EFISIENSI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN TEBU
RAKYAT DALAM MENDUKUNG PEREKONOMIAN
WILAYAH DI KABUPATEN JEMBER
ENDAH KURNIA LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
ENDAH KURNIA LESTARI. Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, M. PARULIAN HUTAGAOL dan ACENG HIDAYAT.
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu tebu sebagai bahan baku utama. Keterbatasan lahan untuk perkebunan tebu, rendahnya kualitas bibit serta fenomena kembalinya petani tebu rakyat pada tanaman tebu keprasan yang berulang-ulang di kabupaten Jember menjadikan peningkatan produksi gula dalam kondisi dilemma. Untuk itu perlunya efisiensi dpada tehnologi yang sekarang dengan intensifikasi melalui input-input produksinya Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi tehnis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani tebu keprasan serta faktor-faktor yang mempengaruhi, menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan tingkat efisiensi, mengkaji ketersediaan lahan dan target produksi tebu dan mengkaji kelembagaan dalam pengembangan tebu rakyat.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pengambilan sampel secara purposive pada petani tebu keprasan di wilayah kerja PG Semboro. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi usahatani tebu dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) (Banker, Channer, Cooper 1978).
Hasil analisis penelitian bahwa efisiensi tehnis, pada usahatani tebu masih memiliki peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis pada penggunaan input produksi sebesar 30% . Rata-rata tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani tebu keprasan relatif lebih besar dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan besar dan rendahnya harga yang diterima petani tebu. Faktor-faktor yang signifikan terhadap efisiensi teknis yaitu jumlah keprasan tebu, status usahatani tebu dan penyuluhan.Rata-rata petani tebu keprasan memperoleh keutungan. Biaya pupuk organik dan pupuk non organik signifikan dan positif terhadap keuntungan, efiseinsi teknik, ekonomi dan alokatif. Ketersediaan lahan untuk mendukung usahatani tebu dan target produksi tebu bisa dicapai dengan memperhatikan dan memanfaatkan input tanaman tebu milik petani dan pemberdayaan petani agar hasil produksi optimal. Secara peraturan perundang-undangan petani tidak mendapat dukungan untuk berkembang, artinya petani mempunyai kepentingan tetapi tidak mempunyai pengaruh dan begitu sebaliknya. Sehingga perlu struktur yang baru yang memungkinkan dapat mendukung petani tebu.
Saran implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian yaitu bahwa pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penyediaan modal untuk bongkar ratoon, sehingga petani dapat menanam tebu dengan bibit yang berkualitas dan dapat meningkatkan produksi.
SUMMARY
ENDAH KURNIA LESTARI. Efficiency and Institutional Framework Sugar Cane Farming to Support Regional Economy in Jember. Supervised by AKHMAD FAUZI, M. PARULIAN HUTAGAOL and ACENG HIDAYAT.
Sugar is one of the strategic commodities in the Indonesian economy. Efforts to develop the sugar industry is highly dependent on the availability of raw materials, namely sugarcane as the main raw material. Limited land for sugar cane plantations, poor quality of seeds as well as the return of the phenomenon of sugar cane farmers in sugarcane “keprasan” repeated in Jember district makes an increase in sugar production in conditions dilemma. Therefore the need for efficiency dpada now with intensification technology through production inputs This study aims to analyze the level of technical efficiency, allocative efficiency and economic efficiency keprasan cane farming and the factors that influence, to analyze the effect of the cost of inputs to the profit and efficiency, assessing the availability of land and sugar cane production targets, to examine institutional in the development of sugar cane.
This research was conducted in Jember regency, East Java. Purposive sampling on “keprasan” sugarcane farmers in the region of PG Semboro. The approach used to estimate the level of sugar cane farming efficiency by using Data Envelopment Analysis (DEA) (Banker, Channer, Cooper 1978).
The analysis of research that technical efficiency, the sugar cane farming still has a chance to improve technical efficiency in the use of production inputs by 30%. The average level of allocative efficiency and economy cane farming keprasan greater relative production costs incurred due to the large and low prices received by farmers. Factors significant technical efficiency is the amount of keprasan cane, sugar cane farming status and penyuluhan.Rata average sugarcane farmers “keprasan” obtain profit. Cost of organic fertilizer and inorganic fertilizer significant and positive impact on profit, the efficiency of technical, economic and allocative. The availability of land to support the sugar cane farming and sugar cane production targets can be achieved by considering and utilizing the sugarcane farmers' input and empowerment of farmers so that optimum production results. In the legislation the farmer does not have the support to grow, meaning that farmers have an interest but have no effect and vice versa. So it needs a new structure that allows to support farmers.
Feedback policy implications based on research results is that the government is expected to facilitate farmers in the provision of capital to dismantle ratoon, so that farmers can plant the seeds of sugarcane with quality and increase production.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
EFISIENSI DAN KERANGKA KLEMBAGAAN TEBU
RAKYAT DALAM MENDUKUNG PEREKONOMIAN
WILAYAH DI KABUPATEN JEMBER
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Setia Hadi, MS
(Dept. ARL Institut Pertanian Bogor) Prof (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU (PSEKP Badan Litbang Pertanian) Penguji pada Sidang Promosi: Dr. Ir. Setia Hadi, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi dengan judul “Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember” dapat diselesaikan pada waktunya, setelah melalui proses perbaikan dalam berbagai tahapan penulisan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa dukungan komisi pembimbing, para penguji, staf skretariat dan keluarga. Untuk itu penguji mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, Prof Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT atas kontribusi yang besar dan sangat berharga selama proses penyusunan disertasi ini.
2. Para penguji pada ujian tertutup dan sidang promosi Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Prof. (R) Dr. I Wayan Rusastra, APU.
3. Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan, Prof Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas arahan dan masukan yang sangat berharga selama proses penyusunan disertasi.
4. Seluruh staf pengajar PWD Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkualiahan di IPB.
5. Seluruh staf sekretariat PWD yang telah membantu menyelesaikan
permasalahan non-teknis sehingga proses penyusunan dan ujian disertasi dapat berjalan lancar.
6. Universitas Jember atas tugas belajar yang diberikan kepada penulis serta dukungan pembiayaan sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dengan lancar.
7. Pimpinan Pabrik Gula Semboro Kabupaten Jember, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember dan para petugas lapangan atas bantuan informasinya
8. Rekan-rekan sesama mahasiswa PWD khususnya angkatan 2010 atas
kerjasamanya yang baik dan dukungan semangat selama kuliah dan proses penyusunan disertasi ini.
