• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR GAMBAR

3) Indeks Atkinson

Indeks Atkinson adalah ukuran kesenjangan pendapatan yang dikembangkan oleh ekonom Inggris, Anthony Barnes Atkinson. Ukuran ini mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks ini bisa diubah menjadi pengukuran normatif dengan mengesankan koefisien ε sebagai penimbang pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama.

Indeks Atkinson menggunakan parameter kesenjangan yang dilambangkan dengan ε. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita kabupaten/kota, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota

terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita

kabupaten/kota terkecil secara sosial lebih baik dipilih daripada meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Parameter kesenjangan ε yang lebih besar menyebabkan peningkatan proporsi yang lebih besar bagi peningkatan PDRB per kapita dari rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota.Indeks

dari ε=0,5 , ε=1, ε=2, dan ε=3 dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak kesenjangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengukuran Indeks Atkinson sensitif terhadap perubahan ε sehingga menghasilkan indeks yang bervariasi untuk setiap ε yang berbeda.

Kebijakan yang dapat dilakukan secara implisit ditunjukkan dengan ε, adalah peningkatan pendapatan masyarakat atau PDRB per kapita bagi kabupaten yang berada di urutan terbawah dari distribusi dengan mekanisme transfer pendapatan. Transfer pendapatan adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang bisa berupa penyaluran kredit kepada masyarakat, peningkatan anggaran untuk membangun infrastruktur, pemberian dana tambahan untuk perbaikan kesehatan dan pendidikan, dan pemberian subsidi bagi masyarakat miskin. Nilai indeks Atkinson berkisar antara nol sampai dengan satu, dimanasatu mengindikasikan kesenjangan yang sangat tinggi dan social welfare loss sebesar 100 persen.

Penghitungan Indeks Atkinson adalah sebagai berikut:

�(�) = 1−

� �

(3.8)

= �

1 �

∑ �

1−�

1 1−�

, 0 <

< 1

> 1

(3.9)

= ∏

(�)

�1

,

= 1

(3.10) dimana:

�(�)

= Indeks Atkinson

= PDRB per kapita kabupaten/kota

= Level pendapatan EDE

= Parameter kesenjangan � = Jumlah kabupaten/kota

= Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT 3.2.3 Tipologi Klassen

Alat analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu:

1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi NTT.

memiliki PDRB per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT. 3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income), adalah daerah

yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tingkat PDRB per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi NTT.

4. Daerah relatif tertinggal (low growth dan low income), adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT.

Tabel 3.2 Klasifikasi menurut Tipologi Klassen ��

��

� < �� � >��

� > �� Kuadran III

Daerah berkembang cepat

Kuadran I

Daerah cepat maju dan cepat tumbuh � < �� Kuadran IV

Daerah relatif tertinggal

Kuadran II

Daerah maju tetapi tertekan Sumber: Prasetyo, 2008

Keterangan:

Rij adalah laju pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT

Yij adalah PDRB per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT

4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar belakang yang berbeda- beda. Provinsi NTT sebelumnya lazim disebut dengan “Flobamora” (Flores, Sumba, Timor dan Alor). Sebelum kemerdekaan RI, Flobamora bersama Kepulauan Bali, Lombok dan Sumbawa disebut Kepulauan Sunda Kecil. Namun setelah proklamasi kemerdekaan beralih nama menjadi “Kepulauan Nusa Tenggara”, sampai dengan tahun 1957 Kepulauan Nusa Tenggara merupakan daerah Swatantra Tingkat I (statusnya sama dengan Provinsi sekarang ini). Selanjutnya tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958 Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi 3 Provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian Provinsi Nusa Tenggara Timur keberadaannya adalah sejak tahun 1958 sampai sekarang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 tanggal 31 Januari 2008, luas daerah Provinsi NTT adalah 48.718,10 kilometer persegi atau sebesar 2,55 persen dari total luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009). Provinsi NTT terletak antara 80-1200 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur dan memiliki 1.192 pulau (42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni). Sebagian besar wilayahnya bergunung dan berbukit, hanya sedikit dataran rendah.

2010). Sebagai bagian dari negara maritim, Provinsi NTT dikelilingi oleh perairan maupun daratan. Provinsi NTT di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan pulau Sumbawa dan Provinsi NTB, dan di sebelah timur berbatasan dengan negara Timor Leste.

