• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.2. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, kebutuhan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat mengenai perkembangan bursa, juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang diperlukan tersebut adalah indeks harga saham sebagai cerminan dari pergerakan harga saham. Sekarang ini PT Bursa Efek Indonesia memiliki 8

macam indeks harga saham yang secara terus menerus disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, sebagai salah satu pedoman bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal.

Ke delapan macam indeks tersebut adalah:

1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), menggunakan semua emiten yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks.

2. Indeks Sektoral, menggunakan semua emiten yang termasuk dalam masing-masing sektor.

3. Indeks LQ45, menggunakan 45 emiten yang dipilih berdasarkan kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 4. Jakarta Islamic Index (JII), menggunakan 30 emiten yang masuk dalam kriteria

syariah dan termasuk saham yang memiliki kapitalisasi besar dan likuiditas tinggi. 5. Indeks Kompas100, menggunakan 100 saham yang dipilih berdasarkan

kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan.

6. Indeks Papan Utama, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan utama.

7. Indeks Papan Pengembangan, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan pengembangan.

8. Indeks Individual, yaitu indeks harga saham masing-masing emiten.

Seluruh indeks yang ada di BEI menggunakan metode perhitungan yang sama, yaitu metode rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat (akan dibahas pada bagian berikutnya). Perbedaan utama pada masing-masing indeks jumlah emiten dan nilai dasar yang

untuk perhitungan indeks sedangkan Jakarta Islamic Index (JII) menggunakan 30 saham untuk perhitungan indeks.

Indeks-indeks tersebut ditampilkan terus menerus melalui display wall di lantai bursa dan disebarkan ke masyarakat luas oleh data vendor melalui data feed.

2.2.1 Pengertian Indeks Harga Saham Gabungan

IHSG adalah ukuran yang didasarkan pada perhitungan statistik untuk mengetahui perubahan-perubahan harga saham dari seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI. IHSG dipakai sebagai indikator untuk mengukur situasi umum perdagangan saham, apakah dalam keadaan

bearish atau dalam keadaan bullish.

Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham yang berfungsi sebagai indikator tren pasar, artinya pergerakan indeks menggambarkan kondisi pasar pada saat pasar sedang aktif atau lesu.

2.2.2 Metodologi Penghitungan Indeks

Metode penghitungan yang digunakan untuk menghitung indeks :

a) Menghitung rata-rata (arithmatic mean) harga saham yang masuk dalam anggota indeks. b) Menghitung rata-rata geometris (geometric mean) dari indeks individual saham yang

masuk dalam anggota indeks

c) Menghitung rata-rata tertimbang nilai pasar.

Seperti halnya mayoritas bursa-bursa di dunia, indeks-indeks di BEI dihitung dengan menggunakan metodologi rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat (nilai pasar)

Nilai Pasar adalah kumulatif jumlah saham tercatat (yang digunakan untuk perhitungan indeks) dikali dengan harga pasar. Nilai Pasar biasa disebut juga dengan Kapitalisasi Pasar. Formula untuk menghitung Nilai Pasar adalah:

Dimana:

p = Closing price (harga yang terjadi) untuk emiten ke-i.

q = Jumlah saham yang digunakan untuk penghitungan indeks (jumlah saham yang tercatat) untuk emiten ke-i.

n = Jumlah emiten yang tercatat di BEI (jumlah emiten yang digunakan untuk perhitungan indeks)

Nilai Dasar adalah kumulatif jumlah saham pada hari dasar dikali dengan harga pada hari dasar. Contoh hari dasar untuk IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982.

Pergerakan IHSG secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan harga saham dengan kapitalisasi besar, sebaliknya perubahan harga-harga saham dengan kapitalisasi kecil nyaris tidak berdampak terhadap IHSG. Hal tersebut karena bobot masing-masing saham yang berbeda, sehingga tidak mengherankan jika pergerakan IHSG sangat ditentukan oleh saham-saham dengan kapitalisasi besar. (BEI, 2008)

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham

Menurut Alwi (2003, 87), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan

a. Faktor Internal (Lingkungan mikro)

 Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti pengiklanan, rincian kontrak, perubahan harga, penarika produk, dan laporan penjualan.

Pengumuman pendanaan (financing announcements), seperti pengumuman yang berhubungan denga

Pengumuman badan direksi manajemen (management-board of director announcements) seperti perubahan dan pergantian direktur, manajemen, dan struktur organisasi.

 Pengumuman pengambilalihan diversifikasi, seperti laporan merger, investasi ekuitas, laporan take over oleh pengakuisisian dan diakuisisi, laporan divestasi dan lainnya.

