• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab terdahulu telah diuraikan tentang perubahan lingkungan yang terjadi di Toro, baik disebabkan oleh intervensi ekonomi pasar maupun yang disebabkan oleh dinamika politik. Perubahan yang terjadi mendorong respon kolektif masyarakat Toro untuk melakukan revitalisasi kelembagaan adat.

Pembahasan dalam bab ini diawali dengan uraian tentang bagaimana dinamika internal dan eksternal yang terjadi di Toro serta aktor-aktor yang memainkan peranan dalam proses revitalisasi kelembagaan adat. Selanjutnya diuraikan pula performansi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam perspektif etik dan emik terhadap revitalisasi kelembagan adat di Toro.

Dinamika Kolektif Komunitas Toro

Seperti diuraikan terdahulu, bahwa revitalisasi kelembagaan adat merupakan wujud respon kolektif masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di Toro, baik disebabkan oleh faktor intervensi ekonomi pasar, maupun dinamika politik, yang berdampak pada sistem sosial masyarakat, terutama dalam berinteraksi dengan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.

Pembahasan tentang respon kolektif masyarakat Toro dikelompokkan ke dalam dua sub-bab, yaitu: (a) respon masyarakat Toro pra-pengakuan oleh pihak Balai TNLL; dan (b) respon masyarakat Toro pasca pengakuan Balai TNLL.

Respon Masyarakat Toro Pra-Pengakuan BTNLL (1993-2000)

Seperti diuraikan sebelumnya, perjuangan masyarakat Toro untuk merevitalisasi kelembagaan adat membutuhkan waktu yang cukup lama, dimulai sejak tahun 1993 hingga sekarang. Didampingi oleh sejumlah ORNOP, masyarakat Toro telah melakukan inventarisasi dan mendokumentasikan kembali pengetahuan-pengetahuan tradisional, norma-norma, dan adat-istiadat terkait pola interaksi mereka dengan sumberdaya hutan.

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membangun kembali Lobo

(Gambar 22), sebuah bangunan tempat pertemuan adat. Lobo memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Toro. Selain fungsinya sebagai tempat untuk melakukan pertemuan dan musyawarah adat, Toro merupakan “spirit kehidupan”

dan simbol pemersatu (simbol kolektifitas) masyarakat Toro. Dengan dibangunnya lobo, sama halnya membangun kembali semangat kolektifitas di Toro. Semangat kolektifitas tersebut amat penting, terutama dalam menjaga kekokohan kelembagaan yang telah ada (bdk. Ostrom 1999; Ghate 2004; Badstue et al. 2006).

Mengacu pada laporan Sohibuddin (2003), bahwa pembangunan lobo dan berbagai proses-proses yang terjadi di dalamnya telah membenihkan semangat awal revitalisasi, utamanya terhadap aspek-aspek tradisi yang sepenuhnya berasal dari prakarsa lokal masyarakat Toro. Semangat awal revitalisasi tersebut diikuti dengan proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

Di tahun 1998, pemerintah Toro yang difasilitasi oleh YTM melakukan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan lembaga adat dan 8 kepala desa dari 8 desa yang desanya berbatasan langsung dengan TNLL. Melalui pertemuan tersebut berhasil disusun naskah dokumentasi mengenai potensi dan pengetahuan ekologis, tata guna lahan tradisional, serta berbagai praktek-praktek kearifan tradisional dalam memanfaatkan lahan dari pendahulu-pendahulu mereka di Toro. Hasil pertemuan tersebut dijadikan salah satu dasar bagi masyarakat Toro untuk membuat peta partisipatif (Gambar 24). Peta ini memuat kategorisasi sistem tenurial tradisional adat Toro, sebagai dasar dalam pengaturan tata guna lahan di Toro saat ini. Pembuatan peta partisipatif awalnya

diprakarsai oleh YTM. Sistem kategorisasi lahan yang awalnya masih merupakan peta mental dalam alam kognitif (cognitive map) masyarakat, ditranser secara visual dan grafis melalui pemetaan partisipatif.

