• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Peraturan Daerah Dalam Sistem Perundang-undangan Nasional

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Implikasi Peraturan Daerah Dalam Sistem Perundang-undangan Nasional

Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

Apabila terjadi pertentangan antara suatu Peraturan Daerah di suatu kabupaten atau kota yang bertentangan dengan Peraturan Daerah di kabupaten atau kota lain, maka pada hakikatnya hal tersebut tidak

berimplikasi hukum karena masing-masing memiliki kewenangan di lingkungan atau wilayah otonominya sendiri-sendiri. Hal tersebut berbeda bilamana kemudian Peraturan Daerah yang diterbitkan memiliki implikasi yang bersinggungan dengan kepentingan daerah lain, sehingga timbul perselisihan. Dalam konteks ini, peranan pemerintah pusat berfungsi menyelesaikan melalui mekanisme administratif. Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif.

Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan

undangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi.

Untuk menganalisis uraian di atas, akan dikemukakan salah satu contoh pengaturan yang dimaksud, dalam hal ini adalah masalah ketenagakerjaan. Pengaturan kewenangan pemerintah daerah provinsi di bidang ketenagakerjaan diatur lebih lanjut dalam PP 25 Tahun 2000, yang menegaskan bahwa kewenangan Provinsi di bidang ketenagakerjaan mencakup (a) penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; dan (b) penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum.

Apabila dilihat dari sudut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, tampaknya tidak satu pasal pun yang secara tegas mendelegasikan kewenangan pengaturan atau pelaksananaan undang-undang tersebut ke dalam bentuk Peraturan Daerah (Peraturan Daerah). Akan tetapi hal itu tidak mengurangi peranan daerah dalam pelaksanaan UU 13 Tahun 2003. Sebab, ada beberapa ketentuan yang meskipun tidak menenentukan bentuk pengaturan Peraturan Daerah, tetapi memberi

kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu, antara lain menyangkut:

1. Kewajiban memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota;

2. Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota;

3. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata (a) tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja yaitu untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan; dan (b) tidak memenuhi persyaratan pelatihan kerja, yang mencakup tersedianya tenaga pelatihan, kurikulum, sarana dan prasarana, dan tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

4. Penetapan upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

5. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.

6. Membentuk Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional.

7. Membentuk lembaga kerja sama tripartit untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri atas (a) Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan (b) Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

8. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

9. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

Di samping sejumlah urusan di bidang ketenagakerjaan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sebagaimana diatur dalam UU 13 Tahun 2003, dalam prakteknya, beberapa daerah mengambil prakarsa untuk mengatur beberapa hal di bidang ketenagakerjaan, dengan dasar atau alasan guna menampung kondisi khusus di daerah. Materi muatan Peraturan Daerah yang mengatur soal kondisi khusus daerah memang dimungkinkan dalam Pasal 12 UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, beberapa daerah mencoba mengatur bidang ketenagakerjaan – antara lain—sebagai berikut:

1. Mekanisme dan dan tata aturan termasuk persoalan perlindungan tenaga kerja.

2. Kewajiban bagi perusahaan yang beroperasi di daerah untuk memprioritaskan tenaga kerja setempat.

3. Pengaturan tenaga kerja asing, misalnya tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi atau menangani personalia atau jabatan-jabatan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban membayar kompensasi itu tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Kewajiban membayar kompensasi kepada negara atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan.

5. Menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dengan tetap mempertahankan laju pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. 6. Menjamin keselamatan dan kesehatan para tenaga kerja.

7. Kewajiban mempekerjakan penyandang cacat sekurang-kurangnya satu orang untuk setiap 100 orang pekerja.

Sebagai perbandingan, Pemerintah Daerah Bali dalam menangani masalah pengangguran, menanggulanginya melalui langkah-langkah strategis, di antaranya:

1. Pembuatan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan cukup di propinsi diprakarsai oleh Dinas Tenaga Kerja Propinsi. Pertimbangan ini didasari pada: Propinsi Bali dilihat dari penduduk dan luas wilayah sangat kecil, kependudukan relatif ''homogen'', Bali merupakan satu-kesatuan labour market information system. Perlu juga ada pertimbangan lain, untuk

menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan substansial materi-materi dari Peraturan Daerah Kabupaten yang bisa menjadi bumerang bagi kita. Betapapun, kenyataan yang ada sekarang Bali sangat membutuhkan tenaga-tenaga dari luar terlepas dari suka tidak suka. Mengatasi hal ini bukan dari kacamata kependudukan tetapi dari kacamata skill.