 Pengumuma

pengembangan riset dan, penutupan usaha lainnya..

Pengumuman ketenagakerjaan (labour announcements), seperti negoisasi baru, kontrak baru, pemogokan dan lainnya.

 Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan laba sebelum akhir tahun fiskal dan setelah akhir tahun fiskal, Earning Per Share (EPS) dan Dividen Per Share (DPS), Price Earning Ratio (PER), net profit margin, Return On Assets (ROA), dan lain-lain.

b. Faktor Eksternal (Lingkungan makro)

 Pengumuman dari pemerintah seperti

valuta asi oleh pemerintah.

Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan karyawan terhadap perusahaan atau terhadap manajernya dan tuntutan perusahaan terhadap manajernya.

Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti laporan pertemuan tahunan, inside

trading.

 Gejolak politik dalam negeri dan fluktuasi

berpengaruh signifikan pada terjadinya pergerakan harga saham di bursa efek suatu negara.

 Berbagai isu baik dari dalam negeri dan luar negeri.

2.2.4 Teori Random Walk

Istilah random walk merupakan istilah yang pertama kali muncul dalam koresponden di Nature yang membahas mengenai bagaimana strategi yang optimal untuk mencari orang mabuk yang ditinggalkan di tengah lapangan. Caranya adalah dengan mulai mencari di tempat pertama kali orang mabuk itu ditempatkan sebab orang tersebut akan berjalan dengan arah yang tidak tertebak dan acak.

Teori ini menyatakan bahwa perubahan harga suatu saham atau keseluruhan pasar yang telah terjadi tidak dapat digunakan untuk memprediksi gerakan di masa akan datang. Penelitian

yang dilakukan oleh Roberts (1959) menyatakan bahwa perubahan harga saham tidak tergantung satu sama lain dan mempunyai distribusi probabilitas yang sama (Mills, 1999).

Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa harga saham bergerak ke arah yang acak dan tidak dapat diperkirakan. Jadi tidak mungkin seorang melebihi return pasar tanpa menanggung risiko lebih. Hal ini juga memberikan arti bahwa selisih antara harga pada periode tertentu dengan harga pada periode yang lainnya bersifat acak. Selisih tersebut merupakan price return saham, yang dalam jangka waktu tertentu memenuhi persyaratan bahwa rata-ratanya adalah nol. Artinya volatilitas saham tidak akan mempunyai trend yang signifikan dalam jangka waktu yang cukup lama.

2.2.5 Teori Elliott Wave

The Wave Principle merupakan penelitian Ralph Nelson Elliott (1938) bahw menemukan bahwa perubahan harga di bursa saham mempunyai suatu struktur tertentu. Elliott mengemukakan bahwa pergerakan harga mempunyai pola atau gelombang yang bersifat repetitif. Hal yang perlu dicatat adalah walaupun bersifat repetitif tetapi pola tersebut belum tentu berulang dengan waktu dan ketinggian gelombang yang sama. Selain itu pola yang dikemukakannya merupakan bagian dari pola yang lebih besar, yang pada akhirnya merupakan bagian dari pola yang lebih besar lagi dan seterusnya.

Pola-pola tersebut dapat diartikan sebagai berikut (Murphy, 1999) : a) Gelombang 1

b) Gelombang 2

Pada saat ini harga saham tersebut sudah dinilai terlalu tinggi sehingga investor mulai merealisasikan keuntungannya dengan menjual saham itu. Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap harga saham sehingga turun. Namun penurunan harga ini tidak sampai membuat

through gelombang 2 serendah through gelombang 1 karena investor menilai saham tersebut

menjadi murah lagi. c) Gelombang 3

Gelombang ini biasanya merupakan gelombang yang paling lama dan kuat sebab didorong oleh lebih banyak investor yang bergabung atau meningkatkan posisi untuk mengambil keuntungan dari tren menanjak sehingga perdagangan menjadi ramai. Harga saham pada saat ini naik sampai melewati harga tertinggi pada gelombang 1.

d) Gelombang 4

Investor mulai merealisasikan keuntungannya sebab harga saham sudah terlalu tinggi. Koreksi berpola segitiga-segitiga umumnya dikenal dalam gelombang ini, dimana dalam pola koreksi ini volatilitas harga saham cenderung menurun. namun gelombang ini lemah sebab masih banyak investor yang masih menginginkan saham tersebut.

e) Gelombang 5

Pada gelombang ini sebagian besar investor sudah memegang saham ini dan sebagian besar merupakan investor yang irasional. Akan tetapi tidak sekuat pada gelombang 3 sebab investor yang berpartisipasi hanya sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan gelombang 3. Investor yang mengetahui hal ini mulai mengadakan transaksi short-selling. Pada saat ini saham dapat bergerak kembali ke gelombang 1 atau mulai mengkoreksi diri

f) Gelombang ABC

Saat ini saham akan mengkoreksi dengan melakukan gerakan turun, naik dan turun. Volatilitas pada periode ini biasanya berkurang dibandingkan dengan kelima gelombang sebelumnya, karena pasar sedang mengevaluasi ulang dan sedang dalam tahap istirahat.