Dari sudut pandang politik, pemetaan partisipatif amat penting dilakukan. Peta merupakan gambaran simbol dan instrumen kekuasaan. Seperti TNLL, yang tidak saja menggambarkan lokasi dan batas-batas kawasan itu, tetapi sekaligus memperlihatkan siapa yang memiliki kewenangan atau kuasa kontrol atas wilayah itu dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, peta TNLL telah mengeliminir penguasaan masyarakat Toro atas lahan di wilayah hukum adatnya.

Peniadaan hak-hak tenurial harus dilawan dengan akal sehat, melalui pembekalan yang diberikan kepada masyarakat tentang pengetahuan tentang hak-hak tenurial (Sangaji 2002). Hal inilah yang dilakukan oleh YTM di tahun 1997. Diawali dengan upaya fasilitasi kepada masyarakat Toro, melalui pelatihan dasar-dasar pembuatan peta kepada pemuda di Toro. Kegiatan pelatihan meliputi cara pembuatan skala peta, arah mata angin, membaca peta topografi, dan survey dengan menggunakan kompas dan global positioning system (GPS). Setelah itu, mereka dilatih pula cara-cara menggambar peta.

Output yang dihasilkan saat itu adalah sebuah peta, yang di dalamnya secara rinci menggambarkan sistem kategorisasi lahan tradisional adat Toro beserta letak dan posisinya secara pasti di lapangan (Gambar 23). Peta partisipatif tersebut digunakan oleh masyarakat untuk mengkomunikasikan hukum adat mereka, yang terkait dengan pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya membantu dalam menyelesaikan sengketa dengan pihak lain, memperoleh pengakuan atas wilayah adat, membantu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya alam, serta membantu mewariskan kepada generasi yang akan datang tentang sejarah, tradisi,dan hukum adat di Toro (Sangaji 2002).

Melalui peta partisipatif, masyarakat Toro dapat memberikan penegasan kembali mengenai asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat, yang selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL. Mereka juga mencoba untuk merasionalkan pola pemanfaatan lahan yang selama ini mereka terapkan, yang merupakan konkritisasi upaya-upaya konservasi dan dikemas dalam konteks budaya dan religi masyarakat Toro (bdk. Soedjito & Sukara 2006).

Balai TNLL merespon positif upaya yang dilakukan oleh masyarakat Toro, dan memandang apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh masyarakat Toro perlu mendapatkan dukungan, dalam rangka pengembangan keterpaduan sudut pandang yang proaktif dan holistik terhadap kondisi sosial, ekologi, dan budaya masyarakat di sekitar TNLL. Selain itu, secara normatif sistem kategorisasi lahan yang dibuat oleh masyarakat Toro dianggap memiliki keselarasan, walaupun tidak sama, dengan sistem pengelolaan taman nasional di Indonesia (Gambar 24). Olehnya akan lebih memberikan jaminan terhadap keberlanjutan pengelolaan TNLL (Helmy 2005, diskusi pribadi, Juli 2005).

Wujud konkrit pengakuan yang diberikan oleh pihak Balai TNLL kepada masyarakat Toro adalah dikeluarkannya surat pernyataan, yang intinya merupakan pengakuan terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat seluas 18.000 ha, yang awalnya diklaim sebagai bagian dari TNLL. Pengakuan ini diikuti pula dengan penandatanganan piagam kesepakatan pengawasan TNLL, antara pihak Balai TNLL dengan masyarakat Toro (Gambar 25 & 26) pada tanggal 18 Juli 2000.

Kesetaraan

Gambar 24 Keselarasan sistem zonasi TNLL dan kategorisasi lahan adat Toro.

S is te m Z ona si T N L L K a te g o ris a s i l a h a n a d a t

Penandatanganan prasasti tersebut merupakan bentuk simbolik rencana legal kerja sama antara kelembagaan adat dan BTNLL. Butir-butir kesepakatan pada intinya berisi pengakuan atas hak lahan komunal masyarakat adat Toro, yang berimplikasi pada pelimpahan kewenangan dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan, dari pihak BTNLL kepada pihak lembaga adat Toro, serta pengawasan bersama terhadap kelestarian TNLL.