2. Perencanaan tenaga kerja daerah (PTKD). PTKD tersebut baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota merupakan acuan pokok bagi dinas-dinas/kantor-kantor lainnya dalam menyusun program-program pembangunan sehingga supplay dan demand tenaga kerja baik kuantitatif maupun kualitatif dapat terarah pada pendayagunaan tenaga kerja secara maksimal. Dapat pula dihindari sejauh mungkin situasi yang kalau dilihat sepintas tampak aneh yaitu supplay tenaga banyak, kesempatan kerja sempit/kecil jauh di bawah supply nampu penempatan masih di bawah kesempatan kerja yang ada.

3. Sistem informasi pasar kerja. Betapa pentingnya informasi pasar kerja ini disebarkan seluas-luasnya kepada masyarakat informasi pasar kerja (IPK) tersebut dikelola oleh Disnaker Propinsi, Kabupaten/Kota yang dihimppun, dianalisis, disebarkan oleh lembaga tersebut secara reguler kepada: lembaga pengelola latihan, lembaga pendidikan, asosiasi pengusaha/pekerja, camat-camat, selanjutnya camat menyampaikan ke desa-desa bersangkutan, dan lembaga-lembaga yang dianggap perlu.

Seluruh kegiatan di atas dilakukan oleh Disnaker secara berkesinambungan dengan isian data yang up to date.

4. Kesempatan kerja di luar negeri seperti Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Singapura, yang rasanya masih membutuhkan banyak tenaga kerja dari berbagai keterampilan menengah ke bawah. Kembali pemerintah dengan serius harus mengambil prakarsa ini bersama-sama dengan lembaga swasta yang berkaitan dengan masalah ini, sehingga informasi akurat tentang permintaan tenaga kerja dari negara-negara tersebut kita miliki dan dilanjutkan dengan langkah-langkah pengadaan tenaga kerja, terutama secara kualitatif.

Dalam prakteknya, beberapa daerah mencoba menggunakan instrumen Peraturan Daerah guna mengatasi persoalan ketenagakerjaan di daerahnya masing-masing, akan tetapi tidak sedikit Peraturan Daerah Ketenagakerjaan yang dibentuk di beberapa daerah kemudian dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan dilakukan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah-Peraturan Daerah tersebut dinilai tidak kondusif bagi upaya menggalang arus investasi di daerah. Sekurang-kurangnya 46 Peraturan Daerah telah dibatalkan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah tersebut diindikasikan dapat menyebabkan hambatan terhadap investasi, termasuk diantaranya yang

terkait dengan ketenagakerjaan. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, antara lain Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat adalah:

1. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 13 Tahun 2002 tentang Retribusi Ketetnagakerjaan.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Mamuju nomor 9 tahun 2002 tentang Retribusi Izin Ketenegakerjaan.

3. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pengaturan dan Pemungutan Retribusi Ketenagakerjaan.

Walaupun terdapat pertentangan kewenangan, banyak yang berharap agar Pemerintah Pusat hendaknya tidak harus melihat terobosan pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah Ketenagakerjaan sebagai suatu musibah bagi dunia usaha, khususnya iklim investasi di daerah, sebab selain daerah memang memiliki kewenangan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU 13 Tahun 2003 juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk meminimalisasi konflik hubungan ketenagakerjaan, yang sulit diantisipasi oleh pemerintah pusat karena biasanya dampaknya dirasakan langsung oleh daerah yang bersangkutan.

Di samping aturan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah juga tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lain. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai kerangka pembatas atau koridor dalam pembetukan Peraturan Daerah. Kerangka pembatas ini penting artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun daerah mempunyai hak atau wewenang mengatur urusan rumah tangganya sendiri yang dituangkan kedalam bentuk keputusan hokum berupa Peraturan Daerah. Namun, kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan pemerintahan yang merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai Negara kesatuan dan sistem peraturan perundang-undangan secara nasional. Selain itu, kerangka pembatas ini dimaksudkan pula untuk menghindari dampak negatif yang timbul sebagai akibat keluarnya Peraturan Daerah, baik bagi masyarakat setempat, daerah lain, maupun kepentingan nasional secara makro dan luas. Dengan perkataan lain, kerangka pembatas itu bertujuan untuk menghindari timbulnya Peraturan Daerah yang secara substansial bermasalah.

Salah satu masalah yang ditemukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan adalah berkaitan dengan Peraturan Daerah yang bernuansa syariah, yang menilai bahwa umumnya Peraturan Daerah di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Selatan, bersifat diskriiminatif dan melanggar hak asasi manusia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tercatat

beberapa Peraturan Daerah Sulawesi Selatan yang direkomendasikan untuk dibatalkan, diantaranya:

1. Peraturan Desa Muslim Padang, Kecamatan Gantarang Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Enrekang Nomor 6 Tahun 2005 tentang Busana Muslim.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

Temuan ini menunjukkan bahwa seringkali Peraturan Daerah dibentuk hanya berdasarkan kepentingan dan pandangan tertentu dari Pemerintah Daerah terhadap hal-hal yang berkaitan kehidupan sosial politik lokal tanpa memperdulikan apakah substansi aturan dalam Peraturan Daerah tersebut tidak berkesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan seluas-luasnya diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah juga dapat membuat Peraturan Daerah yang spesifik sesuai kearifan lokal (local wisdom) yang didasari pertimbangan bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang bertentangan karena tidak ada larangan dalam undang-undang yang lebih tinggi. Bahkan Peraturan Daerah yang dimaksud sebagai peraturan

operasional dari ketentuan-ketentuan umum yang lebih tinggi, seperti misalnya tentang penyebaran agama.

