• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN JEMBER

9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Setiap tahun pemerintah melalui Kementrian Pertanian menetapkan target luas panen, produksi tebu dan produksi gula putih. Pada tahun 2014, misalnya, pemerintah menetapkan target luas panen 456.300 ha dan 3,10 MMT gula putih. Namun dalam kenyataannya luas panen hanya 450.000 ha, total produksi tebu pada tahun 2014 hanya mencapai 233.700 ton dengan produksi gula putih sebesar 2,3 MMT. USFDA (2015) memprediksi bahwa produksi gula putih menurun menjadi 2,1 MMT. Berdasarkan pada kenyataannya, dapat disimpulkan bahwa pengaturan peningkatan produksi baik dari hulu dan industri hilir terjadi inefisiensi pada budidaya tebu dan industri pabrik gula.Upaya pemerintah untuk merevitalisasi beberapa pabrik mililk negara tidak akan tercapai tanpa revitalisasi atau meningkatkan efisiensi perkebunan tebu. Oleh karena itu, adalah penting bahwa meningkatkan efisiensi pada tebu misalnya melalui menurunkan biaya produksi, akan membantu untuk meningkatkan efisiensi.

2. Pemerintah, melalui alokasi anggarannya, yang dikenal dengan anggaran pembangunan untuk pemerintah daerah, pada umumnya untuk meningkatkan sektor perkebunan Indonesia. Anggaran yang dialokasikan ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan penyuluhan, pengendalian, serta monitoring dan evaluasi. Namun demikian, pencairan anggaran untuk perkebunan tebu diperlukan.

3. Meningkatkan efisiensi budidaya tebu/gula dapat disampaikan melalui mekasime insentif yang menarik bagi petani. Penting untuk dicatat bahwa ada terlalu banyak distorsi dalam kebijakan harga untuk sektor pertanian pada umumnya, dan industri pada khususnya. Impor bahan baku gula, makanan dan pekerja di insudtri telah sampai pada batas tertentu, terdistorsi harga gula di pasar. Hal ini menciptakan diinsentif bagi petani tebu yang mengarah ke lebih inefisiensi dan produktivitas yang rendah. Oleh karena itu, kebijakan harga yang bijaksana untuk pekerja di industri gula sangat dibutuhkan.

4. Inefisiensi pada skala tebu rakyat berpangkal dari persoalan keprasan yang berulang-ulang kali bahkan sampai belasan kali, karena tidak tersedianya dana untuk bongkar ratoon. Hal ini menyebabkan penurunan terhadap produksi dan produktivitas tebu petani serta sampai pada penurunan rendemen tebu. Upaya petani untuk melakukan ekstensifikasi pada kondisi sekarang sudah tidak memungkinkan lagi, karena lahan yang terbatas dan cara yang memungkinkan untuk dilakukan saat ini adalah melakukan program intensifikasi. Saat ini investasi yang perlu dilakukan pemerintah melalui anggaran fiskalnya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu adalah penyediaan modal sebagai dana untuk bongkar ratoon pada petani, artinya pemberian modal dalam bentuk kredit dengan skim kredit yang khusus yaitu dengan bentuk kredit yang lunak terhadap petani, tentunya dengan asumsi peningkatan modal petani dalam budidaya tebu akan dapat meningkatkan nilai tambah petani dalam budidaya tanaman tebu. Sehingga dengan adanya bantuan modal untuk petani dalam bongkar ratoon, akan berdampak terhadap peningkatan produksi tebu. Tentunya dengan produksi tebu yang meningkat akan dapat memenuhi stok bahan baku di pabrik gula, dan program swasembada gula (kemampuan

90

produksi gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung) akan dapat tercapai.

5. Basis ekonomi perdesaan adalah lahan. Wilayah tanaman tebu banyak diusahakan pada lahan tebu di perdesaan, artinya jika budidaya tebu yang berhasil (dapat meningkatkan produksi tebu) maka akan dapat meningkatkan ekonomi perdesaan. Hal ini ditunjang dengan adanya aset specificity dari masayarakat pedesaan didaerah sekitar, bahwa petani tebu tidak mudah untuk beralih pada komoditas lain melihat perlunya kesesuaian lahan (utamanya lahan kering) dan tahap selanjutnya kendala dalam pemasaran hasil produksi. Sehingga petani tebu sulit atau tidak mudah untuk beralih pada komoditas lain, terlebih lagi untuk petani tebu dengan lahan di sekitar pabrik gula, dengan tidak ada pilihan lain melakukan usahatani tebu. Sehingga intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam hal perlindungan harga dasar gula melalui dana talangan. Selain itu intervensi pemerintah secara langsung untuk mengurangi peran-peran stakeholder yang seringkali menimbulkan masalah kelembagaan dalam pengembangan tebu rakyat dan cenderung merugikan petani.

91

10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Komponen yang mempengaruhi produksi tebu keprasan secara signifikan di kabupaten Jember yaitu luas lahan, pupuk organik dan tenaga kerja. Pada umumnya, alasan petani melakukan budidaya tebu secara keprasan yaitu karena keterbatasan modal dalam melakukan bongkar ratoon, namun dengan tehnik keprasan yang berulang-ulang, petani tebu ingin mendapatkan hasil panen yang maksimal dengan kualitas tebu yang manis segar bersih, sehingga dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar.Dan penggunaan input produksi rata-rata dari petani responden masih belum sesuai dengan penggunaan input yang dianjurkan, seperti pada penggunaan pupuk non- organik dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi tebu keprasan.