9. Kedua orang tua Bapak Purnomo, SH (alm) dan Ibu Iendhit Heraini, suamiku tercinta Yuly Andika Candra dan Anak-anakku tersayang Satrio Candra Nugroho, AryaBima Candra Atmaja dan Dimas Candra Wiguna dan semua keluarga atas doa, dukungan, pengertian dan kasih sayang yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
Penulis menyadari bahwasannya tulisan disertasi ini tidaklah sempurna. Untuk itu, saran berharga sangatlah diharapkan. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup Penelitian 10
Kebaharuan Penelitian 10
2 TINJAUAN PUSTAKA 11
Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier 11
Konsep Produktivitas 12
Konsep Efisiensi dan Efisiensi Produksi 12
Konsep Pengukuran Efisiensi 15
Pendekatan Pengukuran Efisiensi 18
Faktor Yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis 20
Analisis Efisiensi Produksi Tebu 22
Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Tebu 23
Analisis Pendapatan Usahatani Tebu 24
Konsep Kelembagaan 26
Peran Kelembagaan 28 Kajian Penelitian Tedahulu 30
3 METODE PENELITIAN 32
Kerangka Konseptual Penelitian 32
Waktu dan Tempat Penelitian 34
Jenis, Sumber Data dan Tehnik Pengambilan Sampel 34
Tahapan Penelitian Dan Analisis Data 35
Model Faktor-Faktor Yang Memproduksi Tebu 35
Model Estimasi Efisiensi Produksi Usahatani Tebu 36
Model Estimasi Inefisiensi Faktor-Faktor Usahatani Tebu 37
Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan 40
Analisis Pengaruh Biaya Input Produksi Terhadap Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis 40
Analisis Kelembagaan 40
4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 Kondisi Wilayah 41
Produksi Tebu 43
Produktivitas Tebu per Hektar 44
Karakteristik Petani Responden 45
Tehnik Budidaya Tebu Lahan Kering untuk Keprasan 49
Panen dan Pasca Panen 49
Penggunaan Input-Input Produksi 50
Sistem Bagi Hasil 52
Rendemen Tebu 53
5 ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU KEPRASAN DI KABUPATEN JEMBER 54
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Tebu 54
Efisiensi Teknis Produksi Tebu 56
Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Tebu 60
Efisiensi Teknis Usahatani dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis Usahatani Tebu di Kabupaten Jember 62
Efisiensi Alokatif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Alokatif 64
Efisiensi Ekonomi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Ekonomi 64
6 ANALISIS KEUNTUNGAN USAHATANI TEBU KEPRASAN DI KABUPATEN JEMBER 65 Analisis Biaya Produksi Usahatani Tebu 65
Analisis Penerimaan Ushatani Tebu 66
Analisis Keuntungan Usahatani Tebu 67
Pengaruh Biaya Input Terhadap Keuntungan, Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi dalam Usahatani Tebu 68
7 KAJIAN KEWILAYAHAN PENGEMBANGAN TEBU DI KABUPATEN JEMBER 70 Ketersediaan Lahan 72 Target Produksi 74 8 KAJIAN KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER 76 Kajian Kelembagaan bidang Perkebunan dan Budidaya Tebu 77 Stakeholder yang terkait dengan Kelembagaan Industri Gula 79 Peran Stakeholder dalam Kegiatan Pengembangan Tebu Rakyat 81 Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Peran Stakeholder dalam Kegiatan Pengembangan Tebu rakyat 82 Struktur Tata Kelola Industri Gula 85
10SIMPULAN DAN SARAN 91
Simpulan 91
Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 93
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1 Jumlah PG dan Kapasitas Industri Gula Indonesia 2
2 Kinerja Produksi Gula dan Tetes 4
3 Rekapitulasi Hasil Penelitian Terdahulu 30
4 Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penguasaan Lahan di
Wilayah Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 41
5 Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Jenis Lahan di
Wilayah Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 42
6 Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di
Wilayah Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 42
7 Perkembangan Luas Areal Lahan Tebu Petani Keprasan di Wilayah Krja
PG Semboro Tahun 2010-2014 42
8 Perkembangan Produksi Tebu Berdasarkan Jenis Lahan Tebu di Wilayah
Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 43
9 Perkemabangan Produksi Tebu Berdasarkan Penanaman Tebu di Wilayah
Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 43
10 Perkembangan Produksi Tebu Petani Keprasan di Wilayah Kerja PG
SemboroTahun 2010-2014 44
11 Perkembangan Produktivitas Tebu per Hektar Berdasarkan Jenis Lahan
Tebu di Wilayah Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 44
12 Perkembangan Produktivitas Tebu per Hektar Petani Keprasan di Wilayah
Kerja PG Semboro Tahun 2010-2014 45
13 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia di Wilayah Kerja Pabrik
Gula Semboro, Kabupaten Jember, Tahun 2010-2014 45
14 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja
Pabrik Gula Semboro, Kabupaten Jember, Tahun 2010-2014 46
15 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Motivasu di Wilayah Kerja PG
Semboro Kabupaten Jember, Tahun 2010-2014 46
16 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman usahatani di Wilayah
Kerja PG Semboro, Kabupaten Jember, Tahun 2010-2014 47
17 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Keprasan di Wilayah
Kerja PG Semboro, Kabupaten Jember, Musim Tanam 2012-2013 47
18 Sebaran Petani Responden di Wilayah Kerja PG Semboro Berdasarkan
ProduksiTebu Keprasan pada Musim Tanam 2012/2013 48
19 Sebaran Petani Responden di Wilayah Kerja PG Semboro Berdasarkan
Penggunaan Luas Lahan Tebu Keprasan pada Musim Tanam 2012/2013 48
20 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Wilayah
Kerja PG Semboro Tebu Keprasan pada Musim Tanam 2012/2013 49
21 Penggunaan Input Produksi per Hektar Usahatani Tebu Keprasan di Wilayah Kerja PG Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur
Musim Tanam 2012/2013 50
22 Sebaran Petani Responden di Wilayah Kerja PG Semboro Berdasarkan
23 Analisis Deskriptif Statistik Input Produksi USahatani Tebu Wilayah
Kabupaten Jember pada Unit Kerja PG Semboro 54
24 Faktor yang Mempengaruhi Produksi Tebu Petani kepras di Wilayah kerja
PG Semboro Musim Tanam 2012/2013 55
25 Distribusi Skor Efisiensi Tehnis dengan Metode Data Envelopment
Analysis (DEA) di Kabupaten Jember 57
26 Nilai Rata-Rata Constant Return to Scale Tehnical Effieciency (CRSTE), Variabel Return to Scale Technical Efficiency (VRSTE) dan Scala Efficiency (SE) dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)
di Kabupaten Jember 57
27 Efisiensi Teknis dan Skala Efisiensi dengan Metode Data Envelopment
Analysis (DEA) di Kabupaten Jember 58
28 Rata-Rata Penggunaan Input dalam Usahatani Tebu Menurut Skala
Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis(DEA)di KabJember 59
29 Sebaran Variabel yang digunakan oleh 3 Petani responden di Kab Jember 59
30 Efisiensi Teknis Masing-Maing Input Produksi pada Tingkat Keprasan
dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Jember 60
31 Distribusi Frekuensi Efisiensi Alokatif Petani Tebu dengan Metode Data
Envelopment Analyisis (DEA) di Kabupaten Jember 61
32 Distribusi Frekuensi Efisiensi Ekonomi PEtani Tebu dengan Metode Data
Envelopment Analysis (DEA) di Kabupaten Jember 61
33 Statistik Deskriptif Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis
Produksi Tebu 62
34 Hasil Analisis Regresi Berganda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Inefisiensi Teknis 63
35 Hasil Analisis Regresi Berganda Faktor-Faktor yang Mepengaruhi
Inefisiensi Alokatif 64
35 Rata-Rata Biaya Produksi Petani Tebu Rakyat Tanaman Kepras 66
36 Profit per ha Petani Tebu Keprasan Musim Tanam 2012/2013 67
37 Hasil Regresi Biaya Input dalam Fungsi Produksi Terhadap Keuntungan,
Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi 68
38 Nama, Luas Wilayah per Kecamatan dan Jumlah Kelurahan/Desa 71
39 Penggunaan Lahan di Kabupaten Jember 72
40 Wilayah Penanaman Tebu rakyat per Kecamatan, Luas Lahan, Produksi
Tebu dan Produksi Tebu per hektar di Kabupaten Jember 73
41 Peran Aktor-aktor yang terkait dalam Industri Gula 79
DAFTAR GAMBAR
1 Peta Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Tebu di Jawa Timur 2
2 Kontribusi Produksi Tebu Terhadap Produksi Perkebunan di Jawa Timur 3
3 Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tebu di Jawa Timur Tahun
4 Perkembangan Penguasaan Lahan Tebu Rakyat dan Tebu Sendiri di
Wilayah Kerja PG Semboro 7
5 Perkembangan Jenis Lahan Sawah dan Lahan Kering di Wilayah Kerja
Semboro Jember 7
6 Perkembangan Produktivitas Tebu Tanam dan Tebu Keprasan di Wilayah
Kerja PG Semboro 8
7 Isoquant, Isocost dan Titik Kombinasi Biaya Minimal 14
8 Isokuan, Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisiensi Alokatif (AE), Efisiensi
Ekonomi (EE) dengan Pendekatan Input 16
9 Efisiensi Teknik dan Alokatif Dengan Pendekatan Output 17
10 Fungsi Produksi Stochastic Frontier 20
11 Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi 21
12 Kerangka Pikir Penelitian 33
13 Proses Pengambilan Sampel Responden Petani Tebu yang Melakukan
Keprasan di wilayah PG Semboro Kabupaten Jember 34
14 Hubungan Jumlah Keprasan dengan Produksi Tebu 48
15 Hubungan Jumlah Keprasan dengan Penggunaan Input Produksi Lahan 51
16 Hubungan Jumlah Keprasan dengan Penggunaan Input Pupuk Organik dan
Pupuk Non Organik 52
17 Hubungan Jumlah Keprasan dengan Penggunaan input Produksi Tenaga
Kerja 52
18 Distribusi Skor Efisiensi Teknis pada Model DEA Variable Return to Scale
(VRS) untuk masing-masing petani responden 58
19 Peta Kabupaten Jember 70
20 Luas Lahan Tebu Rakyat di Jember 73
21 Hubungan Kelembagaan Petani dengan Pabrik Gula 81
22 Hubungan Kelembagaan dalam Kredit Modal Petani tebu 82
23 Skema Dana Talangan 83
24 Kondisi Existing Kelembagaan Tebu Rakyat 85
25 Rancangan Skema Kelembagaan Tebu Rakyat 87
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil DEA ( Indeks Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis) 2 Hasil Analisis DEA (Indeks Efiesiensi Teknis)
3 Hasil Estimasi DEA
4 Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis 5 Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi
Alokasi
6 Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Ekonomi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan industri gula dapat berpotensi untuk menjadi sumber pertumbuhan yang disertai pemerataan (growth with equity) bagi masyarakat. Mencapai swasembada gula merupakan salah satu sasaran pembangunan sub sector perkebunan yang segera harus dicapai dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup di pedesaan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri berarti mengurangi ketergantungan terhadap impor gula sehingga industri gula tebu diharapkan dapat memberikan dampak terhadap struktur perekonomian wilayah dengan meningkatkan pendapatan daerah, termasuk mencanangkan target swasembada gula yang sampai sekarang belum tercapai.
Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal tebu yang tidak kurang dari 400.000 ha, industri gula nasional pada saat ini merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 195,5 ribu RTUT (Rumah Tangga Usaha Tani) (Badan Pusat Statistik 2011). Konsumsi gula per tahun tidak kurang dari 3 juta ton. Produksi dalam negeri selama beberapa kurun waktu cenderung mengalami penurunan sehingga mengakibatkan Indonesia masih harus mengimpor tidak kurang dari 2,3 juta ton (Kementrian Pertanian 2012).
Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu tebu sebagai bahan baku utama. Tebu merupakan tanaman musiman dari salah satu komoditas tanaman yang dikembangkan dalam kawasan perkebunan dan menghasilkan produk akhir gula dan tetes. Laju peningkatan produktivitas tebu dan hablur selama kurun waktu lima tahun terakhir masih jauh lebih rendah dari yang pernah dicapai pada kurun waktu 1930-an. Pada saat itu, produktivitas tebu hampir mendekati 140 ton/ha dan produktivitas hablur mendekati 18 ton/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 ton tebu/ha dan 6 ton hablur/ha (P3GI 2008).
Pulau Jawa mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu (gula putih) dan dilihat dari sisi sumber daya alamnya, tanaman tebu sangat cocok dengan iklim dan jenis tanah (kesesuaian tanam yang baik). Sampai saat ini, jumlah pabrik gula (PG) yang masih beroperasi 46 PG berada di Jawa dan sisanya 12 PG di luar pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Dengan jumlah pabrik terbesar berada di Jawa Timur sebanyak 31 pabrik gula dan total kapasitas 90,430 ton cane day (TCD) (P3GI 2010). Sebagai gambaran, jumlah pabrik gula dan kapasitas produksi gula di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Jumlah PG dan Kapasitas Industri Gula Indonesia
Daerah Jumlah PG (unit) Total Kapasitas (TCD)
Jawa Barat 5 13,030
Jawa Tengah 10 25,160
Jawa Timur 31 90,430
Sumatera 8 58,240
Sulawesi 4 10,980
Indonesia 58 197,840
Sumber : Studi Konsolidasi Pergulaan Indonesia-P3GI, 2010
Berdasarkan potensi wilayah pengembangan tanaman tebu di Jawa Timur terbagi di beberapa wilayah menurut kabupaten/kota dan hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di propinsi Jawa Timur berpotensi untuk ditanami tebu (Gambar 1). Jumlah kabupaten/kota di Jawa Timur yang berpotensi ditanami tebu berjumlah 30 kabupaten/kota yaitu 24 kabupaten dan 6 kota dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Dengan kata lain jumlah kabupaten/kota yang berpotensi ditanami tebu di Propinsi Jawa Timur kurang lebih sebesar 79 % dari total kabupaten/kota di Jawa Timur (Statistik Perkebunan 2011).
Sumber : Statistik Perkebunan, data diolah, 2009-2011
Gambar 1 Peta wilayah potensi pengembangan komoditi tebu di Jawa Timur Jika dilihat dari sisi produksinya maka Jawa Timur termasuk salah satu daerah penghasil tebu terbesar secara nasional. Tanaman tebu di Jawa Timur memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. Ini terlihat dari kontribusi produksi tanaman tebu yang cukup besar dari total tanaman perkebunan di Jawa Timur, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
3
Sumber : Dinas Perkebunan Jawa Timur, data diolah 2008-2011 Gambar 2 Kontribusi Produksi Tebu Terhadap Produksi Perkebunan di Jawa Timur
Walaupun kontribusinya mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun masih terlihat bahwa perkebunan tebu di Jawa Timur memiliki kontribusi tertinggi dibanding dengan komoditas perkebunan lainnya (Dinas Perkebunan Jawa Timur 2012). Dalam PDB kontribusi sub sektor perkebunan belum terlalu besar yaitu sebesar 1,93% pada tahun 2013 dan menempati urutan ketiga setelah sub sektor bahan makanan dan perikanan akan tetapi sub sektor ini sebagai penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyedia tenaga kerja dan penghasil devisa.
Rata-rata produksi gula tebu di Jawa Timur sebesar 1.040.131 ton dan jika dibandingkan dengan rata-rata produksi gula tebu di Indonesia sebesar 2.478.616 ton maka rasio rata-ratanya sebesar 42 %. Rasio rata-rata ini menunjukkan bahwa produksi gula tebu di Indonesia hampir 58 % dihasilkan di Jawa Timur dengan rata-rata kontribusi produksi gula tebu Jawa Timur terhadap nasional tahun 2007-2011 sebesar 42,16% (Statistik Tebu Indonesia 2007-2011).
Sumber : Dinas Perkebunan Jawa Timur, data diolah 2007-2011 Gambar 3 Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tebu di Jawa Timur
Tahun 2007- 2011
Adapun perkembangan areal tebu dan produksi tebu di propinsi Jawa Timur Tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Gambar 3 (Dinas Perkebunan Jawa Timur 2012). Produksi tebu cenderung mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh
4
luas areal tanam tebu yang semakin berkurang yang berdampak terhadap produktivitas tebu. Perluasan areal tanaman tebu juga masih terkendala oleh ketersediaan lahan. Terkait dengan hal ini pemerintah telah mengidentifikasi lahan potensial untuk pengembangan perkebuanan tebu (direncanakan seluas 395.000 ha), namun sampai sekarang belum dapat dipastikan realisasinya. Dengan demikian strategi untuk pengembangan tebu harus difokuskan pada peningkatan produktivitas (Badan Litbang Pertanian 2007). Produksi tebu yang semakin menurun menyebabkan ketersediaan tebu kian terbatas sehingga mengurangi pasokan tebu di pabrik gula Jawa Timur sehingga pabrik gula mengalami kekurangan bahan baku dan bekerja dibawah kapasitasnya menyebabkan produksi gula tebu menurun.
