• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/Kota Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/Kota Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007-2010"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan negara lain. Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Produk Domestik Bruto (PDB) untuk suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk provinsi dan kabupaten/kota.

Sebuah definisi alternatif pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita (income per capita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif dari pembangunan ini dipandang perlu melihat indikator-indikator sosial yang ada.

(2)

(penurunan pentingnya pertumbuhan ekonomi), pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat pengangguran. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003).

Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga nilai inti (Todaro dan Smith, 2006):

1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) untuk mempertahankan hidup.

2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan harus memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah harus meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu.

3. Kebebasan diri (Freedom from servitude): kebebasan bagi setiap individu untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

(3)

diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara dalam Sjafrizal, 1989). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi mengedepankan PDB atau PDRB sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.

Masalah kesenjangan antarwilayah ini menjadi perhatian utama di negara berkembang yang sedang memacu pembangunan ekonomi. Hal ini karena adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kuznets dalam Todaro dan Smith (2006) bahwa pada tahap pembangunan awal terdapat pertentangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Semakin tinggi usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi, semakin memburuk pula tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terjadi trade off, dimana pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan kesenjangan pendapatan.

(4)

menghasilkan output produksi serta sumber daya manusia yang belum mampu mengolah secara efektif sumber daya alam pada wilayah domestik di luar Jawa.

Disparitas pembangunan antardaerah sebaiknya tidak hanya dilihat dari wilayah Jawa dan luar Jawa atau kawasan barat dan kawasan timur. Perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun regional harus memperhatikan daerah (provinsi) secara parsial karena kita harus menyadari betapa beragamnya potensi dan kemampuan daerah di Indonesia untuk berkembang dengan kekuatan mereka sendiri. Salah satu provinsi di kawasan Indonesia Timur, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Provinsi kepulauan yang dihuni penduduk dengan etnik beragam ini lebih dari seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2010). Hal ini menjadikan Provinsi NTT menduduki peringkat kelima provinsi termiskin dibandingkan provinsi lain di Indonesia pada tahun 2010 (lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi Persentase Penduduk Miskin Peringkat

Papua 36,80 1

Papua Barat 34,88 2

Maluku 27,74 3

Gorontalo 23,19 4

NTT 23,03 5

NTB 21,55 6

Aceh 20,98 7

Lampung 18,94 8

Bengkulu 18,30 9

Sulteng 18,07 10

Indonesia 13,33

Sumber: BPS (diolah), 2010

(5)

Timur (KIT). Dapat dijelaskan pula adanya pembangunan ekonomi yang belum dirasakan secara adil dan merata oleh segenap lapisan masyarakat di KIT.

Permasalahan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT merupakan permasalahan serius yang harus dipandang sebagai tantangan yang senantiasa membutuhkan pemecahan masalah yang menyentuh kepada permasalahan sesungguhnya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diuraikan berbagai permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?

2. Bagaimana dampak kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.

2. Menganalisis dampak kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.

3. Mengetahui klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah dan instansi terkait: dapat memberikan bahan pertimbangan dan masukan sebagai pengambil kebijakan dalam menyusun rencana-rencana atau strategi pembangunan daerah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.

2. Bagi akademisi dan peneliti: dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis: dapat mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan mengenai ekonomi regional.

(7)

Penelitian ini meneliti kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, laju pertumbuhan PDRB, dan jumlah penduduk kabupaten/kota. PDRB atas dasar harga konstan digunakan karena dapat melihat pergerakan kuantum produksi dan tidak memasukkan unsur fluktuasi harga sehingga lebih baik bila digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi.

(8)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedang PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2000).

(9)

ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan apabila dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan barang modal yang dipakai dalam proses produksi, dapat memberikan gambaran tentang tingkat produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan usaha tersebut

Penghitungan PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, antara lain (BPS, 2000):

a. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah tertentu pada periode tertentu (biasanya satu tahun). Nilai tambah merupakan hasil pengurangan output dengan input antara. Unit-unit produksi dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) lapangan usaha (sektor).

PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam sembilan sektor: 1) Pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan

perikanan)

2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan

4) Listrik, Gas dan Air Bersih 5) Konstruksi

(10)

8) Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 9) Jasa-jasa

Untuk tujuan penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan dalam sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer terdiri atas sektor 1 dan 2 (pertanian; pertambangan dan penggalian), sektor sekunder terdiri atas sektor 3, 4 dan 5 (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi) sedangkan sektor tersier terdiri dari sektor 6, 7, 8 dan 9 (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa).

b. Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan), semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup penyusutan dan pajak tak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

c. Pendekatan Pengeluaran

(11)

investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto (Mankiw, 2007). Jika dituliskan ke dalam suatu formula, dimana PDRB disimbolkan dengan Y, maka

Y = C + I + G + NX (2.1) − Konsumsi (C) terdiri barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi

dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa.

− Investasi (I) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan.

− Pembelian pemerintah (G) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat, negara bagian, dan daerah. Kelompok ini meliputi peralatan militer, jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah.

− Ekspor neto (NX) memperhitungkan perdagangan dengan negara lain. Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain.

PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

(12)

akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu untuk keperluan militer atau keperluan lain.

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa (Todaro dan Smith, 2006):

1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3). Kemajuan teknologi.

(13)

(pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).

2.1.3 Teori Pembangunan Ekonomi

(14)

2.1.4 Teori Kesenjangan

Kuncoro (2003) menyatakan bahwa kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Kesenjangan antardaerah disebabkan karena adanya perbedaan faktor anugerah awal. Perbedaan inilah yang menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan di berbagai wilayah berbeda-beda. Terjadinya kesenjangan antardaerah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah yang pada akhirnya menyebabkan kesenjangan pendapatan. Karena itu, aspek kesenjangan pembangunan antardaerah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Menurut Emilia dan Imelia (2006), faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan ekonomi antara lain:

a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah: ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan dengan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah

b. Alokasi investasi: rendahnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

(15)

yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam.

e. Perbedaan kondisi demografis antarwilayah: jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah: tidak lancarnya arus barang dan jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran.

Perbedaaan kemajuan antardaerah berarti tidak samanya kemampuan untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dengan mengemukakan hipotesis “Kurva U Terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.

