• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini diuraikan tentang perubahan lingkungan yang terjadi di Toro, dengan fokus kajian terhadap perubahan tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan politik. Uraian tentang perubahan lingkungan di Toro dikaitkan dengan sejarah Toro, kondisi geografis dan kependudukan, mata pencaharian, struktur sosial kemasyarakatan, tata guna lahan, tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik.

Selintas Sejarah Toro

Dalam bahasa Kulawi, Toro berarti “sisa”. Terminologi ini mengacu pada suatu wilayah yang telah ditinggal pergi oleh penduduknya dalam waktu yang cukup lama, sehingga menjadi hutan belantara. Diperkirakan sekitar 500 tahun yang silam, terjadi perpindahan penduduk dari Malino ke Toro. Perpindahan tersebut terjadi akibat terdesak peperangan dengan suku lain. Keluarga yang terdesak dan sempat mengungsi saat itu sebanyak 7 rumahtangga, di bawah pimpinan Mpone (Shohibuddin 2003).

Sebelum akhirnya mendiami daerah Toro, kelompok pimpinan ini transit di beberapa tempat. Mulanya mereka tinggal di Balinggi yaitu wilayah bagian Parigi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Parimo. Di Balinggi mereka berkembang menjadi 11 rumahtangga. Setelah itu, mereka pindah ke tempat transit kedua yaitu Kulawi melalui Paboya (Palu), Bora (Sigi Biromaru), Tuwa, dan kemudian Namo. Atas perkenaan Balu, seorang bangsawan Kulawi, mereka ditempatkan di Kauawu, yang saat itu masih berupa hutan, dengan harapan mereka dapat mengelola untuk menopang hidupnya. Di tempat transit kedua inipun tidak berlangsung lama. Ternyata setelah mereka berhasil, mereka mengalami tekanan-tekanan berupa kewajiban membayar pajak untuk setiap lahan yang dikelolanya pada orang Kulawi. Keadaan yang tidak menguntungkan ini mendorong orang asal Malino tersebut untuk mencari tempat baru.

Melihat gelagat ini, Balu, orang pertama yang menempatkan mereka di Kauawu mengambil kebijakan dengan menawarkan alternatif lain. Balu menawarkan lokasi perburuan miliknya agar dibeli dan terjadilah kesepakatan jual beli antara Balu dengan orang asal Malino. Tempat dilaksanakannya kesepakatan tersebut disebut “kaputua” yang artinya keputusan akhir jual beli

tanah wilayah perburuan Balu. Kawasan perburuan tersebut dihargai setara dengan tujuh biji emas, masing-masing sebesar burung pipit. Sejak saat itu hingga sekarang, orang asal Malino ini mendiami wilayah yang dinamai Toro. Sejarah asal usul ini penting karena berimplikasi terhadap eksistensi mereka dan terdapat kejelasan atas perolehan status wilayah dan lahan-lahan milik leluhur mereka.

Kondisi Geografis dan Kependudukan Letak dan Luas

Toro terletak sekitar 120o1’ BT - 120o3’30’’ BT dan 1o29’30’’ LS - 1o32’ LS, dengan luas wilayah ± 229.5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Topografi Toro termasuk dalam kategori pegunungan, dimana pemukiman dan pertanian umumnya terkonsentrasi di lembah dan lereng yang dikelilingi oleh gunung-gunung seperti: Kalabui, Kaumuku, Toworo, Onco, Tawaeli, Topolo, Potaka Jara, dan Powibia.

Di sebelah Utara, wilayahnya berbatasan dengan desa Mataue dan Lindu (nama batas alam Bulu Taweki), sebelah Timur berbatasan dengan Kaduwa (nama batas alam Bulu Padoroa) dan Katu (nama batas alam Ue Biro dan Ue Hawuraga), sebelah Selatan berbatasan dengan Oo Parese (nama batas alam Mahue) dan Lawua (nama batas alam Potowo Noa), dan sebelah Barat berbatasan dengan Sungku (nama batas alam Bulu Tobengi) dan Winatu (nama batas alam Ue Halua). Di wilayah ini mengalir beberapa sungai besar di antaranya: S. Sopu, Biro, Pangemoa, Alumiu, Leangko, Pono, Bola dan Kedundu.