Meski Jawa Timur merupakan sentra tebu nasional yang beperan penting dalam menjamin ketersediaan produksi tebu nasional, daerah ini mengalami kecenderungan penurunan produksi sejak tahun 2007. Penurunan produksi telah dialami sejak puncak produksi tahun 2008. Pada tahun 2008 produksi gula tebu sebesar 1065523 ton, tahun 2009 sebesar 1020481 ton dan tahun 2010 sebesar 1014272 ton (BPS 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2008) menunjukkan bahwa rendahnya produksi gula di Jawa Timur disebabkan oleh lahan yang semakin sempit dengan produktivitas lahan yang semakin menurun, cuaca yang terkadang kurang mendukung, menurunnya kemampuan pabrik dalam mengolah tebu menjadi gula, dan sarana produksi yang kurang, serta tehnik budidaya yang kurang sehingga seringkali dihasilkan tebu dengan rendemen yang rendah dan biaya produksi gula yang semakin tinggi.
PTPN XI merupakan salah satu institusi dengan unit kerja yang terdiri dari 16 pabrik gula di wilayah Jawa Timur berperan dalam produksi gula nasional. Pola produksinya yang melibatkan petani tebu selaku pemasok bahan baku pabrik gula, menjadikan fluktuasi areal dan produktivitasnya secara otomatis berpengaruh terhadap kinerja produksi.
Tabel 2. Kinerja Produksi Gula dan Tetes PTPN XI
Uraian Satuan 2009 2010 % Capaian
Luas Areal hektar 69.476,0 66.373,6 95,5
Tebu Digiling Ton 5.246.757,5 5.570.019,3 106,2 Produksi Gula Produksi Hablur Ton 358.931,8 317.561,6 88,5 Produksi Tetes Ton 275.793,7 276.932,7 100,4 Produktivitas
5 yang berasal dari kebun sendiri (lahan hak guna usaha) maupun persewaan dari lahan petani sekitar. Sebagai gambaran kinerja produksi gula dan tetes di PTPN XI tahun 2009-2010 dapat dilihat pada Tabel 2
Sebagian besar jumlah bahan baku (tebu) di pabrik gula didapat dari petani tebu yaitu tebu rakyat, namun produksi (gula) milik petani seringkali lebih rendah dari milik pabrik gula (Tabel 2). Penurunan produksi gula salah satunya disebabkan hasil rendemen tebu milik petani jauh lebih rendah dari milik pabrik gula, sehingga gula yang dihasilkan menurun. Besar kecilnya rendemen, bisa karena faktor budidaya tanaman tebu dan faktor pengolahan tebu di pabrik gula. Artinya kecilnya rendemen tebu milik petani bisa disebabkan rendahnya mutu bibit, tidak optimalnya waktu tanam, penentuan awal giling yang tidak tepat, penentuan kemasakan tebu dan tidak tepatnya tebang tebu serta lambatnya angkut tebu (adanya antrian tebu) dimana keseluruhan faktor ini menyebabkan kualitas tebu petani menjadi menurun
Oleh karena pentingnya peran gula dalam perekonomian Indonesia, produksi tebu harus didukung oleh pemerintah agar lebih kompetitif. Dan tebu termasuk dari sekian banyak komoditas perkebunan yang menjadi perhatian. Hal ini dikarenakan tebu merupakan komoditas unggulan yang mempunyai nilai ekonomi. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi usahatani tebu yaitu peningkatan output maksimum dalam pengelolaan sumber daya serta teknologi yang ada.
Perumusan Masalah
Tebu merupakan salah satu tanaman yang memiliki asset specificity, yaitu sebagai bahan baku utama untuk produksi gula yaitu untuk gula lokal (gula kristal putih). Maka untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan menjaga agar produksi gula tidak menurun, tebu yang sebagian besar diusahakan oleh petani tebu dengan istilah tebu rakyat, memiliki arti penting untuk diperhatikan kualitas tebunya, dalam hal ini tebu akan memiliki rendemen (kadar gula) tinggi jika masa tanam tepat waktu dan masa tebang ketika kemasakan tebu optimum sehingga memiliki harga jual yang tinggi.
Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu tebu sebagai bahan baku utama dan tebu merupakan salah satu dari hasil produk pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan. (Subiyono dan Rudi, 2005). Namun menurunnya produksi gula nasional disebabkan oleh bahan baku tebu yang bermutu rendah, dan dikelola oleh petani yang telah mengalami pengeprasan berulang-ulang lebih dari tiga kali. Masalah dibidang produksi akan berpengaruh terhadap hasil produksi yang tidak maksimal. Untuk mencapai hasil produksi yang maksimal dapat dilakukan dengan dua langkah yaitu ekstensifikasi atau perluasan lahan dan intensifikasi atau peningkatan produktivitas melalui peningkatan efisiensi usahatani.
6
bentuk kegiatan utama bongkar ratoon dan pembangunan kebun bibit, serta kegiatan penunjang berupa peningkatan pemberdayaan petani koperasi tebu.
Fenomena kembalinya petani tebu rakyat pada tanaman tebu keprasan, disertai dengan persoalan teknik keprasan yang berulang sampai belasan kali dimana harusnya maksimum keprasan seharusnya empat kali kemudian harus bongkar ratoon (Asmara et al. 2009) dan hal ini menjadi masalah tersendiri saat ini karena insentif pendanaan pembongkaran ratoon cukup pelik untuk dapat dicerna petani tebu. Tebu keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang yang masih tertinggal dalam tanah setelah tebu
ditebang dan dikepras atau tebu dibiarkan tumbuh dari sisa batang yang telah dikepras (Syafriandi 2012).
Penerapan teknologi keprasan berimplikasi pada penyediaan biaya usahatani tebu dan berpengaruh terhadap perilaku petani dalam melaksanakan usahatani tebu. Petani menilai jika dengan melakukan sistem keprasan, mereka dapat menurunkan biaya usahatani terutama dalam biaya penggunaan bibit dan penggunaan tenaga kerja. Artinya pengusahaan tebu dengan cara keprasan dengan tidak melakukan pembibitan tebu atau mencari bibit unggul tebu. Salah satu penyebab turunnya efisiensi di tingkat usahatani tebu adalah penggunaan faktor produksi yang tidak efisien dan perilaku petani dalam penggunaan sistem keprasan dalam budidaya tebu (Hermanto, 2012). Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan rehabilitasi tanaman tebu menjadi menurun.
Keterbatasan modal menyebabkan petani tebu tidak mampu melakukan perbaikan teknik budidaya dan perluasan areal. Hal ini berakibat pada makin meluasnya proporsi luasan tanaman keprasan yang makin meluas setiap tahunnya di lain pihak pengembangan areal baru semakin sulit diperoleh. Penggunaan teknik keprasan membuat petani tidak melakukan pembibitan tebu dan mencari bibit unggul tebu.
Cara efisien mempertahankan produksi tebu dengan teknik keprasan dengan melakukan suatu inovasi teknologi yakni dengan alokasi penggunaan input dan manajemen pemeliharaannya (penanganan yang baik). Efisien tidaknya usahatani tebu tergantung pada input yang digunakan dan pengembangan teknologi. Susilowati & Tinaprilla (2012) pada penelitiannya menyatakan bahwa umur petani, pendidikan petani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah persil, status mata pencaharian, bibit yang dipakai, ikatan bisnis dengan penyedia input dan keikutsertaan pada penyuluhan mempengaruhi indeks efisiensi teknis dan dikategorikan belum efisien karena usahatani tebu keprasan (umumnya lebih dari kepras ketiga) dan bibit yang digunakan adalah bibit lokal, yang berdampak pada rendemen yang masih rendah.
7
Gambar 4 Perkembangan Penguasaan Lahan Tebu Rakyat dan Tebu Sendiri (dalam hektar) di Wilayah Kerja PG Semboro
Dalam lima tahun terakhir ini, perkembangan pertanaman tebu di wilayah pabrik gula Semboro saat ini sebagian besar berada pada lahan kering/tegalan. yakni rata-rata sekitar 65,70% dan sisanya yakni 34,29% diusahakan di lahan sawah (Gambar 5). Kondisi ini menggambarkan bahwa tanaman tebu semakin tersingkir dari lahan sawah berpengairan teknis karena kalah bersaing dengan tanaman lainnya, khususnya padi.