(16)

memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya kesenjangan pembangunan antardaerah cenderung meningkat karena pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).

2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Bhinadi (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel. Dengan PDRB migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih rendah daripada luar Jawa. Sedangkan dengan PDRB non migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih tinggi daripada luar Jawa.

(17)

tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah yang relatif tertinggal. Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets berlaku di Kabupaten Banyumas. Sedangkan berdasarkan perhitungan analisis korelasi Pearson antara pertumbuhan PDRB dengan indeks Williamson dan indeks Entropy Theil, didapatkan bahwa ada korelasi yang kurang kuat.

Bhakti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional”. Alat analisis yang digunakan adalah indeks Williamson dan Theil. Hasil penelitian mengatakan bahwa tahun 1983-2001 masih terjadi kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami tren kesenjangan antardaerah yang relatif menaik. Kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang mampu mendorong terciptanya peran pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived demand). Secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi stuktural. Kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa cenderung naik.

(18)

Kota Tangerang pada tahun 2002. Sedangkan hasil estimasi menunjukkan variabel aglomerasi dan kapital berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional. Sedangkan variabel tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Caska dan Riadi (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah di Provinsi Riau”. Analisis data yang digunakan antara lain analisis tipologi Klassen, indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan kurva U terbalik. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi kesenjangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson. Sedangkan menurut indeks Entropi Theil, kesenjangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya hipotesis Kuznets tentang kurva U terbalik tidak terbukti di Provinsi Riau.

(19)

Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Perekonomian Antardaerah di Indonesia”. Untuk menganalisis kesenjangan digunakan indeks Williamson dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan digunakan analisis regresi linier berganda. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terjadinya kesenjangan ekonomi antardaerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per kapita DKI Jakarta yang menyebabkan kesenjangan di Pulau Jawa dan tingginya pendapatan per kapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan kesenjangan di luar Jawa.

Saskara (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali’, menggunakan koefisien disparitas yang sudah dimodifikasi oleh Setyarini (1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karangasem merupakan kabupaten yang memiliki kesenjangan yang paling lebar. Sedangkan kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan berada di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.

(20)

angkatan kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Sedangkan alokasi dana pembangunan per kapita berpengaruh positif terhadap kesenjangan.

Prasetyo (2008) melakukan penelitian dengan judul “Kesenjangan dan Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kawasan Barat Indonesia”. Beberapa alat analisis yang digunakan antara lain indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis Location Quotient, dan analisis regresi data panel. Kesenjangan ekonomi di wilayah KBI dari tahun 1995-2007 cukup besar. Kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 tepat pada saat awal-awal mulai diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kesiapan masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dengan model fixed effect ditemukan bahwa infrastruktur panjang jalan, listrik, dan air bersih mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan per kapita.

(21)

Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi” menggunakan tipologi Klassen, indeks Williamson, dan indeks Theil dalam analisisnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan selama desentralisasi relatif meningkat. Hal ini diduga lebih terkait dengan adanya pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten induknya, kesenjangannya tidak meningkat.

Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Regional antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat” menggunakan indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami fluktuasi dan menunjukkan arah negatif jika dibandingkan pada awal penelitian. Menurut tipologi Klassen, pada umumnya kabupaten/kota di Jawa Barat termasuk klasifikasi daerah relatif tertinggal. Sedangkan menurut indeks Williamson dan indeks Entropi Theil kesenjangan antarkabupaten/kota meningkat.

(22)

Riau. Jika tanpa sektor migas, tidak ada kabupaten/kota yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal selama tahun 2009.

Kesenjangan di Provinsi Riau berdasarkan perhitungan indeks Williamson dengan migas sangat tinggi dan jika tanpa migas kesenjangan rendah. Jika menggunakan indeks Theil, Provinsi Riau berada pada tingkat kesenjangan rendah dengan migas ataupun tanpa migas. Kesenjangan tanpa migas jauh lebih rendah daripada kesenjangan dengan migas. Tren kesenjangan dengan migas dan tanpa migas menunjukkan bahwa tiap tahunnya terjadi penurunan kontribusi kesenjangan antarkelompok sehingga di tahun 2009 sudah mulai seimbang antara kontribusi kesenjangan antar kelompok dan inter kelompok.

Indeks Atkinson menunjukkan social welfare loss dengan migas menunjukkan pergerakan yang makin menurun terkecuali pada tahun 2007 ketika terjadi krisis global. Sedangkan bila tanpa migas justru meningkatnya social welfare loss dimulai pada tahun 2005 hingga tahun 2009. Bagi Provinsi Riau, sektor migas memang sangat mempengaruhi perekonomian tetapi sektor migas justru menimbulkan kesenjangan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa sektor migas. Selain kesenjangan yang lebih tinggi, sektor migas juga menyebabkan social welfare loss yang lebih besar bagi masyarakat. Tren kesenjangan tanpa sektor migas terus meningkat tetapi peningkatan tersebut tidak siginifikan dan tidak menyebabkan social welfare loss yang besar.

(23)

analisis indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson. Adapun tipologi Klassen digunakan untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita.

2.2 Kerangka Pemikiran

Salah satu penyebab kesenjangan antardaerah adalah adanya perbedaan potensi dan sumber daya dari masing-masing daerah. Beberapa studi mengatakan bahwa terpusatnya pembangunan nasional di Jawa, khususnya di DKI Jakarta sebagai ibukota negara, turut menjadi penyebab terjadinya kesenjangan di luar Jawa. Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di suatu daerah yang kuat potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menganalisis seberapa besar kesenjangan pembangunan antardaerah di luar Jawa khususnya pada wilayah Provinsi NTT.

(24)

memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan (growth with equity).

