• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI DARI SELEKSI SEMBAHAN

Cara mengenali sembahan yang rasional sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini merupakan berkat besar bagi kemanusiaan karena tiap orang tanpa campur tangan orang lain, dapat menggunakannya untuk mengenali sembahan yang benar yang layak dipuja dan disembahnya. Cara aplikasi yang ditunjukkan dalam tulisan ini hanya merupakan satu contoh saja untuk memudahkan tiap orang mengaplikasikan cara rasional itu secara pribadi.

Tiap orang dapat menguji sembahan tertentu hanya dengan membuat daftar tentang hal-hal apa saja yang pernah diberitahukan sembahan itu kepada penganutnya dari dahulu kala sampai akhir zaman dan kemudian melihat apakah perkataannya itu benar terjadi dalam sejarah manusia. Cara yang rasional ini relatif sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh tiap orang dengan tingkat IQ yang normal sebagai manusia.

Dengan cara rasional ini tiap orang dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri untuk memilih sembahan yang diyakininya benar tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian tiap orang masuk sorga atau neraka merupakan pilihannya sendiri, bukan dipilihkan atau dipaksakan oleh orang lain baginya. Hal itu adalah adil karena

Sembahan yang maha adil itu memberikan jalan bagi tiap orang untuk mengenali diri-Nya sebagai satu-satunya sembahan yang benar.

Implikasi dari adanya cara logis, objektif dan universal ini dapat berdampak pada setiap anggota masyarakat dan juga berdampak pada debat atau dialog antar umat beragama.

Semua lapisan masyarakat dapat menggunakan cara rasional ini untuk memantapkan kepercayannya kepada sembahan tertentu.

1. Para pemimpin agama yang mengetahui seluk beluk sembahannya dan kitab sucinya dengan mudah dapat mengaplikasikan cara rasional ini untuk memastikan apakah sembahannya itu memang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa. Hal itu dapat dilakukan untuk dirinya sendiri saja dan dapat dilakukan secara rahasia (untuk pribadi sendiri) atau terbuka (diketahui oleh orang lain).

2. Penganut agama tertentu yang mempunyai kemampuan dan peluang untuk menyelidiki seluk-beluk sembahannya dan kitab sucinya, dapat dengan sedikit usaha mengaplikasikan cara rasional ini untuk memastikan apakah sembahannya itu memang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa. Hal itu dapat dilakukan untuk dirinya sendiri saja dan dapat dilakukan secara rahasia (untuk pribadi sendiri) atau terbuka (diketahui oleh orang lain).

3. Penganut agama tertentu yang tidak mempunyai kemampuan dan peluang untuk menyelidiki seluk-beluk sembahannya dan kitab sucinya dapat melihat kehidupan dari penganut otentik sembahan itu dan bertanya kepadanya tentang bukti sembahannya yang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa itu, lalu mengambil keputusan untuk diri sendiri berdasarkan informasi itu baik secara rahasia maupun secara terbuka (diketahui orang lain). 4. Bagi setiap orang yang “masa bodo” dan tidak mau menggunakan

rasionya untuk mengenali sembahan yang benar itu hendaklah menyadari bahwa hal ini merupakan soal hidup dan mati kekal. Cepat atau lambat tiap orang terpaksa harus memilih hidup atau mati kekal yakni pada saat akan meninggal dunia.49 Karena itu selama masih ada kesempatan, hendaklah dipergunakan dengan bertanggungjawab karena hal ini menyangkut masuk sorga atau neraka.

5. Dengan memilih “percaya saja” dan menganggap tidak perlu pakai otak untuk memastikan sembahan yang benar itu, berarti seseorang sudah menolak cara rasional yang telah disediakan oleh Sembahan satu-satunya yang benar itu dan risiko dari pilihan itu menjadi tanggung jawab masing-masing pribadi. Dalam dunia orang mati tidak akan ada pemimpin agama atau orang lain yang akan dapat membela. Orang hanya hidup satu kali setelah itu adalah penghakiman, dan yang akan menghakimi ialah Sembahan satu-satunya yang benar itu, yang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa itu. Semua manusia akan masuk ke dalam “kerajaan maut” ketika meninggal dunia, dan kunci dari kerajaan

49

“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibr 9:27 i_TB)

maut itu dipegang oleh Sembahan satu-satunya yang benar itu.50

Pengikut sembahan lain akan tinggal dalam kerajaan maut itu dengan kesusahan dan penyesalan yang tidak habis-habisnya. 6. Semua agama mempunyai aspek kebaikan untuk hidup di dunia,

namun tidak ada agama yang dapat menjamin pengikutnya masuk sorga. Hanya Sembahan yang benar dan satu-satunya itu yang dapat menjamin orang yang percaya kepadanya masuk sorga. Karena itu, pemilihan sembahan berdasarkan aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya akan merupakan kesalahan fatal karena tidak menjamin masuk sorga.

Implikasi terhadap debat atau dialog antar umat beragama.

Secara teologis, Sembahan yang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa itu adalah satu-satunya Sembahan yang benar sedangkan semua sembahan lainnya yang tidak lulus seleksi adalah sembahan-sembahan palsu.

