• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan

Dalam dokumen Analisis Pembangunan Manusia Di Indonesia (Halaman 82-88)

METODE PENELITIAN

4.1. Perkembangan Pembangunan Manusia di Indonesia dan Variabel- Variabel-Variabel yang Mempengaruhinya

4.1.3. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan

Mengapa pemerintah perlu peduli terhadap pelayanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan? Pendidikan dan kesehatan yang baik akan meningkatkan kapasitas dan kemerdekaan hidup yang disebut juga manfaat intrinsik. Pendidikan dan kesehatan juga berperan membuka peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendapatan (income) yang lebih tinggi, disebut juga manfaat instrumental (Lanjouw, dkk. 2001).

Kondisi umum pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sekitar 58 persen dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4 persen dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Prospek peningkatan kualitas SDM di masa yang akan datang pun terlihat suram. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relatif rendah yakni 56 persen untuk SLTP, 32 persen untuk SLTA dan 12 persen untuk perguruan tinggi (Susenas, 2002).

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 ada disebutkan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan di luar gaji dan biaya kedinasan. Jadi, anggaran pendidikan yang dimaksud di sini adalah termasuk kategori anggaran pembangunan karena tidak termasuk di dalamnya anggaran rutin yang berupa gaji dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, APBN-P 2006, belanja pemerintah pusat untuk pendidikan hanya 9,3 persen.

Banyak kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan. Rata-rata anggara belanja rutin pada APBN sebesar 15 persen, pembayaran cicilan hutang 20 persen, 30 persen ditransfer ke daerah-daerah, dan subsidi 5 persen yang sebagian besar untuk listrik dan BBM. Hanya tertinggal 30 persen untuk anggaran pembangunan. Apakah mungkin dialokasikan 20 persen untuk sektor pendidikan saja, padahal di luar pendidikan, ada sektor lain yang erat kaitannya dengan pembangunan manusia, misalnya sektor kesehatan?

Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dan menengah pemerintahtidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi ketentuan konstitusi 20 persen APBN untuk pendidikan. Bahkan target waktu lima tahun (hingga 2009) untuk mencapainya, sebagaimana disepakati oleh pemerintah dan DPR, kelihatannya kurang realistis. Meskipun angka 20 persen belum bisa dicapai, bukan berarti pemerintah telah melanggar konstitusi, sebab ini disebabkan hambatan fiskal yang baru dapat diselesaikan dalam jangka panjang.

Kesiapan seluruh sistem dan kelembagaan dalam mengelola anggaran tersebut juga sangat menentukan keberhasilan, mengingat anggaran 20 persen itu melibatkan dana tidak kurang dari 50 triliun rupiah. Kalau pusat akan mengalokasikan langsung ke sekolah-sekolah, pasti akan muncul masalah mistargeting. Salah satu kelemahan utama pusat adalah ketidakmampuannya mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan di tingkat mikro (sekolah). Kalau disalurkan melalui pemerintah daerah (pemda), untuk kemudian pemda mengalokasikan ke sekolah-sekolah, sering kali tidak efektif. Sense of belonging pemda untuk kasus-kasus seperti ini terbukti secara umum rendah. Kontrol masyarakat juga minim, sehingga peluang penyimpangan menjadi sangat terbuka.

Selama periode 1996-2006 rata-rata pengeluaran pemerintah untuk pendidikan sebesar Rp 25 ribu/kapita/tahun. Nilai tertinggi berada pada Provinsi DKI dengan jumlah Rp 113 ribu/kapita/tahun, dan terendah pada Provinsi Sultra sebesar Rp 7 ribu/kapita/tahun (Tabel 23). Sejak tahun 1996 hingga 2006, pengeluaran pemerintah mengalami pertumbuhan yang signifikan, rata-rata 250 persen per tahun, di mana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 486 persen (Tabel 23). Lonjakan yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan oleh munculnya UU No. 23 Tahun 2003 yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen.

Tahun 2005, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan sebesar Rp 46,3 ribu/kapita/tahun. Angka ini relatif besar mengingat per kapita di sini mencakup seluruh penduduk (219,8 juta jiwa), tidak khusus usia sekolah dasar dan lanjutan

pertama saja (usia 7-15 tahun, wajib belajar 9 tahun). Tahun 2005 jumlah penduduk usia 7-15 tahun adalah 37,9 juta jiwa (Bappenas, 2005). Jadi, jika dikonversi menurut penduduk usia 7-15 tahun saja, maka subsidi pemerintah untuk sektor pendidikan menjadi sebesar Rp 268 ribu/kapita/tahun. Jumlah ini tentu saja tidak memadai.

Hasil studi staf Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2003 di 15 provinsi menyebutkan: meski sekolah sudah digratiskan kenyataannya masih ada sejumlah komponen yang harus dibayar orangtua. Orangtua siswa SD/madrasah ibtidaiyah rata-rata masih harus mengeluarkan Rp 1,535 juta per tahun, yaitu untuk buku dan alat tulis (Rp 223 ribu), pakaian dan perlengkapan sekolah (Rp 323 ribu), transportasi (Rp 273 ribu), karyawisata (Rp 49 ribu), uang saku (Rp 433 ribu), dan iuran sekolah (Rp 234 ribu). Untuk SMP/madrasah tsanawiyah, harus dikeluarkan biaya Rp 1,896 juta/siswa, yaitu untuk beli buku dan alat tulis (Rp 224 ribu), pakaian dan perlengkapan sekolah (Rp 333 ribu), transportasi (Rp 308 ribu), karyawisata (Rp 61 ribu), uang saku (Rp 571 ribu), dan iuran sekolah (Rp 399 ribu). Besarnya biaya yang harus dikeluarkan orang tua dikhawatirkan ikut memperbesar angka putus sekolah dan dapat mengganggu penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun 2008. Program ini merupakan pengulangan program serupa yang dicanangkan 1984. Untuk tahun 2003, jika pemerintah ingin menuntaskan program wajib belajar dengan menyediakan beasiswa, diperlukan dana Rp 11,5 triliun. Biaya itu untuk memenuhi pengeluaran yang harus ditanggung orang tua siswa miskin yang diperkirakan berjumlah 4.610.000 (18 persen dari 25,6 juta anak SD/MI), dan 2,3 juta siswa SMP (18 persen dari 12,8 juta siswa).