Untuk memudahkan dalam mencermati alur pemikiran mengenai penelitian ini, maka alur kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota − Perbedaan potensi daerah di Provinsi NTT − Provinsi NTT menduduki peringkat kelima

provinsi termiskin di Indonesia

− Menganalisis kesenjangan antarkabupaten/kota − Menganalisis social welfare loss

− Mengetahui klasifikasi wilayah kabupaten/kota

Rekomendasi kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan (growth with equity) Indeks

Williamson

Indeks Theil

Tipologi Klassen Indeks

(25)

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000, data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung lainnya. Data yang digunakan ini berupa data deret waktu (series) dari tahun 2007-2010. Penjelasan lebih lengkap mengenai data yang digunakan dalam penelitian ini ada dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Daftar Data yang Digunakan dalam Penelitian

No Data Satuan Sumber

1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Rupiah BPS 2 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Rupiah BPS

3 Jumlah Penduduk Jiwa BPS

4 PDRB per Kapita Rupiah BPS

5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Persen BPS

3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan

(26)

deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu bentuk analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk analisis untuk menjadikan data mudah dikelola.

Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu

gambaran secara umum mengenai kondisi dari Provinsi NTT dilihat dari kondisi

geografis, penduduk, ekonomi, maupun sosial. Variabel-variabel pembangunan

ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat

pertumbuhan ekonomi.

Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2007):

G=PDRB1-PDRB0 PDRB0

× 100% (3.1)

dimana:

G = Laju pertumbuhan ekonomi PDRB1 = PDRB ADHK pada suatu tahun PDRB0 = PDRB ADHK pada tahun sebelumnya

(27)

sektor ekonomi pada suatu tahun dengan total PDRB tahun yang sama. Struktur ekonomi dinyatakan dalam persentase. Penghitungan struktur ekonomi adalah sebagai berikut:

Struktur Ekonomi =PDRB sektor it

Total PDRBt × 100% (3.2)

dimana:

PDRB sektor it = nilai PDRB sektor i pada tahun t Total PDRBt = nilai total PDRB pada tahun t

3.2.2 Analisis Kesenjangan

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa suatu daerah memiliki kesenjangan yang tinggi jika terdapat banyak orang miskin. Akan tetapi, ada juga masyarakat yang berpendapat bahwa suatu daerah mengalami kesenjangan yang tinggi jika ada sekelompok orang kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Pendapat masyarakat tersebut lebih cenderung mengarah ke distribusi pendapatan yang melihat kesenjangan antarkelompok masyarakat, sedangkan untuk kesenjangan pembangunan antardaerah lebih melihat ke perbedaan antardaerah. Berikut ini adalah beberapa ukuran kesenjangan yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Indeks Williamson

(28)

Formula indeks Williamson dapat ditulis sebagai berikut (Williamson dalam Akita and Kataoka, 2003):

��

=

1

� ��

(

� �

�=1

−�

)

2

(3.3)

dimana:

IW = Indeks Williamson

� = PDRB per kapita kabupaten/kota i �� = Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT Pi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i P = Jumlah penduduk Provinsi NTT

Apabila angka indeks kesenjangan Williamson semakin mendekati nol, maka menunjukkan kesenjangan yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukkan semakin mendekati satu maka menunjukkan kesenjangan yang makin melebar. Matolla dalam Puspandika (2007) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah kesenjangan ada pada kesenjangan level rendah, sedang, atau tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:

(29)

Indeks Theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam menghitung dan menganalisis distribusi pendapatan regional. Karakter utama indeks ini adalah kemampuannya untuk melihat terjadinya kesenjangan antarkelompok wilayah (between inequality) dan kesenjangan dalam suatu kelompok wilayah (within inequality) itu sendiri. Nilainya berkisar antara nol sampai dengan satu, dimana nol menyatakan bahwa distribusi PDRB ADHK merata sempurna antarkelompok wilayah, sedangkan apabila mendekati satu artinya distribusi PDRB ADHK tidak merata antarkelompok wilayah.

Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:

a. Sifatnya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim.

b. Independen terhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda.

c. Dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antar kelompok dan intra kelompok daerah secara simultan.

(30)

Formula indeks Theil dituliskan sebagai berikut (Tadjoeddin, 2003):

�= � � ��

� �ln� ��

���= �� +�� (3.4)

�� =� ���� � (3.5)

� =� ��

� � ��� ��

�� � (3.6)

�� =� ���� �������� (3.7)

dimana:

T = Indeks Theil

Tw = Kesenjangan dalam pulau TB = Kesenjangan antarpulau Yij = PDRB kabupaten j, pulau i

Y = Total PDRB Provinsi NTT ( ∑ ∑ � ) �� = PDRB per kapita kabupaten j, pulau i �� = PDRB per kapita Provinsi NTT Yi = PDRB pulau i

(31)

Indeks Atkinson adalah ukuran kesenjangan pendapatan yang dikembangkan oleh ekonom Inggris, Anthony Barnes Atkinson. Ukuran ini mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks ini bisa diubah menjadi pengukuran normatif dengan mengesankan koefisien ε sebagai penimbang pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama.

Indeks Atkinson menggunakan parameter kesenjangan yang dilambangkan dengan ε. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita kabupaten/kota, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota

terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita

(32)

Atkinson dihitung dengan menggunakan parameter kesenjangan ε yang bervariasi dari ε=0,5 , ε=1, ε=2, dan ε=3 dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak kesenjangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengukuran Indeks Atkinson sensitif terhadap perubahan ε sehingga menghasilkan indeks yang bervariasi untuk setiap ε yang berbeda.

(33)

(

) = 1

(3.8)

=

1

∑ �

1−�

1

1−�

, 0 <

< 1

> 1

(3.9)

=

(

)

�1

,

= 1

(3.10)

dimana:

(

)

= Indeks Atkinson

= PDRB per kapita kabupaten/kota

= Level pendapatan EDE

= Parameter kesenjangan � = Jumlah kabupaten/kota

= Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT 3.2.3 Tipologi Klassen

Alat analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu:

(34)

2. Daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), daerah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT. 3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income), adalah daerah

yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tingkat PDRB per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi NTT.

