• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pengaruh Konsentrasi kapang Trichoderma reesei dan

6. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC)

Analisis ekonomi ditujukkan untuk melihat keuntungan dari pendapatan yang diterima dalam usaha budidaya ayam pedaging. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi. Harga ransum dihitung berdasarkan harga yang berlaku saat penelitian, sedangkan perbedaan harga ransum yang timbul ditentukan oleh persentase atau komposisi bahan penyusun ransum percobaan masing-masing perlakuan. Nilai ekonomis ransum setiap perlakuan dihitung sebagai biaya ransum per kilogram daging dihasilkan. Angka tersebut adalah hasil perkalian konversi ransum dengan harga ransum masing- masing perlakuan setiap kilogramnya.

Berdasarkan Lampiran 32 terlihat bahwa urutan nilai IOFCC dari yang tertinggi hingga terendah adalah R0, R4, R5, R2, R1, R6 dan R3. Nilai IOFCC tertinggi diperoleh pada perlakuan ransum kontrol (R0) yakni Rp. 7 903.24/kg

90 dan terendah diperoleh pada perlakuan R3 yaitu Rp. 5 388.6/kg. Hasil ini memperlihatkan bahwa ransum BISF 10–15% memberikan nilai IOFCC cukup baik dibandingkan dengan ransum yang mengandung 10–15% BIS. Namun pada tingkat BISF 15% memberikan nilai IOFCC yang menurun, akan tetapi masih lebih bagus bila dibandingkandengan ransum perlakuan 15% BIS. Nilai IOFCC yang paling tinggi menunjukkan nilai keuntungan yang paling tinggi. Dengan semikian meskipun R4 dan R5 bukan yang paling menguntungkan, akan tetapi dari segi ekonomis termasuk yang mampu menyaingi ransum kontrol yang memiliki nilai IOFCC tertinggi.

Nilai IOFCC memiliki keseuaian dengan IP, dimana pada nilai IP yang cukup tinggi yakni R4, R0 dan R5 hampir sama dengan nilai IOFCC yang cukup baik yakni R0, R4 dan R5. Demikian pula dengan yang perlakuan R3 dan R6 yang sama-sama memiliki nilai IOFCC dan IP yang rendah.

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan by product pengolahan Crude Palm Oil

(CPO) yang diperoleh dari proses extraction maupun expeller. Pengolahan CPO

yang berbeda sangat berpengaruh terhadap kualitas BIS. Kelebihan dari proses

extraction adalah kandungan lignin dan serat kasar jauh lebih sedikit karena tempurung yang tercampur dalam BIS lebih sedikit, sedangkan pada proses

expeller kandungan lemak kasar dan vitamin yang larut dalam lemak masih tinggi.

Sifat fisik BIS yang biasa digunakan dalam pengujian pakan meliputi berat jenis (BJ), kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, sudut tumpukan, tingkat kehalusan, diameter bahan. Dari data sifat fisik ini, ada 2 hal yang dapat dimunculkan. Pertama adalah koefisien keragamannya bisa digunakan dalam klasifikasi keragaman sifat fisik BIS dari yang keragamannya tinggi, menengah hingga rendah. Kedua, diantara sifat fisik yang diperoleh dapat diketahui keeratan hubungannya, sehingga apabila memiliki waktu terebatas tidak perlu dilakukan semua uji, akan tetapi sifat-sifat fisik yang memiliki keeratan yang tinggi dapat diwakili dengan sifat lainnya.

Sumber produksi BIS yang berbeda berpengaruh terhadap keragaman sifat fisik. Koefisien keragaman (%) sifat fisik BIS di bawah 5% adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, dan kerapatan pemadatan tumpukan. Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman 5-10% meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena memiliki nilai keragaman di atas 10% yakni 12.79%.

Sifat fisik bisa menjadi pendukung kualitas nutrisi BIS. Sehubungan dengan waktu dan efisiensi dalam pengujian, lebih diutamakan pada pengujian berat jenis karena memiliki hubungan erat dengan sifat daya ambang, kerapatan tumpukan, dan sudut tumpukan. Selain dari itu pengujian BJ dapat menduga ada atau tidaknya pemalsuan BIS, apabila hasil analisis nutrisi hasilnya meragukan.

Pengelompokan keragaman sifat fisik BIS memang belum mewakili dari seluruh sumber produksi di Indonesia, terutama pada sumber produksi dengan

prose chemical extraction yang jarang diusahakan dalam produksi BIS di

Indonesia. Perlu dilakukan uji dari beberapa sumber produksi di seluruh Indonesia agar hasilnya bisa dijadikan standar BIS yang lebih lengkap.

