BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh didefinisikan sebagai hasil dari pembagian berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Cara ukur IMT didapatkan dengan memasukkan nilai berat badan dan tinggi badan yang terdapat dalam rekam medik kedalam rumus:
IMT = BB (kg) TB2 (m2)
Alat ukur yang digunakan adalah rekam medik untuk melihat tinggi badan dan berat badan, dan kalkulator untuk menghitung IMT menggunakan formula IMT. Hasil perhitungan disesuaikan dengan skala ukur ordinal, seperti tabel berikut:
Tabel 3.1. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia
Klasifikasi IMT (kg/ m2)
Kategori kurus <18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9
Kategori BB lebih ≥25,0 - <27,0
Obese ≥27
3.2.2. Kadar Serum Prostate Specific Antigen
Definisi kadar serum PSA adalah hasil pemeriksaan laboratorium pasien dengan gejala LUTS dan dilampirkan dalam rekam medik. Cara ukur dengan observasi rekam medik dengan alat ukur yang di gunakan adalah rekam medik. Hasil ukur kadar serum PSA berupa angka desimal positif yang dinilai berdasarkan skala ukur numerik.
3.3. Hipotesa
Ho: Tidak ada hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA pada pasien poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik
Ha: Ada hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA pada pasien poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang), dimana untuk mengetahui IMT dan kadar serum PSA dilakukan pada waktu yang bersamaan dalam satu waktu.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Poliklinik Urologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan mulai Juni s.d. November 2014. RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya sehingga cukup representatif untuk dijadikan acuan sumber data epidemiologi.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien laki-laki dengan gejala LUTS pada poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik mulai Juni s.d. November 2014.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan metode total sampling, dimana semua subjek pada populasi yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam sampel penelitian.
1. Kriteria Inklusi
2. Kriteria Eksklusi
a. Sedang mengalami akut retensi urine
b. Sedang mengalami akut atau kronik prostatitis
c. Riwayat operasi yang berhubungan dengan BPH dan tindakan yang berhubungan dengan prostat (biopsi, dsb.) kurang dari 3 bulan
d. Kateterisasi kurang dari 5 hari 4.4. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data diperoleh dari rekam medik mengenai tinggi badan dan berat badan, serta hasil laboratorium pada rekam medik mengenai kadar serum PSA.
4.5. Metode Analisis Data
Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS). Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dalam beberapa tahap analisa yaitu :
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan pada setiap variabel untuk memperoleh gambaran distribusi dari masing-masing variabel yang disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk memperoleh hubungan antara satu variable bebas dengan satu variabel tergantung. Metode yang digunakan adalah analisis regresi dan korelasi.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kadar Serum Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik,” dilakukan dengan cara mengobservasi data rekam medik pasien Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik. Hasil penelitian dapat disajikan berikut ini.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medik RSUP H. Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK.VII/1990 dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya sehingga cukup representatif untuk dijadikan acuan sumber data epidemiologi.
5.1.2. Karakteristik Responden
Pada rentang periode penelitian akhir Juli - awal Nopember 2014, didapatkan 125 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi dari 238 pasien laki-laki dengan gejala LUTS Poliklinik RSUP H. Adam Malik. Dimana sampel penelitian didominasi oleh suku batak dan <1% merupakan suku melayu. Kebanyakan sampel penelitian berasal dari luar kota Medan yang mendapat rujukan ke RSUP H. Adam Malik. Karakteristik sampel penelitian ini dikelompokkan berdasarkan usia, jenis indeks massa tubuh, dan kadar serum PSA. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel.
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan usia Usia Frekuensi (n) Presentase (%)
< 50 7 5.6
50-59 20 16.0
60-69 52 41.6
> 69 46 36.8
Jumlah 125 100
Dari tabel 5.1 diatas, sampel didominasi rentang usia 60-69 tahun sebanyak 52 orang (41,6%), dikuti oleh usia > 69 tahun, 50-59 tahun, dan < 50 tahun dengan jumlah 46 orang (36,8%), 20 orang (16,0%), dan 7 orang (5,6%). Usia rata-rata sampel yaitu 66,2 tahun, dengan usia tertua adalah 85 tahun dan termuda 40 tahun (modus= 69 tahun).
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan IMT
IMT Frekuensi (n) Presentase (%)
Kurus 16 12.8
Normal 72 57.6
Berat Badan Lebih 11 8.8
Obese 26 20.8
Jumlah 125 100
Berdasarkan tabel 5.2 diatas, sampel didominasi oleh kelompok IMT normal sebanyak 72 orang (57,6%) dan peling sedikit kelompok IMT berat badan berlebih sebanyak 11 orang (8,8%). Nilai IMT rata-rata sampel 23,22827 (BB berlebih) dan nilai IMT yang paling banyak 23,438 (BB berlebih), dengan nilai IMT tertinggi 32,18 dan nilai IMT terendah 13,223 (modus= 23,438).
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi sampel berdasarkan kadar serum PSA Kadar Serum PSA (ng/ml) Frekuensi (n) Presentase (%)
≤ 4 62 49.6
> 4 63 50.4
Berdasarkan kadar serum PSA, sampel didominasi oleh kadar serum PSA > 4 ng/ml sebanyak 63 orang (50,4%) dan dikuti kadar serum PSA ≤ 4 ng/ml sebanyak 62 orang (49,6%). Kadar serum PSA rata-rata sampel yaitu 11,9880 ng/ml, dengan kadar serum PSA tertinggi 100 ng/ml dan kadar serum PSA terendah 0,2 ng/ml (modus= 4,10 ng/ml).