[image:34.595.99.515.30.830.2]

4. Daerah relatif tertinggal (low growth dan low income), adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT.

Tabel 3.2 Klasifikasi menurut Tipologi Klassen ��

��

� < �� � >��

� > �� Kuadran III

Daerah berkembang cepat

Kuadran I

Daerah cepat maju dan cepat tumbuh � < �� Kuadran IV

Daerah relatif tertinggal

Kuadran II

Daerah maju tetapi tertekan Sumber: Prasetyo, 2008

Keterangan:

Rij adalah laju pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT

Yij adalah PDRB per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT

(35)

4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Provinsi NTT sebelumnya lazim disebut dengan “Flobamora” (Flores, Sumba, Timor dan Alor). Sebelum kemerdekaan RI, Flobamora bersama Kepulauan Bali, Lombok dan Sumbawa disebut Kepulauan Sunda Kecil. Namun setelah proklamasi kemerdekaan beralih nama menjadi “Kepulauan Nusa Tenggara”, sampai dengan tahun 1957 Kepulauan Nusa Tenggara merupakan daerah Swatantra Tingkat I (statusnya sama dengan Provinsi sekarang ini). Selanjutnya tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958 Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi 3 Provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian Provinsi Nusa Tenggara Timur keberadaannya adalah sejak tahun 1958 sampai sekarang.

(36)

Memiliki sebanyak 40 sungai dengan panjang antara 25-118 kilometer (BPS, 2010). Sebagai bagian dari negara maritim, Provinsi NTT dikelilingi oleh perairan maupun daratan. Provinsi NTT di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan pulau Sumbawa dan Provinsi NTB, dan di sebelah timur berbatasan dengan negara Timor Leste.

Secara administratif, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008, Provinsi NTT terdiri dari 20 kabupaten, 1 kota, 254 kecamatan, 297 kelurahan dan 2.387 desa.

4.2 Keadaan Ekonomi dan Sosial Provinsi NTT 4.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam melihat kondisi perekonomian suatu daerah di Provinsi NTT. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menggambarkan pertumbuhan nilai produksi wilayah kabupaten/kota secara riil yakni tanpa dipengaruhi komponen harga atau tanpa dipengaruhi nilai inflasi yang dihitung berdasarkan harga tahun dasar yaitu tahun 2000.

(37)
[image:37.595.103.508.165.709.2]

Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Miliar Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 258,72 270,85 284,83 300,69 2. Sumba Timur 613,75 655,13 682,57 715,50 3. Kupang 893,99 931,23 969,88 1.009,56 4. Timor Tengah Selatan 843,14 879,82 915,56 954,25 5. Timor Tengah Utara 416,49 446,62 471,67 498,97

6. Belu 813,19 930,31 974,40 1.022,05

7. Alor 375,48 393,00 409,23 429,13

8. Lembata 134,53 139,37 145,60 152,44 9. Flores Timur 545,45 571,07 590,41 624,82

10. Sikka 742,62 789,83 821,37 858,01

11. Ende 687,85 721,01 757,64 797,81

12. Ngada 344,02 364,56 382,95 403,88

13. Manggarai 512,29 534,94 562,82 595,47 14. Rote Ndao 289,59 315,77 330,54 347,51 15. Manggarai Barat 359,29 381,36 394,79 408,24 16. Sumba Barat Daya 336,00 351,76 369,06 385,17 17. Sumba Tengah 91,97 94,60 97,56 101,20

18. Nagekeo 266,47 280,66 293,95 307,23

19. Manggarai Timur 338,83 350,93 369,28 385,78 20. Sabu Raijua 126,17 128,89 136,32 146,97 21. Kota Kupang 1.860,99 2.000,22 2.122,33 2.296,92 NTT 10.850,85 11.531,95 12.082,77 12.741,62 Sumber: BPS, 2011

(38)

Sumba Tengah merupakan kabupaten baru yang berasal dari pemekaran kabupaten Sumba Barat. Adapun yang memiliki kontribusi terbesar kedua adalah kabupaten Belu (1.022,05 miliar rupiah atau 8,02 persen dari PDRB NTT) dan terbesar ketiga adalah kabupaten Kupang (1.009,56 miliar rupiah atau 7,92 persen dari PDRB NTT) pada tahun 2010.

Jika dilihat dari nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 sampai 2009 masih menunjukkan gambaran yang hampir sama dengan tahun 2010.

4.2.2 PDRB per Kapita

PDRB per kapita menunjukkan kemampuan nyata dari suatu wilayah dalam menghasilkan barang/jasa dan kemakmuran yang diperoleh setiap penduduk (per kapita). Meskipun PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah, namun PDRB per kapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut.

(39)
[image:39.595.102.508.154.598.2]

Tabel 4.2 PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 2,35 2,40 2,47 2,55

2. Sumba Timur 2,62 2,74 2,84 2,96

3. Kupang 2,58 2,92 3,03 3,16

4. Timor Tengah Selatan 1,93 1,98 1,96 2,02 5. Timor Tengah Utara 1,92 1,91 1,98 2,06

6. Belu 1,82 2,76 2,82 2,90

7. Alor 2,00 2,03 2,10 2,11

8. Lembata 1,22 1,19 1,21 1,24

9. Flores Timur 2,23 2,41 2,46 2,57

10. Sikka 2,59 2,55 2,62 2,70

11. Ende 2,82 2,67 2,78 2,89

12. Ngada 2,50 2,52 2,59 2,69

13. Manggarai 1,98 1,81 1,86 1,93

14. Rote Ndao 2,53 2,73 2,73 2,75

15. Manggarai Barat 1,72 1,72 1,73 1,75 16. Sumba Barat Daya 1,24 1,22 1,25 1,27

17. Sumba Tengah 1,45 1,49 1,50 1,53

18. Nagekeo 2,06 2,11 2,17 2,22

19. Manggarai Timur 1,23 1,35 1,39 1,42

20. Sabu Raijua 2,32 2,09 1,97 1,92

21. Kota Kupang 5,51 5,46 5,61 5,91

NTT 2,30 2,42 2,48 2,56

Sumber: BPS (diolah), 2011

(40)

Kondisi ini disebabkan karena kontribusi PDRB di sektor jasa yang cukup signifikan. Sedangkan PDRB per kapita terendah ditunjukkan oleh Kabupaten Lembata (1,24 juta rupiah) dibandingkan dengan PDRB per kapita Provinsi NTT maupun dengan PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT pada tahun 2010.

4.2.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dihitung berdasarkan persamaan 3.1 mengalami fluktuasi (Tabel 4.3). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT relatif meningkat dari tahun 2007-2010. Hanya saja pada tahun 2009, rata-rata laju pertumbuhan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Lambatnya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dipengaruhi adanya krisis moneter (keuangan) global pada tahun 2008.

