• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 120-125)

Di era otonomi daerah dimana pemerintah daerah memiliki wewenang penuh dalam merencanakan, mengkoordinasi, mengembangkan, dan melaksanakan penyuluhan sesuai dengan kebutuhan petani setempat, kemampuan penyuluh sebagai pemberdaya masyarakat khususnya petani dan nelayan adalah faktor utama dan kunci keberhasilan penyuluhan. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang penyuluh tidak saja terkait dengan kemampuan-kemampuan internalnya, tetapi juga oleh kondisi lingkungan sosial dan politik yang ada. Berdasarkan temuan penelitian sebagaimana terlihat dari hasil analisis jalur (path analysis) yang menjadi model pengembangan kompetensi penyuluh pada Gambar 5, unsur motivasi yang tinggi untuk mencapai prestasi adalah unsur internal yang utama dalam mempengaruhi kompetensinya (64,2 persen). Unsur lain yang berpengaruh adalah pendidikan non formal (46,7 persen). Unsur eksternal yang berpengaruh adalah faktor lingkungan, seperti adanya perhatian dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyuluhan, dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dukungan sumber informasi, dukungan dana, sarana dan prasarana penyuluhan (37,8 persen).

Dari temuan penelitian di atas tampak bahwa pengembangan strategi kompetensi penyuluh di provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sintesa yang terintegrasi antara pengembangan faktor-faktor internal penyuluh khususnya motivasi dirinya, dan pendidikan non formal dengan faktor eksternal yakni dukungan dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyuluhan itu sendiri. Tumbuhnya motivasi untuk mengembangkan diri dan melaksanakan pekerjaaan dengan kualitas baik tidak hanya didorong oleh unsur alami yang ada dalam diri setiap orang (motivasi intrinsik dan ekstrinsik), tetapi juga oleh faktor eksternal yang memungkinkan motivasi itu bertumbuh dalam diri seseorang, termasuk penyuluh. Dari sejumlah teori motivasi yang dikembangkan oleh para ahli seperti teori hierarki Maslow, teori ERG Alderfer dan teori kesehatan–motivator Herzberg, teori yang disebut terakhir ini dipandang lebih cocok untuk dijadikan dasar teoritik pengembangan motivasi penyuluh di Nusa Tenggara Timur.

Dalam kaitan dengan motivasi kerja pegawai di sebuah organisasi, Herzberg (Pace dan Faules, 1993) menemukan dua perangkat kegiatan yang memuaskan kebutuhan manusia, yaitu, (1) kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja seperti prestasi, penghargaan, tanggungjawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi serta kebutuhan yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja seperti gaji, pengawasan, keamanan kerja, kondisi kerja, administrasi, kebijakan organisasi, hubungan antara pribadi baik atasan, rekan kerja, maupun bawahan. Herzberg menyebut faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai motivator, dan faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakpuasan disebut faktor-faktor-faktor-faktor pemeliharaan (maintenance) atau kesehatan (hygiene).

Menurut Herzberg, jika faktor-faktor yang terkait dengan kepuasan kerja dan faktor-faktor yang berhubungan dengn ketidakpuasan kerja ditanggapi secara positif, maka pegawai cenderung merasa puas dan termotivasi, sebaliknya jika tidak ditanggapi, maka pegawai akan merasa tidak puas dan tidak termotivasi. Fenomena yang disampaikan oleh Herzberg ini berkaitan erat dengan pengembangan kompetensi penyuluh di Nusa Tenggara Timur dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Setelah wewenang penyuluhan didesentralisasikan kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah, semua kebijakan penyuluhan menyangkut kelembagaan, dana, sarana, fasilitas, dan sumber daya manusia serta pengembangannya diserahkan kepada daerah. Gejala umum setelah otonomi daerah, termasuk di Nusa Tenggara Timur, kelembagaan penyuluhan yang sebelum otonomi daerah masih ada dan eksis, bahkan sampai ke desa-desa, hampir semuanya dibubarkan dan tidak berfungsi. Di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur, lembaga penyuluhan hanya berbentuk salah satu sub dinas yang melekat pada Badan Ketahanan Pangan Provinsi. Di di kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan, lembaga penyuluhan juga berbentuk sub dinas, dan di kabupaten Manggarai berbentuk Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian. Di tingkat kecamatan hampir semua lembaga penyuluhan seperti Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dibubarkan dan tidak berfungsi, demikaian pula pos penyuluhan yang ada di desa-desa. Rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap

