• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Harapan Hidup

Dalam dokumen Analisis Pembangunan Manusia Di Indonesia (Halaman 30-39)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Indeks Pembangunan Manusia

2.2.1. Indeks Harapan Hidup

Indeks Harapan Hidup menunjukkan jumlah tahun hidup yang diharapkan dapat dinikmati penduduk suatu wilayah. Dengan memasukkan informasi mengenai angka kelahiran dan kematian per tahun variabel e0 diharapkan akan mencerminkan

rata-rata lama hidup sekaligus hidup sehat masyarakat.

Sehubungan dengan sulitnya mendapatkan informasi orang yang meninggal pada kurun waktu tertentu, maka untuk menghitung angka harapan hidup digunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel). Data dasar yang dibutuhkan dalam metode ini adalah rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak masih hidup dari wanita pernah kawin. Secara singkat, proses penghitungan angka harapan hidup ini disediakan oleh program Mortpak. Untuk mendapatkan Indeks Harapan Hidup

Σ fi x si MYS =

Σ fi

dengan cara menstandartkan angka harapan hidup terhadap nilai maksimum dan minimumnya.

2.2.2. Indeks Pendidikan

Penghitungan Indeks Pendidikan (IP) mencakup dua indikator yaitu angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Populasi yang digunakan adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas karena pada kenyataannya penduduk usia tersebut sudah ada yang berhenti sekolah. Batasan ini diperlukan agar angkanya lebih mencerminkan kondisi sebenarnya mengingat penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun masih dalam proses sekolah atau akan sekolah sehingga belum pantas untuk rata-rata lama sekolahnya.

Kedua indikator pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit), dimana Lit merupakan proporsi penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis dalam suatu kelompok penduduk secara keseluruhan. Sedangkan cerminan angka MYS merupakan gambaran terhadap keterampilan yang dimiliki penduduk.

MYS dihitung secara tidak langsung, pertama-tama dengan memberikan Faktor Konversi pada variabel “Pendidikan yang Ditamatkan” sebagaimana disajikan pada Tabel 2.2. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung rata-rata tertimbang dari variabel tersebut sesuai dengan bobotnya.

Di mana :

MYS = Rata – rata lama sekolah

fi = Frekuensi penduduk berumur 10 tahun ke atas pada jenjang pendidikan i, i = 1,2,…,11

si = Skor masing-masing jenjang pendidikan

Angka melek huruf pengertiannya tidak berbeda dengan definisi yang telah secara luas dikenal masyarakat, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Pengertian rata-rata lama sekolah, secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut: misalkan di Provinsi Sumatera Utara ada 5 orang tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, 5 orang tamatan SMA, 5 orang tidak sekolah sama sekali, maka rata- rata lama sekolah di Provinsi Sumatera Utara adalah {5 (6) + 5 (9) +5 (12) +5 (0) } : 20 = 6,25 tahun.

Setelah diperoleh nilai Lit dan MYS, dilakukan penyesuaian agar kedua nilai ini berada pada skala yang sama yaitu antara 0 dan 1. Selanjutnya kedua nilai yang telah disesuaikan ini disatukan untuk mendapatkan indeks pendidikan dengan perbandingan bobot 2 untuk Lit dan 1 untuk MYS, sesuai ketentuan UNDP. Dengan demikian untuk menghitung indeks pendidikan digunakan rumus:

Tabel 5. Jenjang Pendidikan dan Faktor Konversi untuk Menghitung Rata-Rata Lama Sekolah (MYS)

Jenjang Pendidikan Faktor Konversi 1. Tidak; belum pernah sekolah 0

2. Belum tamat SD 3 3. Tamat Sd sederajat 6 4. Tamat SLTP 9 5. Tamat SLTA 12 6. Tamat D I 13 7. Tamat D II 14

8. Tamat D III/Sarjana Muda/Akademi 15

9. Tamat D IV/Sarjana 16

10. Tamat S2 18

11. Tamat S3 21

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNDP, 2001

2.2.3. Purchasing Power Parity / Paritas Daya Beli (PPP)

Untuk mengukur dimensi standar hidup layak (daya beli), UNDP mengunakan indikator yang dikenal dengan real per kapita GDP adjusted. Untuk perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota) tidak memakai PDRB per kapita karena PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mencerminkan daya beli riil masyarakat yang merupakan concern IPM. Untuk mengukur daya beli penduduk antar provinsi di Indonesia, BPS menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan telah distandarkan agar

bisa dibandingkan antar daerah dan antar waktu yang disesuaikan dengan indeks PPP dengan tahapan sebagai berikut (berdasarkan ketentuan UNDP):

a. Menghitung rata-rata pengeluaran konsumsi perkapita per tahun untuk 27 komoditi dari SUSENAS Kor yang telah disesuaikan (=A).

b. Menghitung nilai pengeluaran riil (=B) yaitu dengan membagi rata-rata pengeluaran (A) dengan IHK tahun yang bersangkutan.

c. Agar indikator yang diperoleh nantinya dapat menjamin keterbandingan antar daerah, diperlukan indeks ”Kemahalan“ wilayah yang biasa disebut dengan daya beli per unit (= PPP/ Unit). Metode penghitungannya disesuaikan dengan metode yang dipakai International Comparsion Project (ICP) dalam menstandarkan GNP per kapita suatu negara. Data yang digunakan adalah data kuantum per kapita per tahun dari suatu basket komoditi yang terdiri dari 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul sesuai ketetapan UNDP (Tabel 6). Penghitungan PPP/unit dilaksanakan dengan rumus :