(41)

Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 Rataan 1. Sumba Barat 7,87 4,69 5,16 5,57 5,82 2. Sumba Timur 4,74 6,74 4,19 4,83 5,12

3. Kupang -9,56 4,16 4,15 4,09 0,71

4. Timor Tengah Selatan 3,86 4,35 4,06 4,23 4,13 5. Timor Tengah Utara 3,02 7,23 5,61 5,79 5,41

6. Belu 5,77 14,40 4,74 4,89 7,45

7. Alor 4,93 4,67 4,13 4,86 4,65

8. Lembata 5,76 3,60 4,47 4,70 4,63

9. Flores Timur 3,49 4,70 3,39 5,83 4,35

10. Sikka 1,91 6,36 3,99 4,46 4,18

11. Ende 2,93 4,82 5,08 5,30 4,53

12. Ngada 5,19 5,97 5,05 5,46 5,42

13. Manggarai 6,91 4,42 5,21 5,80 5,59

14. Rote Ndao 2,00 9,04 4,68 5,14 5,21

15. Manggarai Barat 4,29 6,14 3,52 3,41 4,34 16. Sumba Barat Daya 6,00 4,69 4,92 4,37 4,99 17. Sumba Tengah 6,00 2,86 3,13 3,73 3,93

18. Nagekeo 4,59 5,32 4,74 4,52 4,79

19. Manggarai Timur 1,43 3,57 5,23 4,47 3,67 20. Sabu Raijua 0,01 2,16 5,76 7,82 3,93 21. Kota Kupang 10,96 7,48 6,10 8,23 8,19

Rataan 3,91 5,59 4,63 5,12 4,81

Sumber: BPS (diolah), 2011

(42)

4.2.4 Struktur Ekonomi

(43)
[image:43.595.103.498.157.535.2]

Tabel 4.4 Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (persen)

LAPANGAN USAHA 2007 2008 2009 2010

Sektor Primer 41,64 41,73 40,82 39,77

1. Pertanian 40,27 40,39 39,51 38,45

2. Pertambangan dan Penggalian

1,37 1,34 1,31 1,32

Sektor Sekunder 9,20 8,88 8,90 8,93

3. Industri Pengolahan 1,70 1,59 1,55 1,54 4. Listrik, Gas dan Air

Bersih

0,44 0,41 0,42 0,42

5. Konstruksi 7,06 6,88 6,93 6,97

Sektor Tersier 49,16 49,39 50,28 51,30

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

15,99 15,70 16,09 16,76 7. Pengangkutan dan

Komunikasi

6,22 6,17 6,08 5,78 8. Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan

3,90 3,91 3,99 4,07

9. Jasa-Jasa 23,05 23,61 24,12 24,69

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS (diolah), 2011

(44)

yang tepat karena umumnya sektor pertanian dalam pengelolaannya dapat dengan teknologi yang sederhana dan modal yang relatif kecil.

Berdasarkan komposisi nilai PDRB, dapat diketahui bahwa sektor yang memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor pertanian (38,45 persen). Kontribusi sektor pertanian mengalami fluktuatif dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, begitu pula secara absolut PDRB sektor pertanian terus mengalami fluktuatif. Tingginya peran sektor pertanian ini, didukung oleh beberapa subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan dari masing-masing daerah dalam meningkatkan nilai tambah.

Sektor kedua yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor jasa-jasa (24,69 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2007-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor pemerintahan umum.

Adapun sektor ketiga yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (16,76 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2008-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor perdagangan besar dan eceran.

4.2.5 Jumlah Penduduk

(45)

total penduduk Indonesia) dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak (9,42 persen dari total penduduk Provinsi NTT) sedangkan Kabupaten Sumba Tengah adalah kabupaten yang paling sedikit jumlah penduduknya (1,33 persen dari total penduduk Provinsi NTT).

Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Kota Kupang tetap menjadi kota terpadat (12.843 jiwa per kilometer persegi) dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Sebaliknya, Kabupaten Sumba Timur merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 33 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2010.

4.2.6 Keadaan Sosial

(46)
[image:46.595.102.505.122.537.2]

Tabel 4.5 Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTT Tahun 2010

Kabupaten/Kota Persentase Penduduk Miskin Peringkat

1. Sabu Raijua 41,16 1

2. Sumba Tengah 34,05 2

3. Rote Ndao 32,81 3

4. Sumba Timur 32,42 4

5. Sumba Barat 31,73 5

6. Sumba Barat Daya 29,88 6

7. Timor Tengah Selatan 28,71 7

8. Lembata 26,76 8

9. Manggarai Timur 25,94 9

10. Manggarai 22,91 10

11. Timor Tengah Utara 22,73 11

12. Ende 21,65 12

13. Alor 21,17 13

14. Kupang 20,79 14

15. Manggarai Barat 20,40 15

16. Belu 15,48 16

17. Sikka 13,38 17

18. Nagekeo 12,70 18

19. Ngada 12,05 19

20. Kota Kupang 10,57 20

21. Flores Timur 9,61 21

Sumber: BPS (diolah), 2011

(47)
[image:47.595.94.516.97.803.2]

Timur, yakni sebesar 9,61 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Hal ini mengindikasikan adanya pemerataan pembangunan yang dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat Kabupaten Flores Timur.

(48)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesenjangan

Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Oleh karena itu, dalam analisis ini peneliti melakukan perhitungan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT untuk mengetahui perkembangan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT pada periode pengamatan 2007-2010.

5.1.1 Indeks Williamson

(49)

TAHUN IW

2007 0,4532

2008 0,4483

2009 0,4552

2010 0,4721

RATA-RATA 0,4572

Sumber: BPS (diolah), 2011

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007-2010, rata-rata kesenjangan di Provinsi NTT sebesar 0,4572 dan termasuk kategori kesenjangan level sedang. Sepanjang tahun 2007 terjadi kesenjangan sebesar 0,4532 dan terjadi penurunan kesenjangan selama periode tahun 2008 menjadi 0,4483. Adapun terjadi peningkatan kesenjangan pada tahun 2009 dan 2010 dimana masing-masing secara berurutan menjadi sebesar 0,4552 dan 0,4721.

