5. PENGAWASAN MUTU
5.1. Incoming Quality Control
Incoming Quality Control adalah pengawasan mutu yang dilakukan pada bahan baku yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan produksi. Pengawasan mutu bahan baku sangat penting untuk diterapkan karena tidak adanya pengawasan pada tahap awal, akan membuat produk yang dihasilkan mengalami penurunan mutu akibat adanya hal-hal yang tidak diinginkan yang bersumber dari bahan baku tersebut. PT Indofood CBP
25
Sukses Makmur Tbk. Divisi Noodle Cabang Semarang memberlakukan pengawasan mutu pada bahan baku seperti tepung, pengemas, seasoning (bumbu pelengkap), solid ingredient (bahan pelengkap),minyak, dan larutan alkali.
5.1.1. Tepung
Pengawasan mutu tepung dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya cemaran yang tidak diinginkan pada bahan awal pembuatan mie instan. Selain cemaran fisik, uji kimia tepung seperti kadar gluten, iron’s spot dan kadar abu juga perlu dipastikan apakah sudah sesuai dengan standar yang diberlakukan atau belum. Analisa fisik yang dilakukan oleh seorang QC di gudang tepung diawali dengan pengambilan sampel (disesuaikan dengan jumlah populasi). Setelah itu karung akan ditimbang satu per satu hingga didapatkan data berat sack tepung. Apabila ditemukan berat tepung terpaut jauh dengan standar yang telah ditetapkan, maka akan dilakukan penolakan. Kemudian dilakukan pengayakan tepung dan dilihat apakah ada cemaran seperti kutu, serpihan kayu atau serangga di dalam tepung. Jika didapati ada cemaran tersebut maka akan dilakukan penolakan bahan baku tepung kembali ke supplier.
Selanjutnya dilakukan pula pengujian warna tepung, apakah warnanya sudah sesuai atau belum dengan standar. Berdasarkan SNI 01-3751-2009 mengenai syarat mutu tepung terigu, bentuk tepung yang digunakan untuk produksi harus dalam keadaan serbuk, bau normal dan bebas dari aroma asing, warna putih (khas terigu), tidak terdapat cemaran-cemaran seperti serangga ataupun potongan kayu, kadar air maksimal 14,5%; kadar abu maksimal 0,7%, kadar besi minimal 50 mg/kg dan kadar protein minimal 7%. Tepung yang sudah dianalisa fisik dan kimiawi dapat digunakan untuk proses produksi keesokan harinya, jika hasil yang diperoleh sesuai dengan standar yang ditetapkan.
5.1.2. Pengemas
Menurut Kotler (2008) pengemas didefinisikan sebagai media yang berfungsi untuk membungkus dan melindungi produk. Kaihatu (2014) melanjutkan bahwa kemasan harus bisa memudahkan konsumen ketika menggunakan, memberikan informasi yang jelas dan menambah keindahan produk. Pengawasan mutu yang dilakukan oleh seorang QC di bagian pengemas dilakukan untuk menguji kesesuaian kemasan yang dipesan
dengan standar yang berlaku. Pengemas yang diuji terdiri dari 3 macam yaitu karton, etiket dan cup EPS (Expandable Polystyrene). Pengujian pengemas ini lebih ditinjau pada aspek fisiknya seperti pengecekan kesesuaian tulisan yang ada di karton dengan standar yang ditentukan (validasi), seperti misalnya barcode, nama perusahaan, spesifikasi produk dan desain. Kemudian pengemas jenis karton juga dicek kondisi ke-HALAL-an (tercemar bahan najis/haram), basah, bernoda, atau tercemar bau asing atau tidak. Jika terjadi ketidasesuaian dengan standar maka akan dilakukan penolakan karton yang diberlakukan hingga 1 truk.
Selain itu dilakukan pengukuran panjang, lebar dan tinggi karton. Jika ukuran-ukuran tersebut tidak sesuai maka akan dikembalikan ke supplier. Hal ini dikarenakan pengemas karton yang terlalu kecil dapat membuat isi produk tidak penuh (40 buah) karena ruang kosong yang kurang. Namun jika ukuran terlalu besar maka akan membahayakan produk di dalamnya ketika ada goncangan dan akhirnya mengurangi keutuhan produk dan menurunkan mutunya. Kemudian pengujian beban (stacking) terhadap karton dilakukan dengan memberi beban 80 kg selama kurang lebih 5 menit. Apabila selama proses stacking karton penyok maka dilakukan penolakan terhadap karton tersebut. Proses ini perlu dilakukan untuk mengetahui ketahanan karton terhadap beban yang diberikan. Apabila karton tidak kuat menahan tumpukan-tumpukan saat distribusi maka produk di dalamnya dapat menjadi rusak dan tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Pengujian terhadap etiket sendiri meliputi pengukuran ketebalan menggunakan
thickness gauge, pengukuran pitch (jarak pita hitam tepi ujung hingga tepi dalam) dan pengujian fisik seperti warna dan spesifikasi produk. Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan standar yang berlaku maka etiket akan dikembalikan ke supplier. Kemudian pengujian cup EPS untuk produk Pop Mie dilakukan pengukuran tebal bibir atas vertikal, berat, diameter atas dan bawah, tinggi, dan tebal dinding. Selain itu juga dilakukan pengecekan terhadap tulisan pada kemasan. Tulisan tersebut tidak boleh ada yang hilang satu pun. Jika ada parameter-parameter yang tidak sesuai maka cup tidak dapat digunakan dan dikembalikan ke bagian produksi cup tersebut.