Gelombang Elliott memberikan gambaran bahwa volatilitas harga saham dapat berbeda-beda antara gelombang yang satu dengan yang lain. Selain itu teori ini juga memberikan kemungkinan bahwa ada trend volatilitas return harga saham yang muncul dari pola-pola tersebut.

Trend sendiri merupakan arah umum yang sedang terjadi pada pasar. Arah ini dapat bergerak secara mendatar, naik atau turun. Trend mendatar terjadi ketika rangkaian peak dan

through gelombang-gelombang secara beruntun membentuk garis horisontal. Trend naik terjadi

ketika serangkaian peak dan through yang ada selalu melampaui peak dan through sebelumnya, sedangkan pada trend turun terjadi sebaliknya, yaitu peak dan through yang ada selalu berada di bawah peak dan through sebelumnya (Murphy, 1999)

2.2.6 Traditional Approach dan Portfolio Approach

Penjelasan teoritis untuk hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan IHSG dijelaskan oleh traditional appoach dan portfolio approach. Menurut Aggarwal (1981) yang dikutip dari jurnal Ai-Yee Ooi,dkk (2009), dalam traditional approach, apresiasi (depresiasi) nilai tukar mata uang domestik akan menambah (mengurangi) hutang pada nilai tukar mata uang luar negeri dan menambah (mengurangi) biaya produksi, terutama di negara dengan ekonomi yang sedang berkembang. Di negara dengan ekonomi yang sedang berkembang, proses produksi

nilai tukar mata uang mempengaruhi kinerja perusahaan domestik yang menjual produknya di pasar internasional, hal ini kemudian mempengaruhi harga saham perusahaan tersebut.

Menurut Krueger (1983) yang dikutip dari jurnal Ai-Yee Ooi, dkk (2009), keseimbangan portofolio mendekati tekanan diatas peran laporan transaksi modal. Nilai tukar mata uang ditentukan oleh mekanisme pasar, begitu juga dengan barang-barang komoditi. Pada portfolio

approach, kenaikan (penurunan) harga saham akan menarik aliran modal dari investor luar

negeri, hal ini menyebabkan bertambahnya permintaan nilai tukar mata uang dalam negeri. Kenaikan (penurunan) harga saham menyebabkan apresiasi (depresiasi) pada nilai tukar mata uang, dan pada akhirnya akan menambah permintaan (penawaran) pada nilai tukar domestik. Dengan kata lain, kenaikan harga saham domestik akan menciptakan bertambahnya kekayaan domestik, hal ini pada gilirannya akan menghasilkan naiknya permintaan uang, hingga kenaikan pada tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga yang tinggi akan menyebabkan pemasukan modal dari luar negeri dan akan menghasilkan apresiasi pada nilai tukar domestik.

2.3 Penelitian-penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian empiris para peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan :

(1) Ai-Yee Ooi, Syed Azizi Wafa Syed Khalid Wafa, Nelson Lajuni, Mohd Fahmi Ghazali (2009), Causality between Exchange Rates and Stock Prices: Evidence from Malaysia and Thailand

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Thailand dan Malaysia pada masa sebelum krisis finansial Asia dan

Mei 1997 (sebelum krisis) and 1 Februari 1998 sampai 31 Agustus 2003 (semasa krisis). Stationeritas tidaknya data diuji oleh uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), dan uji

Phillips-Perron (PP). Hubungan kausalitas diuji dengan prosedur Toda-Yamamoto (1995). Jurnal ini juga

meneliti hubungan jangka panjang diantara kedua variabel tersebut dengan menggunakan Uji Kointegrasi Johansen-Juselius (1990).

Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : 1. Data stasioner di derajat integrasi first difference

2. Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar dua variabel, baik pada masa sebelum krisis, maupun pada masa krisis di Thailand dan Malaysia.

3. Tidak terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Thailand dan Malaysia. Di Thailand berlaku portfolio approach, dimana harga saham mempengaruhi nilai tukar mata uang pada masa sebelum krisis dan pada masa krisis. Di Malaysia juga berlaku

portfolio approach, dimana harga saham mempengaruhi nilai tukar mata uang, namun ini terjadi

hanya pada masa krisis.