Implikasinya akan sangat besar ketika menyangkut debat atau dialog antar umat beragama. Debat atau dialog selama ini cenderung berputar-putar sekitar turunan atau derivatif dari sembahan masing-masing sehingga selalu mentok atau menjadi debat kusir.

Tiap sembahan mempunyai tokohnya dan kitabnya masing-masing. Semua derivatif dari sembahan yang tidak maha mengetahui, tidak maha kuasa dan tidak maha perkasa itu secara logis tidak benar karena

50

“ Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut.” (Why 1:18 i_TB)

sembahannya bukan sembahan yang benar. Itu berarti kalau ia berkata tidak benar maka itu adalah aslinya sedangkan kalau ia berkata benar maka hal itu bukan dari dirinya, artinya ia tidak benar juga karena menyampaikan sesuatu yang bukan dari dirinya.

Sembahan yang asli itu berkata kepada sembahan-sembahan palsu itu:

“Sesungguhnya, kamu ini adalah seperti tidak ada dan perbuatan-perbuatanmu adalah hampa; orang yang memilih kamu adalah kejijikan.”

(Yesaya 41:24 i_TB)

Sembahan merupakan “puncak tertinggi” dari semua agama atau kepercayaan. Sedangkan masalah kitab suci, utusan atau nabi, roh-roh agamawi dan lain-lain adalah turunan atau derivatif dari sembahan itu dan merupakan tingkat hilirnya. Perdebatan di tingkat hilir tidak akan berguna sama-sekali karena yang diperdebatkan adalah tingkat hilir dari sembahan yang sudah di diskualifikasi pada “seleksi hulu” atau “seleksi sembahan”. Segala hal yang merupakan “turunan” dari sembahan yang sudah di diskualifkasi pada seleksi hulu tidak dapat lagi digunakan sebagai acuan perdebatan untuk mencari kebenaran karena sembahan yang menjadi induknya memang sudah terbukti tidak benar. Karena itu debat di tingkat hilir untuk mencari kebenaran adalah kesia-siaan, semuanya hanya sia-sia adanya.

Bagaimana dengan dialog untuk klarifikasi tingkat hilir dari Sembahan yang benar itu?

Hal itu bisa saja dilakukan apabila motivasinya sungguh-sungguh murni untuk menemukan kebenaran bukan untuk menggugatnya berdasarkan informasi dari sembahan yang palsu itu. Agar dialog itu dapat berhasil maka perlu ada kesediaan untuk melepaskan diri dari ikatan sembahan yang tidak lulus seleksi itu. Tanpa kesediaan seperti itu maka dialog pun hanya akan sia-sia saja menghabiskan umur. Tentang dialog yang seperti itu, yakni tidak mau terbuka untuk kebenaran, Sembahan yang asli itu berkata:

“Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu.”

(Yohanes 5:39-40 i_TB)

Bagaimana dengan dialog antar umat beragama tentang aspek praksis dari agama-agama?

Semua agama berusaha melakukan kebaikan menurut keyakinan masing-masing dalam arti agar para penganutnya mengamalkan kebaikan selama masih hidup di dunia ini. Dialog dan bahkan kerja sama dalam hal-hal praksis seperti itu akan sangat baik untuk kepentingan bersama sebagai satu kesatuan dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semua agama mengajarkan perlunya kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Namun dialog seperti itu berguna untuk hidup duniawi saja dan tidak ada kaitannya dengan masuk sorga atau neraka. Masuk sorga itu bukan karena perbuatan melainkan hanya oleh anugerah dari Sembahan yang benar itu.

Ironi kemanusiaan: Tidak mau percaya meski ada bukti nyata.

Cara logis, objektif dan universal untuk mengenali sembahan yang benar itu merupakan jawaban yang cukup eksak untuk mengenali sembahan satu-satunya yang layak dipuja dan disembah semua manusia. Dengan demikian semua masalah keraguan manusia untuk mengenali sembahan yang benar seharusnya dapat dituntaskan oleh cara rasional itu. Tiap orang dapat memastikan sembahan yang benar itu tanpa keraguan sedikit pun. Persoalan pemilihan sembahan seharusnya selesai, tuntas.

Namun masalah kepercayaan manusia memang tidak ditentukan oleh ilmu pasti (eksakta). Manusia itu sejak pindah alamat dari Taman Eden (Firdaus) ke sebelah Timur51 telah terus menerus merosot dalam hal ketaatannya kepada Penciptanya.

Manusia itu telah memberontak kepada Sembahan satu-satunya yang benar itu dan memilih menyembah sembahan-sembahan palsu. Dengan keadaan demikian maka meskipun secara eksak manusia itu dapat mengetahui Sembahan yang benar itu, tidak ada jaminan bahwa manusia itu akan mau menyembah dan menaati Sembahan yang benar itu.

Kenyataan itu adalah ironi kemanusiaan yang cenderung memilih sembahan yang palsu meskipun ia tahu ada Sembahan yang asli itu. Hanya sedikit orang yang memilih jalan yang benar itu.

Sembahan satu-satunya yang maha mengetahui, maha kuasa dan maha perkasa itu telah menyatakan:

51

“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah

Dokumen terkait