Di mana:

E (i,j ) = Pengeluaran untuk komoditi j di Provinsi i P ( i,j ) = Harga komoditi j di Provinsi i

Q (i,j) = Jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di Provinsi i

27

Σ

E(i,j) j=1 27

Σ

P(i,j) Q(i,j) j=1 PPP/unit = Ri =

Tabel 6. Daftar Komoditas yang Digunakan untuk Menghitung Purchasing Power Parity (PPP)

Komoditi Unit

1. Beras lokal Kg

2. Tepung terigu Kg

3. Ketela pohon Kg

4. Ikan tongkol Kg

5. Ikan teri Ons

6. Daging sapi Kg

7. Daging ayam kampung Kg

8. Telur ayam Butir

9. Susu kental manis 397 Gram

10. Bayam Kg 11. Kacang panjang Kg 12. Kacang tanah Kg 13. Tempe Kg 14. Jeruk Kg 15. Pepaya Kg 16. Kelapa Butir

17. Gula pasir Ons

18. Kopi bubuk Ons

19. Garam Ons

20. Merica/lada Ons

21. Mie instant 80 Gram

22. Rokok kretek filter 10 Batang

23. Listrik Kwh

24. Air minum M3

25. Bensin Liter

26. Minyak tanah Liter

27. Sewa rumah Unit

Untuk kuantitas sewa rumah ditentukan berdasarkan Indeks Kualitas Rumah yang dihitung berdasarkan kualitas dan fasilitas rumah tinggal 7 (tujuh) yang diperoleh dari daftar isian Susenas.

1. Lantai : keramik, marmer, atau granit =1, lainnya =0 2. Luas lantai perkapita : > 10 m2 =1, lainnya =0 3. Dinding : tembok = 1, lainnya = 0

4. Atap : kayu /sirap, beton = 1, lainnya = 0 5. Fasilitas penerangan : Listrik = 1, lainnya = 0 6. Fasilitas air minum : Ledeng = 1, lainnya = 0 7. Jamban : Milik sendiri = 1, lainnya = 0 h. Skor awal untuk setiap rumah = 1

Indeks Kualitas Rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tangga tinggal dan bernilai antara 1 s/d 8. Kualitas dari rumah yang di konsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kualitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit (=C).

d. Untuk mendapatkan nilai pengeluaran riil yang dapat dibandingkan antar waktu dan antar daerah maka nilai B dibagi dengan PPP/unit (=C).

e. Menyesuaikan nilai C dengan Formula Aktinson sebagai upaya untuk mengestimasi nilai marginal utility dari C (=D). Rumus Atkinson yang digunakan

untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil, dinyatakan sebagai berikut (berdasarkan ketentuan UNDP):

D = C Jika C ≤ Z

= Z + 2(C– Z)(1/2) Jika Z < C ≤ 2Z

= Z + 2(Z)(1/2) + 3(C-2Z)(1/3) Jika 2Z < C ≤ 3Z

= Z + 2(Z)(1/2) + 3(Z)(1/3) + 4(C - 3Z)(1/4) Jika 3Z < C ≤ 4Z

Di mana :

C = konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit

Z = threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang ditetapkan Rp 1.040.250,- per kapita setahun atau Rp 2.850,- per hari (BPPS, 2005).

2.3. Teori Engel

Engel (1857) melakukan studi tentang prilaku konsumsi rumah tangga terhadap 153 rumah tangga di Belgia. Engel menetapkan lima jenis konsumsi yang umumnya dilakukan rumah tangga, yaitu konsumsi makanan, sandang, perumahan (termasuk penerangan dan bahan bakar minyak), jasa (meliputi pendidikan, kesehatan dan perlindungan hukum) dan rekreasi. Terhadap konsumsi makanan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dan dengan asumsi harga makanan yang dibayar rumah tangga adalah sama, maka Engel menyimpulkan bahwa pangsa pengeluaran makanan terhadap

Q2 Kurva Engel Y″ Y′ KI3 Y KI2 KI1 Q1 Y Y′ Y″

pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan; disebut juga dengan Hukum Engel (Nicholson, 1992).

Gambar 1. Hubungan Pendapatan dan Permintaan Terhadap Barang

dengan Asumsi Harga Barang Tetap; Makanan (Q1)

dan Bukan Makanan (Q2).

Hukum Engel dapat dijelaskan dengan Kurva Engel seperti ditunjukkan Gambar 2.1. Kurva Engel berdasarkan asumsi harga barang tetap, peningkatan kesejahteraan penduduk yang ditunjukkan oleh garis anggaran dan kurva indeferen yang bergeser ke kanan atas akan meningkatkan konsumsi barang dengan proporsi yang semakin berkurang untuk makanan (Q1) dan proporsi yang semakin meningkat

pengeluaran untuk belanja makanan yang merupakan barang normal akan semakin berkurang.

Menurut Engel, pangsa pengeluaran makanan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya, sehingga pangsa pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan.

2.4. Penelitian-Penelitian Sebelumnya

Dalam dokumen Analisis Pembangunan Manusia Di Indonesia (Halaman 30-39)

Dokumen terkait