Secara administratif, Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Dari ibukota kecamatan di Bolapapu, Toro berjarak lebih kurang 15 km, dapat ditempuh dalam waktu setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari ibu kota propinsi di Palu, berjarak lebih kurang 86 km, dapat ditempuh lebih kurang 3 jam perjalanan, dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Gambar 7. Letak lokasi penelitian.

Sumber: Sensus penduduk STORMA (2004).

Iklim

Berdasarkan catatan stasiun pengamatan cuaca di Kulawi, rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara 200-3500 mm per-tahun pada periode 1997-2004, kelembaban relatif 85.17%, dengan rata-rata temperatur bulanan sebesar 23,400C. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan April dan Mei (Gerold et al. 2002). Data curah hujan harian dapat dilihat pada lampiran 7.

Penggunaan Lahan (Land Use)

Dari total luas lahan di Toro (22.500 ha), hanya sekitar 1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya merupakan lahan hutan dan bagian dari kawasan TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen merupakan sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha telah ditanami palawija atau kakao dan kopi (Sitorus 2006). Dari sekitar 540 rumahtangga yang ada di Toro, 534 (99%) di antaranya memiliki lahan pertanian sendiri, dan hanya sekitar 7 (0.1%) yang tidak memiliki lahan pertanian, baik sawah, ladang, maupun kebun (STORMA 2004). Pemilikan tanah di Toro relatif terdistribusi merata. Sekitar 80% rumahtangga di Toro menguasai tanah kurang dari 0.5 ha. Selebihnya (20%) menguasai lebih dari 5.0 ha, termasuk di dalamnya penguasaan sawah seluas 2.0 ha. Gambaran umum jenis-jenis lahan yang dikuasai oleh tiap-tiap rumahtangga di Toro disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Jenis-jenis lahan yang dikuasai rumahtangga di Toro (Tahun 2004)

Tata guna lahan Jumlah (unit) Persentase (%) Komulatif (%) 1. Pekarangan

2. Sawah dengan irigasi sederhana 3. Sawah dengan irigasi semi teknis 4. Sawah dengan teknik irigasi 5. Tanaman kopi

6. Kakao di bawah pohon hutan alami 7. Kakao dibawah pohon pelindung campuran 8. Kakao dibawah pohon pelindung mayoritas

berasal dari satu jenis 9. Padang rumput 10. Ladang 11. Tanah kosong 12. Lain-lain 20 417 9 14 37 156 242 251 1 19 24 8 1.7 34.8 0.8 1.2 3.1 13.0 20.2 21.0 0.1 1.6 2.0 0.7 1.7 36.5 37.2 38.4 41.5 54.5 74.7 95.7 95.7 97.3 99.3 100.0 Jumlah 1.198 100.0

Masyarakat di Toro menguasai lahan pertanian lebih dari 1 unit, baik berupa sawah, kebun, maupun ladang. Sebanyak 38.5% masyarakat menguasai lahan garapan sebanyak 2 (dua) unit. Sementara yang tidak memilik lahan hanya sebesar 0.1% saja. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan lahan masih memadai dalam mendukung aktifitas usaha tani di Toro. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Rata-rata jumlah lokasi lahan masyarakat di Toro (Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004).

Saat ini lahan-lahan pertanian masyarakat sebagian besar ditanami kakao. Meskipun tanaman ini telah lama dikenal di Toro, tepatnya sejak tahun 1960-an, namun jenis ini baru diminati dan dibudidayakan secara merata pada tahun 1990-an. Sejak saat itulah terjadi perubahan yang signifikan terhadap tataguna lahan di Toro. perubahan tata guna lahan mencapai puncaknya pada periode tahun 1990 – 2000 sebesar 41.6%. Hal ini terkait erat dengan periode dimana tanaman kakao menjadi komoditas andalan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Fenomena ini terjadi bukan saja di Toro, namun hampir merata di seluruh dataran Sulawesi (Kief 2001). Konversi lahan menjadi lokasi penanaman kakao di Toro disajikan pada Gambar 9.