92

Pertumbuhan kapang umumnya mengikuti kurva sigmoid termasuk

Trichoderma reesei, yang membedakan adalah waktu pencapaian fase-fase

pertumbuhannya. Fase akselerasi Trichoderma reesei dicapai pada umur

inkubasi 24-30 jam, dengan jumlah optimum koloni 2.13x106 CFU/cc. Jumlah

koloni Trichoderma reesei masih dibawah koloni optimum kapang Neurosphora

sitophila yang juga mampu mendegradasi serat sawit yang mencapai 1.8x107 CFU/cc (Irawadi 1991). Jumlah optimum koloni sangat ditentukan oleh nutrisi yang tersedia pada media. Semakin lengkap nutrisi yang dibutuhkan mikroba tersedia pada media, semakin mudah dicapai optimum koloni. Pada umumnya limbah pertanian termasuk BIS miskin akan nutrisi yang dibutuhkan mikroba seperti karbon dan nitrogen, karenanya untuk pertumbuhan optimum

ditambahkan nutrisi media NH4NO3, KCl, FeSO4 dan CuSO4, meskipun menurut

Xiong (2004) untuk menstimulasi enzyme xylanase yang dihasilkan Trichoderma

reesei lebih tepat digunakan ammonium sulfat.

Diameter koloni kapang biasanya digunakan pada uji tantang mikroba terhadap material yang dapat menghambat laju pertumbuhan, dengan mengukur diameter zona beningnya. Pengukuran diameter koloni kapang secara langsung memiliki kesulitan tertutama dalam pengukuran pertumbuhan kapang yang tidak simetris (Santiago 2006). Hal ini terlihat dari kurva pertambahan diameter koloni

kapang yang mengikuti kurva polinomial Y = 0.296x5 – 8.0053x4 + 81.019x3 –

375.19x2 + 759.29x – 455.13. Dengan persamaan seperti itu agak sulit untuk

menentukan titik optimumnya.

Pertumbuhan kapang Trichoderma reesei dilakukan pada temperatur

awal 28 oC, sesuai dengan yang dilakukan oleh Haltrich et al.(1996) dan pH 5.94.

pH pada semua perlakuan ketebalan media 1 cm penurunannya cukup lama yakni sampai 96 jam, adapun perlakuan lain umumnya berkisar 24-48 jam. Diduga bahwa pada ketebalan 1 cm kapang belum jenuh melakukan perombakan, sedangkan pada ketebalan media BIS 2 dan 3 cm sudah menuju proses akhir fermentasi. Namun pola perubahan pH ini berbeda dengan pola perubahan temperatur, dimana hampir seluruh perlakuan kecuali S3D5 mengikuti pola kenaikan temperatur hingga umur fermentasi 72 jam kemudian turun kembali hingga mencapai suhu akhir sedikit di atas suhu awal. Disini kita mendapat gambaran bahwa pada saat temperatur maksimum, penguapan air cukup tinggi. Karenanya penanganan penyerapan air harus diwaspadai sebelum

mencapai umur fermentasi 72 jam agar air tidak membasahi hifa yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang.

Fase akselerasi pertumbuhan kapang Trichoderma reesei terjadi mulai

umur pertumbuhan 24-30 jam. Pada fase ini pertumbuhan hifa sangat cepat dan terlihat berwarna putih. Pada fase inilah inokulum yang digunakan dalam fermentasi pada BIS. Pertimbangannya adalah miselium kapang masih memungkinkan untuk berkembang dengan kecepatan pertumbuhan paling tinggi.

Perlakuan tebal media dan dosis kapang tidak menunjukkan adanya

interaksi terhadap kandungan protein. Menurut Xiong (2004) Trichoderma reesei

merupakan salah satu kapang yang produktif dan mampu menghasilkan protein sampai tingkat 100g/l. Untuk mendapatkan hasil fermentasi yang optimum diperlukan dosis kapang dan tebal media yang tepat. Semakin tebal media fermentasi, semakin banyak dosis kapang yang diperlukan. Pada fermentasi BIS

oleh Trichoderma reesei ternyata masing-masing faktor mempengaruhi

kandungan protein kasar tanpa terkait dengan faktor lain. Diduga kapang

Trichoderma reesei tidak mampu menjangkau media BIS yang terlampau tebal (lebih dari 2 cm). Media yang terlampau tebal akan menyulitkan dalam sirkulasi

udara (aerase system) proses fermentasi.