Gambar 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 0 .4 5 3 2

0 .4 4 8 3 0 .4 5 5 2

0 .4 7 2 1

0.4350 0.4400 0.4450 0.4500 0.4550 0.4600 0.4650 0.4700 0.4750

2007 2008 2009 2010

[image:49.595.104.508.83.824.2]
(50)

Tren kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT selama periode pengamatan mengalami fluktuasi (Gambar 5.1). Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan dari tahun 2007-2008, kesenjangan di Provinsi NTT cenderung mengalami penurunan, namun pada kurun waktu 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kesenjangan ini salah satunya diakibatkan karena adanya krisis global yang berimplikasi pada krisis keuangan pada tahun 2008 yang melanda Indonesia sehingga Provinsi NTT tidak luput dari pengaruh krisis ini, faktor lain yakni tingginya konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Kupang sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan sektor ekonomi lainnya semakin memicu kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.

5.1.2 Indeks Theil

(51)

Tahun

Antar pulau Dalam pulau Total Theil persen Theil persen Theil persen 2007 0,02216 28,15 0,05658 71,85 0,07874 100 2008 0,03210 42,08 0,04418 57,92 0,07628 100 2009 0,03228 41,30 0,04588 58,70 0,07816 100 2010 0,03350 40,51 0,04920 59,49 0,08270 100 RATA-RATA 0,03001 38,00 0,04896 62,00 0,07897 100 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kesenjangan antarpulau dan kesenjangan dalam pulau memberikan kontribusi yang cukup berbeda terhadap kesenjangan total di Provinsi NTT. Kesenjangan antarpulau menyumbang sekitar 38 persen dari total kesenjangan Provinsi NTT, sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari kesenjangan dalam pulau. Hal ini berarti pola kesenjangan di Provinsi NTT menyebar tidak merata baik dari level kesenjangan antarpulau maupun kesenjangan dalam pulau serta adanya indikasi kesenjangan dalam pulau lebih besar dibandingkan kesenjangan antarpulau. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis dalam pulau yang meliputi beberapa kabupaten/kota sehingga faktor kelimpahan sumber daya alam cukup berbeda antarkabupaten/kota dalam satu pulau.

(52)
[image:52.595.99.515.16.815.2]

Gambar 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010

Perbedaan kondisi geografis merupakan faktor pemicu tingginya kesenjangan baik antarpulau maupun dalam pulau. Adapun pulau Flores, kontribusi sektor pertanian sangat dominan dalam pembentukan PDRB. Sedangkan pulau Timor, sektor jasa-jasa mendominasi lantaran kota Kupang sebagai ibukota provinsi terletak di dalam pulau Timor. Begitu pun pulau Sumba hampir sama dengan pulau Flores dengan didominasi kondisi alam yang subur sehingga sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Namun nilainya masih lebih kecil dibandingkan hasil pertanian pulau Flores.

0 .0 7 8 7 4

0 .0 7 6 2 8

0 .0 7 8 1 6 0 .0 8 2 7 0

0.07200 0.07400 0.07600 0.07800 0.08000 0.08200 0.08400

2007 2008 2009 2010

Inde

k

s T

he

il

(53)

Alat ukur ketiga yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah dengan menggunakan indeks Atkinson. Penghitungan Indeks Atkinson menggunakan persamaan 3.8 sampai dengan 3.10. Indikator ekonomi pada ukuran ini menekankan pada indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT yang bertujuan untuk mengetahui dampak social welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya kesenjangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota.

[image:53.595.104.517.67.694.2]

Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 5.3 yang menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0,5 sampai dengan 3.

Tabel 5.3 Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan Provinsi NTT, 2007-2010

Tahun

Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan

A(0,5) % A(1) % A(2) % A(3) %

2007 0,03067 0,00 0,05804 0,00 0,10795 0,00 0,14909 0,00 2008 0,03052 -0,50 0,05849 0,77 0,11048 2,35 0,15480 3,83 2009 0,03125 2,38 0,05982 2,27 0,11287 2,17 0,15740 1,68 2010 0,03298 5,53 0,06292 5,19 0,11805 4,59 0,16364 3,97 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.3 menggambarkan kecenderungan peningkatan kesenjangan pendapatan ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola

kesenjangan cenderung berfluktuasi untuk ε=0,5, namun untuk ε=1, ε=2, dan ε=3

(54)

Selama periode pengamatan memunculkan adanya indikasi ε yang semakin besar maka persentase perubahan indeks Atkinson juga semakin besar. Pada tahun 2008 dengan ε=0,5 indeks Atkinson turun 0,5 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 0,77 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,35 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,83 persen. Pada tahun 2009 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 2,38 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 2,27 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,17 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 1,68 persen. Pada tahun 2010 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 5,53 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 5,19 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 4,59 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,97 persen.

Hal ini menunjukkan jika transfer pendapatan masyarakat untuk meningkatkan PDRB per kapita dilakukan hanya pada kabupaten dengan PDRB per kapita terkecil saja maka kesenjangan akan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena kesenjangan di Provinsi NTT rendah atau cenderung merata, sehingga mekanisme transfer justru akan memperbesar tingkat kesenjangan jika dilakukan tidak tepat sasaran.

(55)

terdapat social welfare loss sebesar 5,80 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 5,85 persen dan kembali meningkat menjadi 5,98 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 6,29 persen pada tahun 2010.

Tahun 2007 dengan ε=2 indeks Atkinson sebesar 0,1079 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 10,79 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 11,05 persen dan kembali meningkat menjadi 11,29 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 11,80 persen pada tahun 2010.

(56)

5.2 Tipologi Klassen

Klasifikasi daerah dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto per kapita daerah. Sumbu horizontalnya (sumbu-x) adalah rata-rata produk domestik regional bruto per kapita, sedangkan sumbu vertikalnya (sumbu-y) adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi seperti yang disajikan oleh Gambar 5.3.