27
5.1.3. Seasoning dan Solid Ingredient
Pengawasan mutu terhadap bumbu pelengkap dan bahan pelengkap dilakukan oleh seorang QC bagian seasoning. Pengujian bumbu pelengkap atau seasoning dilakukan dengan pengukuran panjang kemasan bumbu dari ujung yang satu hingga ujung yang lainnya dan pengukuran berat. Untuk bumbu pelengkap tertentu seperti saos sambal terdapat standar jumlah Escherichia coli yang diperbolehkan. Menurut pendapat Munif (2009) bakteri Escherichia coli adalah bakteri yang dapat menyebabkan diare. Beberapa spesies bakteri ini dapat menyebabkan keracunan yang mengakibatkan peradangan usus. Namun analisa mikrobiologi ini tidak dilakukan dan hanya didasarkan pada pernyataan dari COA (Certificate of Analysis) yang didapatkan dari supplier. Selain uji mikrobiologi, pengawasan mutu bumbu pelengkap juga dilengkapi dengan analisa kimia seperti analisa kadar FFA dan kadar air. Jika ternyata ada parameter-parameter mutu yang kurang sesuai dengan standar maka akan dilakukan penolakan produk.
Selain hal-hal di atas, perlu diperhatikan juga kondisi lingkungan sekitar penyimpanan bumbu dan bahan pelengkap. Suhu dan RH ruang penyimpanan harus dalam keadaan dingin dan tidak berfluktuasi. Adanya suhu dingin dapat mencegah bumbu menggumpal atau cacking. Penggumpalan dapat terjadi dengan mudah pada produk bubuk karena bubuk bersifat higroskopis atau mudah menyerap air. Hal ini sesuai dengan Praja (2015) bahwa bahan yang kering lebih higriskopis, yaitu cenderung mudah menyerap air daripada bahan awal (basah). Menurut Chung et al. (2000) kerusakan paling utama dari bumbu adalah penggumpalan akibat suhu dan RH ruangan tidak stabil. Bumbu yang menggumpal ini mengakibatkan tingkat kelarutan berubah, oksidasi lemak dan aktvitas enzim semakin meningkat, rasa asli dari bumbu pudar dan mutu organoleptik serta umur simpan menurun.
5.1.4. Minyak
Minyak goreng yang digunakan untuk proses produksi mie instan adalah RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) yang memiliki bentuk seperti bubur. Minyak disimpan di dalam tangki-tangki dan dipanaskan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk produksi. Pemanasan dilakukan untuk mencairkan minyak yang sebelumnya berbentuk seperti bubur. Terdapat 9 tangki minyak goreng. Pengawasan mutu minyak
goreng ini meliputi analisa kimia, yaitu kadar asam lemak bebas. Analisa ini perlu dilakukan untuk mengetahui presentase asam lemak bebas (free fatty acid / FFA) yang ada di dalam minyak baru. Apabila FFA pada saat minyak datang sudah melebihi standar maka akan dilakukan penolakan. Hal ini dikarenakan jika presentase asam lemak bebas yang ada di minyak goreng awal sudah tinggi, maka kadar FFA akan semakin tinggi lagi pada saat proses produksi berlangsung, sebagai akibat dari pemanasan pada suhu tinggi. Selain itu minyak dengan FFA awal yang sudah tinggi dapat mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan. Berdasarkan SNI 7709-2012 mengenai Syarat Mutu Minyak Goreng Sawit, kadar asam lemak bebas yang diperbolehkan adalah maksimal 0,3%.
5.1.5. Larutan Alkali
Pengawasan larutan alkali sebagai bahan baku pencampuran dengan tepung terigu ini dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan larutan alkali dilakukan dengan pengukuran pH, specific gravity, viskositas dan warna. Apabila parameter-parameter di atas tidak sesuai dengan standar yang berlaku maka dapat dikatakan bahwa terjadi kesalahan komposisi larutan alkali. Warna larutan alkali pada umumnya adalah kuning dengan pH yang cenderung basa.