Secara administratif, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008, Provinsi NTT terdiri dari 20 kabupaten, 1 kota, 254 kecamatan, 297 kelurahan dan 2.387 desa.

4.2 Keadaan Ekonomi dan Sosial Provinsi NTT 4.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam melihat kondisi perekonomian suatu daerah di Provinsi NTT. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menggambarkan pertumbuhan nilai produksi wilayah kabupaten/kota secara riil yakni tanpa dipengaruhi komponen harga atau tanpa dipengaruhi nilai inflasi yang dihitung berdasarkan harga tahun dasar yaitu tahun 2000.

Total PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2007 sampai 2010 (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Miliar Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 258,72 270,85 284,83 300,69 2. Sumba Timur 613,75 655,13 682,57 715,50 3. Kupang 893,99 931,23 969,88 1.009,56 4. Timor Tengah Selatan 843,14 879,82 915,56 954,25 5. Timor Tengah Utara 416,49 446,62 471,67 498,97

6. Belu 813,19 930,31 974,40 1.022,05 7. Alor 375,48 393,00 409,23 429,13 8. Lembata 134,53 139,37 145,60 152,44 9. Flores Timur 545,45 571,07 590,41 624,82 10. Sikka 742,62 789,83 821,37 858,01 11. Ende 687,85 721,01 757,64 797,81 12. Ngada 344,02 364,56 382,95 403,88 13. Manggarai 512,29 534,94 562,82 595,47 14. Rote Ndao 289,59 315,77 330,54 347,51 15. Manggarai Barat 359,29 381,36 394,79 408,24 16. Sumba Barat Daya 336,00 351,76 369,06 385,17 17. Sumba Tengah 91,97 94,60 97,56 101,20 18. Nagekeo 266,47 280,66 293,95 307,23 19. Manggarai Timur 338,83 350,93 369,28 385,78 20. Sabu Raijua 126,17 128,89 136,32 146,97 21. Kota Kupang 1.860,99 2.000,22 2.122,33 2.296,92 NTT 10.850,85 11.531,95 12.082,77 12.741,62 Sumber: BPS, 2011

Kota Kupang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan keuangan memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT yaitu dengan PDRB sebesar 2.296,92 miliar rupiah atau dengan kontribusi sebesar 18,03 persen. Sedangkan penyumbang terkecil bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah kabupaten Sumba Tengah dengan PDRB sebesar 101,20 miliar rupiah atau dengan kontribusi sebesar 0,79 persen. Kondisi ini disebabkan kabupaten

kabupaten Sumba Barat. Adapun yang memiliki kontribusi terbesar kedua adalah kabupaten Belu (1.022,05 miliar rupiah atau 8,02 persen dari PDRB NTT) dan terbesar ketiga adalah kabupaten Kupang (1.009,56 miliar rupiah atau 7,92 persen dari PDRB NTT) pada tahun 2010.

Jika dilihat dari nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 sampai 2009 masih menunjukkan gambaran yang hampir sama dengan tahun 2010.

4.2.2 PDRB per Kapita

PDRB per kapita menunjukkan kemampuan nyata dari suatu wilayah dalam menghasilkan barang/jasa dan kemakmuran yang diperoleh setiap penduduk (per kapita). Meskipun PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah, namun PDRB per kapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut.

PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi NTT mencerminkan nilai PDRB ADHK masing-masing kabupaten/kota dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT.

Tabel 4.2 PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 2,35 2,40 2,47 2,55

2. Sumba Timur 2,62 2,74 2,84 2,96

3. Kupang 2,58 2,92 3,03 3,16

4. Timor Tengah Selatan 1,93 1,98 1,96 2,02 5. Timor Tengah Utara 1,92 1,91 1,98 2,06

6. Belu 1,82 2,76 2,82 2,90 7. Alor 2,00 2,03 2,10 2,11 8. Lembata 1,22 1,19 1,21 1,24 9. Flores Timur 2,23 2,41 2,46 2,57 10. Sikka 2,59 2,55 2,62 2,70 11. Ende 2,82 2,67 2,78 2,89 12. Ngada 2,50 2,52 2,59 2,69 13. Manggarai 1,98 1,81 1,86 1,93 14. Rote Ndao 2,53 2,73 2,73 2,75 15. Manggarai Barat 1,72 1,72 1,73 1,75 16. Sumba Barat Daya 1,24 1,22 1,25 1,27

