• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Analisis Karakteristik Psikometri

2. Indeks Diskriminasi Aitem

a. Pengertian Indeks Diskriminasi Aitem

Indeks diskriminasi aitem merupakan kemampuan aitem dalam membedakan antara individu yang memiliki atribut psikologis yang diukur dengan individu yang tidak memiliki atribut psikologis yang diukur (Azwar, 2007). Murphy dan Davidshofer (2003) mengatakan bahwa aitem yang baik akan mampu membedakan kelompok individu yang mampu dan yang tidak mampu mengerjakan suatu tes dengan baik. Artinya, aitem dengan indeks diskriminasi yang baik harus dapat dijawab dengan benar oleh hampir seluruh kelompok individu yang memiliki atribut, dan dijawab dengan salah oleh hampir sebagian besar kelompok individu yang tidak memiliki atribut.

Menurut Azwar (2007), secara sederhana dapat dikatakan bahwa indeks diskriminasi aitem merupakan suatu harga yang menunjukkan perbedaan proporsi penjawab aitem dengan benar antara kelompok dengan kemampuan tinggi dengan kelompok dengan kemampuan rendah. Indeks diskriminasi aitem disimbolkan oleh d dengan rumus:

d = niT/NT– niR/NR (9) Keterangan:

niT = Jumlah peserta dari kelompok tinggi yang menjawab aitem dengan benar NT = Jumlah peserta dari kelompok tinggi

niR = Jumlah peserta dari kelompok rendah yang menjawab item dengan benar NR = Jumlah peserta dari kelompok rendah

Karena ni/N= p, maka dapat juga dirumuskan dengan:

d = pT-pR (10)

Keterangan:

pT = Indeks kesukaran item kelompok tinggi pR = Indeks kesukaran item kelompok rendah

Pada penelitian ini indeks diskriminasi aitem dapat diartikan sebagai kemampuan aitem dalam membedakan individu yang memiliki kemampuan berpikir praktis dalam berhitung, berpikir induktif, reasoning, dan kemampuan mengambil kesimpulan dengan individu yang tidak memiliki kemampuan tersebut.

b. Analisis Indeks Diskriminasi Aitem

Diskriminasi aitem yang maksimal akan dicapai dalam kondisi ketika seluruh subjek kelompok tinggi dapat menjawab aitem dengan benar dan seluruh subjek kelompok rendah tidak mampu untuk menjawabnya, dalam hal ini akan diperoleh harga d = 1. Secara matematik indeks diskriminasi aitem akan berkisar mulai dari -1 sampai dengan +1. Namun demikian hanya harga d yang bernilai positif saja yang memiliki arti dalam analisis aitem (Azwar, 2007).

Harga d yang berada disekitar 0 menunjukkan bahwa aitem yang bersangkutan mempunyai diskriminasi yang rendah sedangkan harga d yang negatif menunjukkan bahwa aitem yang bersangkutan tidak berguna sama sekali bahkan bisa menyesatkan.

Indeks diskriminasi aitem yang ideal adalah yang mendekati angka 1, semakin besar indeks diskriminasi (semakin mendekati 1) berarti aitem tersebut

mereka yang tidak menguasainya. Semakin kecil diskriminasi aitem (semakin mendekati 0) berarti semakin tidak jelaslah fungsi aitem yang bersangkutan dalam membedakan mana subjek yang menguasai materi yang diujikan dan subjek yang tidak tahu apa-apa (Azwar,2007).

Ebel (dalam Azwar, 2007) terdapat suatu panduan dalam evaluasi indeks diskriminasi aitem, yaitu :

Tabel 2. Evaluasi Indeks Diskriminasi Aitem

d Evaluasi

0,4 atau lebih Bagus sekali

0,3 - 0,39 Lumayan bagus, tidak membutuhkan revisi 0,2 – 0,29 Belum memuaskan, perlu revisi

d < 0,20 Jelek dan harus dibuang

Thorndike (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa dalam proses seleksi aitem, aitem-aitem yang memiliki nilai diskriminasi aitem di atas 0,50 akan langsung dianggap baik sedangkan aitem-aitem dengan indeks diskriminasi di bawah 0,20 dapat langsung dibuang dan dianggap jelek.

