• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI TEMUAN PENELITIAN TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PENYULUHAN NO. 16 TAHUN 2006

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 114-120)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang telah disahkan pelaksanaannya oleh Presiden tanggal 15 November 2006 yang lalu adalah payung hukum yang menjadi pedoman pelaksanaan penyuluhan di Indonesia, baik menyangkut kebijakan dan pelaksanaan penyuluhan, maupun terkait dengan tata kelembagaan dan sumber daya manusia yang mengkoordinasi pelaksanaan penyuluhan itu. Kehadiran Undang-undang Penyuluhan ini memiliki arti strategis bagi pengembangan dan pelaksanaan penyuluhan di Indonesia yang dalam beberapa dekade terakhir mengalami kemunduran dan stagnasi, baik karena perubahan politik dan pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang berfokus pada industri dan mengabaikan pembangunan pertanian, maupun karena desentralisasi wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah dalam bentuk pelaksanaan otonomi daerah. Kedua paradigma ini sangat besar pengaruhnya terhadap maju mundurnya pembangunan pertanian dan penyuluhan di Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Ti mur yang menjadi lokasi penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur ditemukan bahwa merosotnya kinerja penyuluhan (kususnya penyuluhan pertanian) disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya dukungan politik pemerintah daerah terhadap kegiatan penyuluhan terutama setelah wewenang penyuluhan diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah. Indikator dari rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan pertanian khususnya penyuluhan pertanian adalah terbatasnya struktur kelembagaan penyuluhan yang kurang memberi ruang untuk pengembangan penyuluhan yang terintegrasi, holistik, dan terarah. Di tingkat Provinsi kelembagaan penyuluhan pertanian hanya sebagai salah satu Sub Bidang dan disebut sebagai Sub bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia pada badan Ketahanan Pangan Provinsi; di tingkat Kabupaten/Kota, kelembagaan penyuluhan pun bervariasi: ada yang Sub Bidang, Kantor, Badan, bahkan ada juga Kabupaten yang menempatkannya sebagai Kelompok Jabatan Fungsional. Di Kecamatan-kecamatan, Balai-Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang di tahun

1980 an sangat berperan sebagai pemasok jasa informasi penyuluhan bagi petani, tidak berfungsi lagi bahkan sebagian besar dialihkan fungsinya seperti dijadikan rumah dinas pegawai kecamatan/penyuluh, bahkan ada juga yang dibiarkan begitu saja tanpa difungsikan.

Struktur kelembagaan yang kecil dan bangunan-bangunan yang tidak difungsikan itu tampak sebagai hasil kebijakan penataan organisasi dan kelembagaan yang didasarkan pada kekurangan pengetahuan dan informasi tentang pentingnya penyuluhan dalam memajukan pertanian. Usaha membangun pertanian tanpa memajukan penyuluhannya adalah absurd dan sia-sia karena penyuluhan pertanian pada dasarnya adalah usaha mencerdaskan petani agar mampu mengolah usahataninya dengan metode dan cara yang lebih baik daripada sebelumnya (Slamet, 2005). Fakta yang ada di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kecilnya struktur kelembagaan penyuluhan ini diikuti oleh kecilnya anggaran/biaya yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan penyuluhan. Terbatasnya anggaran penyuluhan berdampak pada terbatasnya ruang gerak penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan.

Keseluruhan kondisi ini menyebabkan akibat yang kedua, yakni menurunnya motivasi penyuluh dalam bekerja. Temuan penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terkuat yang mempengaruhi rendahnya kinerja penyuluh dan penyuluhan adalah rendahnya motivasi penyuluh baik dalam mengembangkan diri maupun dalam etos kerja. Penyuluh pertanian, yang dalam penelitian ini dikategorikan sebagai Penyuluh Ahli dan Penyuluh Trampil kurang menunjukkan kinerjanya yang prima. Mereka merasa kurang dihargai lagi baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat tani. Perasaan kurang dihargai ini terutama terjadi saat penyuluhan pertanian menjadi mandeg sejalan dengan kebijakan pemerintah yang tidak lagi menjadikan pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam keadaan merosotnya motivasi penyuluh pertanian, baik untuk mengembangkan kompetensi diri, maupun untuk membina etos kerja, pendidikan formal dan pendidikan non formal seperti pendidikan dan pelatihan (diklat) penyuluhan kurang memberi pengaruh yang berarti. Bahkan diklat penyuluhan sebagai media pengembangan kompetensi kurang mampu memberdayakan kemampuan penyuluh. Diklat penyuluhan yang kurang dirancang dengan optimal,

baik perencanaan maupun pelaksanaannya kurang memberikan nilai tambah yang berarti pada pengembangan kompetensi penyuluh.