Pengakuan tersebut mengandung makna politik yang telah memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat Toro dalam mempertahankan kehidupan mereka di atas tanah leluhurnya, serta membangkitkan kembali tanggung jawab masyarakat untuk mengotrol wilayah tradisional dan kawasan TNLL secara kolektif. Dalam situasi demikian, hubungan dan ikatan kolektif antara pihak BTNLL dengan lembaga adat dapat menjadi modal sosial (social capital) yang memungkinkan dilindunginya hutan-hutan yang masih tersisa di TNLL (Grant 2001; Flint & Luloff 2005; Kartodihardjo 2006).

Respon Masyarakat Toro Pasca-Pengakuan BTNLL (2000-sekarang)

Pasca pengakuan antara masyarakat dan BTNLL, lembaga adat kembali berdaya dalam mengelola sumberdaya lahan dan hutan. Mulai dari pemanfaatan lahan dan hasil hutan hingga pengawasan terhadap wilayah hukum adat menjadi

kewenangan lembaga adat Toro. Dengan berdayanya lembaga adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, diharapkan kelestarian sumberdaya hutan TNLL akan lebih terjamin. Namun

Gambar 25 Salah seorang angota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL (Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000).

Gambar 26 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling Prasasti Pengakuan (Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000).

demikian, pasca pengakuan muncul berbagai kasus terkait pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal di Toro, seperti yang dijelaskan salah seorang informan kunci (FL 2005), sebagai berikut.

.... pasca penandatanganan prasasti kesepakatan, muncul aktifitas illegal loging yang diduga merupakan hasil kerjasama antara oknum masyarakat Toro dengan pihak luar. Saat itu, tanpa izin dari lembaga adat, oknum tersebut melakukan penebangan pohon di wilayah hukum adat, bahkan masuk hingga ke wilayah kawasan TNLL. Hasil tebangan tersebut mereka upayakan untuk diselundupkan keluar dari Toro oleh oknum masyarakat Toro. Sementara itu, pihak luar ikut berperan dalam memfasilitasi sarana angkut dan dokumen-dokumen palsu. Namun, rencana tersebut berhasil digagalkan oleh pihak Tondo ngata, dan kayu

illegal tersebut disita oleh pemerintah desa...

Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku pelanggaran. Ada yang karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga, dan ada pula yang mengaku tidak paham dengan aturan main hasil kesepakatan antara Balai TNLL dengan masyarakat Toro. Mereka mendefenisikan kesepakatan tersebut sebagai bentuk simbolisasi “kebebasan” dalam memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu untuk berbagai tujuan. Namn demikian, terlepas dari berbagai alasan yang dikemukakan, mereka tetap dianggap melanggar oleh pihak lembaga adat dan layak dijatuhi hukuman sanksi adat.

Meskipun kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui mekanisme adat, namun tatacara adat yang dimaksud berbeda dengan tatacara yang pernah dilakukan pendahulu mereka, di mana oknum yang melakukan pelanggaran seharusnya disidang di muka para tetua adat, dan disaksikan oleh utusan-utusan lembaga yang ada di Toro. Namun faktanya, penyelesaian kasus hanya ditangani oleh salah seorang Totua ngata, dan tidak melibatkan unsur lain. Terlebih lagi, penyelesaian kasus tidak dilakukan di Lobo, namun di kediaman salah seorang tetua adat. Hal tersebut terjadi secara berulang untuk kasus-kasus lain, sehingga menimbulkan kesan, utamaya bagi para pelaku pelanggaran bahwa penyelesaian pelanggaran yang dilakukan “mudah diatur”.

Kejadian tersebut di atas menimbulkan keluhan dan kekecewaan beberapa kalangan masyarakat terhadap kinerja lembaga adat dalam menangani kasus tersebut. Lembaga adat dinilai subjektif, dan dicurigai “bekerjasama” dengan oknum tersebut. Sejak saat itu, bermunculan ragam tanggapan dan kritik, termasuk dari kalangan anggota lembaga adat itu sendiri yang menilai semakin lemahnya peran kolektif lembaga adat akibat dominansi salah seorang Totua

ngata. Kondisi ini mendorong respon kolektif masyarakat, yang mendesak untuk segera dilakukannya penataan kembali terhadap lembaga kepemimpinan lokal di Toro. Langkah konkrit yang dilakukan adalah pelaksanaan musyawarah desa pertama di Toro, yang diselenggarakan pada tanggal 4 – 7 Desember 2000. Isu yang diangkat menyangkut penataan lembaga kepemimpinan lokal di Toro, khususnya terhadap pembenahan struktur kelembagaannya.

