• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab terdahulu dijelaskan tentang bagaimana performansi kelembagaan adat Toro dalam mengelola sumberdaya hutan. Untuk menganalisnya telah digunakan kriteria Ostrom dan kriteria emik masyarakat,

di mana kedua kriteria tersebut memuat sejumlah kondisi sosial yang dibutuhkan dalam mengukur performansi kelembagaan dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum (common property resources). Namun demikian, kriteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan implikasi kelembagaan yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Disertasi ini menggunakan perangkat kriteria dan indikator (K&I), dalam menjelaskan sejauhmana implikasi dari aturan main dan struktur kelembagaan adat yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pendekatan K&I yang digunakan adalah perangkat Kriteria dan Indikator LEI (LEI 2004). Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting di antaranya: fungsi kawasan, status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian.

Variabel fungsi kawasandibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan budidaya non kehutanan (KBNK), dan kawasan yang dilindungi (KD). Bagi KBK dan KD, pertimbangan utama terletak pada kepentingan publik dibandingkan kepentingan pihak pengelola. Sedangkan pada KBNK berlaku sebaliknya.

Variabel status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan publik yang dikuasai negara, lahan adat, dan lahan dengan hak milik formal berdasarkan hukum positif. Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan. Penggunaan variabel ini, selain merujuk pada ketetapan yang diberikan oleh hukum positif secara formal, juga mengacu dan bersandar pada pengakuan hukum adat setempat. Dengan demikian, secara teori maupun praktek, pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan pada semua status penguasaan lahan, di mana pada ketiganya terdapat perbedaan hak dan kewajiban bagi pelaku-pelakunya. Dengan demikian

kejelasan terhadap status penguasaan lahan sangat menentukan perilaku pengelola, sehingga akan menentukan pula terhadap pencapaian keberlanjutan fungsi hutan.

Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat komersial dan subsisten. Secara teoritis, perilaku yang berorientasi komersial akan cenderung mengutamakan keuntungan dan akumulasi modal. Sebaliknya, perilaku subsisten cenderung akan memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas, serta memperhatikan kapasitas produksi alamiahnya. Karena itu, di dalam pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, kecenderungan untuk melakukan eksploitasi berlebih sangat terbuka dalam rangka mencapai tingkatan ekonomi tertentu, yang tentunya berorientasi pada keuntungan dan peningkatan modal (capital), melalui re-investasi (reinvestation) (Suharjito et al. 2003: 5). Olehnya, di dalam pola pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, peluang terjadinya pengelolaan hutan yang tidak lestari akan sangat besar. Sebaliknya, pengelolaan hutan yang lebih pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten akan memiliki kecenderungan terhadap pemeliharaan kelestarian fungsi hutan yang lebih baik (LEI 2004).

Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan atau non kayu dari hutan. Pembedaan ini sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap kelestarian fungsi ekologis hutan. Pemanenan kayu akan cenderung memberikan dampak ekologis lebih besar, dibandingkan pemanenan non-kayu maupun jasa, meskipun tidak berarti bahwa, seluruh usaha pengelolaan hasil hutan non kayu tidak akan menimbulkan kerusakan fungsi ekologis hutan.

Tipologi Hutan di Toro

Mengacu pada variabel fungsi kawasan, wilayah Toro sebagian dimasukkan dalam kawasan TNLL, selebihnya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) (Gambar 33). Namun demikian, berdasarkan status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan, wilayah desa Toro dikategorikan sebagai tanah adat25. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tipologi lahan

25

Lahan adat diterminologikan sebagai sebidang tanah yang diklaim sebagai hak milik suatu komunitas tertentu, dan pengelolaannya diatur berdasarkan hukum adat mereka, terlepas dari keberadaannya yang terletak di dalam kawasan yang diklaim sebagai Tanah Negara (TN) oleh pemerintah maupun yang berada di luar kawasan TN dan yang dalam hal penguasaannya bersifat individual maupun komunal (LEI 2004).

adat, utamanya wana dan pangale, dikuasai secara komunal atau bersama oleh seluruh anggota komunitas (communal-customary land), dan sepenuhnya dikelola oleh lembaga adat Toro.