Dalam konteks menurunnya komitmen politik pemerintah daerah terhadap penyuluhan dan menurunnya motivasi penyuluh pertanian sebagai ujung tombak terdepan dalam pembangunan pertanian, kehadiran Undang-undang Penyuluhan menjadi landasan hukum yang tepat dalam memajukan pertanian di Indonesia. Undang-undang ini tidak hanya bersifat politis yakni menunjang pelaksanaan kebijakan Presiden tentang revitalisasi pertanian dalam artinya yang luas, tetapi juga secara akademis akan membuka wawasan masyarakat umum tentang pentingnya memajukan penyuluhan pertanian dalam konteks memajukan dunia pertanian. Perlunya penataan kelembagaan penyuluhan mulai dari tingkat pusat sampai dengan desa/kelurahan yang diatur dalam Undang-undang Penyuluhan ini sangat sesuai dengan rekomendasi penelitian ilmiah ini. Kejelasan struktur kelembagaan dengan pembagian wewenang yang sistematik dan terarah akan memudahkan koordinasi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penyuluhan mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah, bahkan desa/kelurahan.

Struktur kelembagaan penyuluhan yang mapan yang dilindungi oleh Undang-undang akan memacu semua elemen masyarakat untuk meningkatkan peran (role) dan tanggungjawabnya dalam pembangunan. Dalam pasal 8 Undang-undang Penyuluhan ini dinyatakan bahwa kelembagaan penyuluhan terdiri dari : (a) kelembagaan penyuluhan pemerintah, (b) kelembagaan penyuluhan swasta, dan (c) kelembagaan penyuluhan swadaya. Kelembagaan penyuluhan di tingkat pusat disebut Badan Penyuluhan dan dalam pelaksanaan penyuluhan bertanggungjawab kepada Menteri (pasal 9 ayat 2); di tingkat provinsi kelembagaan penyuluhan disebut Badan Koordinasi Penyuluhan yang diketuai oleh Gubernur (pasal 11 ayat 2); di tingkat kabupaten/kota disebut Badan Pelaksana Penyuluhan yang dipimpin oleh seorang Pejabat eselon II dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota (pasal 13 ayat 2); di tingkat Kecamatan disebut Balai Penyuluhan (pasal 8 ayat 2 huruf d); di tingkat desa/kelurahan disebut pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat non struktural (pasal 8 ayat 5).

Dalam pembangunan pertanian masyarakat tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi sebagai subyek pembangunan yang berpartisipasi secara aktif. Hal ini sangat jelas pula diatur oleh Undang-undang Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006. Kelembagaan penyuluhan tidak hanya dibentuk oleh peme rintah tetapi juga oleh pihak swasta. Kelembagaan penyuluhan swasta dapat dibentuk oleh pelaku usaha dengan memperhatikan kepentingan pelaku utama serta pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan setempat (pasal 8 ayat 3); selanjutnya kelembagaan penyuluhan swadaya dapat dibentuk atas dasar kesepakatan antara pelaku utama dan pelaku usaha (pasal 8 ayat 4). Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang dimaksudkan adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, beserta keluarga intinya (pasal 1 ayat 8). Pelaku usaha yang dimaksudkan adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan (pasal 1 ayat 16).

Undang-undang Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 ini telah menjadi landasan yuridis yang kuat bagi Pemerintah Daerah untuk mulai mengubah struktur kelembagaan penyuluhan yang selama ini kurang ditata rapih baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun di tingkat Kecamatan dan desa/kelurahan. Bahkan Undang-undang ini pun menetapkan adanya sebuah Komisi Penyuluhan yang bersifat independen yang terdiri dari para pakar dan praktisi yang peduli dengan kegiatan penyuluhan yang tugasnya adalah memberikan masukan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dalam rangka menghasilkan kebijakan dan strategi penyuluhan yang tepat berdasarkan hasil kajian yang obyektif, ilmiah, dan terpercaya. Di tingkat pusat, Menteri dibantu oleh Komisi Penyuluhan Nasional yang bertugas memberi masukan dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan (pasal 10). Di tingkat Provinsi dibentuk Komisi Penyuluhan Provinsi yang bertugas memberi masukan kepada Gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan Provinsi (pasal 12). Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang bertugas memberi masukan kepada Bupati/Walikota

sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan Kabupaten/Kota (pasal 14).

