• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman mengenai bagaimana minyak terdegradasi selama

proses penggorengan sangat penting diketahui untuk menghasilkan produk

goreng dengan kualitas tinggi. Adanya pemahaman ini akan membantu

operator penggorengan dalam mengontrol laju degradasi minyak,

memproduksi makanan goreng berkualitas tinggi, dan mengoperasikan

proses penggorengan secara efektif dan efisien secara ekonomi. Pada saat

proses penggorengan, operator harus memahami bahwa sekali proses

penggorengan dimulai minyak yang digunakan akan mulai terdegradasi

dan proses ini bersifat irreversibel (Stier, 2001).

Menurut Blumethal (1996), proses penggorengan yang

menggunakan energi panas menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi

pada minyak dan menghasilkan komponen flavor. Perubahan sifat

fisikokimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya kerusakan

pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya. Lebih jauh lagi

penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan

produk goreng yang dihasilkan.

Pada saat minyak digunakan, akan terjadi perubahan sifat

fisikokimia dari minyak. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap

kualitas produk yang dihasilkan. Terlebih lagi perubahan pada minyak ini

berhubungan dengan keamanan produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,

ahli pangan telah lama meneliti untuk menentukan indikator kualitas

minyak yang tepat (Hawson, 1995). Beberapa tes direkomendasikan

sebagai indikator yang tepat, seperti komponen polar (TPM) dan polimer.

Selain itu, terdapat uji-uji lain yang sering dugunakan oleh industri

penggorengan, seperti peroksida, asam lemak bebas, viskositas, anisidin,

dan warna.

Kadar asam lemak bebas mungkin karakteristik yang paling umum

digunakan sebagai kontrol kualitas minyak. Pada saat saat awal proses

penggorengan, asam lemak bebas dihasilkan dari proses oksidasi, tetapi

pada tahap selanjutnya asam lemak bebas dihasilkan dari proses hidrolisis

yang disebabkan oleh keberadaan air. Proses ini sangat dinamis, sebagian

asam lemak akan hilang karena oksidasi dan destilasi uap dari makanan.

Labih jauh lagi, asam lemak bebas akan mengkatalis hidrolisis minyak

yang digunakan pada proses penggorengan. Pada saat akumulasi asam

lemak bebas berada dalam jumlah yang signifikan, akan terbentuk asap

yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng menurun. Pada

saat ini, minyak harus diganti (Krishnamurthy dan Vernon, 1996).

Kadar asam lemak bebas merupakan penentuan dari jumlah rantai

asam lemak hasil hidrolisis ikatan trigliserida yang belum didegradasi

menjadi komponen tak tertitrasi atau mungkin dibentuk melalui proses

oksidasi. Penentuan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng

digunakan metode titrasi asam basa dengan menggunakan NaOH sebagai

titran. Jumlah asam lemak di dalam minyak dinyatakan dengan persen

(Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan Vernon, 1996).

Bilangan peroksida merupakan metode yang paling luas untuk

menentukan derajat degradasi minyak. Produk oksidasi primer dari

minyak adalah hidroperoksida. Peroksida dapat dihitung secara kuantitatif

dengan penentuan jumlah iodin yang dibebaskan oleh reaksi peroksida

dengan KI. Bilangan peroksida dapat dinyatakan sebagai meq O

2

/kg, meq

O

2

/100 g, atau meq O

2

/g. Minyak segar yang telah dideodorisasi

seharusnya memiliki nilai peroksida nol. Pada kebanyakan kasus, minyak

goreng dianggap masih memiliki kemampuan baik pada penyimpanan jika

memiliki nilai bilangan peroksida 1.0 meq/kg.

Hidroperoksida merupakan produk primer dari oksidasi lemak.

Komponen hidroperoksida ini bersifat sangat tidak stabil dan sangat

sensitif terhadap suhu minyak (Krishnamurthy dan Vernon, 1996;

Blumethal, 1996). Hal ini karena hidroperoksida merupakan radikal bebas

yang bersifat sangat reaktif. Radikal bebas adalah molekul yang amat

tidak stabil, sangat reaktif terhadap molekul lain yang berada di dekatnya,

berusaha merampas elektron milik molekul lain guna mendapatkan

kondisi stabil kembali. Apabila molekul yang telah diserangnya menjadi

ganjil karena kehilangan elektronnya, molekul tersebut berubah menjadi

molekul radikal bebas dan berusaha merampas elektron milik molekul

lainnya, tetapi elektron yang telah berhasil dirampasnya biasanya lepas

sebelum berhasil dimasukkan dalam orbitnya. Hal ini menyebabkan

proses ini terus berlangsung (Anonim, 2007). Proses oksidasi lemak dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses oksidasi lemak.