2. Secara umum efisiensi teknis, petani tebu memperoleh 82% output maksimum dan masih memiliki peluang 30% untuk meningkatkan efisiensi teknis pada tingkat input produksi yang ada sekarang untuk mencapai produksi tebu maksimal. Faktor-faktor yang menjadi penyebab inefisiensi teknis adalah jumlah keprasan tebu, status usaha tani tebu dan penyuluhan. Rata-rata tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani tebu keprasan di kabupaten jember relatif lebih besar. Hal ini disebabkan biaya produksi yang dikeluarkan petani tebu relatif besar. Penyebab lainnya adalah rendahnya harga yang diterima petani tebu dibandingkan dengan harga input produksi yang dikeluarkan petani tebu. Faktor status usahatani tebu merupakan faktor penyebab terjadinya inefisiensi alokatif. Sementara tidak ada faktor-faktor yang menentukan inefisiensi ekonomi.

3. Rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk usahatani tebu, sebagai dampak langsung dari banyaknya penggunaan input yang tidak proporsional. Penerimaan petani tebu dari hasil penjualan tebunya memungkinkan untuk bisa dimaksimalkan dari hasil produksi tebunya yaitu dengan memanfaatkan sumber daya input yang telah ada secara efisien. Hal ini menyebabkan rata-rata petani tebu di kapbupaten Jember memperoleh keuntungan dalam usahatani tebu.Komponen biaya pupuk organik dan biaya pupuk non organik mempengaruhi tingkat keuntungan, efisiensi teknik, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Hal ini berarti setiap perubahan tingkat penggunaan komponen biaya-biaya tersebut secara signifikan akan menentukan tingkat efisiensi teknik, efisiensi alokatif, efisiensi ekonomi dan keuntungan usahatani tebu di kabupaten Jember. Secara teknis penggunaan pupuk organik, karena efektivitas dan keberhasilan penggunaan pupuk organik setiap pemakaiannya akan meningkatkan jumlah produksi tebu keprasan.

4. Ketersediaan lahan untuk mendukung usahatani tebu dan target produksi tebu bisa dicapai dengan memperhatikan dan memanfaatkan input tanaman tebu milik petani dan pemberdayaan petani agar hasil produksi optimal.

5. Secara peraturan perundang-undangan petani tidak mendapat dukungan untuk berkembang, artinya petani mempunyai kepentingan tetapi tidak mempunyai pengaruh dan begitu sebaliknya. Karena struktur kelembagaan menjadikan

92

kelompok yang tidak berdaya, ini disebabkan dijadikan obyek kepentingan dari aktor-aktor lain seperti PG, KPTR dan APTR. Sehingga perlu struktur yang baru yang memungkinkan dapat mendukung petani tebu.

Saran

1. Peluang peningkatan efisiensi teknis melalui manajemen usahatani tebu keprasan semakin kecil. Oleh karena itu, usaha yang perlu dilakukan yaitu meningkatkan skala usaha dan membangun kelembagaaan petani tebu. Upaya peningkatan skala usaha dalam membantu petani tebu keprasan yang kekurangan modal perlu dukungan pemerintah dengan mefasilitasi petani tebu dalam penyediaan dana untuk melakukan bongkar ratoon/penanaman tebu tanaman baru dengan bunga subsidi. Disamping itu diperlukan juga kelembagaan petani yang dapat memfasilitasi petani-petani tebu kecil seperti pembentukan kelompok petani tebu atau adanya koperasi yang menjaga komunitas ketersediaan pupuk bagi petani tebu.

2. Penghematan biaya input produksi dapat dilakukan dengan mengurangi biaya- biaya oportunity yang secara tidak langsung dan implisit meningkatkan biaya input produksi khususnya dalam pengadaan biaya pupuk. Dengan demikian petani tebu tidak terbebani dengan keterbatasan jumlah pupuk baik pupuk organik maupun pupuk non organik yang biasanya sering mengalami keterlambatan dalam penyedian stok pupuk sehingga menghambat petani dalam mengelola tanaman tebunya dan berdampak terhadap hasil produksi tebu yang menurun.

3. Kurangnya pengetahuan petani akan pentingnya pengelolaan tebu keprasan yang baik utamanya dalam keprasan yang berulang-ulang, merupakan salah satu penyebab rendahnya efisiensi teknis. Oleh karena itu diperlukan pendidikan non formal berupa penyuluhan yang bersifat membangun kemandirian petani tebu dalam membekali petani sehubungan dengan informasi berbagai input produksi yang dapat meningkatkan produksi tebu. Kondisi saat ini, pengetahuan petani tebu dalam usahatani tebu hanya sebatas pembelajaran dari pengalaman dan informasi dari sesama petani tebu lainnya atau bahkan merupakan usahatani yang turun temurun dari orang tuanya. 4. Perlunya reformasi kebijakan terkait dengan kepentingan petani tebu dengan

93

Dokumen terkait