Berdasarkan karakterisitik kedua wilayah di atas, serta sumberdaya alam yang dimiliki desa Toro, instrument K&I LEI yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur secara relatif kelestarian sumberdaya hutan yang dikelola oleh lembaga adat adalah kategori K-II, no. 09 dan no. 10. Kategori tersebut diperuntukkan bagi sumberdaya hutan yang menghasilkan kayu secara komersial pada tanah publik/negara, dan tanah-tanah adat yang dikuasai secara komunal.

Meskipun wilayah kelola adat Toro sebagian besar merupakan kawasan lindung, namun di beberapa tipologi lahan adat, seperti: pangale, pahawa pongko dan oma, masyarakat masih diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya lahan, hasil hutan kayu dan non kayu, sehingga dapat dikategorikan ”sama” dengan kawasan budidaya kehutanan. Selain itu, kategori tersebut juga menekankan pada kebutuhan dalam menjaga sejumlah kepentingan komunal, meliputi kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial yang berimbang. Olehnya, sangat sesuai dengan konsep pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Toro.

Sumber: Direktorat Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan dan Kebun, DEPHUTBUN, 1998.

Gambar 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi Tengah (1998), (Dishut 2000). Toro

Kelestarian Fungsi Sosial

Kelestarian fungsi sosial memiliki pengertian, bahwa kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dapat memberikan jaminan keberlanjutan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan hutan, utamanya bagi kehidupan seluruh anggota komunitas secara lintas generasi (LEI 2004). Dengan demikian jelas bahwa sasaran dari kelestarian fungsi sosial adalah dibuatnya aturan main yang dapat memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat, utamanya mereka yang berinteraksi secara langsung dengan sumberdaya hutan.

Kelestarian fungsi sosial diukur dengan menggunakan empat kriteria, di antaranya: (1) kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang dipergunakan; (2) keterjaminan dalam pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas; (3) terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi; dan (4) keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas.

Kejelasan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Lahan atau Areal Hutan

Kriteria ini digunakan untuk menganalisis pola hubungan kuasa antara komunitas Toro dengan sumberdaya lahan dan hasil hutan. Melalui pola hubungan kuasa akan ditentukan pola-pola pemanfaatan/penggunaan lahan hutan. Analisis ditujukan terhadap kelembagaan yang mengatur pola-pola pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan, status peguasaan lahan, kejelasan batas-batas kawasan, dan mekanisme resolusi konflik yang dimiliki oleh lembaga adat Toro.

Keempat indikator tersebut di atas memiliki kesepadanan dengan kriteria kelestarian berdasarkan pemahaman masyarakat Toro, utamanya terhadap “kejelasan status lahan” dan “jaminan kelembagaan terhadap penyelesaian konflik pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang bersifat adil”. Kedua kriteria tersebut dapat memberikan jaminan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan oleh masyarakat secara aman. Pemberian skor terhadap kriteria kejelasan hak penguasan dan pengelolaan lahan atau areal hutan disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pengelola hutan adalah warga komunitas 1.0 5.0 5.0