0.1 11.2 38.5 22.7 12.4 9 4.4 1.8 0 5 10 15 20 25 30 35 40 (%) 0 1 2 3 4 5 6 > 6

jumlah penguasaan lahan 0.1 11.2 38.5 22.7 12.4 9 4.4 1.8 0 5 10 15 20 25 30 35 40 (%) 0 1 2 3 4 5 6 > 6 jumlah penguasaan lahan Jumlah Lokasi Lahan

Gambar 9 Periodesasi pengkonversian menjadi lahan yang ditanami kakao di Toro (sumber: Sensus penduduk, STORMA 2004).

Kependudukan Komposisi penduduk

Di tahun 2004, Toro berpenduduk 2.133 jiwa atau 540 rumahtangga, terdiri atas 1.121 (52.6%) pria dan 1.012 (47.4%) wanita, yang bermukim di tujuh dusun (boya), di antaranya: Bola, Lempe, Kinta, Lengkaue, Bulukuku, Raupa, dan Nente Baru. Komposisi umur penduduk di Toro tergolong ”penduduk muda”, di mana penduduk yang berumur di bawah 30 tahun berjumlah 130 jiwa (59%), sedangkan yang berusia di atas 65 tahun (kelompok usia tua) berjumlah 73 jiwa (3.4%). Komposisi umur penduduk di Toro disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur (Tahun 2004)

No Kelompok Umur (Tahun)

Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 2 3 4 0 – 15 16 – 30 31 – 50 51 – 65 > 65 684 616 585 248 73 32.1 28.9 27.5 8.12 3.43 Jumlah 2.133 100,0 Sumber: STORMA (2004). 2.2 5.2 7 13.8 41.6 30.2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 (%) Tahun 2.2 5.2 7 13.8 41.6 30.2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 (%) Tahun 1960 1960-1970 1970–1980 1980-1990 1990–2000 2000– sekarang Tahun

Melalui data tersebut di atas diketahui bahwa penduduk yang masuk dalam kategori tenaga kerja8 (manpower) adalah penduduk yang berusia 16-65 tahun, yaitu sebesar 1.449 jiwa (67.9%). Sedangkan penduduk yang masuk dalam kategori bukan tenaga kerja sebesar 684 jiwa (32.1%).

Sementara itu, mata pencaharian masyarakat di Toro dikelompokkan menjadi dua; mata pencaharian utama dan sampingan. Pada umumnya mata pencaharian utama dan sampingan rumahtangga di Toro bertumpu pada sektor pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan, antara lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar (Sitorus 2006). Secara keseluruhan, struktur mata pencaharian masyarakat di Toro disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Rasio jumlah penduduk Toro berdasarkan mata pencaharian

Sumber: Sensus penduduk STORMA (2004).

Data di atas menunjukkan bahwa usaha tani on-farm di Toro, sebagai mata pencaharian utama, mendominasi sebesar 51.3% terhadap sektor usaha lainnya. Masyarakat yang menjadikan usaha tani sebagai mata pencaharian sampingan sebesar 24.61%. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja (labor force participation) di Toro tergolong tinggi yaitu sebesar 77.36%. Angka ini

8

Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisiasi dalam aktivitas tersebut (Kusmosuwidho 2004)

No Mata pencaharian Utama Sampingan

Jumlah Orang (%) Jumlah Orang (%) 1 On-farm A Bertani 1.086 51.13 141 24.61 2 Off-farm A Buruh Tani 7 0.33 123 21.47 B Peternak 1 0.05 3 0.52 C Penebang pohon 1 0.05 2 0.35 D Pengumpul Rotan 1 0.05 28 4.89

E Pedagang hasil bumi 4 0.19 6 1.05

F Meubeler, pertukangan 16 0.75 6 1.05

3 Non-farm

A PNS (Pegawai pemerintah) 5 0.24 0 0.00

B Ibu Rumah Tangga 222 10.45 258 45.03

C Pelajar/Mahasiswa 83 3.91 1 0.17

d Lain-lain 698 32.86 5 0.87

menggambarkan tingkat partisipasi total seluruh penduduk di Toro dalam usia kerja (tingkat aktivitas umum9).

