A. KAJIAN PENGARUH PENURUNAN KUALITAS MINYAK
2. Karakteristik Fisik Minyak
Beberapa instrumen pengujian kualitas minyak goreng
menggunakan prinsip perubahan viskositas selama proses
penggorengan. Hal ini karena viskositas akan meningkat pada saat
proses penggorengan akibat adanya kenaikan komponen polimer.
Oleh karena itu, viskositas dapat dijadikan sebagai salah satu
parameter kritis untuk pengecekan degradasi minyak (Keijbebets et
al., 2001). Salah satu alat yang bekerja berdasarkan perubahan
viskositas adalah Fri-Check. Alat ini digunakan untuk mengukur
viskositas minyak yang dihubungkan dengan nilai TPM (Stier,
2001). Grafik perubahan viskositas selama proses penggorengan
dapat dilihat pada Gambar 13.
y = 4.2597x - 2.3945 R2 = 0.9654 0 5 10 15 20 25 0 1 2 3 4 5 6 Penggorengan ke- Bilangan Anisidin (mmol/kg) awal 5 10 15 20
Gambar 13. Perubahan viskositas minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa viskositas
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan
viskositas selama penggorengan mengikuti persamaan garis linier
dengan koefisien regresi 0.9559. Menurut Keijbebets et al., (2001)
kenaikan viskositas selama penggorengan disebabkan oleh adanya
pembentukan senyawa polimer dalam minyak. Polimer merupakan
senyawa yang terbentuk di dalam minyak goreng akibat pemanasan
yang terus menerus pada suhu tinggi dengan atau tanpa adanya
oksigen. Polimer terbentuk akibat adanya ikatan antara atom
karbon dan oksigen (Johnson dan Kumerrow, 1957). Menurut
Perkins dan Kummerow yang dikutip Firestone (1961), minyak
yang mengalami oksidasi dan pemanasan akan membentuk
senyawa polimer yang mengandung gugus hidroksil dan karbonil
dalam jumlah besar.
Berdasarkan uji korelasi, viskositas memiliki hubungan
yang sangat nyata dengan kadar ALB, TPM, dan bilangan anisidin
dengan koefisien korelasi masing-masing 0.888, 0.946, dan 0.825.
Hal ini berarti viskositas akan meningkat dengan kenaikan kadar
ALB, TPM, dan bilangan anisidin. Oleh karena itu, beberapa
instrumen menggunakan prinsip pengujian kualitas minyak
y = 2.8113x + 46.146 R2 = 0.9559 45 50 55 60 65
0
1
2
3
4
5
6
penggorengan ke-
Viskositas (cp) awal 5 10 15 20 Penggorengan Ke-berdasarkan perubahan viskositas yang dihubungkan dengan
parameter kimia.
Kecepatan kenaikan viskositas dari penggorengan awal ke
pengggorengan ke-5 tidak sebesar kecepatan kenaikan viskositas
dari penggorengan ke-5 selanjutnya. Hal ini dikarenakan pada awal
penggorengan keberadaan air dan senyawa-senyawa hasil
degradasi minyak belum banyak. Namun seiring dengan proses
penggorengan yang semakin lama, maka akumulasi air dan
senyawa-senyawa hasil degradai minyak semakin banyak sehingga
laju kenaikan viskositas semakin tinggi juga. Proses pembentukan
polimer dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Reaksi polimerisasi oleh ikatan karbon-karbon
b.
Bobot jenis
Proses polimerisasi pada minyak akan menyebabkan berat
molekul minyak bertambah. Hal ini diperlihatkan dengan naiknya
bobot jenis minyak selama proses penggorengan (Andarwulan et
al., 1997). Perubahan bobot jenis selama proses penggorengan
dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Grafik perubahan bobot jenis minyak selama proses
penggorengan.
C = CH + HOO R CH CH
+O CR CH CHOH
H
y = 0.000x + 0.901 R² = 0.897 0.9010 0.9020 0.9030 0.9040 0.9050 0 1 2 3 4 5 6 B o b ot Je ni s (g /m l) Penggorengan Ke- awal 5 10 15 20(Winarno, 2002)
y = -0.0001x + 1.4678 R2 = 0.8176 1.4671 1.4672 1.4673 1.4674 1.4675 1.4676 1.4677 1.4678 0 1 2 3 4 5 6 Penggorengan Ke- Indek Bias awal 5 10 15 20
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa selama
penggorengan bobot jenis akan mengalami kenaikan . Berdasarkan
uji korelasi, bobot memiliki hubungan yang sangat nyata dengan
ALB, TPM, dan bilangan anisidin dengan koefisien masing-masing
0.829, 0.921, dan 0.857. Hal ini berarti bobot jenis minyak akan
meningkat dengan naiknya kadar ALB, TPM, dan bilangan
anisidin.
c.