Menurut Murphy dan Davidshofer (2003) ada tiga cara statsistik yang dapat digunakan untuk mengukur indeks diskriminasi aitem, yaitu:

1)Metode kelompok ekstrim

Metode kelompok ekstrim merupakan cara yang mudah untuk mengukur indeks diskriminasi aitem pada kelompok yang besar. Indeks diskriminasi aitem dapat dihitung dengan cara membagi kelompok menjadi dua, Upper group yakni kelompok yang memiliki skor yang tinggi (25-35 % nilai tertinggi didalam kelompok) dan lower group yakni kelompok yang memiliki nilai yang rendah (25-35 % nilai terendah dalam kelompok). Aitem yang memiliki indeks

diskriminasi aitem yang baik akan dijawab benar oleh upper group dan dijawab salah oleh lower group.

2)Korelasi aitem-total

Korelasi aitem-total memberikan informasi tentang apakah aitem mengukur hal yang sama dengan tes. Korelasi aitem-total untuk aitem yang diskor 1 jika benar dan 0 jika salah sering juga disebut korelasi poin biserial. Artinya, korelasi poin biserial digunakan apabila aitem-aitem dalam tes berbentuk dikotomi dan dengan skor total berupa data kontinyu. Nilai positif menunjukkan bahwa aitem dan tes mengukur hal yang sama, nilai mendekati nol menunjukkan bahwa bahwa aitem tidak memiliki indeks diskriminasi yang baik sehingga upper group menjawab pertayaan dengan salah dan lower group menjawab pertanyaan dengan benar.

3)Korelasi inter-aitem

Korelasi inter-aitem digunakan untuk memahami indeks diskriminasi aitem. Korelasi inter-aitem tidak menjelaskan mengapa beberapa aitem menunjukkan nilai yang tinggi ataupun rendah karena sangat jelas bahwa aitem yang memiliki nilai korelasi aitem total yang positif akan menunjukkan nilai yang positif juga pada kebanyakan aitemnya. Namun korelasi aitem total tidak dapat menjelaskan mengapa korelasi aitem total dapat bernilai negatif. Dan dalam hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan korelasi inter-aitem.

Korelasi inter-aitem dapat membantu dalam memahami mengapa beberapa aitem gagal dalam membedakan subjek yang memiliki kemampuan dengan subjek

salah dan subjek dari lower group dapat menjawab dengan benar.

Korelasi inter-aitem yang bernilai rendah dapat memiliki dua arti, kemungkinan pertama adalah aitem tidak mengukur hal yang sama dengan tes, sehingga aitem harus dibuang atau dibuat ulang, kemungkinan kedua adalah aitem memang mengukur atribut yang berbeda dengan tes dikarenakan tes memang disusun untuk mengukur dua atribut yang berbeda.

Pada penelitian ini indeks diskriminasi aitem akan dianalisis dengan metode korelasi aitem-total untuk melihat apakah aitem memang mengukur kemampuan berpikir praktis dalam berhitung, berpikir induktif, reasoning, dan kemampuan mengambil kesimpulan yang sama dengan semua aitem pada subtes RA atau aitem juga mengukur atribut yang berbeda pada subtes RA. Rumus korelasi aitem-total yang digunakan adalah korelasi point biserial dengan pertimbangan bahwa aitem pada subtes RA memiliki skor dikotomi, yaitu diskor 1 jika benar dan 0 jika salah, serta skor total subjek berbentuk data kontinyu. Indeks diskriminasi yang dikatakan baik dalam penelitian ini didasari pada evaluasi Ebel

(dalam Azwar, 2007), yaitu ≥ 0,4 dengan evaluasi bagus sekali. 3. Reliabilitas Alat Ukur

a. Pengertian Reliabilitas

Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang menyatakan keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan sebagainya, namun pada intinya konsep reliabilitas memiliki makna sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2005). Menurut Anastasi &

Urbina (2006) reliabilitas suatu tes merujuk pada konsistensi skor yang di peroleh oleh individu yang sama ketika diberikan tes ulang yang sama atau seperangkat tes yang ekivalen dengan tes sebelumnya pada kondisi yang berbeda. Suryabrata (2005) menyatakan bahwa reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya, yang mana hal ini ditunjukkan oleh taraf konsistensi skor yang diperoleh para subjek yang diukur dengan alat yang sama atau minimal setara, dalam kondisi yang berbeda. Oleh sebab itu, konsepsi mengenai reliabilitas berkaitan dengan derajat konsistensi antara dua perangkat skor tes, maka rumus reliabilitas selalu dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi (Azwar, 2005).

b. Bentuk Estimasi Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur yang juga menunjukkan eror pengukuran yang tidak dapat ditentukan secara pasti, hanya dapat diestimasi (Suryabrata, 2005). Estimasi reliabilitas dapat dilakukan melalui beberapa metode berdasarkan CTT, yaitu pendekatan tes ulang, pendekatan tes paralel, dan pendekatan konsistensi internal (Azwar, 2005 dan Suryabrata, 2005).