(Winarno, 2002)

Bilangan anisidin menghitung jumlah aldehid-aldehid penting

(terutama 2-alkenal). Aldehid merupakan produk dari dekomposisi asam

lemak yang berubah menjadi peroksida. Aldehid dapat digunakan sebagai

penanda untuk menentukan berapa banyak bahan-bahan yang berubah

menjadi peroksida telah dipecah (Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan

Vernon, 1996). Bilangan p-anisidin didefinisikan sebagai 100 kali densitas

optik yang dihitung di dalam sel (kuvet) 1-cm dari larutan yang

R

1

– C – C = C – C – R

2

H

H

H H H H

R

1

– C – C = C – C – R

2

+ H

H

H

H H H

R

1

– C – C = C – C – R

2

O – O

H

H

H

H

H

R

1

– C – C = C – C – R

2

+

H

H

H H H H

R

1

– C – C = C – C – R

2

O – OH

H H H H

R

1

– C – C = C – C – R

2

H

H

H

H

H

energi

(panas + siniar)

radikal bebas

hidrogen

yang labil

+ O

2

peroksida aktif

+

mengandung 1 gram minyak yang telah dicampur dengan pelarut dan

pereaksidan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang

gelombang 350 nm.

Komponen polar didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang

tertinggal di dalam kolom setelah proses elusi pertama pada saat minyak

goreng yang telah dipanaskan diuji dengan menggunakan kromatrografi

kolom silika gel. Komponen polar termasuk semua senyawa non-

trigliserida dan partikel-partikel di dalam minyak. Minyak segar umumnya

mengandung 2-4% komponen non-trigliserida. Sekali saja minyak goreng

dipanaskan sampai suhu penggorengan, perubahan dari senyawa

trigliserida mulai terjadi. Oleh karena komponen polar dapat digunakan

untuk menghitung degradasi total dari minyak yang digunakan pada

proses penggorengan (Stier, 2001). Komponen polar direkomendasikan

pada simposium internasional ke-3 deep frying sebagai uji yang harus

dilakukan untuk menentukan kualitas minyak goreng. Jumlah komponen

polar (Total Polar Materials) dinyatakan dengan satuan % (DGF, 2004).

Pada saat minyak goreng teroksidasi akan terbentuk senyawa

polimer yang menyebabkan minyak berbusa. Pembentukkan senyawa

polimer ini merupakan penanda kimia yang baik untuk degradasi minyak.

Namun penentuan senyawa polimer sulit untuk diaplikasikan di dalam

memantau kualitas produk karena waktu yang dibutuhkan untuk analisis

cukup lama. Metode resmi dalam menentukan senyawa polimer digunakan

high performance liquid chromatography (HPLC). Pemahaman

mekanisme pembentukkan senyawa polimer sangat penting unutk

memahami bagaimana minyak terdegradasi dan optimasi proses. Kenaikan

senyawa polimer menyebabkan kenaikan viskositas minyak. Oleh karena

itu, viskositas sering digunakan sebagai indikator sifat fisik untuk

memantau kualitas minyak goreng (Stier, 2001). Selain itu, adanya

kenaikan viskositas minyak ini membuat produk hasil goreng lebih

berminyak karena banyaknya jumlah minyak yang tertahan pada

permukaan produk.

Warna minyak sudah lama digunakan sebagai indikator fisik dalam

melihat kerusakan minyak. Namun, sebenarnya tidak tepat menggunakan

warna sebagai indikator kerusakan minyak. Hal ini karena perubahan

warna minyak goreng yang tidak diikuti dengan kenaikan jumlah senyawa

hasil degradasi minyak hanya akan mempengaruhi warna produk dan tidak

akan mempengaruhi rasa produk. Warna minyak dapat ditentukan dengan

menggunakan Lovibond tintometer atau spektrofotometer. Penentuan

dengan menggunakan Lovibond bersifat subjektif, sedangkan penentuan

warna menggunakan spektrofotometer lebih bersifat objektif

(Krishnamurthy dan Vernon, 1996). Penentuan warna dengan

menggunakan spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 490

nm dengan minyak segar sebagai referensi (blanko). Kenaika nnilai

absorbansi minyak memperlihatkan warna minyak semakin gelap yang

disebabkan oleh adanya kenaikan senyawa-senyawa hasil degradasi

minyak (Przybylski, 2000).

Dokumen terkait