Ketersediaan BIS dalam jumlah besar menjadi kendala dalam pengolahan dengan fermentasi, terutama menyangkut ketebalannya. Ketebalan media 1 cm akan sangat menyulitkan karena perlu tempat yang lebih luas, meskipun hasil fermentasi lebih merata. Ketebalan 3 cm membutuhkan tempat yang sedikit lebih, namun hasilnya tidak merata. Dengan hal tersebut perlu pemikiran kedepan pemanfaatan BIS dengan menggunakan kapang (fermentasi) dalam skala industri yang terintegrasi. Pada proses pengepresan BIS digunakan proses termal. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri dimana BIS yang akan difermentasi tidak perlu di autoklaf lagi dan langsung pencampuran inokulum

dalam chamber yang besar dengan pengaturan pH dan suhu secara otomatis

sehingga BIS tidak sempat terkontaminasi karena langsung masuk kedalam proses fermentasi.

Retensi nitrogen semu pada BISF nyata lebih rendah dari BIS. Umumnya bahan pakan hasil pengolahan dengan fermentasi, meskipun tinggi protein kasarnya namun sulit dicerna karena protein mikrobial tinggi asam nukleotid. Hal

94

ini berarti bahwa protein mikrobial dari fermentasi belum bisa mengoreksi kekurangan keseimbangan asam amino yang terdapat pada BISF walaupun terjadi peningkatan kandungan protein.

Degradasi komponen serat terlihat dari kandungan hemiselulosa yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadaria (2002) yang menyatakan bahwa fermentasi dapat menurunkan kandungan hemiselulosa. Dilihat dari kelarutannya ternyata hemiselulosa yang mudah larut dibanding komponen serat lain seperti selulosa dan lignin (Purwadaria 2002).

Proses fermentasi BIS sebagaimana dilakukan peneliti-peneliti lain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik (Darwis 1991), kandungan protein (Ketaren 1999), energi metabolisme sejati, total gula terlarut (Xiong 2004), sebagaimana yang diperlihatkan pada percobaan Tahap ke-2 dan Tahap ke-4. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa fermentasi akan memberikan manfaat terutama dalam penurunan kandungan polisakarida mannan yang merupakan polimer dari mannosa.

Uji lebih lanjut manfaat fermentasi dilaksanakan secara invitro,

memperlihatkan bahwa penggunaan BISF dibandingkan dengan BIS mampu memperbaiki bobot badan akhir (8.09%), pertambahan bobot badan (9.98%), konsumsi ransum (2.93%), dan persentase bobot karkas (3.19%).

Konsumsi ransum ayam pedaging yang diberi BIS lebih rendah dibanding

perlakuan BISF. Hal ini disebabkan sifat gritty BIS yang menyulitkan ayam

dalam membuang kotoran (defekasi). Kesulitan ayam dalam defekasi akan merangsang ayam lain untuk mematuk (Kanibalisme) kloaka ayam yang berwarna agak kemerahan. Selain dari itu, palatabilitas BIS yang rendah menyebabkan ayam menurunkan konsumsinya, terlebih pada tingkat penggunaan BIS 20%. Fermentasi BIS (BISF) dapat meningkatkan palatabilitas, sehingga meningkatkan konsumsi ransum.

Konversi ransum semua perlakuan tidak berbeda dengan kontrol, namun konversi ransum ayam pedaging yang diberi BISF nyata lebih rendah dibanding BIS (terjadi penurunan konversi ransum 4.64%. Pada ayam yang konsumsi ransumnya tinggi, diperoleh pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Namun dilihat dari konversi ransum ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga erat hubungannya dengan proses fisiologis ayam yang memiliki keseimbangan dalam pertumbuhan. Secara proporsional (perbandingan antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan) memiliki

keseimbangan pertumbuhan, baik pada ayam yang konsumsinya tinggi maupun yang rendah konsumsinya.

Indeks prestasi (IP) ayam pedaging hampir seluruhnya di atas 200, kecuali perlakuan R3 dan R6. Hal ini berarti penggunaan BIS maupun BISF pada taraf 20%, secara produksi tidak layak untuk diusahakan. Nilai IP ini merupakan gabungan dari beberapa parameter penampilan produksi, sehingga hasilnya lebih tepat karena menyangkut berbagai aspek kecuali ekonomi.