Selanjutnya diatur pula bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan Umum. Pengertian dari ruang lingkup kepentingan umum, hingga saat ini belum pernah ada kesepakatan hukum ataupun ilmiah. Namum, paling tidak perkataan “Umum” harus dipahami tidak sekadar diartikan “orang banyak”, tetapi dan terutama dalam arti bahwa ada kesempatan bagi masyarakat memperoleh manfaat seluas-luasnya tanpa syarat-syarat yang terlalu memberatkan. Sebuah Hotel berbintang lima, misalnya diperuntukkan bagi orang banyak. Akan tetapi, hal itu tidak termasuk dalam pengertian kepentingan umum, karena hanya orang yang mampu membayar saja yang dapat menikmati hotel tersebut.

Berbeda hal dengan jembatan, pasar, tempat-tempat peribadatan, atau tempat-tempat umum lainnya yang dapat dimanfaatkan setiap orang tanpa harus memikul beban tertentu. Artinya, setiap orang tanpa melihat kondisi individual memerlukan dan memperoleh manfaat dari fasilitas atau tempat umum tersebut. Jadi beberapa ukuran yang dapat dipergunakan untuk menentukan kepentingan umum tersebut:

1. Dibutuhkan oleh orang banyak

2. Setiap orang dapat menikmati dan memperoleh manfaat tanpa ada pembatasan karena kondisi individual seseorang

3. Harus dalam rangka kesejahteraan umum, baik dalam arti materil maupun spiritual

Ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah lain cukup membingungkan, sebab Peraturan Daerah lain dapat berarti Peraturan Daerah dalam lingkungan pemerintahan daerah yang sama, atau Peraturan Daerah Pemerintahan Daerah lain yang sederajat, atau pula Peraturan Daerah dari pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota terhadap Peraturan Daerah Provinsi dalam Wilayah yang sama. Pada dasarnya memang tidak boleh ada pertentangan antar Peraturan Daerah dalam pemerintahan daerah yang sama. Apabila terjadi, akan diselesaikan melalui prinsip “lex posteriori derogat legi priori” dan “lex superior derogate legi inferiori”. Apabila ketentuan baru yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan lama yang lebih tinggi, maka ketentuan baru harus dikesampingkan dengan memperhatikan lingkungan wewenang masing-masing.

Apabila Peraturan Daerah suatu Pemerintah Daerah bertentangan dengan Peraturan Daerah Pemerintah Daerah sederajat lainnya, maka tidak ada konsekuensi hukum dari pertentangan itu. Keduanya berlaku dan dijalankan pada masing-masing lingkungan pemerintah yang berbeda satu sama lain. Persoalan dapat timbul apabila Peraturan Daerah yang

bertentangan tersebut akan merugikan secara mendasar berbagai kepentingan daerah lainnya. Misalnya, Pemerintah Daerah X sudah memiliki Peraturan Daerah yang mengatur tentang investasi di daerahnya. Pemerintah daerah Y kemudian membuat juga peraturan daerah tentang investasi. Namun, substansi Peraturan Daerah daerah Y berisi syarat-syarat dan berbagai kemudahan bagi masuknya investasi ke daerah Y, sehingga banyak investor yang memasukkan/menanamkan investasinya di daerah Y. Dalam hal seperti ini tentu daerah X merasa dirugikan. Dalam hal ini timbul ”perselisihan kepentingan” yang dapat diselesaikan melalui mekanisme administratif (penyelesaian oleh pusat) atau melalui proses peradilan.

Terhadap ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan batal demi hukum, atau dapat dibatalkan. Sepanjang Peraturan Daerah bertentangan dengan UUD, Tap MPR, dan Undang-undang, akan batal demi hukum atau mesti dibatalkan. Tidak demikian halnya dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ternyata mengatur hal-hal otonomi dan tugas pembantuan sebagai urusan rumah tangga daerah, maka peraturan itulah yang harus dibatalkan, bukan Peraturan Daerah dengan mengatur tanpa wewenang (ultra vires). Kalau ini tidak dapat

dipegang dapat terjadi pergeseran terhadap urusan rumah tangga daerah ke arah sentralisasi sebagai sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat otonomi seluas-luasnya yang digariskan undang-undang.