Keterangan:

1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Kupang

4. Kabupaten Timor Tengah Selatan 5. Kabupaten Timor Tengah Utara 6. Kabupaten Belu

7. Kabupaten Alor 8. Kabupaten Lembata 9. Kabupaten Flores Timur 10.Kabupaten Sikka

11. Kabupaten Ende 12. Kabupaten Ngada 13. Kabupaten Manggarai 14. Kabupaten Rote Ndao 15. Kabupaten Manggarai Barat 16. Kabupaten Sumba Barat Daya 17. Kabupaten Sumba Tengah 18. Kabupaten Nagekeo

[image:56.595.97.513.190.810.2]

19. Kabupaten Manggarai Timur 20. Kabupaten Sabu Raijua 21. Kota Kupang

Gambar 5.3 Tipologi Klassen Provinsi NTT Tahun 2007-2010 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 20 18

19 17

21 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

P e rt um buha n E k o no m i ( pe rs e n)

(57)

menggunakan tipologi Klassen. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa empat klasifikasi kabupaten/kota yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tetapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal. Alat analisis ini sangat berguna untuk berbagai pihak terutama pemerintah dalam hal menentukan kebijakan pembangunan bagi daerah tertinggal maupun daerah maju. Adapun Tabel 5.4 menampilkan hasil alat analisis tipologi Klassen.

Tabel 5.4. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Kuadran I. Kabupaten/kota cepat maju dan cepat tumbuh

1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Belu

4. Kabupaten Ngada 5. Kabupaten Rote Ndao 6. Kota Kupang

Kuadran II. Kabupaten/kota maju tetapi tertekan 1. Kabupaten Kupang

2. Kabupaten Flores Timur 3. Kabupaten Sikka

4. Kabupaten Ende

Kuadran III. Kabupaten/kota berkembang cepat 1. Kabupaten Timor Tengah Utara

2. Kabupaten Manggarai

3. Kabupaten Sumba Barat Daya

Kuadran IV. Kabupaten/kota relatif tertinggal 1. Kabupaten Timor Tengah Selatan

2. Kabupaten Alor 3. Kabupaten Lembata

4. Kabupaten Manggarai Barat

5.Kabupaten Sumba Tengah 6. Kabupaten Nagekeo

7. Kabupaten Manggarai Timur 8. Kabupaten Sabu Raijua Sumber: BPS (diolah), 2011

(58)

Timor yaitu Kota Kupang, Kabupaten Belu dan Rote Ndao, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur serta Pulau Flores adalah Kabupaten Ngada.

Adapun yang termasuk dalam Kuadran II atau klasifikasi daerah maju tetapi tertekan adalah kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Kupang serta Pulau Flores adalah Kabupaten Flores Timur, Sikka dan Ende.

Pada Kuadran III atau klasifikasi daerah berkembang cepat adalah kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat Daya serta Pulau Flores adalah Kabupaten Manggarai.

Pada Kuadran IV atau daerah relatif tertinggal antara lain kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor dan Sabu Raijua, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Tengah serta Pulau Flores adalah Kabupaten Lembata, Manggarai Barat, Nagekeo dan Manggarai Timur.

(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis dan pembahasan yang diuraikan di atas, yaitu:

1. Berdasarkan analisis indeks Williamson dapat disimpulkan bahwa kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT menunjukkan kesenjangan dengan level sedang.

2. Berdasarkan analisis indeks Theil dapat disimpulkan bahwa kesenjangan antarpulau dan dalam pulau di Provinsi NTT memberikan kontribusi yang cukup berbeda terhadap kesenjangan total di Provinsi NTT dimana kesenjangan dalam pulau lebih besar daripada antarpulau.

3. Berdasarkan analisis indeks Atkinson dapat disimpulkan bahwa penggunaan parameter kesenjangan yang bervariasi dan makin besar dalam pengukuran indeks Atkinson di Provinsi NTT menunjukkan social welfare loss yang makin tinggi persentasenya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi distribusi perekonomian yang kurang merata antarkabupaten/kota. 4. Berdasarkan analisis tipologi Klassen bahwa kabupaten/kota di Provinsi

(60)

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan beberapa saran yang dapat digunakan antara lain:

1. Basis ekonomi antardaerah perlu mendapatkan perhatian serius. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu seperti Kota Kupang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antardaerah. Oleh karena itu, perlu adanya pemisahan antara pemerintahan, industri, dan perdagangan.

2. Diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara kabupaten/kota, terutama dalam satu pulau untuk mengejar ketertinggalan pembangunan antarwilayah.

3. Diperlukan upaya terencana dan berkesinambungan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan (growth with equity) khususnya bagi daerah relatif tertinggal dengan strategi penanggulangan kemiskinan dan membuka isolasi daerah serta bagi daerah yang cepat maju dan berkembang dengan strategi menarik investasi dan promosi daerah.

(61)

5. Hasil penelitian ini akan lebih berarti bilamana dikaitkan dengan masalah-masalah sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan, kesehatan, angkatan kerja, dan lain-lain. Untuk itu penulis menyarankan adanya penelitian lanjutan yang diharapkan dapat meninjau berbagai isu yang berkembang secara lebih luas dan mendalam.

(62)

OLEH DWI WIDIANIS

H14114006

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(63)

Akita, T. dan Kataoka, M. 2003. Regional Income Inequality in the Post War Japan. 43rd Congress of the European Regional Science Association, Jyvaskyla, Finland.

Badan Pusat Statistik. 2000. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB Kabupaten/Kotamadya: Pengertian Dasar: Buku 1, Jakarta.

_______. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2006-2010, Jakarta.

_______. 2011. Provinsi NTT Dalam Angka 2011, Kupang.

Bhakti, A.S.A.S. 2004. Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Bhakti, D. 2009. Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bhinadi, A. 2002. “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 1: 39-48.

Caska dan RM. Riadi. 2005. “Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau”. Universitas Riau, Pekanbaru. Chrisyanto, C. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan

Perekonomian antar Daerah di Indonesia [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Emilia dan Imelia. 2006. Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi, Jambi.

Hartono, B. 2008. Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah [thesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Jhingan, M.L. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers, Jakarta.

(64)

Banten [tesis]. Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.

Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Erlangga, Jakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Erlangga, Jakarta.

Masli, L. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat”. Jurnal Sains Manajemen dan Akuntansi STIE STAN-IM. Volume 1, Nomor 1.

Prasetyo, R.B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prayitno, H. dan Santosa, B. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Priyanto, A. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rani, I. 2010. Analisis Kesenjangan Antar Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2003-2009 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saskara, I.A. 2007. “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi antar Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. Forum Manajemen, Volume 5, Nomor 1: 91-97.

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar

Kebijakan. Kencana, Jakarta.