Aspek ekonomi digunakan penilaian IOFCC. Nilai IOFCC ini sebagai gambaran keuntungan kasar yang diperoleh. Perlakuan R5 mampu mengimbangi keuntungan yang diperoleh dari perlakuan kontrol. Ada keterkaitan antara nilai IP dengan IOFCC. Ternyata perlakuan yang memiliki nilai IP rendah, nilai IOFCC nya pun paling rendah. Hal ini memperkuat bahwa perlakuan yang secara produksi tidak layak diusahakan (R3 dan R6), karena keuntungan yang diperoleh paling sedikit.

Penggunaan BISF 15% dalam ransum ayam pedaging mampu menghasilkan respon yang terbaik dan menyamai respon ransum kontrol yang mutunya baik dengan harga lebih mahal. Akibat dari perbaikan mutu BIS melalui fermentasi baik pada komposisi nutrisi, ketersediaan energi maupun manfaat biologisnya tidak mengakibatkan mortalitas yang tinggi (di bawah 5%). Penggunaan BISF memberikan manfaat ekonomi yang ditunjukkan dengan nilai IOFCC yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan BIS. Dengan demikian penggunaan BISF memberi peluang dapat dimanfaatkan oleh industri pakan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Bungkil inti sawit (BIS) yang terpilih berasal dari Lampung memiliki sifat fisik berat jenis 1.359 g/ml, kerapatan tumpukan 0.582 g/ml, kerapatan

pemadatan tumpukan 0.693 g/ml, sudut tumpukan 29.71o, daya ambang

0.594 m/dt, tingkat kehalusan 4.773 MF, rataan diameter bahan 0.285 cm dan kandungan protein kasar 16.5%, serat kasar 24.22% dan energi metabolis 3 543 Kkal/kg.

2. Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5% adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan, adapun yang memiliki koefisien keragaman 5-10% meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sifat fisik sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena memiliki nilai keragaman 12.79%.

3. Pada fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei, hasil optimal diperoleh

pada ketebalan media 2 cm dengan dosis kapang 2.13 x 106 CFU/cc.

Fermentasi BIS oleh Trichoderma reesei menyebabkan kenaikan kandungan

ADF, dan protein kasar namun terjadi penurunan NDF dan hemiselulosa serta penyusutan bahan kering. Terdapat interaksi antara ketebalan media dengan dosis kapang terhadap kandungan NDF, ADF dan hemiselulosa BIS fermentasi.

4. Kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam upaya peningkatan nilai

nutrisi BIS melalui degradasi polisakarida mannan diperlihatkan dengan meningkatnya kandungan energi metabolisme sejati, total gula, dan kecernaan mannan yang lebih baik, akan tetapi retensi nitrogen semu dan kandungan mannan terjadi penurunan.

5. Pemberian BIS dalam ransum dapat menurunkan penampilan ayam pedaging, namun apabila BIS telah di fermentasi (BISF) penggunaannya dapat mencapai 15% tanpa mengganggu bobot badan, konsumsi dan konversi ransum, persentase bobot karkas, indeks prestasi dan IOFCC ayam pedaging.

Saran

Untuk dapat digunakan sebagai bahan pakan, BIS sebaiknya dilakukan pengolahan dengan fermentasi agar nutrisinya bisa lebih baik dan dapat dimanfaatkan hingga 15% dalam ransum ayam pedaging.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Bogor : Lembaga Satu Gunung Budi. Anonimous 2003. Fructose and mannose metabolism.

www.chem.qmul.ac.uk/iubmb/enzyme. Pebruari 16th 2003

Anggorodi HR. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Antheunisse J. 1979. Observation on the decomposition of coconut fiber. J Gen Appl Microbiol 25: 177-181

A.O.A.C. 1984. Methods of Analysis. 13th Ed. Washington D.C : Association of Official Agricultural Chemist..

Blakely J and Blade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Terjemahan Edisi 4. Yogjakarta : Gajah Mada University Press.

Bolam DN, and Gilbert HJ. 1996. Mannanase from Pseudomonas fluorescens sp. cellulosa is a retaining glycosyl hydrolase in which E212 and E320 are the putative catalytic residues. J Biochem 35: 16195–16204. Braithwaite KL, Black GW, Hazlewood GP, Ali BR, Gilbert HJ. 2001. A non-

modular endo-beta-1,4-mannanase from Pseudomonas fluorescens subspecies cellulosa. J Biochem 305: 1005–1010.