2. Status lahan tidak dalam sengketa dengan

warga anggota komunitas maupun pihak lain 1.0 5.0 5.0

3. Kejelasan batas-batas areal hutan yang

dipergunakan 1.0 5.0 5.0

4. Digunakan tata cara atau mekanisme

penyelesaian sengketa yang berkeadilan

terhadap klaim/sengketa yang terjadi

1.0 5.0 5.0

Rerata Skor 5.0

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 25 menunjukkan bahwa rerata skor yang dihasilkan oleh kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan masuk dalam kategori baik (5.0). Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan di Toro dikelola oleh lembaga adat, dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat lokal. Sebenarnya, jauh sebelum adanya pengakuan dari pihak BTNLL, wilayah kelola adat Toro telah mendapatkan pengakuan dari desa-desa lain, terutama yang berbatasan langsung dengan wilayah desa Toro, seperti desa Katu, Oo Parese, dan Sungku. Olehnya, peluang terjadinya sengketa terhadap pemanfaatan lahan, utamanya dengan desa lain, sangatlah kecil. Kalaupun ada, lembaga adat telah memiliki resolusi konflik yang diakui dan disepakati bersama baik internal maupun eksternal Toro, meliputi: metode musyawarah, mediasi, dan mekanisme peradilan adat.

Dalam penerapannya, khususnya terhadap konflik internal di Toro, lembaga adat tidak sekedar menyelesaikan sengketa yang terjadi, namun lebih jauh mengupayakan untuk merekatkan kembali kekerabatan kedua belah pihak yang bertikai. Upaya tersebut biasanya dilakukan melalui ”upacara pendamaian”, di mana penyelenggaraan ditanggung sepenuhnya oleh kedua belah pihak. Hal ini pula yang menyebabkan hampir setiap sengketa lahan yang terjadi di Toro dapat diselesaikan dengan baik (Gambar 34 & 35).

Meskipun batas-batas lahan tidak nampak secara fisik, namun masyarakat mampu mengenali dengan mudah di lapangan. Hal ini lebih disebabkan karena lembaga adat menggunakan batas-batas alam sebagai penandanya, seperti: punggung bukit dan sungai. Sementara itu, untuk membedakan tiap-tiap tipologi lahan tradisional digunakan “tanaman indikator” (damar dan rotan), “karakteristik

biofisik lahan” (kemiringan dan ketinggian tempat); dan sejumlah “tanda-tanda lain yang mencirikan lokasi yang dilindungi” (mata air dan tanaman obat-obatan).

Keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi Komunitas Kriteria ini digunakan untuk menganalisis sejauhmana kelembagaan adat yang direvitalisasi mampu mengatur dan mempertahankan pola keseimbangan di dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun budaya. Secara mikro, kriteria ini bermanfaat untuk mengetahui efektifitas dari aturan main yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, utamanya dalam memperkuat kemampuan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, secara relatif diharapkan bahwa tiap-tiap warga masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya melalui aktifitas produksi di dalam hutan. Pemberian skor terhadap kriteria keterjaminan pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas disajikan pada Tabel 26.

Gambar 34 Rapat penyelesaian sengketa lahan antar masyarakat Toro (Foto: Golar 2005).

Gambar 35 Makan Bersama sebagai simbolisasi selesainya sengketa di antara mereka (Foto: Golar 2005).

17.2 71 9.6 2.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 (%)

sangat baik baik sedang buruk kategori

Tabel 26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan Ekonomi komunitas

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan

mampu mendukung kelangsungan hidup

komunitas dalam lintas generasi

1.0 4.0 4.0

2. Terjaganya integrasi kegiatan ekonomi kayu

dengan kegiatan non ekonomi di dalam kawasan hutan

1.0 5.0 5.0

3. Penerapan teknologi produksi dan sistem

pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan

1.0 5.0 5.0

Rerata nilai Skor 4.6

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas masuk dalam kategori baik (skor=4.6). Berdasarkan penjelasan masyarakat, peluang akses mereka terhadap sumberdaya lahan dan hutan saat ini jauh lebih baik bila dibandingkan sebelum ada kesepakatan dengan pihak BTNLL. Lebih dari 70% atau lebih kurang 365 rumahtangga di Toro menyatakan “baik”, bahkan 17.2%, atau lebih kurang 88 rumahtangga menyatakan “sangat baik” bila dibandingkan sebelum digulirkannya revitalisasi (Gambar 36).

Gambar 36 Peluang akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan pasca revitalisasi (sumber: data STORMA 2004, diolah).