Gambar 5 Perkembangan Jenis Lahan Sawah dan Lahan Kering di Wilayah Kerja PG Semboro Jember
Begitu juga dengan luas areal pertanaman tebu berdasarkan penanamannya, tebu di wilayah kerja PG Semboro banyak dilakukan dengan tebu keprasan dibandingkan tebu tanam. Rata-rata perkembangan luas areal selama lima tahun terakhir untuk tanaman dengan tebu keprasan sebesar 87,44% dan tanaman dengan tebu tanam sebsar 12,56%. Jika dilihat dari luasan arelnya tanamnya antara tanaman tebu dengan tebu tanam dan tebu kepras, ada kecenderungan produksi tebu kepras lebih tinggi dibandingkan tebu tanam, yaitu rata-rata sebesar 86,85% untuk tanaman tebu kepras dan 13,14% untuk tanaman tebu tanam. Namun dalam perkembangan produktivitas tebu keprasan justru semakin menurun atau rendah dan penurunan produktivitas merupakan konsekuensi logis
4.769,87 7.918
9.079,24 9.312,34 11.974,88 2.062,91
1.732 2.084,93 2.213,97
2.415,56
2010 2011 2012 2013 2014
Penguasaan Lahan
Tebu Rakyat Tebu Sendiri
0,00 2.000,00 4.000,00 6.000,00 8.000,00 10.000,00 12.000,00
2010 2011 2012 2013 2014
h
a
Jenis Lahan
Lahan Sawah (ha)
8
merosotnya kualitas teknis budidaya ditambah lagi dengan kecenderungan pengembangan pada lahan kering yang kurang potensial dan ini mengindikasikan terjadinya inefisiensi di tingkat usahatani tebu (Gambar 6).
Gambar 6 Perkembangan Produktivitas Tebu Tanam dan Tebu Keprasan di Wilayah Kerja PG Semboro
Dari berbagai uraian di atas nampak adanya urgensi untuk menganalisis produktivitas tebu serta berbagai aspek terkait dengan perilaku pelaku usaha perkebunan tebu. Analisis ini penting selain untuk memberikan umpan balik bagi kebijakan perkebunan tebu, juga untuk menganalisis kondisi eksisting produksi tebu yang dilakukan di tingkat petani.
Ada berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis hal-hal yang disebutkan di atas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun demikian, dalam konteks kajian yang berkaitan dengan produktivitas tebu lebih banyak di fokuskan pada aspek efisiensi dari produksi tebu. Kendala efisiensi petani dalam penggunaan input penting, hal ini mudah di pahami mengingat dengan keterbatasan input seperti lahan, pupuk, tenaga kerja, bibit dan sebagainya penggunaan faktor input yang efisien menjadi salah satu konsern utama dalam produksi tebu.
Beberapa penelitian sebelumnya mengukur efisiensi dengan menggunakan metode parametrik dan non parametrik. Metode parametrik umumnya dengan pendekatan analisis stochastic produksi frontier, sementara metode non parametrik dengan pendekatan data envelopment analysis. Sebagian besar hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti lahan, bibit, pupuk (Urea, KCL, NPK, ZA, Kandang, Phonska, Cair), pestisida, tenaga kerja, umur petani, pendidikan petani, pengalaman usahatani, jumlah tangungan keluarga, status lahan, keanggotaan kelompok tani, status mata pencaharian, akses ke lembaga keuangan, keikutsertaan penyuluhan mempengaruhi tingkat efisiensi dan inefisiensi produksi usahatani tebu (Fernandez et al. 2009, Dlamini et al. 2010, Asmara & Sugianto 2009, Susilowati & Tinaprilla 2012, Thabethe et al. 2014,).
Aspek efisiensi usaha berkaitan dengan tujuan memaksimumkan keuntungan. Dalam memaksimalkan keuntungan dari suatu usahatani menurut Kumbhakar dan Lovell (2000) bahwa ada tiga cara, yaitu : memaksimumkan
2010 2011 2012 2013 2014
Tebu Tanam 98,869 72,277 78,663 75,081 80,375
Tebu Kepras 93,444 66,969 77,59 78,645 68,556 0
50 100 150
ton
/h
a
9 keluaran (produksi) pada penggunaan masukan tertentu atau efisiensi teknis, mengkombinasikan masukan yang sesuai pada tingkat harga masukan tertentu (efisiensi alokatif masukan), dan menghasilkan kombinasi produksi tepat harga produksi (efisiensi alokatif produksi). Masalah efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan perlu mendapat perhatian dikarenakan masalah ini dapat menyebabkan keuntungan maksimal petani. Jika alokasi penggunaan faktor produksi dapat dilakukan secara efisien maka keuntungan petani dapat meningkat dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Inefisiensi usahatani tebu rakyat akan berpengaruh terhadap kesejahteraan petani tebu rakyat dan produktivitas wilayah. Mengingat adanya peningkatan jumlah petani tebu serta luas lahan yang semakin menurun, akan berpengaruh terhadap produktivitas daerah. Inefisiensi juga berpengaruh terhadap peran kabupaten Jember dalam kontribusinya terhadap target nasional swasembada gula. Oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas wilayah dan peran kabupaten Jember dalam mendukung swasembada gula sebagai target nasional maka efisiensi petani tebu rakyat perlu ditingkatkan sebagai implikasi terhadap produktivitas kabupaten Jember. Untuk itu diperlukan suatu kajian kewilayahan pengembangan tebu yang efisien seperti kontribusi tebu terhadap ekonomi wilayah baik dari sisi tenaga kerja dan outputnya.
Begitu juga dengan persoalan penurunan produktivitas tebu rakyat juga dikarenakan persoalan kelembagaan dan diduga kelembagaan yang terkait dengan petani tebu rakyat tidak mendukung perkembangan petani tebu rakyat yang produktif dan efisien. Kelembagaan disini meliputi: (1) kesepakatan-kesepakatan terkait dengan petani tebu rakyat (2) peran dan pengaruh stakeholder terkait dengan pengembangan tebu rakyat; (3) aturan main peran stakeholder; (4) kelembagaan dan visi peran stakeholder. Oleh karena itu kajian tentang kelembagaan pengemabangan tebu rakyat di kabupaten Jember menjadi penting agar dapat meningkatkan tebu rakyat yang produktif dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, pentingnya memaksimalkan produksi tebu keprasan yang didukung oleh pemerintah agar lebih kompetitif, dalam jangka pendek hal ini dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usahatani tebu yaitu melalui peningkatan output maksimum dalam pengelolaan sumberdaya serta tehnologi yang ada yang tidak terlepas dari pengambangan wilayah dan perosalan kelembagaan. Dalam penelitian ini merumuskan beberapa permasalahan yaitu :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi tebu keprasan di wilayah pabrik gula Semboro ?
2. Apakah usahatani tebu keprasan di kabupaten Jember sudah efisien secara teknis, alokatif dan ekonomi ? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ? 3. Bagaimana pengaruh biaya input produksi tebu keprasan terhadap
keuntungan dan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis ?
10
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi tingkat produksi tebu keprasan.
2. Menganalisis tingkat efisiensi tehnis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani tebu keprasan serta faktor-faktor yang mempengaruhi 3. Menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan
tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efiseinsi ekonomi usahatani tebu keprasan.
4. Mengkaji kewilayahan berdasarkan ketersediaan lahan dan target produksi. 5. Mengkaji peran stakeholder dalam pengembangan tebu rakyat.
Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada petani sebagai pertimbangan dalam upaya meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan dari usahatani tebu. 2. Menjadi bahan informasi bagi pihak pengambil kebijakan khususnya
pemerintah daerah dalam merumuskan langkah kebijakan yang berhubungan dengan usahatani tebu, khususnya di Kabupaten Jember.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembanding untuk studi-studi dengan isu yang lebih relevan bagi penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada aspek produksi pada usahatani tebu dengan mengkaji tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi dengan memasukkan faktor inefisiensi yaitu khusus pada petani tebu yang melakukan tanaman keprasan di lahan kering/tegalan di wilayah kerja pabrik gula Semboro dan membahas hubungan antara efisiensi, keuntungan dan biaya produksi.
Kebaharuan Penelitian
Penelitian tentang efisiensi pabrik gula dan usahatani tebu sudah banyak dilakukan, penelitian ini mencoba mengkaji dan menganalisis efisiensi usahatani tebu dengan fokus pada “petani tebu keprasan” dengan menggunakan pendekatan metode DEA (Data Envelopment Analysis) yang masih jarang atau belum pernah digunakan untuk menganalisis pada usahatani tebu sebelumnya.
11
2
TINJAUAN PUSTAKA
Estimasi efisiensi produksi banyak dianalisis di negara berkembang mamupun negara sedang berkembang. Hal ini penting terutama di negara sedang berkembang dimana berpotensi untuk meningktakan produksi pertanian melalui peningkatan dan pengembangan area dan asopsi teknologi baru yang terbatas. Banyak studi dilakukan untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan tingkat efisiensi pada tingkat usahatani dengan berdasarkan pada tingkat sumber daya dan tingkat teknologi yang ada. Sejumlah aplikasi empiris dilakukan untuk mengukur efisiensi pertanian di banyak negara.
Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier
Konsep utama dalam penelaahan ekonomi produksi adalah fungsi produksi. Produksi adalah proses penggabungan masukan dan mengubahnya menjadi keluaran. Sejumlah masukan diperlukan untuk memproduksi sejumlah output. Meskipun produsen bervariasi ukurannya, tetapi semuanya mengambil masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut keluaran (produk). Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara input yang digunakan dengan output yang dihasilkan (Doll dan Orazem, 1984).
Penganalisis ekonomi memberi batasan efisiensi sebagai “alat pengukur” untuk menilai pilihan-pilihan yang dilakukan produsen. Berdasarkan literatur, konsep efisiensi merupakan suatu ukuran reltif dari input yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu. Suatu metode produksi dikatakan efisien secara teknis, jika untuk menghasilkan produk tertentu digunakan input minimum atau menghasilkan output maksimum digunakan input yang jumlahnya tertentu.
Untuk mencapai efiseinsi ekonomi harus dipenuhi dua syarat, yaitu (1) syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Dalam proses produksi, syarat keharusan akan terpenuhi bila: (1) dengan faktor produksi yang sama, produsen tidak mempunyai kemungkinan lagi untuk menghasilkan jumlah produk yang lebih tinggi dan (2) dengan faktor produksi yang lebih kecil, produsen tidak mungkin menghasilkan jumlah produk yang sama (Doll and Orazem, 1984). Syarat kecukupan (sufficient condition) merupakan indikator pilihan (choice indicator) berupa rasio harga input dengan harga output.
12
Fungsi produksi frontier telah banyak diaplikasikan dalam studi empiris bidang pertanian. Salah satu keunggulan fungsi produksi frontier dengan fungsi produksi lainnya adalah kemampuan untuk menganalisis keefisienan dan ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena ke dalam model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi teknik ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.
Konsep Produktivitas
Produktivitas dan efisiensi merupakan konsep yang sering digunakan namun berbeda arti. Produktivitas marupakan konsep absolut yang diukur dari rasio output dan input, sementara efisiensi sebuah konsep relatif yang diukur dengan mambandingkan rasion aktual dari output dengan input terhadap rasio output dengan input pada kondisi optimal.
Produktivitas mengukur produk dalam jumlah fisik dan merupakan kemampuan faktor produksi dalam menghasilkan output. Jadi produktivitas adalah rasio antara output (nilai tambah, penerimaan) dengan input yang digunakan. Jika hanya satu input yang digunakan disebut dengan produktivitas parsial, dan bila seluruh input digunakan, disebut dengan produktivitas total (total factor productivity). Produktivitas sama dengan jumlah output total dibagi dengan jumlah input yang digunakan. Contohnya produktivitas lahan, produktivitas tenaga kerja dan lainnya.
Konsep Efisiensi dan Efisiensi Produksi
Efisiensi produksi sesuai dengan prinsip dasar ilmu ekonomi bahwa dengan input produksi tertentu akan dapat dihasilkan output semaksimal mungkin atau untuk dapat memproduksi output tertentu dengan input dan biaya seminimal mungkin. Jika prinsip efisiensi produksi tersebut diterapkan dalam suatu produksi komoditas pertanian maka petani akan berupaya mencapai suatu efisiensi dalam menggunakan input produksi. Apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya secara efisien maka akan terdapat tambahan kontribusi sektor pertanian, sebaliknya apabila petani tidak mengalokasikan input produksi secara efisien akan terdapat potensi yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan usahatani dan menciptakan surplus. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan sumberdaya merupakan hal penting yang menentukan eksistensi berbagai peluang di sektor pertanian dan terkait dengan potensi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rumahtangga tani (Weesink et al 1990).
Doll dan Orazem (1984) mendefinisikan efisiensi sebagai jumlah output maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan sejumlah input tertentu atau untuk menghasilkan jumlah output tertentu digunakan input yang secekil-kecilnya. Suatu fungsi produksi frontier (batas) merujuk pada jumlah output maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan sejumlah input tertentu dan teknologi yang tersedia.
13 kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu. Produksi maksimal (juga dikenal dengan “best practice frontier”) didefiniskan oleh produksi frontier. Pengukuran efisiensi menyangkut pengukuran jarak dari titik data yang di observasi terhadap frontiernya.
Efisiensi merupakan konsep penting dalam mengukur kinerja ekonomi suatu proses produksi. Efisiensi dalam produksi disebut dengan efisiensi ekonomi atau efisiensi produktif. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam produksi mencapai output maksimum dari penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi dalam usahatani terdiri atas efisiensi teknik dam alokatif. Efisiensi Teknik (TE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mencapai output tertentu dengan penggunaan input minimal atau kemampuan perusahaan untuk mencapai output maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu.
Farrel (1957) mengemukakan bahwa efisiensi produksi terdiri dari komponen teknis dan alokatif. Efisiensi Teknis (technical efficiency/TE) merupakan kemampuan suatu unit usaha untuk dapat berproduksi sepanjang kurva isokuan yaitu menghasilkan output seoptimal mungkin dengan kombinasi input dan teknologi yang tertentu. Efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE) merefleksikan kemampuan suatu unit usaha menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harganya masing-masing dan teknologi produksi. Kedua pengukuran ini kemudian digabungkan untuk mengukur total efisiensi ekonomi.
Jika produksi aktual lebih kecil dari produksi maksimal yang bisa dicapai, maka produksi berada di bawah frontier dan jarak dari output aktual di bawah frontier dengan produksi frontiernya disebut dengan inefisiensi perusahaan. Farrel (1957) dan Greene (1993) mendefinisikan efisiensi sebagai produktivitas aktual dibandingkan dengan produktivitas maksimal yang dapat dicapai. Inefsisiensi teknik menjadi output yang dicapai lebih kecil dari output maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu dan itu muncul ada kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) metode aplikasi input yang digunakan untuk memproduksi output. Kegagalan untuk mencapai output maksimal dengan sejumlah input tertentu disebut dengan inefisiensi. Inefisiensi dapat disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap teknologi, pasar, Keprasan penyuluhan, skala produksi yang tidak sesuai, dan alokasi input yang tidak optimal (Wadud 1999). Inefisiensi alokatif muncul ketika rasio dari produk merjinal tidak sama dengan rasio harga input. Usahatani akan mengkombinasikan input dan outputnya secara alokatif efisien jika harga pasar dari input tetap.