1) Pendekatan tes ulang

Pendekatan tes ulang adalah salah satu dari pendekatan pertama yang pantas dan mudah untuk mengestimasi reliabilitas dari suatu skor tes (Murphy dan Davidshofer, 2003). Pendekatan ini dilakukan dengan cara menyajikan tes dua kali pada suatu kelompok yang sama dalam rentang waktu tertentu, minsalnya dua minggu (Suryabrata, 2005). Asumsinya adalah suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama apabila diberikan dua kali tes dalam

waktu yang berbeda pada sekelompok subjek yang sama (Azwar, 2005). Sehingga akan diperoleh dua distribusi skor dari kelompok tersebut. Korelasi antara dua skor pada dua waktu yang berbeda tersebut disebut koefisien reliabilitas (r) (Kumar, 2009).

Pendekatan tes ulang ini dapat dikatakan baik secara teori, namun dalam prakterknya mengandung kelemahan, yaitu kondisi subjek pada tes kedua tidak lagi sama dengan kondisi subjek pada tes pertama baik dari proses belajar, perubahan motivasi, pengalaman, sehingga pendekatan ini lebih baik digunakan bila objek ukur berupa keterampilan, terutama keterampilan fisik (Suryabrata, 2005). Menurut Azwar (2005), pendekatan tes ulang cocok digunakan hanya bagi tes yang mengukur aspek psikologis yang relatif stabil dan tidak mudah berubah.

Rumus yang dapat digunakan untuk menentukan reliabilitas tes ulang adalah Pearson product-moment (Kumar, 2009).

2) Pendekatan tes paralel

Pendekatan reliabilitas bentuk paralel dilakukan dengan memberikan dua bentuk tes yang paralel pada sekelompok subjek, yaitu tes yang memiliki tujuan ukur yang sama dan isi aitem yang setara secara kualitas maupun kuantitas (Azwar, 2005). Pendekatan ini juga disebut sebagai alternate form yang digunakan untuk mengatasi kelemahan pendekatan tes ulang (Kumar, 2009). Asumsinya, dua tes yang paralel akan menghasilkan skor tes yang berkorelasi tinggi satu sama lain dan memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi.

Keuntungan pendekatan ini adalah dapat mengurangi efek-efek praktis yang mungkin terjadi pada tes ulang seperti proses belajar dan pengalaman,

namun kelemahan pendekatan ini adalah sulitnya menyusun perangkat tes yang paralel (Kumar, 2009). Menurut Azwar (2005), dua tes yang paralel hanya ada secara teoritis, tidak benar-benar paralel secara empirik.

Rumus yang dapat digunakan untuk menentukan reliabilitas tes ulang adalah korelasi Pearsonproduct moment (Azwar, 2005).

3) Pendekatan konsistensi internal

Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan satu bentuk tes dengan sekali penyajian kepada sekelompok subjek yang bertujuan melihat konsistensi antar aitem atau antar bagian dalam tes tersebut serta menghindari masalah-masalah pada pendekatan tes ulang dan paralel. Seperangkat tes diberikan kepada sekelompok subjek satu kali sehingga diperoleh satu distribusi skor tes dari kelompok subjek tersebut. Untuk itu, prosedur analisis reliabilitasnya diarahkan pada analisis terhadap aitem-aitem atau terhadap kelompok-kelompok aitem dalam tes itu sehingga perlu dilakukan pembelahan tes menjadi beberapa kelompok aitem yang disebut belahan tes. Cara pembelahan tes disesuaikan dengan sifat dan fungsi tes serta jenis skala pengukuran yang digunakan dalam tes tersebut yang kemudian akan menentukan rumusan atau rumus yang dapat digunakan dalam menghitung koefisien reliabilitasnya. Setiap cara pembelahan tes hendaknya mengusahakan agar antar belahan memiliki jumlah aitem sama banyak, indeks kesukaran seimbang, isi sebanding, dan tujuan ukur yang sama atau dalam artian pembelahan aitem memenuhi ciri-ciri paralel (Azwar, 2005).