Sebelum ada kelembagaan adat yang secara khusus mengatur tentang pemanfaatan lahan dan hasil hutan kayu di Toro, masyarakat hanya menggantungkan hidupnya dari hasil sawah dan mengumpul rotan (ba’rotan). Sebelum tahun 1996, rata-rata (50%) rumahtangga di Toro melakukan kegiatan mengumpul rotan, utamanya di saat sawah-sawah mereka mengalami paceklik. Mereka masuk ke dalam hutan berminggu-minggu untuk mecari rotan sesuai pesanan. Dalam setiap minggunya mereka menghasilkan 150 kg -100 kg, dengan harga berkisar antara Rp 100.000.00–Rp 200.000.00. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk bekal mereka ke dalam hutan (gula, rokok, dan lauk-pauk) adalah Rp 50.000.00 – Rp 80.000.00. Dengan demikian, nampak jelas bahwa hasil yang diperoleh masyarakat tidak seimbang dengan pengorbanan yang dikeluarkan.

Hal tersebut di atas dikeluhkan oleh istri-istri mereka, di mana hasil yang diperoleh dari usaha mengumpul rotan dinilai tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang telah dikorbankan, bahkan cenderung “merugi” disebabkan sepulang merotan suami-suami mereka sering mengeluh sakit, sehingga mereka harus mengeluarkan lagi sejumlah biaya untuk membeli obat. Hal serupa dikemukakan oleh kepala desa Toro, bahwa kegiatan mengumpul rotan yang dikerjakan oleh masyarakatnya tidak lagi memberikan untung, bahkan tidak sedikit dari mereka mengalami kerugian disebabkan tidak mampu lagi untuk memenuhi target sesuai pesanan pembeli, sementara uang panjar telah diterima, sehingga menjadi beban hutang bagi mereka. Untuk membayarnya, mereka sering menjual lahan-lahan yang dimiliki atau langsung menyerahkan lahan-lahan tersebut kepada si pemberi panjar26 untuk melunasi hutangnya. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan lembaga adat dan pemerintah desa untuk memberikan peluang bagi masyarakatnya dalam memanfaatkan lahan-lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro.

Pemberian peluang tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Bagi mereka yang selama ini hanya mengandalkan hasil panen sawah, dengan dibukanya peluang tersebut, kini mereka dapat memanfaatkan lahan-lahan di bawah tegakan hutan, baik untuk ditanami kakao, kopi dan vanilli. Situasi ini secara langsung telah memberikan tambahan pendapatan (add incomes) masyarakat di Toro. Kajian yang dilakukan

26

Pemberi panjar adalah pedagang pengumpul di Desa Toro, yang juga menerima pesanan dari eksportir di Palu.

Schwarze (2005), menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari sektor pertanian pasca kesepakatan (2000-2004), utamanya untuk komoditas kakao, kopi, dan vanila telah memberikan kontribusi sebesar 44% terhadap total pendapatan rumahtangga di Toro. Demikian halnya terhadap peluang untuk memanfaatkan hasil hutan kayu, dirasakan sangat berarti oleh masyarakat, utamanya bagi mereka yang sedang mengembangkan usaha meubel berskala lokal.

Seperti dijelaskan terdahulu, bahwa bahan baku kayu yang digunakan oleh pengrajin meubel di Toro umumnya diperoleh dengan cara memesan pada seseorang yang berprofesi penebang (chainsaw man). Untuk setiap 1 m3 kayu, misanya untuk jenis tahiti dan cempaka, si pengrajin rata-rata membayar Rp 300.000.00 kepada si penebang (dalam bentuk papan atau balok sesuai pesanan). Harga tersebut tidak termasuk biaya angkut dari hutan ke tempat si pengrajin. Untuk jasa tersebut, biasanya dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 250.000.00 – Rp 300.000.00. Selain biaya tersebut, pemilik kayu berkewajiban pula untuk membayar kas desa sebesar Rp 25.000.00 untuk tiap 1 m3. Dengan demikian, setiap 1 m3 kayu di Toro memiliki harga berkisar Rp 550.000.00–Rp 600.000.00.