Efisiensi Teknis (TE)
14
didapatkan melalui pengurangan setidaknya satu output lainnya atau peningkatan setidaknya satu input serta penurunan suatu inputnya didapatkan melalui peningkatan satu input lainnya atau penurunan setidaknya satu output. Oleh karena itu, produsen yang secara teknis efisien akan mampu memproduksi output yang sama dengan setidaknya satu input yang lebih sedikit atau dengan menggunakan input yang sama akan mampu memproduksi setidaknya satu output yang lebih banyak.
Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk berproduksi pada kurva frontier isoquant. Kumbhakar (2002) menyatakan bahwa efisiensi teknis menunjuk pada kemampuan untuk meminimalisasi penggunaan input dala produksi sebuah vektor output tertentu atau kemampuan untuk mencapai output maksimum dari suatu vektor input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan dengan petani lainnya jika dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang ssama menghasilkan output secara fisik yang lebih tinggi.
Efisiensi teknis diasosiasikan dengan tujuan perilaku untuk memaksimalkan output. Petani disebut efisien secara teknis apabila telah berproduksi pada tingkat batas produksinya dimana hal ini tidak selalu dapat diraih karena berbagai faktor seperti cuaca yang burukm adanya binatang yang merusak atau faktor-faktor yang menyebabkan produksi berada di bawah batas yang diharapkan (Battese dan Coelli 1995).
Efisiensi Alokatif (AE)
Efisiensi alokatif dapat mengukur kemampuan suatu unit produksi dalam memilih kombinasi input yang dapat meminimalkan biaya dan teknologi yang sama sehingga dapat memaksimalkan keuntungan. Efisiensi alokatif merupakan rasio antara total biaya produksi suatu output menggunakan faktorr aktual dengan total biaya produksi suatu output menggunakan faktor optimal denga kondisi efisien secara teknis. Karea efisiensi alokatif menekankan pada penggunaan input tertentu berdasarkan harganya, inefsiensi dapat memebendung dari harga yang tidak diobservasi, dari harga yang diterima tidak benar atau dari kurang akurat dan tepatnya waktu informasi.
Efisiensi alokatif (AE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mengkombinasikan inputnya pada tingkat biaya minimum dan pada rasio harga input tertentu. Penggunaan input secara alokatif efisien bila nilai produk marjinal sama dengan harga input. Kondisi biaya minimum dapat dilihat pada Gambar 7.
15 Berdasarkan Gambar 7, diasumsikan produsen berproduksi pada tingkat output tertentu (Yo) dan tingkat harga input yang tertentu pula (p1 dan p2). Kombinasi input yang meminimalkan biaya tercapai pada saat kemiringan garis isokuan sama dengan kemiringan garis isocost yaitu di titik G.
Menurut Lovell (1993) sebuah perusahaan akan bekerja secara alokatif efisien bila dapat mengkombinasikan input dan outputnya dalam proporsi yang optimal pada tingkat harga yang tetap. Inefisiensi alokatif terjadi bila faktor produksi digunakan dalam proporsi yang tidak diminimalkan biaya pada tingkat output tertentu. Dengan kata lain, inefisiensi alokatif muncul ketika rasio nilai produk marjinal tidak sama dengan harga input. Seluruh kinerja tersebut mengukur efisiensi teknik dan alokatif. Usahatani yang mencapai efisien secara teknik dan alokatif maka secara ekonomi juga efisien.
Efisiensi Ekonomi (EE)
Efisiensi ekonomi terdiri dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis mengacu pada upaya menghindari pemborosan baik dikarenakan memproduksi output sebanyak mungkin dengan penggunaan teknologi dan input tersedia atau menggunakan input seminimal mungkin yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu output. Efisiensi teknis untuk itu dapat dilihat dari sisi meminimalkan input dan meningkatkan output. Produsen yang efisien secara teknis dapat memproduksi sejumlah output yang sama dengan menggunakan setidaknya salah satu input yang lebih sedikit atau dapat menggunakan input yang sama untuk memproduksi setidaknya salah satu output yang lebih banyak. Pengukuran efisiensi teknis penting karena dapat mengurangi biaya produksi dab membuat produsen lebih kompetitif (Alvarez dan Arias 2004)
Efisiensi alokatif dapat mengukur kemampuan suatu produsen untuk memilih kombinasi input yang dapat meminimisasi biaya dengan teknologi yang tersedia. Karena efisiensi alokatif mengimplikasikan substitutsi atau penggunaan suatu input secara intensif berdasarkan harga input, inefisiensi dapat timbul dari harga-harga yang tidak diteliti, dari harga-harga yang dirasa tidak tepat atau dari informasi yang kurang akurat dan tepat.
Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum yaitu menggunakan input secara optimal untuk menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu dan kriteria biaya minimum yaitu dengan meminimumkan biaya dengan jumlah output tertentu.
Konsep Pengukuran Efisiensi
Konsep pengukuran efisiensi dapat dibagi menjadi pengukuran berorientasi input dan berorientasi output (Farrell 1957)
Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input
16
rasio produk marjinal untuk masing-masing input sama dengan rasio harga dari input tersebut. Dala kerangka Farrel, Efisiensi Ekonomi (EE) mengukur seluruh kinerja dan sama dengan TE x AE atau EE = TE x AE
Farrel (1957) menyatakan bahwa efisiensi teknik dapat diukur melalui pendekatan input dan output. Konsep efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi dengan pendekatan input. Dimana isoquat K dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua input pada tingkat output tertentu. Input X1 dan X2 digunakan untuk menghasilkan sejumlah output yang sama (Y). Setiap observasi pada isoquant mencapai Efisiensi Teknik (TE) sedangkan observasi di atas frontier adalah inefisiensi teknis. Dari Gambar 8 terlihat bahwa pada obeservasi “a” untuk memproduksi output sebesar Y digunakan input X1 dan X2 yang lebih besar dibandingkan pada observasi “b”. Dengan kata lain, efisiensi teknik dari observasi “a” adalah 0b/0a.
TE = 0b/0a = 1 – ba/oa = 1- inefisiensi teknik (0 ≤ TE ≤ 1)
Sumber : Farrel 1957; Coelli, 1998; Bravo-Ureta, 1997
Gambar 8. Isoquant, Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) dengan pendekatan input
Jika informasi dari harga diketahui, dan beberapa perilaku asumsi (seperti minimisasi biaya) sesuai, maka Efisiensi Alokatif (AE) dapat dihitung. Efsiensi alokatif adalah kombinasi X1 dan X2 yang meminimalkan biaya. Pada Gambar 8.
terlihat seluruh observasi pada isocost ‘L’ adalah efisiensi alokatif. Observasi ‘b’ secara teknis efisien, tetapi mempunyai AE yang lebih kecil dari 1. Efisiensi Alokatif didefinisikan sebagai:
AE = 0c/0b.
Kombinasi TE dan AE menghasilkan sebuah ukuran Efisiensi Ekonomi (EE). Hanya observasi ‘d’ secara ekonomis efisien, pada saat itu isoquant akan bersinggungan dengan isocost. Dengan demikian efisensi ekonomi EE = TE x AE EE = 0b/0a x 0c/0b
EE = 0c/0a.
17 et al. (1977), Meeusen and van den Broeck (1977), kemudian dimodifikasi oleh Bravo-Ureta (1997).
Pengukuran Efisiensi Berorientasi Output
Pengukuran efisiensi berorientasi output terfokus pada perubahan output dari sebuah usahatani yang dapat dicapai ketika menggunakan jumlah input yang sama. Gambar 9 menyajikan ilustrasi efisiensi dengan metode pendekatan output.