(a). Beberapa cara dalam pembelahan tes i. Pembelahan cara random

Membelah tes menjadi dua bagian secara random dapat dilakukan dengan cara undian sederhana guna menentukan aitem-aitem nomor berapa sajakah yang dimasukkan menjadi belahan pertama dan yang mana menjadi belahan kedua. Pembelahan secara random hanya boleh dilakukan bila tes yang akan dibelah berisi aitem-aitem yang homogen baik dari segi konten maupun segi indeks kesukaran aitem, namun jika aitem tersebut heterogen dapat juga menggunakan cara pembelahan ini asalkan aitem tersebut jumlahnya sangat besar (Azwar, 2005).

ii. Pembelahan gasal-genap

Pembelahan gasal-genap dilakukan dengan cara mengelompokkan seluruh aitem yang bernomor urut gasal menjadi belahan pertama dan seluruh aitem yang bernomor urut genap dijadikan satu kelompok belahan kedua. Cara pembelahan ini selain mudah dilakukan juga dapat menghindari kemungkinan terjadinya pengelompokkan aitem-aitem tertentu ke dalam salah satu belahan saja (Azwar, 2005).

iii. Pembelahan matched-random subtes

Pembelahan dengan cara matched-random subtes ditemukan oleh Gulikksen tahun 1950 (dalam Azwar, 2005). Sebelum melakukan pembelahan tes terlebih dahulu harus dihitung indeks kesukaran aitem serta korelasi aitem dengan skor total tes. Dengan cara ini setiap aitem dalam tes diletakkan pada satu posisi

atau titik tertentu dalam grafik berdasarkan harga indeks kesukaran aitem dan korelasi antara aitem yang bersangkutan dengan skor tes.

Keuntungan menggunakan pendekatan konsistensi internal adalah, dapat menghindari masalah-masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes ulang dan pendekatan tes paralel (Azwar, 2005).

(b). Rumus Estimasi Reliabilitas i. Spearman-Brown

Rumus Spearman-Brown digunakan untuk metode split-half atau belah dua (Kumar, 2009 dan Crocker & Algina, 2003). Rumus komputasi Spearman-Brown merupakan rumus koreksi terhadap koefisien korelasi antara dua bagian tes dan dirumuskan sebagai beikut (Azwar, 2005):

S-B = rxx’= (11)

Keterangan:

rxx’ =Koefisien reliabilitas Spearman-Brown r1.2 = Koefisien korelasi antara dua belahan

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, pembelahan tes dilakukan dengan cara gasal-genap dan matched-random subtes dan menghasilkan dua bagian yang paralel satu sama lain dan korelasi antara kedua belahan paralel tersebut cukup tinggi.

ii. Koefisien Alpha

Pembelahan tes tidak hanya terbatas pada membagi tes ke dalam dua belahan saja. Cara-cara pembelahan dapat diperluas pemakaiannya untuk membagi tes menjadi beberapa belahan. Bahkan suatu tes yang akan diestimasi

reliabilitasnya dapat dibelah menjadi bagian-bagian sebanyak jumlah aitemnya sehingga setiap bagian hanya berisi satu aitem saja. Koefisien Alpha akan lebih baik jika pembelahan paralel satu sama lain atau setidaknya dapat memenuhi

asumsi τ-equivalent. Rumusan rumus Alpha adalah sebagai berikut (Azwar, 2005):

α = (12)

Keterangan :

= banyaknya belahan tes

= varians belahan j; j = 1, 2…k

= varians skor tes

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, setiap belahan memiliki aitem yang relatif setara, paralel atau setidaknya memenuhi

asumsi τ-equivalent. Selain itu, aitem-aitem dalam tes haruslah homogen agar estimasi yang diperoleh dapat mendekati reliabilitas yang sebenarnya.

iii. Koefisien Alpha untuk tes belah dua

Rumus koefisien Alpha dapat digunakan untuk tes yang dibelah dua dan tidak memenuhi asumsi paralel, namun untuk menghindari underestimasi, maka

pembelahan tes harus memenuhi asumsi τ-equivalent. Rumus koefisien Alpha untuk estimasi reliabilitas belah dua dirumuskan sebagai berikut (Azwar, 2005):

Keterangan:

= varians pada belahan 1 = varians pada belahan 2 = varians total skor tes

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, setiap belahan memiliki aitem yang relatif setara, paralel atau setidaknya memenuhi asumsi τ-equivalent. Selain itu, aitem-aitem dalam tes haruslah homogen agar estimasi yang diperoleh dapat mendekati reliabilitas yang sebenarnya.

iv. Kuder-Richardson 20 (KR-20)

KR 20 merupakan rata-rata estimasi reliabilitas dari semua cara belah-dua yang mungkin dilakukan. Rumus ini juga disebut sebagai koefisien α-20. Koefisien ini mencerminkan sejauhmana kesetaraan isi aitem-aitem dalam tes. Rumusan rumus KR-20 adalah (Azwar, 2005):

(14)

Keterangan :

= banyaknya aitem dalam tes = varians skor tes

p = proporsi subjek yang mendapat angka 1 pada suatu aitem, yaitu banyaknya subjek yang mendapat angka 1 dibagi oleh banyaknya seluruh subjek yang menjawab aitem tersebut.