17. Sumba Tengah 1,45 1,49 1,50 1,53 18. Nagekeo 2,06 2,11 2,17 2,22 19. Manggarai Timur 1,23 1,35 1,39 1,42 20. Sabu Raijua 2,32 2,09 1,97 1,92 21. Kota Kupang 5,51 5,46 5,61 5,91 NTT 2,30 2,42 2,48 2,56 Sumber: BPS (diolah), 2011

Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa selama periode pengamatan Kota Kupang mempunyai PDRB per kapita tertinggi yakni sebesar 5,91 juta rupiah sekaligus di atas PDRB per kapita Provinsi NTT sebesar 2,56 juta rupiah, bahkan jauh melampaui PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT. Gambaran ini menunjukkan bahwa Kota Kupang menempati peringkat konsentrasi perekonomian yang paling tinggi di antara kabupaten/kota lain di Provinsi NTT.

signifikan. Sedangkan PDRB per kapita terendah ditunjukkan oleh Kabupaten Lembata (1,24 juta rupiah) dibandingkan dengan PDRB per kapita Provinsi NTT maupun dengan PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT pada tahun 2010.

4.2.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dihitung berdasarkan persamaan 3.1 mengalami fluktuasi (Tabel 4.3). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT relatif meningkat dari tahun 2007-2010. Hanya saja pada tahun 2009, rata-rata laju pertumbuhan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Lambatnya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dipengaruhi adanya krisis moneter (keuangan) global pada tahun 2008.

Selama periode 2007-2010 rata-rata laju pertumbuhan ekonomi tertinggi didominasi oleh kota Kupang sebesar 8,19 persen. Sedangkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi terendah ditempati oleh Kabupaten Kupang sebesar 0,71 persen. Hal ini mengindikasikan adanya kontribusi sektor jasa-jasa di Kota Kupang sangat mendominasi, sedangkan pada Kabupaten Kupang pernah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 9,56 persen pada tahun 2007.

Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 Rataan 1. Sumba Barat 7,87 4,69 5,16 5,57 5,82 2. Sumba Timur 4,74 6,74 4,19 4,83 5,12 3. Kupang -9,56 4,16 4,15 4,09 0,71

4. Timor Tengah Selatan 3,86 4,35 4,06 4,23 4,13 5. Timor Tengah Utara 3,02 7,23 5,61 5,79 5,41

6. Belu 5,77 14,40 4,74 4,89 7,45 7. Alor 4,93 4,67 4,13 4,86 4,65 8. Lembata 5,76 3,60 4,47 4,70 4,63 9. Flores Timur 3,49 4,70 3,39 5,83 4,35 10. Sikka 1,91 6,36 3,99 4,46 4,18 11. Ende 2,93 4,82 5,08 5,30 4,53 12. Ngada 5,19 5,97 5,05 5,46 5,42 13. Manggarai 6,91 4,42 5,21 5,80 5,59 14. Rote Ndao 2,00 9,04 4,68 5,14 5,21 15. Manggarai Barat 4,29 6,14 3,52 3,41 4,34 16. Sumba Barat Daya 6,00 4,69 4,92 4,37 4,99 17. Sumba Tengah 6,00 2,86 3,13 3,73 3,93 18. Nagekeo 4,59 5,32 4,74 4,52 4,79 19. Manggarai Timur 1,43 3,57 5,23 4,47 3,67 20. Sabu Raijua 0,01 2,16 5,76 7,82 3,93 21. Kota Kupang 10,96 7,48 6,10 8,23 8,19 Rataan 3,91 5,59 4,63 5,12 4,81 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 4.3 juga menunjukkan secara umum bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT cenderung stabil mendekati rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT bahkan ada beberapa kabupaten/kota di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT.