Dalam pertemuan pertama tersebut di atas, berkembang pemikiran untuk memperluas sistem keanggotaan dewan adat (totua ngata), yakni dengan memberikan kesempatan bagi utusan-utusan masyarakat di luar totua ngata

yang ada saat itu. Pemikiran tersebut didasari oleh penilaian masyarakat bahwa selama ini kesempatan untuk menjadi anggota lembaga adat hanya dimiliki oleh kalangan tertentu; keturunan Maradika saja.

Pemikiran lain yang juga berkembang adalah adanya keinginan untuk menjadikan pemerintahan desa ”identik” dengan fungsi pemerintahan di bawah

totua ngata di masa pra-kolonial, serta keinginan untuk menghidupkan kembali lembaga permusyawaratan di Toro. Upaya memberlakukan kembali lembaga-lembaga kepemimpinan masa lalu dimaksudkan untuk mentransformasi sistem kepemimpinan tradisional ke dalam bentuk lembaga-lembaga baru yang memiliki fungsi serupa. Secara skematis, struktur kelembagaan yang ditawarkan saat itu disajikan pada gambar 27.

Gambar 27 Struktur hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah I, tahun 2001.

Wakil tokoh masyarakat

Totua ngata

Dewan Adat

Pemerintah desa

Badan pengawasan & Pemeriksaan ngata

Gambar 27 secara jelas memperlihatkan bahwa pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya berada di bawah dewan adat (totua ngata

dan wakil tokoh masyarakat). Dengan demikian, secara struktural, pemerintah desa merupakan perangkat operasional dari lembaga adat. Sehingga, pemerintah desa bertanggung jawab sepenuhnya pada dewan adat19.

Namun demikian, upaya tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh perserta musyawarah. Bahkan menimbulkan konflik internal dikalangan masyarakat Toro. Kasus berikut memberikan gambaran tentang terjadinya selisih pendapat atas usulan yang dihasilkan (FL 2005).

”... keputusan tentang penataan kembali kepemimpinan lokal di Toro, ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh peserta yang hadir saat itu. Situasi ini terus berlanjut meskipun musyawarah telah selesai dilaksanakan. Bahkan kejadian ini mengakibatkan terjadinya disharmonisasi hubungan internal di antara anggota-anggota lembaga adat, yang berimbas pada upaya penataan kelembagaan kepemimpinan di Toro...

Melalui proses mediasi yang dilakukan beberapa tokoh masyarakat di Toro, akhirnya disepakati untuk melaksanakan kembali musyawarah desa. Rencana tersebut baru dapat direalisasikan pada bulan April 2001. Kegiatan musyawarah ke dua ini dihadiri sekitar 40 orang, yang terdiri atas perwakilan lembaga dan utusan tiap-tiap dusun (boya) yang ada di Toro. Dalam musyawarah tersebut mengemuka sejumlah isu krusial di antaranya: struktur dan komposisi lembaga adat yang terkesan dibatasi; tidak adanya struktur dan pola-pola hubungan yang jelas antar lembaga; serta tidak dimilikinya aturan-aturan baku terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro.

Berbeda dengan musyawarah pertama, pada musyawarah ke dua sebagian besar isu yang diangkat disetujui untuk dibahas. Melalui pertemuan ini berhasil disepakati beberapa point penting, di antaranya:

(a) Seluruh lembaga yang ada di Toro harus dipadukan, dan dimasukkan dalam struktur pemerintahan di Toro, yang terdiri atas: pemerintah desa, lembaga adat, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT).

19

Model ini bertentangan dengan UU pemerintahan desa yang berlaku saat ini, dimana kepala desa bertanggungjawab sepenuhnya kepada bupati.

(b) Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian beberapa istilah seperti lembaga adat diubah menjadi lembaga masyarakat adat (LMA)20, pemerintah desa diubah menjadi pemerintah ngata, dan badan perwakilan desa diubah menjadi lembaga perwakilan ngata.

