahan yakni di bidang administratif saja. Selain itu, kotatif tidak memiliki lembaga perwakilan sendiri (DPRD). Oleh karena itu, meskipun telah ada penyerahan sebagian urusan tetapi kotatif bukanlah merupakan daerah otonom.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi merupakan konsep yang berbeda dengan desentralisasi, karenanya kurang tepat mempertukarkan penggunaan kedua konsep tersebut. Hal tersebut dikarenakan otonomi merupakan turunan dari desentralisasi, semakin tinggi tingkat atau derajat desentralisasi maka akan makin tinggi pula tingkat otonominya. Penerapan konsep otonomi pada penyelenggaraan pemerintahan akan menghasilkan daerah otonom, yakni suatu kesatuan masyarakat hokum

(32)

C. PERJALANAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DI INDONESIA

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk seterusnya menjadi urusan daerah tersebut. Sebagai implementasinya lalu diadakan otonomi daerah baik pada provinsi maupun kabupaten/kota.

Sejak terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia, telah banyak digulirkan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, secara berturut-turut UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini dilakukan dalam rangka pencarian bentuk dan susunan pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada kala itu, yang dapat memenuhi harapan masyarakat, serta sesuai dengan tuntutan pembangunan yang dikumandangkan pada masa itu.

Di Indonesia, keinginan untuk menerapkan desentralisasi sesungguhnya telah muncul semenjak bangsa ini dijajah oleh Belanda, yang didasarkan pada Decentralisatie Wet Tahun 1903. Hanya saja desentralisasi yang dilaksanakan pada masa itu lebih banyak bermuatan “kolonialisme” daripada usaha sadar untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, desentralisasi merupakan bagian dari kampanye politik etis, yakni melalui upaya-upaya administratif agar pemerintah kolonial Hindia Belanda dapat lebih mudah mengatur daerah jajahannya. Politik Hindia Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia secara administratif terbukti menuai hasil yang cukup gemilang.

Pada tabel 2 di bawah ini akan dijabarkan perjalanan desentralisasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai pasca ORBA.

(33)

Tabel. 2

Perjalanan Desentralisasi dan Otonomi di Indonesia

Periode Konfigurasi

Politik UU Otonomi Otonomi Hakikat Perjuangan

Kemerdekaan (1945-1949)

Demokrasi UU No. 1 Tahun 1945

UU No. 22 Tahun 1948

Otonomi Luas

Pasca Kemerdekaan

(1950-1959) Demokrasi UU No. 1 Tahun 1957 Otonomi Luas Demokrasi Terpimpin

(1959-1965)

Otoritarian Penpres No. 6/1959 UU No. 18/1965 Otonomi Terbatas Orde Baru (1965-1998)

Otoritarian UU No. 5 Tahun 1974

Sentralisasi Pasca Orde Baru

(1998-sekarang)

Demokrasi UU No. 22/1999 *) UU No 25/1999 *)

Otonomi Luas

Sumber: Syaukani et al, 2002.

Keterangan: *) UU No. 22/1999 kemudian direvisi dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. *) UU No. 25/1999 kemudian direvisi dengan

UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dari tabel 2 di atas dapat disimak perjalanan desentralisasi dan otonomi sejak awal kemerdekaan sampai pasca ORBA. Pada masa perjuangan kemerdekaan, pasca kemerdekaan (1950-1959), dan pasca ORBA menunjukkan derajat desentralisasi yang tinggi karena otonomi yang diterapkan adalah otonomi luas. Namun pada masa demokrasi terpimpin dan ORBA, terlihat jelas bahwa derajat desentralisasi yang diterapkan pada posisi yang rendah. Terlebih lagi pada masa ORBA, yang terjadi justeru sentralisasi.

Pergantian pemegang kekuasaan di Indonesia ternyata tak membawa hasil yang signifikan dalam pemberian hak-hak daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri secara otonom. Disini, pemerintah pusat selalu menancapkan kekuasaannya di daerah. Dalam hal

(34)

ini, pemerintahn daerah harus selalu menerima kebijaksanaan pembangunan sesuai dengan instruksi pemerintah pusat. Pada era Orde Baru (ORBA), kuatnya pengaruh corak otoritarian yang berlangsung selama kurang lebih 3 dasawarsa seakan telah menghapuskan makna desentralisasi itu sendiri. Pada era ORBA, titik berat otonomi daerah diberikan kepada Daerah Tingkat II, namun demikian kenyataannya pada pemberian otonomi kepada daerah, di dalamnya lebih besar muatan “kewajiban” daripada “hak” nya. Sehingga dengan demikian masih tampak unsur sentralistisnya.

Dalam masa reformasi, desentralisasi yang masih berciri sentralistik (pseudo desentralisation) yang diterapkan oleh pemerintah ORBA dianggap sebagi penyebab utama pudarnya tatanan pemerintahan di Indonesia. Setelah Suharto mundur, pucuk pimpinan nasional digantikan oleh Habibie, Kala itu, wacana seputar desentralisasi politik bergulir sangat cepat. Pada waktu itu juga, timbul pula wacana negara federal. Wacana ini menjadi suatu wacana menarik yang menjadi penyeimbang wacana NKRI dengan otonomi daerah sebagai formula mengantitesis pola sentralistik. Akhirnya pilihan politikpun dijatuhkan dengan mengambil bentuk desentralisasi berupa otonomi yang diberikan pada tingkat kabupaten/kota. Pilihan ini dituangkan dalam bentuk UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004.