kelembagaan penyuluhan berdampak pada rendahnya anggaran dana yang disiapkan untuk kegiatan penyuluhan. Di tingkat Provinsi, anggaran dana untuk penyuluhan pada tahun 2005 hanya sebesar Rp. 195.567.000 dan tahun 2007 naik sedikit menjadi Rp. 777.676.200,- Terbatasnya anggaran dana ini berdampak pada terbatasnya sarana dan sarana dan diabatasinya kegiatan diklat bagi penyuluh.

Semua faktor eksternal tersebut berpengaruh pada motivasi penyuluh dalam mengembangkan diri dan bekerja dan berakibat pada rendahnya etos kerja dan kinerja penyuluhan. Adanya fakta berlomba-lombanya para penyuluh berpindah ke jabatan struktural di unit-unit pemerintahan daerah mencerminkan menurunnya motivasi penyuluh itu sendiri seperti diakui oleh salah seorang penyuluh yang telah menjadi pejabat struktural di salah satu kabupaten penelitian :

Untuk memulihkan motivasi penyuluh yang sudah menurun setelah adanya otonomi daerah, perlu ada revitalisasi motivasi penyuluh dengan menempatkan posisi penyuluh sebagai salah satu elemen penting birokrasi pemerintahan daerah khususnya di jajaran dinas pertanian. Revitalisasi motivasi penyuluh ini ditumbuhkan kembali dan dikembangkan berdasarkan teori motivasi Herzberg di atas. Pemda perlu memperhatikan (1) kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja penyuluh seperti prestasi, penghargaan, tanggungjawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan penyuluh, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi penyuluh serta (2) kebutuhan yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja penyuluh seperti gaji, pengawasan, keamanan kerja, kondisi kerja, administrasi, kebijakan organisasi, hubungan antara pribadi baik atasan, rekan kerja, maupun bawahan. administrasi, kebijakan organisasi, hubungan antara pribadi baik atasan,

“…terus terang pak saya berusaha pindah ke struktural karena setelah otonomi daerah nasib dan masa depan kami menjadi tidak jelas. Dulu kami sangat diperhatikan : senter disiapkan, ada seragam, sepatu, dan dana operasional cukup memadai. Kami semangat sekali bekerja dengan perhatian pemerintah itu dan juga masyarakat petani menghargai kami. Tetapi sekarang pak, menjadi tidak jelas. Petani melihat kami dengan sebelah mata. Kami pun sulit bekerja dengan semangat dan purna waktu. Ada banyak keterbatasan: dana,sarana dan fasilitas. Bapak tahu kan provinsi ini letak desanya berjauhan dan transportasi sulit. Makanya saya berusaha pindah pak dan puji Tuhan kebetulan ada teman yang membantu saya sehingga bisa beralih jabatan pak.”

rekan kerja, maupun bawahan. Dengan adanya revitalisasi motivasi penyuluh dalam bingkai pengaturan keseimbangan antara unsur motivator dan unsur hygiene seperti yang dianjur kan oleh Herzberg, pemda dapat menumbuhkan dan mengembangkan kembali posisi penyuluh secara profesional.

Strategi pengembangan kompetensi penyuluh yang lain adalah peningkatan keikutsertaan penyuluh dalam pendidikan non formal seperti diklat-diklat teknis/fungsional, magang, studi banding dan sebagainya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan non formal terhadap kompetensi penyuluh sebesar 46,7 persen. Data ini menunjukkan bahwa diklat penyuluhan, studi banding, magang dan lain-lain erat kaitannya dengan peningkatan kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pendidikan formal dan penataan organisasi penyuluhan, walaupun kecil pengaruhnya terhadap pengembangan kompetensi penyuluh, namun tetap saja menjadi pertimbangan pemda untuk melengkapi kebijakannya dalam rangka mengembangkan kemampuan penyuluh.