Cadogan DJ, Choct M, Campbell RG, and Kershaw S. 1999. Effects new season wheats on the growth performance of young male pigs. In: Manipulating pig production VII. Werribe : Australian Pig Science Association.

Chanzy H, Pérez S, Miller DP, Paradossi G, Winter WT. 1987. An electron diffraction study of mannan I. Crystal and molecular structure. J Macromol 20: 2407–2413.

Chen Y, Long J, Liao L, Zhang Y, Yang J . 2000. Study on the production of beta-mannanase by Bacillus M50. Wei Sheng Wu Xue Bao ; 40(1):62-8. Chin FY. 2002. Utilization of palm kernel cake (PKC) as feed in Malaysia. Asian

Livestock. Vol. XXVI No. 4. FAO Regional Office. Bangkok, Thailand.

Chong CH, Blair R, Zulkifli I, and Jelan ZA. 1998. Physical and chemical

characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC). Proc. 20th MSAP

Conf. 27-28 July. Putrajaya. Malaysia.

Chung, D.S and Lee CH. 1985. Grain physical and thermal properties related to drying and aeration. ACIAR Proceeding No. 71 Australian Centre for International Agricultural Research, Australia

Coulombel, Clermont CS, Foglietti M, and Pherceron F. 1981. Transglycosylation reactions catalysed by two β-mannanases. J Biochem 195:333-335.

Darwis AA, Sukara E, Amirroenas DE, Purwanti E. 1991. Optimasi proses biokonversi pod kakao sebagai makanan ternak oleh Trichoderma viridae. Makalah Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk Industri. Bogor;10-11 Desember 1991

Daskiran M, Teeter RG, Fodge D, and Hsiao HY. 2004. An evaluation of endo-

β-D-Mannanase (Hemicell®) effects on broiler performance and energy use in diets varying in β-Mannan content. J Poult Sci 83:662-668.

Daud MJ, Jarvis MC, and Rasidah A. 1993. Fibre of PKC and its potential as

poultry feed. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference. Kuala Lumpur,

Malaysia.

Daud MJ, and Jarvis MC. 1992. Mannan of palm kernel. J Phytochem 31:463- 464.

Daud MJ, and Jarvis MC. 1993. Effect of driselase on the nutritive value of PKC

for poultry diets. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference. Penang,

Malaysia.

Daud MJ. 1995. Technical innovation in the utilization of local feed resources for more efficient animal production. Proceeding. 17th MSAP Annual. Conference. Kuala Lumpur, Malaysia.

Deborah H, Pell G, Dupree P, Goubet F, Martin-Orue SM, Armand S, and Gilbert HJ. 2003. The modular architecture of Cellvibrio japonicus mannanases in glycoside hydrolase families 5 and 26 points to differences in their role in mannan degradation. J Biochem 371: 1027- 1043.

[Deptan] Departemen Pertanian 1995. Pedoman umum penanganan pasca panen produk peternakan. Subdit Pascapanen Peternakan. Direktorat Penanganan Pascapanen. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Devendra L. 1977. The Utilization of feedingstuffs from the oil palm feedingstuffs for livestock in South East Asia. Malaysia Agricultural Research and Development Institute. Serdang-Selangor, Malaysia.

Dubois, M., Giles KA, Hamilton JK, Reber PA and Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. Anal Chem 28: 350-356

El Mubarak AK, and Abuelgasim AI. 1990. The occurrence of infectious bursal disease in major poultry producing area in Sudan. Bulletin Animal Health and Production in Africa 38:293-296.

Ensminger ME, Oldfield JE and Heineman WW. 1995. Feeds and Nutrition 2nd Ed. California : The Ensminger Publishing Company.

Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor : Pusat Antar Universitas – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.

100

Farel DJ. 1974. General Principles and Assumtion of Calorimetry in Energy Requirements of Poultry. British Poultry Science Ltd. Great Britanian. Frazier WC, and Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi : Tata

McGraw Hill Book Publ. Co.

Glenn RD, and Roger PL. 1988. A Solid substrate fermentation process for an animal feed product studies of fungal strain improvement. Aust J Biotechnol 2:50-57.

Goubet F, Jackson P, Deery M, and Dupree P. 2002. Polysaccharide analysis using carbohydrate gel electrophoresis (PACE): a method to study plant cell wall polysaccharides and polysaccharide hydrolases. J Anal Biochem 30: 53-68.