Bagaimanakah kalau Peraturan Daerah suatu kabupaten atau kota bertentangan dengan peraturan daerah provinsi yang mencakup kabupaten atau kota tersebut? Penyelesaian akan ditentukan oleh lingkungan wewenang provinsi, kabupaten atau kota yang bersangkutan. Apabila ternyata Peraturan Daerah Provinsi mengatur di luar urusan rumah tangganya sehingga bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota, maka Peraturan Daerah Provinsi yang harus dibatalkan. Sebaliknya, apabila ternyata Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota mengatur urusan rumah tangga Provinsi, maka Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang harus dibatalkan.

Dengan demikian, tampak betul bahwa membentuk Peraturan Daerah secara kuantitatif relatif mudah, namun membuat Peraturan Daerah yang secara kualitatif mampu menerjemahkan materi muatan yang akan diatur didalamnya dan terutama tidak berlawanan dengan kerangka pembatas yang ditentukan UU Pemerintahan Daerah, jauh lebih sulit dan komplek sifatnya. Itulah sebabnya dibutuhkan kualitas sumber daya manusia daerah yang memadai di dalam merancang dan membangun Peraturan Daerah yang

diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi kehadiran investor untuk menanamkan investasinya di daerah.

Berdasarkan data dari Departemen Keuangan, sejak tahun 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raPeraturan Daerah). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi Peraturan Daerah. Adapun dari 11.401 Peraturan Daerahyang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan Departemen Dalam Negeri. Peraturan daerah tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Rincian Peraturan Daerahyang dibatalkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel Pembatalan Peraturan daerah

No. Bidang persentase

1 Sektor perhubungan 15 %

2 Sektor pertanian 13 %

3 Sektior industri 13 %

4 Sektor Peraturan Daerahgangan 13 %

5 Sektor kehutanan 23 %

6 Sektor social 23 %

Jumlah 100 %

Sumber data : http ://www.te kmira .e sdm.g o .id

Peraturan Daerah yang akan dan telah ditetapkan dapat berlaku efektif dan tidak dicabut atau dibatalkan oleh pemerintah, maka pembuatan Peraturan Daerah harus memenuhi norma-norma atau kaidah-kaidah

menurut hukum yang menjadi dasar hukumnya, serta norma-norma yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu, pembuatan Peraturan Daerah sebagai bentuk hukum harus memenuhi aspek yuridis, aspek filosofis, aspek sosiologis, termasuk aspek politis agar Peraturan Daerah memiliki karakter hukum yang responsif sehingga berlaku secara efektif dan sesuai tujuan yang diharapkan. Pembuatan Peraturan Daerah memiliki perbedaan sifat sebstansi materi muatan, jika Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi dengan Peraturan Daerah yang dibentuk di bidang tugas pembantuan serta substansi Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara prosedural, pembentukan Peraturan Daerah didahului dengan penyampaian Rancangan Peraturan Daerah atas prakarsa KDH atau prakarsa DPRD. Rancangan Peraturan Daerah tersebut disebarluaskan kepada masyarakat (stakeholders lain) untuk memperoleh masukan sebelum persidangan, sehingga Peraturan Daerah yang dihasilkan dapat lebih absah (legitimate). Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah tersebut dimaksudkan juga sebagai bentuk keterbukaan (openess) dan transparansi penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam persidangan di DPRD pun dibuka keterlibatan masyarakat, khususnya dalam persidangan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD, pajak, restribusi dan tata ruang.

Peraturan Daerah yang dihasilkan dalam persidangan perlu diundangkan dalam Lembaran Daerah dan paling lama 7 (tujuh) hari disampaikan kepada Pemerintah.

Menurut UUD NKRI Tahun 1945 dan pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemerintah adalah Presiden. Penyampaian Peraturan Daerah kepada Pemerintah tersebut dimaksudkan untuk keperluan pengawasan represif. Dalam pasal 145 ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum (merit review) dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (legal review) dapat dibatalkan oleh pemerintah. Dengan demikian pembatalan Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Presiden dilakukan dengan Peraturan Presiden. Ketentuan tersebut mengandung kelemahan yuridis dan dapat menimbulkan birokratisme dalam pembatalan produk hukum daerah. Kelemahan yuridis yang melekat pada ketentuan tersebut adalah bahwa pembatalan suatu produk hukum daerah seharusnya dengan norma hukum individual dan konkret dan bukan dengan Peraturan Presiden. Disamping, itu dengan disisipkannya kata ”dapat” dalam ketentuan tentang pembatalan, maka pembatalan tersebut tidak bersifat imperatif tetapi fakultatif.

Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom

sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Salah satu persoalan pokok yang muncul berkenaan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh Departemen Dalam Negeri. Salah satu contoh adalah pembatalan dua

Dokumen terkait