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi, jumlah aitem sedikit dan membelahan tes sebanyak jumlah aitem agar estimasi yang diperoleh dapat mendekati reliabilitas yang sebenarnya.

v. Kuder-Richardson 21

Perhitungan KR-21 menggunakan rata-rata harga p dari keseluruhan aitem, Hal inilah yang membedakan antara 20 dengan 21. Rumusan KR-21 adalah (Azwar, 2005):

(15) Keterangan :

= banyaknya aitem dalam tes = rata-rata p yaitu,

= varians skor tes

Untuk mempermudah komputasi, rumus KR-21 dapat pula dinyatakan sebagai:

(16) Keterangan :

Mx = harga rata-rata means skor tes

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi, jumlah aitem sedikit dan membelahan tes sebanyak jumlah aitem. Indeks kesukaran aitem haruslah setara satu sama lain agar estimasi reliabilitas mendekati nilai yang sesungguhnya. Jadi,

indeks kesukaran aitem yang sangat bervariasi mengakibatkan estimasi reliabilitas akan lebih rendah dari pada menggunakan KR-20.

vi. Rumus Kristof untuk Belah Tiga

Komputasi koefisien reliabilitas tes yang telah dibelah menjadi tiga bagian ini didasarkan pada rumus estimasi skor murni yang dirumuskan Kristof, yaitu:

(17)

Keterangan:

= kovarians belahan 1 dan belahan 2 = kovarians belahan 1 dan belahan 3 = kovarians belahan 2 dan belahan 3

Rumus ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, membelah tes menjadi 3 bagian, belahan tidak harus sama panjang, jumlah aitem tidak harus sama banyak dengan syarat isi tetap homogen, dan lebih baik digunakan pada subjek dalam jumlah besar (Azwar, 2005).

vii. Flanagan

Flanagan menganggap bahwa varians-varians pada setiap belahan tes merupakan varians eror pengukuran. Maka untuk tes yang dibelah menjadi dua bagian setara reliabilitasnya adalah sebagai berikut:

Keterangan:

= varians pada belahan 1 = varians pada belahan 2 = varians total skor tes

Pada penelitian ini, estimasi koefisien reliabilitas dilakukan dengan pendekatan konsistensi internal karena data yang akan digunakan hanya dengan satu kali penyajian tes. Rumus estimasi koefisien reliabilitas yang digunakan adalah KR-20 dengan pertimbangan bahwa data penelitian ini berbentuk dikotomi dengan homogenitas indeks kesukaran aitem belum diketahui dan aitem dibelah sebanyak jumlah aitem tersebut.

c. Interpretasi Koefisien Reliabilitas

Konsep reliabilitas dalam CTT dipahami sebagai korelasi yang tinggi antara skor tampak dengan skor murninya sendiri. Allen & Yen (dalam Azwar, 2005) menguraikan enam cara dalam memandang koefisien reliabilitas tes, yaitu:

1) Sejauhmana korelasi antara skor tampak pada dua tes yang paralel yang dilambangkan rxx’

2) Besarnya kuadrat koefisien reliabilitas (rxx’2

) dipandang sebagai proporsi varians suatu tes yang sama dengan variasi skor pada tes lain yang paralel. 3) Koefisien reliabilitas merupakan besarnya perbandingan antara varians

skor murni (st2) dan varians skor tampak (sx2).

4) Koefisien reliabilitas merupakan kuadrat koefisien korelasi antara skor tampak dengan skor murni (rxt2). Nilai rxt2 pasti selalu besar daripada rxx’ selama nilai rxx’ tidak sama dengan 0 atau 1.

5) rxx’ sama dengan satu dikurang kuadrat koefisien korelasi antara skor tampak dengan eror pengukuran (rxe2).

6) rxx’ sama dengan satu dikurang besarnya perbandingan varians eror dan varians skor tampak (1- se2/sx2).