Model pemerintahan daerah yang dianut dalam sistem negara kesatuan setidaknya mengandung beberapa prinsip, antara lain: (1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan yang penuh. (2) desentralisasi dimanisfestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk penyerahan/pengakuan atas urusan pemerintahan diberikan kepada daerah. (3) penyerahan/pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.

(35)

D.

KONSEP PEMEKARAN DAERAH DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI LOKAL Pemekaran daerah sesungguhnya merupakan proses pembentukan daerah otonom baru di mana komunitas masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu memisahkan diri dari daerah induk untuk membentuk pemerintahan sendiri (self local government). Melalui kebijakan pemekaran, memberikan kemudahan dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat di suatu daerah untuk membentuk pemerintahan daerah dengan karakteristik dan identitas lokal tertentu. Dengan demikian adanya pemekaran daerah, akan memunculkan daerah otonom baru.

Daerah otonom menunjuk pada daerah/tempat (geografi), sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom diartikan sebagai “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara Otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi/ kebebasan masyarakat, di mana dengan adanya otonomi tersebut terbentuklan daerah otonom.

Otonomi daerah memerlukan kejelasan pembagian kewenangan, sehingga dalam pelaksanaanya pusat akan menjalankan urusan tertentu yang menjadi kewenangannya, demikian pula halnya dengan daerah. Untuk dapat menjalankan desentralisasi, negara perlu dibagi ke dalam daerah otonom dengan batasan wilayah-wilayah tertentu yang menjadi otoritasnya.

Dari sini muncul permasalahan ketika menentukan daerah-daerah yang akan menjalankan otonomi tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul misalnya bagaimana membagi daerah-daerah dalam suatu negara, berapa jumlah daerah yang layak terbentuk, berapa ukuran suatu daerah yang layak, apa kriteria untuk dapat membentuk suatu daerah baru. Permasalahan pembagian daerah bukan hal yang mudah. Secara konsep daerah otonom sebenarnya bersifat multi-dimensional, dimana merupakan suatu entitas sosial terorganisir yang memiliki perasaan sebagai satu kesatuan. Menurut M.A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, dimensi-dimensi tersebut

(36)

mempengaruhi lahir, tumbuh dan berkembangnya suatu daerah. Untuk membentuk, membatasi area pemerintahan daerah, tidak dapat hanya dilihat dari satu faktor. Oleh karena itu pembentukan daerah akan menjadi masalah yang kompleks dengan beragam alasan, kriteria, dan prosesnya.

1.

Tujuan Pemekaran Daerah

Trend pemekaran daerah merupakan tuntutan untuk adanya self governance . Dengan demikian tuntutan untuk membentuk daerah baru

tersebut dapat timbul akibat berbagai alasan yang sama dengan tuntutan adanya otonomi.

Secara normatif pemekaran daerah di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000).

Sementara menurut pendapat John Stuart Mill dalam tulisannya “Representative Government”, dikatakan bahwa dengan adanya pemerintahan daerah maka hal itu akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih untuk suatu jabatan politik. Ini dapat menimbulkan motif lain dalam upaya pembentukan daerah yang mungkin saling bertentangan dengan tujuan yang lain.

2.

Kriteria Pemekaran Daerah

Kemunculan suatu daerah dapat dipengaruhi berbagai faktor. B.C. Smith (1985, pp.64-78) mengemukakan bahwa untuk menentukan suatu wilayah terdapat beberapa prinsip utama yakni, kemasyarakatan (communities), efisiensi, manajerial, teknis, dan prinsip sosial.

Berdasarkan prinsip kemasyarakatan, suatu kesatuan sosio ekonomi yang memiliki kesamaan rasa dan identitas dapat menjelma

Gambar

Tabel berikut menggambarkan beberapa kutipan langsung masukan  narasumber seputar kriteria pemekaran daerah:

Referensi

Dokumen terkait

Korupcinio pobûdþio nusikalstamø veikø objektas yra valstybës tarnyba, kaip teisiniø santykiø, atsirandanèiø ági- jus valstybës tarnautojo statusà, jam pasikeitus ar já

Berdasarkan analisis secara keseluruhan diketahui bahwa penerapan metode Computer Assisted Test (CAT) dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil berbasis Kompetensi di

Berdasarkan wawancara (17 Januari 2017) dengan IPTU Yuliman, Kasubnit 2 Unit 6 Polrestabes Makassar, mengungkapkan bahwa faktor penyebab terjadinya kejahatan penculikan

An paninigarilyo ay mapanganib sapagkat ang usok nito ay nakakapinsala hindi lamang sa taong gumagawa nito kung hindi na rin sa taong naka paligid sa

Pada data (4) kata ajar, mengajarnya dan diajarkan memiliki kata dasar ajar. Kata ajar merupakan kata benda, sedangkan kata mengajarnya merupakan kata kerja. Perubahan yang

sekaligus untuk menguji reliabilitas dan validitas riset ini pada perusahaan jasa perhotelan, maka peneliti tertarik untuk menguji ulang bagaimana pengaruh

Faktor ini mungkin antara penyebab peningkatan skor soal selidik kendiri yang rendah berbanding skor pengukur prestasi dalam kalangan murid penglihatan terhad di dalam kajian

Dari jumlah keseluruhan tersebut kurang lebih ada 50% peserta didik yang tidak melaksanakan shalat, dengan jumlah setiap pelaksanaan bimbingan keagamaan, dari kelas