Sumber: Farrell (1957)
Gambar 9. Efisiensi Teknik dan Alokatif dengan Pendekatan Output Pada Gambar 9. menjelaskan pengukuran berorientasi output dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier/PPF) dengan input tertentu. Apabila input yang digunakan perusahaan secara efisien, maka output yang tadinya berada di titik A dapat bergeser menjadi titik B, sehingga efisiensi teknis dengan orientasi output adalah OA/OB. Titik B merupakan pada saat efisien secara teknis karena terletak pada kurva PPF, namun pendapatan yang lebih tinggi dapat dicapai pada apabila berproduksi pada titik C (titik dimana marginal rate of transformation sama dengan rasio harga p2/p1)
sehingga Y1 akan diproduksi lebih banyak dan Y2 akan diproduksi lebih sedikit
untuk memaksimalkan pendapatan. Untuk mendapatkan pendapatan yang sama dengan titik C dengan kombinasi input dan output yang sama, maka perusahaan perlu meningkatkan output menjadi titik D. Sehingga efisiensi alokatif adalah OB/OD. Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan cara yag sama pada orientasi input sehingga dihasilkan OA/OD (Coelli et al. 1998). Nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi bervariasi antara 0 dan 1, jika nilai efisiensinya sama dengan satu menunjukkan petani telah efisien secara teknis, alokatif atau ekonomi.
Mangacu pada Farrel (1957) jarak AB menunjukkan kondisi inefisiensi teknik, sehingga:
TE0 = 0A / 0B
Jika informasi harga diketahui, maka garis isorevenueY2Y1 dapat diperoleh.
Efisiensi alokatif dapat diukur dengan : AE0 = 0B/0C
Selanjutnya Efisiensi Ekonomi dapat diukur dengan :
18
Pendekatan Pengukuran Efisiensi
Pengukuran efisiensi produksi penting dilakukan dengan alasan sebagai berikut : (a) sebagai dasar para pengambil kebijakan ekonomi, (b) jika alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi ekonomi harus diuji, maka penting untuk melakukan pengukuran efisiensi aktual, serta (c) untuk dapat meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya tambahan atau meningkatkan efisiensinya (Farrell 1957). Pengukuran efisiensi dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual dengan kinerja optimal pada batas/ frontier yang relevan. Karena batas sebenarnya tidak diketahui, maka perkiraan empiris diperlukan. Perkiraan tersebut normalnya disebut batas best practice yang dapat dilaksanakan menggunakan pendekatan parametrik atau non parametrik. Kedua teknik ini menenkankan optimalisasi perilaku subjek terhadap kendala-kendala.
Terdapat empat pendekatan berbeda yang dapat mengukur batas best practice terhadap nilai efisiensi relatif yaitu : DEA (Data Envelopment Analysis), Free Disposal Hull, SFA (Stochastic Frontier Analysis) dan Thick Frontier Approach (Berger dan Humphrey 1997). Pendekatan keempat metode ini terletak pada perbedaan asumsi yang terdiri dari bentuk fungsi batas/frontier (dapat berbentuk fungsi prametrik atau nonparametrik) serta melihat apakah rando error dimasukkan. Apabila terdapat kesalahan acak, kemungkinan distribusi apa yang diasumsikan untuk nilai efisiensinya.
Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan teknik non parametrik yang dibuat dari fungsi linier piece-wise dari input dan output yang diteliti tanpa asumsi perlunya fungsi yang menghubungkan input dan output sebelumnya.
Stochastic Frontier Approach (SFA) menggunakan pendekatan ekonometrik yang memerlukan fungsi biaya, profit, atau produksi yang menghubungkan antara input, output dan faktor-faktor yang berpengaruh serta memungkinkan untuk kesalahan acak.
Pendekatan Non Parametrik
Charnes et al. (19780 engembangkan metode DEA (Data Envelopment Analysis) dengan menggunakan linier programing yang membandingkan inefisiensi perusahaan dengan yang best practice pada kelompok yang sama dengan asumsi Constant Return to Scale (CRS). Banker et al. (1984) menambahkan kendala ke dalam model Charns yang merefleksikan Variable Return to Scale (VRS).
Metode DEA telah banyak digunakan dalam penelitian efisiensi dalam berbagai sektor ekonomi. DEA tidak memerlukan suatu spesifikasi fungsi untuk frontier produksi serta menghindari asumsi distribusi dari inefisiensi, dapat digunakan untuk input dan output lebih dari satu (multiple), dapat mengidentifikasi kombinasi terbaik dari setiap unit pengambil keputusan (decision making unit/DMU) atau perusahaan (Coelli et al. 1998 dan Headey et al. 2010). Metode DEA memungkinkan adanya DMU dengan nilai efisiensi 1 serta dapat meihat sumb er inefisiensi engan ukuran tingkat potensial dari masing-masing input dan output (Endri 2011).
19 Programming dalam menghitungkan efisiensi. Beberapa studi dengan menggunakan model non parametrik telah dilakukan antara lain oleh Abay (2004), Sherlund (2002), Wadud (2000).
Pendekatan Parametrik
Fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi saat output maksimum tercapai dari setiap input yang digunakan (Coelli et al. 1998). Apabila suatu kegiatan produksi berada pada titik fungsi produksi frontier, maka produksi tersebut telah efisien secara teknis. Estimasi inefisiensi teknis didapatkan melalui selisih posisi aktual relatif terhadap frontier-nya. Pengukuran fungsi produksi frontier dibedakan atas empat cara yaitu: frontier dan non frontier. Pendekatan non frontier terdiri dari dua metode yaitu: (1) fungsi produksi, dan (2) fungsi keuntungan. Sedangkan pendekatan frontier adalah: (1) determinstic non parametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier).
Pendekatan parametrik yang banyak digunakan dalam penelitian efisiensi adalah Stochastic Frontier Analysis (SFA) dengan menggunakan fungsi produksi frontier Cobb Douglass atau translog. SFA mengacu kepada pendekatan ekonometrik frontier, dimana memerlukan bentuk persamaan untuk biaya, profit atau hubungan antara output input dan faktor lingkungan serta memungkinkan adanya error acak.
Menurut Aigner et al. (1977), fungsi stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam batas produksi. Dalam fungsi produksi ini ditambahkan random error, vi, ke dalam variabel acak non negatif (non-negative random variable), ui, seperti dinyatakan dalam persamaan berikut :
Y = Xiβ + (vi - ui); dimana i = 1, 2, ...,N
Random error, vi, berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor acak lainnya seperti kondisi cuaca dan lain-lain bersama-sama dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi pada fungsi produksi. Variabel vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal ( idependent-identically distributed/iid) dengan rataan bernilai nol dan ragamnya konstan σ2v atau N(0, σ2v). Variabel ui diasumsikan iid eksponensial atau variabel acak setengah normal (half-normal variables). Variabel ui berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi.
20
Sumber : Coelli et al. (1998)
Gambar 10. Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Misalkan ada dua petani dengan aktivitas produksi dari dua petani diwakili oleh simbol i dan j. Petani i menggunakan input x sebesar xi dan menghasilkan output sebesar yi. Akan tetapi output batas dari petani i adalah yi* yang melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (xi; ). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksi dari petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Kemudian untuk petani j yang menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil sebesar yj, akan tetapi hasil batas dari petani j adalah yj* yang berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Kondisi ini dapat terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vj bernilai negatif. Hasil batas yang tidak dapat diobservasi ini berada disekitar bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (xi;β). Pada kasus kedua tersebut, hasil produksi dicapai oleh petani j berada di bawah fungsi produksi f (xi;β).
Faktor Yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis
Seperti telah dikemukakan di atas, model fungsi produksi deterministik mengasumsikan bahwa seluruh sampel mempunyai frontier yang sama dan seluruh deviasi dari frontier berasal dari efek inefisiensi. Asumsi ini telah banyak dikritisi, karena pada kenyataannya produksi dipengaruhi oleh faktor diluar kontrol petani (cuaca, iklim, dan pengukuran (error) yang muncul dari usahatani) dan inefisiensi teknis yang disebabkan oleh variasi faktor manajemen di bawah kontrol petani.
Pendekatan stokastik frontier menggunakan metode ekonometrika. Model stokastic frontier dan pengukuran efisiensi ini sudah banyak dibahas antara lain oleh Schmidt (1976), Schmidt (1986), Battese (1992), Greene (1993), Coelli et al, (2005), Bravo-Ureta et al. (2007), Saptana (2011).