Tabel 23. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Per Propinsi Periode 1996-2006 (dalam Rp/kapita)

Rank Provinsi 1996 1999 2002 2004 2005 2006 1. DKI 16.579 7.689 34.866 71.247 204.117 304.492 2. Kaltim 4.960 6.219 9.321 43.468 154.630 223.977 3. Riau 2.469 4.018 13.352 40.398 88.876 122.281 4. Papua 10.099 11.815 80.333 98.612 54.272 51.158 5. NAD 1.584 4.586 12.514 26.497 62.998 64.539 6. Kalsel 750 4.903 9.614 47.318 46.564 71.532 7. Kalteng 3.922 4.681 3.691 24.920 44.119 65.193 8. Sumut 1.198 1.596 2.331 28.257 39.999 60.268 9. Jatim 1.213 959 2.400 212.647 40.404 59.808 10. Sumsel 341 925 1.542 40.502 40.094 57.667 11. Bali 3.248 2.324 5.133 26.363 34.793 53.703 12. Sumbar 651 1.671 3.524 33.050 37.514 54.594 13. Kalbar 2.198 2.450 1.498 42.441 36.331 55.305 14. Sulut 1.379 460 2.345 36.423 36.597 55.157 15. Jabar 1.090 612 1.806 22.177 35.018 49.454 16. Sulteng 1.962 2.816 948 15.008 29.254 48.144 17. DIY 1.805 1.550 754 37.915 30.272 43.185 18. Sulsel 881 1.761 1.442 46.179 29.456 43.496 19. Lampung 745 905 4.179 48.674 26.718 37.893 20. Jambi 1.884 2.653 2.113 201.773 24.181 35.752 21. Jateng 919.349 991 1.558 39.131 24.566 35.029 22. Bengkulu 1.379 928 1.348 29.040 22.314 34.224 23. NTB 1.077 1.729 2.582 28.282 19.276 27.906 24. Maluku 1.396 590 2.223 14.833 16.712 25.658 25. NTT 1.433 2.899 3.067 17.197 13.759 20.251 26. Sultra 1.035 3.412 1.287 51.260 12.988 19.353 2.546 2.890 7.915 50.908 46.378 66.155 Indonesia

Sumber: BPS, beberapa publikasi, diolah kembali

Badan PBB untuk Urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) menempatkan pendidikan Indonesia turun dari peringkat ke-58 menjadi

ke-62 dari 130 negara. Malaysia di peringkat ke-56 dan Brunei di peringkat ke-43 (Diknas, 2007). Ada apa dengan Indonesia? Negeri yang belum lepas dari krisis dan pembangunan manusianya pas-pasan ini dikhawatirkan akan tergelincir pada kondisi yang semakin buruk.

Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2006 mengumumkan ada 301.370 ruang SD/sederajat rusak ringan dan 255.421 rusak berat; untuk SMP, 28.830 rusak ringan, 9.847 rusak berat; dan untuk SMA, 10.827 rusak ringan, 3.535 rusak berat. Fakta ini semakin menuntut partisipasi pemerintah yang lebih besar lagi demi kemajuan pendidikan di negeri ini.

Menurut hasil survey The Political & Economic Risk Country (PERC) tahun 2001, dinyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti (Republika, 24/01/2003). Dari penelitian The International Education Achievment (IEA) tahun 2000, diketahui bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan terendah di antara negara-negara ASEAN (Republika, 24/01/2003).

Diamati dari aspek pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, Indonesia menduduki peringkat paling bawah dengan tingkat pengeluaran 0,9 persen dari PDB (Tabel 24). Negara ASEAN lainnya yang notabene lebih miskin dari Indonesia, seperti Lao, Cambodia dan Myanmar, ternyata komitmen pemerintahnya terhadap sektor pendidikan masih lebih baik (Tabel 24).

Pendidikan merupakan salah satu indikator komposit IPM (proksi pembangunan manusia). Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki

kontribusi dalam memajukan pendidikan melalui penyediaan infrastruktur maupun operasionalnya. Dengan demikian, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia melalui peningkatan tingkat melek huruf dan rata-rata lama bersekolah.

Tabel 24. Rata-Rata Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan di Negara-Negara ASEAN Periode 2002-2005

HDI Rank ASEAN Countries % of GDP

63. Malaysia 6,2

78. Thailand 4,2

25. Singapore 3,7

90. Philippines 2,7

130. Lao People’s Democratic Republic 2,3

131. Cambodia 1,9

132. Myanmar 1,3

107. Indonesia 0,9

30. Brunei Darussalam n.a.

105. Viet Nam n.a.

Sumber: UNDP, 2007

Dalam dokumen Analisis Pembangunan Manusia Di Indonesia (Halaman 82-88)

Dokumen terkait