(2) A.H. Baharom, R.C. Royfaizal and M.S. Habibullah (2008), Causation Analysis Between Stock Price and Exchange rate: Pre and Post Crisis Study on Malaysia

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kointegrasi antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Malaysia pada masa sebelum krisis finansial Asia dan semasa krisis finansial Asia, dengan menggunakan data bulanan dari Januari 1988 sampai Juni 1997 (periode sebelum krisis) dan Juli 1998 sampai Desember 2006 (periode krisis). Penelitian ini menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji kointegrasi Johansen.

Hasil penelitian ini adalah data stasioner pada tingkat first difference dan tidak terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar dua variabel tersebut di Malaysia selama dua periode tersebut.

(3) Hooi-Hooi Lean, Marwan Halim and Wing-Keung Wong (2005), Bivariate Causality Between Exchange Rates and Stock Prices on Major Asian Countries.

Penelitian ini menganalisis hubungan kointegrasi dan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di 8 negara Asia yang mengalami tekanan terburuk akibat Krisis Finansial Asia dan akibat serangan teroris 11 September 2001 (911) yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Korea, Singapura, Hongkong dan Jepang.

Data yang digunakan adalah data mingguan dari 1 Januari 1991 sampai 31 Desember 1996 (periode sebelum krisis) dan 1 Januari 1997 sampai 31 Desember 2002 (periode krisis dan sesudah krisis). Selain itu dari 1 Januari 1997 sampai 10 September 2001 (sebelum serangan teroris 911) dan 11 September 2001 sampai 31 Desember 2002 (sesudah serangan teroris 911).

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Dickey-Fuller (1979, 1981) unit

root test untuk uji stasioneritas, Cointegrating Regression Durbin-Watson (CRDW), Dickey-Fuller (CRDF), and Augmented Dickey-Dickey-Fuller (CRADF) tests untuk uji kointegrasi dan analisis

kausalitas Granger untuk menguji hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham.

Penelitian ini menemukan bahwa :

1) Untuk Indonesia, tidak terdapat hubungan kausalitas pada periode sebelum krisis dan pada periode sesudah serangan teroris 911. Sebaliknya terdapat hubungan kausalitas pada periode

(4) D. Agus Harjito dan Carl B. McGowan, Jr. (2004), Stock Prices and Exchange Rate Causality : The Case of Four Asian Countries

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti secara statistik hubungan antara harga saham dan nilai tukar mata uang dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan uji kointegrasi

Johansen pada empat negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Singapura, Filipina dan Thailand

selama periode 1993-2002. Penelitian ini menganalisis hubungan kausal tersebut dengan menggunakan perubahan persentase.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara harga saham dan nilai tukar mata uang di Singapura dan Thailand. Selama periode waktu krisis keuangan pun, kedua pasar di kedua negara tersebut masih bergerak bersama. Hasil dari analisis VAR menemukan bahwa indeks pasar saham di suatu negara dijelaskan oleh indeks pasar saham di negara lain. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat kointegrasi diantara pasar saham dikeempat negara tersebut.

Analisis VEC Model menemukan bahwa harga saham dan nilai tukar mata uang tidak memiliki penyimpangan pada hubungan jangka panjang, kecuali dolar Singapura yang mengkoreksi Indeks Strait Times dan rupiah mengkoreksi Indeks Harga Saham Gabungan.

(5) Sulistyandari (2008) Analisis Kausalitas Antara Nilai Tukar Mata Uang dan Indeks Harga

Saham di Pasar Modal Indonesia

Penelitian ini menguji hubungan antara nilai tukar mata uang dan indeks harga saham di Pasar Modal Indonesia menggunakan data harian selama kurang lebih empat tahun mulai dari

hubungan kausalitas antara kedua variabel di pasar modal dan pasar uang; keterkaitan ini memiliki implikasi bagi kesinambungan pengembangan pasar modal yang simultan dengan kebijakan sistem nilai tukar mengambang Dengan menggunakan konsep Kausalitas Granger (1969), teknik kointegrasi dan model koreksi kesalahan baku, konsisten dengan pendekatan portfolio dalam penentuan nilai tukar menunjukkan bahwa terdapat kausalitas negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang dari harga saham ke nilai tukar mata uang (kausalitas satu arah dari harga saham ke nilai tukar mata uang). Perubahan harga saham menyebabkan perubahan nilai tukar mata uang baik untuk IHSG maupun Indeks harga saham sektoral.

Dokumen terkait