Sutarno dan Kuncoro, M. 2003. “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas”. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 2:97-110.

Tadjoeddin, M.Z. 2003. Aspiration To Inequality:Regional Disparity And Centre-Regional Conflicts In Indonesia. United Nations University, Tokyo. Todaro, M.P. dan Smith, S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi ke-9.

(65)
(66)

Lampiran 1. PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Ribuan Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 258 724 281 270 845 961 284 833 614 300 689 305

02. Sumba Timur 613 747 205 655 129 170 682 566 495 715 503 256

03. Kupang 893 994 097 931 228 823 969 884 266 1 009 559 914

04. Timor Tengah Selatan 843 141 848 879 824 457 915 563 193 954 254 063

05. Timor Tengah Utara 416 490 563 446 618 972 471 674 665 498 973 627

06. Belu 813 192 871 930 308 528 974 399 443 1 022 047 575

07. Alor 375 478 311 393 004 420 409 230 966 429 126 052

08 Lembata 134 531 011 139 373 023 145 601 650 152 442 886

09. Flores Timur 545 452 835 571 071 851 590 406 007 624 823 820

10. Sikka 742 620 526 789 829 978 821 368 532 858 010 697

11. Ende 687 847 648 721 013 207 757 636 747 797 813 736

12. Ngada 344 018 401 364 558 873 382 952 040 403 877 478

13. Manggarai 512 290 661 534 940 484 562 824 316 595 465 072

14. Rote Ndao 289 588 841 315 767 780 330 535 075 347 514 765

15. Manggarai Barat 359 292 993 381 360 920 394 786 689 408 240 521

16. Sumba Barat Daya 336 001 310 351 760 247 369 056 691 385 171 150

17. Sumba Tengah 91 974 290 94 601 783 97 560 600 101 201 013

18. Nagekeo 266 471 474 280 658 172 293 953 663 307 230 579

19. Manggarai Timur 338 828 125 350 932 191 369 281 727 385 779 493

20.Sabu Raijua 126 167 724 128 893 259 136 316 617 146 970 436

(67)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 2 352 015 2 396 394 2 465 661 2 551 957 02. Sumba Timur 2 624 867 2 736 336 2 836 951 2 955 315 03. Kupang 2 575 958 2 916 833 3 033 265 3 158 800 04. Timor Tengah Selatan 1 926 646 1 975 321 1 960 668 2 018 023 05. Timor Tengah Utara 1 917 171 1 906 156 1 975 611 2 060 907 06. Belu 1 817 603 2 756 943 2 823 045 2 901 096 07. Alor 1 999 153 2 032 974 2 095 981 2 109 751 08 Lembata 1 220 903 1 187 184 1 208 361 1 235 620 09. Flores Timur 2 228 676 2 413 263 2 457 442 2 565 480 10. Sikka 2 593 721 2 551 773 2 617 544 2 700 271 11. Ende 2 817 419 2 674 232 2 776 697 2 892 558 12. Ngada 2 504 356 2 520 700 2 594 285 2 686 971 13. Manggarai 1 984 097 1 806 502 1 861 688 1 931 963 14. Rote Ndao 2 533 486 2 734 680 2 729 155 2 745 812 15. Manggarai Barat 1 715 351 1 724 102 1 734 783 1 747 190 16. Sumba Barat Daya 1 244 848 1 223 261 1 249 888 1 273 525 17. Sumba Tengah 1 453 660 1 485 818 1 499 683 1 525 668 18. Nagekeo 2 064 290 2 110 796 2 171 981 2 220 711 19. Manggarai Timur 1 231 550 1 348 380 1 389 005 1 423 059 20.Sabu Raijua 2 320 697 2 086 011 1 970 714 1 919 513 21. Kota Kupang 5 513 319 5 463 599 5 606 575 5 907 672

(68)

OLEH DWI WIDIANIS

H14114006

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(69)

DWI WIDIANIS. Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007-2010 (dibimbing oleh IRFAN SYAUQI BEIK).

Kesenjangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi pembangunan secara merata sehingga tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari angka kemiskinan yang menunjukkan Provinsi NTT merupakan provinsi yang menduduki peringkat kelima provinsi termiskin di Indonesia dengan penduduk lebih dari seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesenjangan pendapatan antarkabupaten/kota dan kelompok kepulauan, menganalisis dampak kesenjangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) dan mengklasifikasikan kabupaten/kota menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Provinsi NTT. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000, data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung lainnya. Periode pengamatan penelitian ini adalah tahun 2007-2010. Penelitian ini menggunakan metode analisis antara lain: analisis deskriptif, indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi Klassen.

(70)

Oleh DWI WIDIANIS

H14114006

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(71)

NRP : H14114006

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Irfan Syauqi Beik, Ph.D. NIP. 19790422 200604 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

(72)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, November 2011

(73)

dan Tonah, yang dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1982 di kota Surabaya, Provinsi Jawa

Timur. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan

sekolah dasar pada SDN Sidotopo Wetan IV No. 558 Surabaya dan lulus pada tahun 1995.

Pada tahun y

Gambar

Tabel 3.2 Klasifikasi menurut Tipologi Klassen
Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota
Tabel 4.2 PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Tabel 4.4 Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (persen)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter

Hasil dari perhitungan algoritma gajah mada dinyatakan stroke hemoragik (perdarahan intraserebral) jika didapatkan ketiganya (+)/2 dari 3 kriteria (+), jika

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan keagamaan Islam adalah usaha yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang berhubungan dengan agama

kepekatan bahan/ larutan yang rendah Arah pergerakan bahan Dari kawasan kepekatan larutan yang rendah ke kawasan kepekatan larutan yang tinggi. Berdasarkan kepada

dikatakan bahwasanya Kreativitas merupakan kemampuan seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan prestasi yang istimewa dalam menciptakan hal-hal

Selangor yang sangat tinggi dengan nilai purata yang diperolehi bagi kedua-dua titik persampelan meletakkan tahap kualiti air daripada segi COD berada dalam Kelas IV.. Keadaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen pada minimarket di Semarang, maka dapat

Anggun Cipta Sasmi mempunyai pengalaman yang memadai berkaitan dengan shampo pantene pro-v sehingga layak menjadi model iklan shampo pantene pro-v.. 1 2 3 4