Hagglund P, Eriksson T, Collen A, Nerinckx W, Claeyssens M, Stalbrand H. 2003. Cellulose-binding module of the Trichoderma reesei beta- mannanase Man5A increases the mannan-hydrolysis of complex substrates. J Biotechnol 27(1):37-48.

Haltrich D, Nidetzky B, Kulbe KD, Steiner W, Fiesher A. 1996. Pectinase from Trichoderma reesei QM9414. Biotechnol Bioeng 25:1985-1990

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman AD, Kearl AC, and Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Yogjakarta : Gajah Mada University Press.

Hartley CWS. 1970. The Oil Palm. London : Longman Group.

Hew VF, and Jalaludin S. 1996. Palm product and by-products for monogastrics in Malaysia. First International Symposium on the Integration of Livestock to Oil Palm Production. Kuala Lumpur. Malaysia.

Hilge M, Gloor SM, Rypsniewski W, Sauer O, Heightman TD, Zimmermann W, Winterhalter K, Piontek K. 1998. High-resolution native and complex structures of thermostable-mannanase from Thermonospora fusca– substrate specificity in glycosyl hydrolase family 5. Biomednet Vol. 6 no. 11.

Hill FW, Anderson DL, Renner R and Carew LB. 1960. Studies of the metabolizable energy of grain and grain products for chicken. J Poult Sci 39:573-583.

Hogg D, Pell G, Dupree P, Goubet F, Martin-orue S, Armand S and Gilbert HJ. 2003. The modular architecture of Cellvibrio japonicus mannanases in glycoside hydrolase families 5 and 26 points to different in their role in mannan degradation. J Biochem 371:1027-1043.

Hutagalung R. 1978. Non-tradisional feedingstuffs for livestock. Proceeding of Symposium on Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. Malaysian Society of Animal Production. Serdang. Malaysia.

Hutagalung R, and Jalaludin S. 1982. Feeds for farm animal from the oil palm. University Pertanian Malaysia, Serdang Publication No. A.49. Malaysia. Irawadi TT. 1991. Produksi enzim ekstraseluler dan xilanase dari Neurosphora

sitophila pada substrat limbah padat kelapa sawit. [disertasi]. Bogor; Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Jackson ME. 2002. Hemicell feed enzyme – field and penn trial data for swine, broiler, duck, laying hen and turkeys. ChemGen Corp. Helmswood Cir. Marietta, GA USA

[JFE] Jakarta Future Exchange. 2002. Perkembangan produksi minyak goreng sawit di Indonesia. www.bbj-ifx.com.

Kamal. 1984. Pemanfaatan bungkil inti sawit sebagai pakan ayam. Proceeding Seminar Lembaga Kimia Nasional LIPI. Bandung.

Kataoka N, and Tokiwa Y. 1998. Isolation and characterization of an active mannanase-producing anaerobic bacterium, Clostridium tertium KT-5A, from lotus soil. J Appl Microbiol 84(3):357-367.

Keong NW. 2004. Researching the use of palm kernel cake in aquaculture feeds. Penang : Fish Nutrition Laboratory, School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, Malaysia

Ketaren PP, Sinurat AP, Zainuddin, Purwadaria T, dan Kompiang IP. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging.J Ilmu Ternak dan Vet 4(2):107-112

Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal : Sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, daya ambang dan faktor higroskopis. Media Peternakan 22 (1):1-11.

Kling M, und Woehlbier. 1983. Handelstuttermittel. Stuttgart : Band 2A. Verlaq Eugen Ulmer,

Knudsen KEB. 1997. Carbohydrate and lignin contents of plant materials used in animal feeding. Animal Feed Science Technology, 67:319-338

Kompiang IP, Sinurat AP, Kompiang S, Purwadaria T, dan Darma J. 1994. Nutritional value of enriched cassava: Casapro. Ilmu dan Peternakan. 7:22-25

Kumar A, Dingle JG, Wiryawan KG and Cresswell DC. 1997. Enzyme for improved nutritional value of layer diets In: Queendsland Poultry Science Symposium. The University of Queendsland, Gatton

Kusakabe I. 1990. A simple method for elucidating structures of galactomanno- oligosaccharides by sequential actions of b-mannosidase and a- galactosidase. J Agric Biol Chem 54:1081-1083.

102 Leeson S, Diaz G, and Summers JG. 1995. Poultry Metabolic Disorders and

Mycotoxin. Guelph : University Book.

Llyod LE, McDonald BE, and Crampton EW. 1978. Fundamentals of Nutrition. 2nd Ed. San Francisco : WH. Freeman and Company.

Dokumen terkait