Secara teoritik, koefisien reliabilitas berkisar antara 0 sampai 1, namun secara empirik koefisien reliabilitas tidak pernah mencapai 1. Artinya terdapat ketidakkonsistenan skor antara dua tes yang paralel yang disebabkan oleh eror yang mempengaruhi performa subjek dalam mengikuti tes atau perbedaan antara skor tampak dan skor murni subjek (Crocker & Algina, 2005). Menurut Kelly (dalam Crocker & Algina, 2005) ada tiga tipe eror yang berhubungan dengan skor pada suatu tes, yaitu ketidaksesuaian antara skor murni dan skor tampak, ketidaksesuaian antara skor tampak subjek pada satu tes dan skor tampak subjek pada tes yang paralel dengan tes sebelumnya, dan ketidaksesuaian antara skor murni subjek dan estimasi skor murninya. Sehingga penafsiran terhadap koefisien reliabilitas dapat dilakukan melalui penafsiran standar eror pengukuran (SEm), dengan rumusan sebagai berikut:

(19)

Semakin tinggi koefisien reliabilitas suatu tes, maka kemungkinan kesalahan yang terjadi akan semakin kecil. Jadi, tidak ada harga mati dalam koefisien reliabilitas. Tinggi rendahnya koefisien reliabilitas sangat bergantung pada tujuan tes digunakan(Suryabrata, 2005).

Murphy dan Davidshofer (2003) menjelaskan bahwa makna tinggi atau rendahnya koefisien reliabilitas tergantung pada tipe dari tes yang dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 3. Kategori Nilai Estimasi Koefisien Reliabilitas Nilai estimasi

reliabilitas

Bentuk Tes Interpretasi

0.95

Tes inteligensi

Eror pengukuran memiliki efek yang sangat rendah

0.90 Tinggi sampai sedang 0.85 Tes prestasi

0.80

0.75 Kelompok tes pilihan ganda Sedang sampai rendah 0.70 Skala

0.65 Rendah

0.60 Tes proyektif 0.55

0.50 Skor murni dan eror pengukuran seimbang pada skor tes

Berdasarkan Tabel 3, Murphy & Davidshofer (2003) menyatakan bahwa untuk tes inteligensi nilai estimasi reliabilitas yang dianggap baik jika sama atau besar dari 0.90 dengan interpretasi bahwa nilai reliabilitas tes inteligensi tersebut tinggi sampai sedang. Oleh karena itu, pada penelitian ini nilai koefisien reliabilitas akan dianggap baik jika nilai koefisien reliabilitas ≥ 0.90 dengan

pertimbangan bahwa IST merupakan tes inteligensi. Selain itu, IST merupakan salah satu tes inteligensi yang masih sering digunakan oleh P3M Fakultas Psikologi USU.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koefisien Reliabilitas

Crocker & Algina (2005) menjelaskan bahwa ada 3 hal utama yang secara tidak langsung mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien reliabilitas suatu instrumen, yaitu:

1) Homogenitas Kelompok

Koefisien reliabilitas suatu tes akan dipengaruhi oleh variasi antara skor murni dan eror kelompok subjek atau skor tampak kelompok subjek. Jika asumsinya varians eror pada dua tes paralel atau ekivalen tetap dan rxx’ sama

dengan 1-se2/sx2, maka tinggi rendahnya koefisien reliabilitas akan tergantung pada besar kecilnya varians skor tampak (sx2). Artinya pada kelompok subjek yang homogen, yaitu yang memiliki varians skor tampak kecil, harga se2/sx2 akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok subjek yang heterogen. Oleh sebab itu, semakin besar homogenitas kelompok akan semakin rendah nilai koefisien reliabilitas suatu tes dibandingkan dengan kelompok subjek yang heterogen.

2) Batasan Waktu dalam Tes

Tes yang memiliki waktu yang lebih panjang cenderung akan memiliki indeks reliabilitas yang lebih tinggi dibandingkan tes yang memiliki waktu yang lebih pendek, terutama pada tes dengan komposisi aitem yang sama. Hal ini dikarenakan performansi subjek pada tes yang lebih panjang waktunya akan lebih maksimal. Sementara pada tes yang memiliki waktu lebih pendek, performansi subjek akan sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk kelelahan dan performansi subjek lain yang mengikuti tes tersebut.

3) Panjang Tes

Panjang dari suatu tes sangat bergantung dengan seberapa banyaknya aitem-aitem yang menyusun tes tersebut. Semakin banyak aitem yang memiliki

Dokumen terkait