Kehadiran Undang-undang Penyuluhan ini pun akan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia bagi semua stakehloder yang berhubungan dengan penyuluhan pertanian, seperti penyuluh pertanian, pelaku utama penyuluhan, dan pelaku usaha penyuluhan. Persolannya adalah bagaimana merancang ”grand design” pengembangan kompetensi penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha penyuluhan melalui pendidikan formal, pendidikan non formal, dan informal yang sesuai dengan kebutuhan. Undang-undang Penyuluhan Tahun 2006 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh pegawai negeri sipil melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatiha n bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya yang berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan Menteri (pasal 21).

Isi yang termaktub dalam pasal 21 Undang-undang Penyuluhan Tahun 2006 tentang peranan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengembangan kompetensi penyuluh melalui jalur pendidikan dan pelatihan mengindikasikan beberapa hal. Pertama, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab atas pengembangan kualitas sumber daya manusia penyuluh (penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya) dan karena itu pemerintah dan pemerintah daerah menyiapkan anggaran, merancang model pendidikan dan pelatihan yang bermutu sesuai dengan standar kompetensi yang dibutuhkan. Kedua, pemerinta h dan pemerintah daerah menjamin bahwa kompetensi yang dicapai oleh para penyuluh akan mampu mengubah perilaku petani sebagai hasil akhir penyuluhan. Amanat Undang-undang ini sekaligus ingin mengubah ”perilaku” pemerintah dan pemerintah daerah sendiri yang selama ini kurang memperhatikan kegiatan penyuluhan termasuk pengembangan kompetensi penyuluh pertanian.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa baik Penyuluh Ahli maupun Penyuluh Trampil kurang memperlihatkan kapasitas intelektual yang teruji tatkala mereka melakukan penyuluhan kepada petani. Penilaian petani akan rendahnya kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugas pokok diikuti juga dengan

rendahnya kinerja penyuluhan yang dirasakan oleh petani. Penyuluh Ahli yang berlatar belakang sarjana ternyata kurang menjadi jaminan bagi mutu penyuluhan apabila mereka tidak dilatih secara terus menerus melalui diklat yang bermutu. Demikian pun Penyuluh Trampil yang hanya berpendidikan Sekolah Menengah Atas menjadi ”kurang berdaya” tatkala berhadapan dengan petani yang sudah mulai meningkat pengetahuannya tentang usahatani.

Sejalan dengan temuan penelitian yang memperlihatkan masih rendahnya kompetensi penyuluh pertanian dalam setiap tingkatan jabatannya dan amanat Undang-undang Penyuluhan Tahun 2006, maka pengembanga n kompetensi penyuluh melalui jalur pendidikan dan pelatihan sesuai dengan standar akreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kajian yang matang mutlak dilakukan. Kualitas profesional seorang penyuluh ditentukan oleh sejauh mana ia (a) mampu me mperbaiki mutu layanan secara terus menerus sehingga petani sebagai pelanggannya merasa puas dan kebutuhannya terpenuhi, (b) mampu menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing (Suparta, 2003). Dalam konteks peningkatan profesionalisme penyuluh, pola pendidikan dan pelatihan perlu diarahkan sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang disebutkan di atas.

Selain upaya peningkatan profesionalisme penyuluh melalui pola pendidikan (formal, non formal, dan informal), dukungan dana, sarana, dan prasarana penyuluhan adalah penting guna memperlancar tugas-tugas penyuluh di lapangan. Amanat Undang-undang Penyuluhan pada pasal 32 yang mengatakan bahwa sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat harus sungguh-sungguh dijalankan secara konsekwen. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu mempertegas komitmen politiknya untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan di Indonesia yang mendegradasi kemajuan pembangunan pertanian.

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 114-120)

Dokumen terkait