Meskipun demikian, nilai jual kembali dari produk yang telah dihasilkan dihasilkan, seperti: pintu, kusen, dan meubel jauh lebih menguntungkan. Sebagai ilustrasi, dalam 1 m3 kayu hasil tebangan dapat dibuat menjadi 30–50 lembar papan, tergantung ukuran dan ketebalannya. Dari papan-papan tersebut, bila ingin dibuat menjadi pintu sedikitnya dibutuhkan dua lembar papan. Bila telah menjadi pintu oleh si pengrajin dihargai Rp 200.000.00. Jika diasumsikan bahwa, dalam 1 m3 kayu dapat dibuat menjadi 20 buah pintu, maka pendapatan kotor yang dapat diterima pengrajin tersebut adalah sebesar Rp 4.000.000.00, atau berkisar Rp 2.500.000.00 (setelah dikurangi dengan komponen biaya).

Hal tersebut di atas membuktikan bahwa lembaga adat dan pemerintah desa Toro telah menjalankan salah satu fungsinya dalam mendukung dan menjaga keutuhan masyarakat, melalui jaminan kepastian usaha dan keberlanjutan sumber-sumber ekonomi komunitas. Indikator ini memiliki kesepadanan dengan kriteria “emik”, yaitu “adanya keterjaminan terhadap sumber-sumber ekonomi masyarakat melalui pemberian kesempatan dalam memanfaatkan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro”.

Peningkatan pendapatan masyarakat dapat diindikasikan melalui kemampuan masyarakat Toro dalam menginstalasi jaringan listrik; di mana lebih

dari setengah (60%) rumah tangga di Toro telah memasangnya secara individu, dan sekitar 20% yang mencantol pada keluarga lain. Selain itu, hal lain yang mencirikan adalah peningkatan daya beli masyarakat Toro terhadap kebutuhan sekunder, seperti: membeli pesawat televisi, radio, parabola, dan kendaraan bermotor (Tabel 27). Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat seiring digulirkannya revitalisasi kelembagaan adat, yang secara langsung telah memberikan proporsi berimbang dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.

Tabel 27 Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004

No Jenis asset Jumlah

(Jiwa)

%

1. Sambungan listrik sendiri 2. Pesawat televisi 3. Pesawat radio 4. Parabola 5. VCD 6. Motor 317 72 375 43 116 70 61 14 72 8 22 13

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan total rumahtangga di Toro (253 kk)

Meskipun saat ini motif ekonomi telah mewarnai sistem pemanfaatan lahan di Toro, namun prosesi adat, sebagai salah satu tahapan dalam aktivitas pemanfaatan lahan hutan masih tetap dijumpai. Namun, kini wujudnya lebih kepada pendekatan yang sifatnya keagamaan. Hal ini merupakan satu indikasi masih bertahannya sistem kearifan tradisional Toro dalam aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan, yang mampu mengintegrasikan aktivitas sosial budaya, religius, dan non-ekonomis lainnya secara sinergis.

Untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro, secara tegas diatur tentang pembatasan kategori wilayah adat yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan kayunya. Tipe lahan yang diperkenankan untuk dimanfaatkan kayunya adalah oma (oma ntua dan oma ngura) dan pahawa pongko. Sementara itu, untuk tipe pangale kini tidak lagi diperkenankan untuk dimanfaatkan kayunya. Hal tersebut dimaksudkan agar sumberdaya hutan dan lahan yang dipertahankan, baik sebagai hutan yang dilindungi maupun sebagai hutan cadangan adat dapat terpelihara dengan baik. Upaya lain yang ditempuh oleh pemerintah desa dan lembaga adat di Toro adalah melalui himbauan

kepada warga masyarakat untuk tidak menjual lahan pada orang di luar Toro. Alasan yang mendasari himbauan tersebut adalah untuk menjaga tertib sosial, terutama yang berkaitan dengan kesinambungan tradisi. Alasan yang mendasari adalah “jika Toro secara turun-temurun dihuni, dan lahan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk lokal, maka ”sistem pengaturan sosial” yang diperankan oleh lembaga adat akan berjalan dengan baik. Semakin homogen suatu masyarakat, akan semakin mudah memelihara kesinambungan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, yang tentunya menjadi insentif bagi kelestarian hutan di Toro” (bdk. Li 2002; Leach et al 1997).

