• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Implikasi Kebijakan

Pengaruh faktor eksternal tidak terlepas dari karakteristik negara Indonesia sebagai negara small open economy dimana stabilitas perekonomian domestik dapat dipengaruhi oleh guncangan perekonomian dunia. Adapun faktor eksternal seperti nilai tukar, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang dapat mempengaruhi inflasi di Indonesia.

Pentingnya pengaruh harga minyak dunia dan harga pangan dunia dikarenakan Indonesia masih bergantung pada impor minyak dan impor pangan. Sejak tahun 2003, Indonesia telah mengundurkan diri dari keanggotaan OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) dan menjadi negara pengimpor minyak. Hal ini dilakukan karena produksi minyak dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya. Selain itu, menurut Braun (2008) harga pada pangan dunia dapat menaikkan tekanan secara umum pada inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat.

Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor eksternal ini, yaitu sebaiknya meningkatkan kemandirian energi dan pangan. Swasembada energi dapat dilakukan dengan mencari alternatif sumber energi baru yang dapat diproduksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Swasembada pangan dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan pangan yang seoptimal mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada impor pangan.

Pengaruh faktor eksternal lainnya, yaitu nilai tukar. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar maka harga barang impor akan meningkat. Peningkatan

harga barang impor ini dapat menyebabkan peningkatan pada struktur biaya (cost) sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga barang domestik. Implikasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yaitu melalui kebijakan suku bunga dalam Operasi Pasar Terbuka. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka masyarakat akan cenderung menukarkan uangnya dengan surat berharga atau obligasi, karena suku bunga adalah harga uang dimasa depan. Sehingga jumlah uang beredar di masyarakat berkurang. Apabila uang rupiah relatif berkurang dibandingkan mata uang asing, maka nilai rupiah akan cenderung menguat terhadap mata uang asing. Kebijakan pengendalian stabilitas nilai tukar ini juga berhubungan dengan kebijakan moneter dalam pengendalian faktor internal.

Pengaruh faktor internal seperti adanya perubahan kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan di bidang harga dalam negeri juga dapat berpengaruh pada inflasi. Menurut teori ekspektasi rasional diasumsikan bahwa orang-orang memiliki ekspektasi secara rasional. Teori ekspektasi rasional mengasumsikan bahwa orang-orang secara optimal menggunakan seluruh informasi, termasuk informasi tentang kebijakan pemerintah sekarang, untuk meramalkan masa depan. Pengendaliaan ekspektasi inflasi tersebut dapat dilakukan melalui koordinasi antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga.

Menurut sumber terjadinya inflasi, inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dimana inflasi dari sisi permintaan dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Sedangkan, inflasi dari sisi penawaran

terjadi diluar kendali otoritas moneter seperti volatile food dan administered prices.

Dari sisi permintaan, kebijakan moneter di Indonesia untuk mengendalikan inflasi yaitu melalui kerangka kebijakan moneter yang disebut dengan Inflation Targeting Framework (ITF). Tujuan dari ITF ini yaitu mencapai inflasi yang rendah dan stabil melalui instrumen suku bunga BI rate. Contohnya, saat krisis 2008 terjadi depresiasi nilai tukar hingga mencapai Rp 12.151 per dollar AS dan inflasi mencapai 11,06 persen. Bank Indonesia meningkatkan BI rate hingga mencapai 9,5 persen untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi. Pada tahun 2009 nilai tukar kembali menguat dan inflasi turun mencapai 2,78 persen. Dalam pengendalian inflasi, Bank Indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Sehingga perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya. Dari sisi permintaan, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal. Instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal ini melalui kebijakan defisit atau surplus anggaran (pendapatan-pengeluaran). Untuk menentukan defisit atau surplus, dalam penentuan RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) diperhitungkan asumsi ekonomi makro seperti besarnya inflasi dan nilai tukar dimasa datang. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam menentukan RAPBN. Sehingga kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dapat berjalan searah sesuai tujuan.

Dari sisi penawaran, inflasi salah satunya dipengaruhi oleh administered prices yaitu harga barang yang ditentukan oleh pemerintah seperti Tarif Dasar Listrik dan Harga BBM. Pada pengalaman sebelumnya, kenaikan harga BBM

selalu memicu terjadinya inflasi. Pada April 2012 pemerintah mewacanakan akan meningkatkan harga BBM. Hal ini membuat ekspektasi masyarakat bahwa inflasi akan naik. Hal ini mengundang tindakan penimbunan BBM, sehingga harga-harga barang terlanjur naik meskipun harga BBM tidak jadi naik. Sehingga perlu adanya koordinasi antara pemerintah dalam penetapan kebijakan harga, kebijakan moneter dan fiskal untuk menjaga ekspektasi inflasi di masyarakat.

Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor internal ini, yaitu sebaiknya perlu adanya koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga dalam mengendalikan inflasi. Hal ini dikarenakan, Bank Indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Sehingga perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada faktor eksternal, seperti nilai tukar dan harga minyak dunia berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang. Selain itu, harga pangan dunia juga berpengaruh positif, namun tidak signifikan dalam jangka panjang. Pada faktor internal, seperti ekspektasi inflasi, uang beredar dan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang. PDB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang. Suku bunga berpengaruh negatif, namun tidak signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang.

2. Berdasarkan hasil IRF, inflasi akan paling cepat merespon ketika terjadi guncangan pada ekspektasi inflasi. Sedangkan, inflasi akan paling lama mencapai keseimbangan jangka panjang ketika terjadi guncangan pada PDB.

3. Berdasarkan hasil FEVD, menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi (faktor internal) memiliki kontribusi terbesar dalam menjelaskan variabilitas inflasi. Adapun variabel harga minyak dunia dan nilai tukar (faktor eksternal) yang memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan variabel lainnya dalam menjelaskan variabilitas inflasi.

4. Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor eksternal, yaitu sebaiknya meningkatkan kemandirian

energi dan pangan melalui program swasembada energi dan pangan. Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor internal ini, yaitu sebaiknya perlu adanya koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga dalam mengendalikan inflasi.

5.2. Saran

1. Untuk meminimalisir pengaruh guncangan faktor eksternal seperti kenaikan harga minyak dunia dan harga pangan dunia, maka sebaiknya perlu meningkatkan kemandirian energi dan pangan. Swasembada energi dapat dilakukan dengan mencari alternatif sumber energi baru yang dapat diproduksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Swasembada pangan dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan pangan yang seoptimal mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada impor pangan.

2. Untuk meminimalisir guncangan faktor internal, terutama ekspektasi inflasi, maka sebaiknya perlu adanya koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga dalam mengendalikan inflasi. Hal ini dikarenakan, Bank Indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Sehingga perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya.

OKTYA SETYA PRATIDINA

Dokumen terkait