Indeks bias
Indeks bias didefinisikan sebagai rasio antara kecepatan
cahaya di udara dengan kecepatan cahaya pada medium pada suhu
dan panjang gelombang tertentu. Penentuan indeks bias ini
dilakukan dengan menggunakan alat refraktrometer abbe yang
dilengkapi dengan water bath sirculator. Pengukuran indeks bias
minyak sawit fraksi olein dilakukan pada suhu 40
oC karena pada
suhu ini semua fraksi olein minyak sawit akan mencair. Perubahan
indeks bias minyak selama proses penggorengan dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16. Grafik perubahan indeks bias minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa indeks bias minyak
mengalami penurunan selama proses penggorengan. Penurunan
nilai indeks bias minyak mengikuti persamaan garis lurus dengan
koefisien regresi sebesar 0.8176. Menurut Winarno (2002), indeks
bias akan meningkat dengan makin panjangnya rantai C, derajat
ketidakjenuhan, dan suhu yang semakin tinggi. Pada saat minyak
digunakan pada proses penggorengan, minyak akan mengalami
reaksi hidrolisis yang disebabkan keberadaan air dan suhu tinggi.
Reaksi hidrolisis menyebabkan trigliserida pada minyak berubah
menjadi gliserol dan asam lemak.
Berdasarkan uji korelasi, indeks bias berkorelasi sangat
nyata dengan bilangan ALB dengan koefisien korelasi – 0.789. Hal
ini berarti nilai indeks bias minyak akan semakin kecil dengan
semakin besarnya kadar ALB di dalam minyak.
d.
Warna
Warna telah dijadikan sebagai indek kualitas minyak
selama bertahun-tahun. Metode pengujian warna dapat dilakukan
dengan menggunakan Lovibond dan spektrofotometer. Terdapat
perbedaan antara kedua metode penentuan warna minyak ini,
metode Lovibond bersifat subjektif sedangkan penentuan secara
spektrofotometer bersifat objektif. Pengujian warna dengan
menggunakan Lovibond terdiri dari tiga warna, yaitu merah, biru,
dan kuning. Perubahan warna merah minyak yang telah digunakan
berkorelasi dengan kombinasi antara asam lemak bebas teroksidasi
dan produk kondensasi pirolitik. Warna biru berkorelasi dengan
kekaburan yang disebabkan oleh air dan pertikel-partikel yang
tersuspensi atau teremulasi dengan baik di dalam minyak. Warna
kuning mungkin berkorelasi dengan kombinasi antara peroksida
dan aldehid-aldehid di dalam minyak (Stier, 2001). Pengukuran
dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan pada panjang
gelombang 490 nm dengan minyak awal sebagai blanko.
Absorbansi yang semakin besar pada panjang gelombang ini
mengindikasikan warna minyak semakin gelap. Hal ini berarti
semakin banyak poduk-produk hasil degradasi minyak
(Przybylski, 2000). Perubahan warna minyak selama proses
penggorengan dapat dilihat pada Gambar 17.
y = 0.0262x - 0.0074 R2 = 0.9832 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0 1 2 3 4 5 Penggorengan Ke- Absorbansi 5 10 15 20
Gambar 17. Grafik perubahan absorbansi minyak selama proses
penggorengan.
Berdasarkan Gambar 17, absorbansi minyak akan
mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Hal ini berarti
warna minyak semakin gelap yang disebabkan oleh terbentuknya
bahan-bahan oksidatif, termasuk polimer dan keberadaan dari
produk yang larut minyak dari bahan yang digoreng
(Krishnamurthy dan Vernon, 1996). kenaikan absorbansi minyak
mengikuti persamaan garis linier dengan koefisien regresi sebesar
0.923. Berdasarkan uji korelasi, warna minyak yang diukur pada
panjang gelombang 490 nm berkorelasi sangat nyata dengan kadar
ALB dan bilangan anisidin.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Blumethal
(1996), pengujian warna untuk menentukan kualitas minyak
goreng dipengaruhi oleh batch dari minyak, jumlah dan tipe dari
makanan yang digoreng, suhu dan tipe penggorengan, serta jarak
estimasi visual dari warna yang tidak terlihat dan tipe lampu yang
digunakan.
Warna minyak yang mengalami kegelapan tanpa diikuti
oleh kenaikan produk-produk degradasi dari minyak hanya akan
mempengaruhi warna dari produk goreng tanpa mempengaruhi
rasa secara signifikan. Pengujian warna sebagai satu-satu indikator
kualitas minyak goreng sangat tidak tepat (Krishnamurthy dan
Vernon, 1996).
y = 3.704x + 8.84 R2 = 0.977 0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 Penggorengan Ke- Kadar Lemak (%) awal 5 10 15 20