Untuk mendukung strategi pengembangan kompetensi penyuluh baik melalui revitaliasi motivasi penyuluh, pendidikan non formal, maupun pendidikan formal dan penataan organisasi penyuluha n, dukungan faktor eksternal yakni dukungan dan komitmen politik pemerintah daerah dalam menyediakan anggaran, sarana dan prasarana sangatlah penting. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dukungan faktor eksternal ini khususnya dukungan dan komitmen politik pemda berpengaruh sangat nyata terhadap kompetensi penyuluh (37,8 persen). Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan politik di tingkat daerah. Semakin tinggi dukungan politik pemerintah daerah terhadap penyuluhan, semakin besar pula kemungkinan penyuluh memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan dan etos kerjanya.

Di pihak lain, strategi pengembangan dan peningkatan kompetensi penyuluh juga tidak bisa dilepaskan dari peningkatan dengan pengembangan pola pikir petani sebagai pelanggan utama penyuluhan. Petani yang kritis dan cerdas dalam menilai kemampuan penyuluh di lapangan akan memotivasi penyuluh meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannyau. Temuan penelitian menunjukkan bahwa petani yang sejahtera secara ekonomi cenderung merasa puas

dengan kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Dari pengamatan di lapangan tampak bahwa petani yang sungguh-sungguh dan serius memanfaatkan informasi-informasi dan inovasi-inovasi baru di bidang pertanian dari jasa penyuluhan yang ada cenderung lebih sejahtera secara ekonomis daripada petani yang kurang serius menerapkan pesan-pesan penyuluhan. Seorang petani buah-buahan yang secara ekonomi sangat sejahtera dari hasil usaha buah-buah-buahan menuturkan sebagai berikut:

Pengalaman petani jeruk ini juga diakui oleh seorang petani sawah yang secara ekonomi lebih sejahtera dari petani lainnya. Dia menyampaikan bahwa jika petani secara serius mendengarkan apa yang dikatakan penyuluh dan melaksanakannya dengan benar, maka hasil panen aka n meningkat. Salah satu buktinya adalah ketika petani ini dengan teliti mengikuti saran-saran penyuluh, baik sejak mengolah lahan, menanam, merawat, menyiram pupuk dan pestisida sampai dengan memanen, maka hasil panennya mencapai 6 ton per hektar, sedangkan petani lainnya hanya menghasilkan 1 sampai 2 ton/ha. Dari temuan penelitian, petani-petani yang berhasil secara ekonomi ini adalah petani-petani yang memiliki sifat terbuka dengan ide, pengaruh dan gagasan-gagasan baru, didukung oleh pendidikan formal me reka yang cukup memadai dalam ukuran seorang petani di pedesaan.

Dari pengamatan lapangan, petani-petani yang sejahtera secara ekonomis adalah umumnya adalah petani-petani pelopor. Kendati mereka bersikap kritis terhadap penyuluh, tetapi juga mereka akan melakukan apa yang dianjurkan oleh penyuluh tatkala mereka melihat bahwa anjuran penyuluhan itu benar. Jadi agar

“…sebetulnya kalau kami serius mengikuti apa yang dikatakan oleh penyuluh, usaha kami berhasil pak. Buktinya selama saya menjadi petani jeruk, saya selalu mengikuti dengan patuh petunjuk-petunjuk bapak penyuluh. Tatkala ada hama penyakit yang menyerang pohon jeruk saya, saya pergi ke penyuluh. Mereka memberi petunjuk cara mengatasinya. Kalau ada masalah saya selalu konsultasi dengan mereka. Dan terbukti pak, hasil jeruk saya selalu melimpah. Ada teman lain yang bersikap acuh terhadap penyuluh sehingga setiap tahun tanamannya diserang hama. Ketika penyuluh datang mereka enggan bertanya dan lebih mengandalkan kemampuan mereka sendiri yang katanya terbiasa dari orang tua. Jadi bapak lihat sendiri kehidupan saya seperti ini. Ini karena saya mendengar betul apa yang dikatakan oleh penyuluh.”

kemampuan penyuluh berkembang, maka kemampuan petani juga harus dikembangkan terutama melalui pelatihan-pelatihan teknis, studi banding ke wilayah lain yang lebih berhasil untuk menimba pengetahuan dan pengalaman orang lain.

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 120-125)

Dokumen terkait