4.2.4 Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi dapat dilihat dari peran atau kontribusi dari masing- masing sektor ekonomi. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu wilayah domestik. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan basis perekonomian sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu daerah. Namun, sektor yang mempunyai kontribusi kecil tidak bisa diabaikan, sebab bisa jadi di masa mendatang sektor tersebut berkembang dan menjadi sektor unggulan di daerah tersebut, seperti yang disajikan pada persamaan 3.2. Adapun Tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan struktur ekonomi yang terdiri dari sembilan sektor, dan untuk penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan menjadi sektor primer (sektor 1 dan 2), sekunder (sektor 3, 4 dan 5) serta sektor tersier (sektor 6, 7, 8 dan 9) pada periode penelitian tahun 2007 sampai 2010 di Provinsi NTT.

Tabel 4.4 Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (persen) LAPANGAN USAHA 2007 2008 2009 2010 Sektor Primer 41,64 41,73 40,82 39,77 1. Pertanian 40,27 40,39 39,51 38,45 2. Pertambangan dan Penggalian 1,37 1,34 1,31 1,32 Sektor Sekunder 9,20 8,88 8,90 8,93 3. Industri Pengolahan 1,70 1,59 1,55 1,54 4. Listrik, Gas dan Air

Bersih

0,44 0,41 0,42 0,42

5. Konstruksi 7,06 6,88 6,93 6,97

Sektor Tersier 49,16 49,39 50,28 51,30

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

15,99 15,70 16,09 16,76 7. Pengangkutan dan

Komunikasi

6,22 6,17 6,08 5,78 8. Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan

3,90 3,91 3,99 4,07

9. Jasa-Jasa 23,05 23,61 24,12 24,69

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS (diolah), 2011

Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa selama periode penelitian peranan sektor primer dan sekunder terhadap PDRB Provinsi NTT cenderung menurun dan peran ini berpindah ke sektor tersier. Tingginya peranan sektor primer khususnya pertanian pada tahap-tahap awal pembangunan, disebabkan karena usaha-usaha di sektor primer sebagian besar dikerjakan dengan skala-skala kecil atau usaha rakyat dan teknologinya belum berkembang seperti sekarang. Pada saat teknologi masih terbatas, pilihan usaha di sektor pertanian merupakan pilihan

teknologi yang sederhana dan modal yang relatif kecil.

Berdasarkan komposisi nilai PDRB, dapat diketahui bahwa sektor yang memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor pertanian (38,45 persen). Kontribusi sektor pertanian mengalami fluktuatif dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, begitu pula secara absolut PDRB sektor pertanian terus mengalami fluktuatif. Tingginya peran sektor pertanian ini, didukung oleh beberapa subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan dari masing-masing daerah dalam meningkatkan nilai tambah.

Sektor kedua yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor jasa-jasa (24,69 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2007-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor pemerintahan umum.

Adapun sektor ketiga yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (16,76 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2008-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor perdagangan besar dan eceran.

4.2.5 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi NTT dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan. Berdasarkan data sensus penduduk BPS, jumlah

penduduk Provinsi NTT tahun 2010 sebanyak 4.683.827 jiwa (2,01 persen dari total penduduk Indonesia) dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak (9,42 persen dari total penduduk Provinsi NTT) sedangkan Kabupaten Sumba Tengah adalah kabupaten yang paling sedikit jumlah penduduknya (1,33 persen dari total penduduk Provinsi NTT).

Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Kota Kupang tetap menjadi kota terpadat (12.843 jiwa per kilometer persegi) dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Sebaliknya, Kabupaten Sumba Timur merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 33 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2010.

4.2.6 Keadaan Sosial

Kemiskinan dan kesenjangan merupakan dua masalah dalam konteks pembangunan setiap bangsa. Pengentasan kemiskinan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan tidak dengan sendirinya mengatasi kesenjangan. Begitu pula sebaliknya, kemerataan kesejahteraan tidak senantiasa serta merta mengentaskan semua orang dari kemiskinan. Masalah kemiskinan muncul karena ada sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai kehidupan yang layak (Prayitno, 1996).