Usulan tersebut baru berhasil ditindak lanjuti setelah dilakukan pertemuan ke tiga, pada tanggal 25 – 30 oktober 2003. Kegiatan ini dihadiri oleh 80 utusan dari tiap lembaga dan dusun yang ada di Toro. Berbeda dengan dua pertemuan sebelumnnya, pada pertemuan ketiga menyerupai kegiatan workshop, sebab kegiatan ini semata-mata membahas hasil rumusan terhadap rancangan struktur kelembagaan, dan sejumlah aturan main terkait pemanfaatan sumberdaya alam di Toro.

Seperti diuraikan terdahulu, bahwa struktur kelembagaan yang berlaku di Toro hingga saat ini merupakan hasil dari pertemuan ke tiga, di mana struktur pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa (pemerintah ngata), Lembaga Masyarakat Adat (LMA), dan Lembaga Perwakilan Ngata (LPN). Ketiga lembaga ini berkedudukan sejajar dalam struktur organisasinya. Faktor yang membedakan ketiganya terletak pada fungsi dan perannya masing-masing.

Sementara itu, aturan-aturan main yang berhasil dirumuskan pada pertemuan ke tiga ini di antaranya: (a) struktur dan hubungan kerja antar

lembaga; (b) fungsi dan struktur lembaga masyarakat adat (LMA); dan (c) Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA). Selain itu berhasil disusun rencana

strategis (Renstra) Toro untuk lima tahun kedepan (tahun 2003-2008). Dalam renstra tersebut memuat visi (antoa) masyarakat Toro: ”terwujudnya kebersamaan ngata untuk kehidupan yang harmonis dengan alam dan berkelanjutan (Hintuwu ngata molingku katuwua)”. Sedangkan misi yang termuat dalam renstra tersebut di antaranya: (a) memelihara dan mempertahankan adat secara konsisten; (b) meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan dan tingkat perekonomian masyarakat; dan (c) membangun solidaritas perjuangan masyarakat adat antar desa. Renstra inilah yang dijadikan acuan pembuatan draft peraturan desa (Perdes) Toro, yang di dalamnya mengatur sistem pemerintahan yang baru di Toro.

20

Dalam Draft Perdes Desa Toro, istilah LMA didefinisikan sebagai lembaga adat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat hukum adat di Toro, dan berakar pada sejarah asal-usul dan identitas sosial budayanya. Namun hingga penelitian ini selesai dilakukan masih diperdebatkan terkait penggunaan istilah LMA.

Struktur dan hubungan kerja antar lembaga

Komponen kelembagaan di Toro terdiri atas pemerintahan ngata dan

lembaga kemasyarakatan. Lembaga Pemerintahan ngata Toro terdiri atas: (a) Lembaga Pemerintah ngata dan (b) Lembaga Perwakilan Ngata (LPN).

Sedangkan lembaga kemasyarakatan di Toro terdiri atas (a) Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan (b) Organisasi Perempuan Ngata Toro (OPANT).

Dalam Perdes secara jelas diatur pula fungsi dan peran tiap-tiap lembaga beserta wewenang yang dimiliki. Pemerintah desa memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi pemerintahan di tingkat desa. Selain menjalankan fungsi pemerintahan, pemerintah desa bersama dengan LPN menyusun, membahas, dan menetapkan sejumlah peraturan desa serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Selain dengan LPN, pemerintah bersama-sama dengan LMA mengeluarkan izin serta mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adat Toro. LPN sebagai lembaga legislatif desa juga memiliki wewenang dan tugas dalam menyelenggarakan pemilihan kepala desa, dengan membentuk panitia pemilihan serta mengusulkan pelantikan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Fungsi utama dan penting dari lembaga ini adalah dalam hal pelaksanakan pengawasan terhadap implementasi peraturan desa dan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Sementara itu, LMA sebagai lembaga kemasyarakatan desa merupakan mitra pemerintahan desa dalam mendorong kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan yang berpedoman pada hukum adat. Olehnya, wewenang yang dimiliki oleh LMA di antaranya: (a) mewakili masyarakat adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat adat; (b) bersama dengan pemerintah desa memberikan izin dan mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hukum adat Toro yang telah dipetakan secara partisipatif; (c) mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat; (d) membuat aturan dan sanksi adat mengenai hubungan antar manusia (hintuwu) dan interaksi manusia-alam (katuwua) yang dicakup dalam pengaturan hukum adat, serta (e) menyelenggarakan peradilan adat untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran adat ataupun sengketa antar warga masyarakat. Secara skematis, disajikan pada Gambar 28.