Konsepsi pemikiran tokoh masyarakat di Toro, sejalan dengan studi yang pernah dilakukan oleh Universitas Idaho di Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan oleh penduduk asli di hutan lindung Bosawas, Nikaragua, secara drastis mampu mengurangi pembukaan hutan menjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang bukan penduduk asli. Dalam tahun 2002, rata-rata setiap petani yang bukan penduduk asli membuka hutan 17 kali lebih luas dibandingkan dengan penduduk asli. Para petani pendatang membuka hutan lebih luas karena pada saat mereka selesai berladang, mereka membiarkan lahannya ditumbuhi rumput. Sebaliknya, suku Mayangnas dan Miskitus (suku asli) tidak pernah membiarkan lahannya tidur. Mereka terus menerus menanami ladangnya dengan tanaman pertanian. Para petani pendatang menggunakan sebagian rumput yang tumbuh untuk makanan ternaknya. Sebagian dari mereka dengan mudah mengklaim lahan tersebut sebagai tanah peninggalan leluhur mereka. Para penduduk asli sebaliknya menjaga ternak mereka di dalam perkampungannya, dan mengelola lahan garapannya secara berkelompok (Hecht et al. 2006).

Studi tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa tindakan protektif yang dilakukan oleh lembaga adat Toro, dalam mencegah masuknya pendatang untuk mengelola lahan dan hutan di Toro cukup rasional. Sekaligus membuktikan komitment lembaga adat mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan untuk generasi mendatang.

Pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi

Kriteria ini digunakan dalam menilai bagaimana pola hubungan sosial yang terbangun dalam pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya kejelasan pembagian wewenang dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Toro.

Kewenangan yang jelas akan menunjukkan adanya kejelasan pertanggung-jawaban atas kinerja, maupun atas dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan dari segala aktifitas pengelolaan sumberdaya hutan. Pemberian skor terhadap kriteria tersebut disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara

berbagai pihak dalam pengelolaan merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar

1.0 5.0 5.0

2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis

dalam kelembagaan pengelolaan SDH 1.0 4.0 4.0

Rerata nilai Skor 4.5

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 28 menunjukkan bahwa kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi masuk dalam kategori baik (skor= 4.5). Seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat dua tipologi penguasaan lahan di wilayah kelola adat Toro yakni: (a) tipologi lahan yang dikuasai secara kolektif (nanu hangkani), seperti: wanangkiki, wana, pangale, dan pahawa pongko, dan (b) tipologi lahan yang kuasai secara individu (nanu handua), seperti oma dan

balingkea. Pengaturan pemanfaatan lahan-lahan tersebut merupakan wewenang lembaga adat dan pemerintah desa. Hal ini berarti bahwa, meskipun lahan yang akan dikelola oleh masyarakat masuk dalam tipologi lahan yang dapat dikuasai secara individu, namun bila ingin mengelolanya mereka tetap harus melalui proses perizinan kepada pemerintah desa dan lembaga adat.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar pemerintah desa dan lembaga adat dapat tetap memantau segala aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar bila terjadi konflik internal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan dan hasil hutan pihak lembaga adat telah memiliki data konkrit terkait penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah kelola adatnya, sehingga penyelesaian yang ditempuh oleh pihak lembaga adat diharapkan tidak merugikan salah satu pihak

Dokumen terkait