Kabupaten/Kota Persentase Penduduk Miskin Peringkat 1. Sabu Raijua 41,16 1 2. Sumba Tengah 34,05 2 3. Rote Ndao 32,81 3 4. Sumba Timur 32,42 4 5. Sumba Barat 31,73 5

6. Sumba Barat Daya 29,88 6

7. Timor Tengah Selatan 28,71 7

8. Lembata 26,76 8

9. Manggarai Timur 25,94 9

10. Manggarai 22,91 10

11. Timor Tengah Utara 22,73 11

12. Ende 21,65 12 13. Alor 21,17 13 14. Kupang 20,79 14 15. Manggarai Barat 20,40 15 16. Belu 15,48 16 17. Sikka 13,38 17 18. Nagekeo 12,70 18 19. Ngada 12,05 19 20. Kota Kupang 10,57 20 21. Flores Timur 9,61 21 Sumber: BPS (diolah), 2011

Kabupaten Sabu Raijua merupakan kabupaten penyumbang terbesar penduduk miskin di Provinsi NTT yang menduduki peringkat pertama dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi NTT, yakni sebesar 41,16 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Kondisi ini dimungkinkan karena kabupaten Sabu Raijua adalah kabupaten termuda yang merupakan pemekaran dari kota Kupang.

Adapun yang menduduki peringkat terakhir adalah Kabupaten Flores Timur, yakni sebesar 9,61 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Hal ini mengindikasikan adanya pemerataan pembangunan yang dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat Kabupaten Flores Timur.

Tabel 4.5 juga menyajikan adanya tingkat kemiskinan yang cukup signifikan di antara kabupaten/kota di Provinsi NTT dengan rata-rata persentase penduduk miskin sekitar 23 persen. Hal ini mengindikasikan adanya trickle down effect berjalan lambat atau tingkat pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu program pengentasan kemiskinan sangat penting, di samping program pemerintah lainnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibarengi pemerataan pembangunan yang senantiasa dinikmati berbagai lapisan masyarakat (growth with equity).

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesenjangan

Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Oleh karena itu, dalam analisis ini peneliti melakukan perhitungan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT untuk mengetahui perkembangan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT pada periode pengamatan 2007-2010.

5.1.1 Indeks Williamson

Kesenjangan pembangunan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun 2007-2010 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson. Data yang digunakan adalah data PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT dan data jumlah penduduk kabupaten/kota serta jumlah penduduk provinsi NTT. Penghitungan Indeks Williamson berdasarkan persamaan 3.3. Adapun hasil pengolahan data dapat disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 TAHUN IW 2007 0,4532 2008 0,4483 2009 0,4552 2010 0,4721 RATA-RATA 0,4572 Sumber: BPS (diolah), 2011

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007-2010, rata- rata kesenjangan di Provinsi NTT sebesar 0,4572 dan termasuk kategori kesenjangan level sedang. Sepanjang tahun 2007 terjadi kesenjangan sebesar 0,4532 dan terjadi penurunan kesenjangan selama periode tahun 2008 menjadi 0,4483. Adapun terjadi peningkatan kesenjangan pada tahun 2009 dan 2010 dimana masing-masing secara berurutan menjadi sebesar 0,4552 dan 0,4721.

Gambar 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 0 .4 5 3 2 0 .4 4 8 3 0 .4 5 5 2 0 .4 7 2 1 0.4350 0.4400 0.4450 0.4500 0.4550 0.4600 0.4650 0.4700 0.4750 2007 2008 2009 2010 In d e k s W il li a m so n Tahun Pengamatan

selama periode pengamatan mengalami fluktuasi (Gambar 5.1). Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan dari tahun 2007-2008, kesenjangan di Provinsi NTT cenderung mengalami penurunan, namun pada kurun waktu 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kesenjangan ini salah satunya diakibatkan karena adanya krisis global yang berimplikasi pada krisis keuangan pada tahun 2008 yang melanda Indonesia sehingga Provinsi NTT tidak luput dari pengaruh krisis ini, faktor lain yakni tingginya konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Kupang sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan sektor ekonomi lainnya semakin memicu kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.

5.1.2 Indeks Theil

Alat ukur kedua yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah dengan menggunakan indeks Theil. Salah satu kelebihan dari indeks Theil adalah bisa melihat kesenjangan antarkelompok dan dalam kelompok yang ditentukan. Dalam analisis ini, digunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT. Sejumlah 21 kabupaten/kota di Provinsi NTT dikelompokkan ke dalam 3 pulau besar yaitu Pulau Timor, Sumba dan Flores. Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks Theil yang menggunakan persamaan 3.4 sampai dengan 3.7.