Keterangan

Dengan demikian, fungsi utama LMA di Toro adalah memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat serta kebiasaan hidup yang telah berlangsung turun-temurun untuk menjaga tata harmoni sosial, memperkaya identitas budaya, dan menjamin stabilitas ekologi, serta melakukan kerja sama dengan desa-desa di sekitar (tongki ngata) Toro dalam kerangka pelaksanaan wewenang dan tugasnya.

Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga, maka semakin jelas pulalah sistem kelembagaan di Toro, utamanya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya hutan (la. Kasper el al. 1996 dan Basturo 2006).

Ketentuan pengelolaan sumberdaya alam

Dalam ketentuan pengelolaan sumberdaya alam di Toro secara eksplisit diatur prosedur pembukaan lahan, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, bahan obat-obatan tradisional, hingga pertambangan tradisional, termasuk prihal perizinan dan biaya yang dibebankan kepada pemohon. Dalam prosedur pembukaan lahan, aturan adat menetapkan bahwa kategori lahan yang dapat dibuka adalah Oma, utamanya Oma Ngura dan Oma Ntua. Sementara itu, kategori lahan lainnya terutama pangale tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun.

LMA : Lembaga Masyarakat Adat LPN : Lembaga Perwakian Ngata

OPANT : Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro Garis mitra kerja pengabdian

Garis pengawasan Garis perwakilan aspirasi

LPN L M A Masyarakat Adat Ngata Toro Pemerintah Ngata

Gambar 28 Struktur Hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah Tahun 2005.

Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan, dan luas lahan yang dibutuhkan. Pemberian izin akan diputuskan setelah sebelumya dilakukan musyawarah antara LMA dan pemerintah desa. Dasar yang digunakan dalam memutuskan pemberian izin tersebut adalah alasan yang dikemukakan si pemohon, lokasi dan luas lahan, serta prinsip-prinsip kearifan tradisional. Namun demikian, salah seorang informan kunci (AL) menjelaskan bahwa di antara empat persyaratan tersebut, prasyarat utama adalah mampu-tidaknya yang bersangkutan memenuhi prinsip-prinsip kearifan tradisional, di antaranya: kecermatannya dalam memperhatikan musim, tidak melakukan pembakaran dalam membuka lahan, memperhatikan kemiringan lahan, serta tidak mengganggu mata air yang berada di dekatnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan resiko kerusakan yang akan ditimbulkan.

Izin pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah desa. Dalam hal mana izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat “mohamele manu bula21 yang dilakukan sesuai kepercayaan yang dianut pemohon. Batasan-batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis tanah, kebutuhan lahan dan kemampuan mengolah dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Pengelolaan lahan dilakukan secara berkelompok atau gotong-royong (mome ala pale) dengan mengedepankan orientasi sosial dan bukan semata-mata ekonomis.

Dalam ketentuan izin pengambilan kayu dijelaskan bahwa izin dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik, seperti: bangunan sosial, ramuan rumah, perabot dapur, dan alat-alat pertanian. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk kebutuhan bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal.

Prosedur pengajuan izin menyerupai prosedur pembukaan lahan. Hanya saja, dalam izin pemanfaatan kayu, pemohon harus menyebutkan jenis kayu, lokasi penebangan, dan kubikasi kayu yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam prosedur perizinan tidak diatur atau ditentukan batas kubikasi kayu yang diperbolehkan untuk ditebang. Izin penebangan dikeluarkan oleh pemerintah desa, dan si pemohon terlebih dahulu harus melakukan upacara adat “mowurera

21

Dalam konteks kekinian, upacara tersebut disamakan dengan istilah selamatan, yang

Dokumen terkait