Berdasarkan laporan Shohibudin (2003) diketahui bahwa masyarakat Toro terbentuk dari beberapa etnis, di antaranya: etnis Moma, Uma serta etnis Rampi. Selain ketiga etnis tersebut, terdapat pula beberapa etnis lain di antaranya: etnis Kaili, Napu, Behoa, Manado, Minahasa, Poso, Pamona, Mori, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, dan Bali. Heterogenitas etnis telah terjadi sejak pra-kolonial, dimana salah satu pemimpin Toro saat itu, Balawo, mempersunting dan memboyong istri beserta pengikut-pengikutnya yang berasal dari Rampi, sebuah kampung yang berada di wilayah propinsi Sulawesi Selatan, untuk menetap di Toro. Sejak saat itu mulai berdatangan kerabat-kerabat lainnya yang berasal dari Rampi untuk ikut menetap di Toro.

Kedatangan etnis Rampi selanjutnya terjadi akibat pergolakan politik yang terjadi di Sulawesi Selatan pasca-kemerdekaan, yakni peristiwa DI/TII dan PRRI/Permesta. Pergolakan ini telah memaksa etnis Rampi untuk mengungsi dan menyebar ke mana-mana, salah satunya adalah desa Toro. Gelombang pengungsian orang Rampi ke Toro terjadi melalui dua tahap, yaitu periode tahun 1952-1953 dan periode tahun 1959-1960. Setibanya di Toro semua pengungsi dibagikan lahan oleh Kadera, yang menjabat sebagai kepala kampung saat itu. Awalnya etnis Rampi membangun pemukiman di wilayah lereng bukit, yang kemudian dipindahkan di sisi-sisi jalan yang menuju ke Kulawi. Pemukiman tersebut sekarang dikenal dengan nama Dusun V (Roupa).

Pengungsian tahap kedua terjadi tidak lama setelahnya, yaitu pada tahun 1959-1960. Seperti pengungsian sebelumnya, mereka juga mendapat pembagian lahan dari kepala kampung Toro. Saat ini, wilayah tempat mereka bermukim dikenal sebagai Dusun IV (Lengkoue). Di tahun 1968, desa ini kembali didatangi oleh etnis Uma yang berasal dari Kulawi bagian Barat. Kedatangan etnis ini sebagian bersifat spontan dan sebagian lagi merupakan rangkaian dari program resettlement. Oleh pemerintah Toro mereka ditempatkan pada bagian ujung Tenggara Toro, yang kini telah menjadi Dusun VI (Nente Baru).

Selain lahan pemukiman, mereka juga disediakan lokasi untuk bercocok tanam. Pembagian lahan untuk etnis Uma dilakukan oleh Pateke Tohuwu (kepala kampung saat itu). Berbeda dengan kasus-kasus migrasi sebelumnya,

9

Tingkat aktivitas umum adalah tingkat aktivitas (activity rate) untuk seluruh penduduk dalam usia kerja (16-65 tahun) (Kusumosuwidho 2004).

pembagian lahan oleh Pateke Tohuwu ini dilakukan melalui transaksi jual beli, meski dengan harga seadanya, dan tidak lagi melalui pemberian cuma-cuma. Komposisi etnis yang mendiami Toro, serta periodesasi kedatangan pendatang ke Toro disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.

Keragaman etnis secara tidak langsung menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi berdasarkan garis etnis, sehingga menciptakan dusun-dusun dengan komposisi penduduk yang relatif homogen. Hal tersebut terkait erat dengan gelombang migrasi penduduk, yang pada setiap tahap hanya melibatkan kelompok etnis tertentu saja, serta adanya kebijakan setiap pimpinan Toro saat

Gambar 10 Komposisi etnis di Toro (Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004), diolah. 58% 10% 20% 12% etnis Moma etnis Uma etnis Rampi etnis lainnya (5%) (36%) (34%) (25%)

Gambar 11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro (Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004), diolah.

T a hun 19 9 1 - 2 0 0 0 T a hun 19 7 1 - 19 9 0 T a hun 19 5 1 - 19 7 0 T a hun 19 5 0 A s li P e nda t a ng 58% 42%

Dokumen terkait