Tabel 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Tahun

Antar pulau Dalam pulau Total Theil persen Theil persen Theil persen 2007 0,02216 28,15 0,05658 71,85 0,07874 100 2008 0,03210 42,08 0,04418 57,92 0,07628 100 2009 0,03228 41,30 0,04588 58,70 0,07816 100 2010 0,03350 40,51 0,04920 59,49 0,08270 100 RATA-RATA 0,03001 38,00 0,04896 62,00 0,07897 100 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kesenjangan antarpulau dan kesenjangan dalam pulau memberikan kontribusi yang cukup berbeda terhadap kesenjangan total di Provinsi NTT. Kesenjangan antarpulau menyumbang sekitar 38 persen dari total kesenjangan Provinsi NTT, sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari kesenjangan dalam pulau. Hal ini berarti pola kesenjangan di Provinsi NTT menyebar tidak merata baik dari level kesenjangan antarpulau maupun kesenjangan dalam pulau serta adanya indikasi kesenjangan dalam pulau lebih besar dibandingkan kesenjangan antarpulau. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis dalam pulau yang meliputi beberapa kabupaten/kota sehingga faktor kelimpahan sumber daya alam cukup berbeda antarkabupaten/kota dalam satu pulau.

Pola kesenjangan pendapatan antara indeks Williamson dan indeks Theil hampir sama yakni menunjukkan kecenderungan berfluktuasi yaitu periode tahun 2007-2008 mengalami penurunan nilai indeks, namun sebaliknya menampakkan peningkatan yang signifikan pada periode 2008-2010 seperti yang ditampilkan oleh Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010

Perbedaan kondisi geografis merupakan faktor pemicu tingginya kesenjangan baik antarpulau maupun dalam pulau. Adapun pulau Flores, kontribusi sektor pertanian sangat dominan dalam pembentukan PDRB. Sedangkan pulau Timor, sektor jasa-jasa mendominasi lantaran kota Kupang sebagai ibukota provinsi terletak di dalam pulau Timor. Begitu pun pulau Sumba hampir sama dengan pulau Flores dengan didominasi kondisi alam yang subur sehingga sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Namun nilainya masih lebih kecil dibandingkan hasil pertanian pulau Flores.

0 .0 7 8 7 4 0 .0 7 6 2 8 0 .0 7 8 1 6 0 .0 8 2 7 0 0.07200 0.07400 0.07600 0.07800 0.08000 0.08200 0.08400 2007 2008 2009 2010 Inde k s T he il Tahun Pengamatan

5.1.3 Indeks Atkinson

Alat ukur ketiga yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah dengan menggunakan indeks Atkinson. Penghitungan Indeks Atkinson menggunakan persamaan 3.8 sampai dengan 3.10. Indikator ekonomi pada ukuran ini menekankan pada indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT yang bertujuan untuk mengetahui dampak social welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya kesenjangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota.

Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 5.3 yang menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0,5 sampai dengan 3.

Tabel 5.3 Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan Provinsi NTT, 2007-2010

Tahun

Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan

A(0,5) % A(1) % A(2) % A(3) %

2007 0,03067 0,00 0,05804 0,00 0,10795 0,00 0,14909 0,00 2008 0,03052 -0,50 0,05849 0,77 0,11048 2,35 0,15480 3,83 2009 0,03125 2,38 0,05982 2,27 0,11287 2,17 0,15740 1,68 2010 0,03298 5,53 0,06292 5,19 0,11805 4,59 0,16364 3,97 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.3 menggambarkan kecenderungan peningkatan kesenjangan pendapatan ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola

kesenjangan cenderung berfluktuasi untuk ε=0,5, namun untuk ε=1, ε=2, dan ε=3

semakin besar maka persentase perubahan indeks Atkinson juga semakin besar. Pada tahun 2008 dengan ε=0,5 indeks Atkinson turun 0,5 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 0,77 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,35 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,83 persen. Pada tahun 2009 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 2,38 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 2,27 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,17 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 1,68 persen. Pada tahun 2010 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 5,53 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 5,19 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 4,59 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,97 persen.

Hal ini menunjukkan jika transfer pendapatan masyarakat untuk meningkatkan PDRB per kapita dilakukan hanya pada kabupaten dengan PDRB

Dokumen terkait