5.1.3. Hasil Analisis Data
Analisis data diawali dengan melakukan uji normalitas data untuk mengetahui data yang diperoleh terdistribusi normal atau tidak, sehingga dapat dilanjutkan ke analisis berikutnya yang sesuai. Setelah dilakukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov didapatkan bahwa data nilai IMT berdistribusi normal (p= 0,200), sedangkan data nilai kadar serum PSA tidak berdistribusi normal (p= 0,001).
Analisis berikutnya yang dilakukan adalah uji hipotesis parametrik dengan uji korelasi Sperman, dikarenakan salah satu variabel tidak berdistribusi normal. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel numerik, yaitu hubungan antara nilai IMT terhadap kadar serum PSA pasien Poliklinik RSUP H. Adam Malik. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan bahwa terdapat hubungan antara nilai IMT dengan kadar serum PSA (p= 0,001) dengan keeratan korelasi lemah (r = -0,368). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai IMT berkorelasi lemah dan terbalik terhadap kadar serum PSA, dimana setiap peningkatan nilai IMT maka kadar serum PSA mengalami penurunan, dan sebaliknya.
Uji korelasi kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji regresi linier untuk mengetahui pengaruh nilai IMT terhadap kadar serum PSA. Berdasarkan uji regresi linier didapatkan nilai p < 0,05 (p= 0,001) dan Ho ditolak, maka ada pengaruh antara nilai IMT terhadap kadar serum PSA. Dengan nilai konstanta B = 59,478 dan nilai konstanta IMT = -2,044, maka didapat persamaan Y = 59,478 + (-2,044)X + e, yaitu jika nilai IMT mengalami peningkatan 1 angka maka kadar serum PSA akan mengalami penurunan sebesar 2,044. Nilai koefisien determinan (R square) yang didapat sebesar 0,124, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai
IMT mempengaruhi 12,4% kadar serum PSA dan 87,6% nya dipengaruhi oleh faktor lain.
Grafik 5.1 Pengaruh nilai IMT terhadap kadar serum PSA
Pada grafik 5.1 diatas, tampak hubungan linier antara IMT dengan kadar serum PSA. Garis linier terbentuk dari kiri atas ke kanan bawah menunjukkan adanya hubungan yang negatif, dimana peningkatan salah satu variabel diikuti dengan penurunan variabel yang lain. Grafik ini menunjukkan pengaruh IMT terhadap kadar serum PSA dengan persamaan dai uji regresi liner: Kadar serum PSA = 59,478 – 2,044*nilai IMT + e.
5.2. Pembahasan
Telah diketahui sejak lama bahwa pola obesitas pada pria, yakni penimbunan lemak pada abdomen, merupakan faktor resiko terjadinya pembesaran prostat baik jinak maupun ganas. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kadar esterogen yang menyebabkan peningkatan sensititasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat, yang akhirnya menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Selama rentang 15 minggu penelitian, peneliti mendapatkan 238 data rekam medik pasien dengan gejala LUTS yang berkunjung ke Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik. Namun hanya 125 data rekam medik pasien yang memiliki data mengenai berat badan, tinggi badan, dan kadar serum PSA.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang mengalami gejala LUTS didominasi kategori IMT normal (mean= 23,22827; modus= 23,438). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh B. Ganesh et al. (2011) yang menyatakan bahwa kejadian sindrom metabolik dan faktor resiko kanker prostat lebih tinggi pada pria dengan IMT ≥27 kg/m2 (RR= 3,0; CI= 1,2-7,3) dibandingkan dengan IMT normal (RR= 1,8; CI= 0,7-4,7). Perbedaan ini dapat terjadi karena sampel yang peneliti dapatkan datang ke rumah sakit terkait setelah menjalani perawatan di daerah maupun pelayanan di kesehatan primer.
Berdasarkan hasil analisis data penelitian didapatkan bahwa nilai IMT berkorelasi negatif terhadap nilai kadar serum PSA menurut korelasi Spearman (p= 0,001; r= -0,368). Dengan rata-rata kadar serum PSA untuk IMT kurus (mean IMT= 17,209; mean PSA= 33,459 ng/ml; n= 16) dan IMT normal (mean IMT= 22,299; mean PSA= 10,172 ng/ml; n= 72) berada diatas level cut off 10 ng/ml, sedangkan untuk IMT berat badan lebih (mean IMT= 25,976; mean PSA= 8,664 ng/ml; n= 11) dan IMT obese (mean IMT= 28,343; mean PSA= 5,212 ng/ml; n= 26) lebih rendah dari 10 ng/ml. Dimana nilai ambang PSA 10 ng/ml memiliki spesifisitas lebih tinggi terhadap kanker prostat (Joseph E.,1991 dan Erlangga N., 2007).
Penurunan kadar serum PSA seiring dengan peningkatan nilai IMT pasien dengan gejala LUTS sesuai dengan hasil penelitian Rundle et al. (2011), Ohwaki et al. (2010), Grubb et al. (2009), dan Calp et al. (2009) yang menggunakan sampel laki-laki dengan gejala asimptomatik, Banez et al. (2007) dengan sampel positif menderita kanker prostat, serta Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011) dengan sampel ethnis China yang mengalami gejala LUTS.
Hasil penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011), menggunakan uji korelasi Spearman, menunjukkan adanya korelasi negatif antara IMT dengan kadar serum PSA (p= 0,03; r= -0,05; n= 1612). Dengan rata-rata kadar serum PSA untuk IMT
normal (mean PSA= 4,84 ng/ml, n= 609) dan IMT berat badan lebih (mean PSA= 4,54ng/ml, n= 731) berada diatas level cut off biasa 4 ng/ml, namun untuk IMT obese (mean PSA= 3,95 ng/ml, n= 272) lebih rendah dari 4 ng/ml.
Hasil penelitian Banez et al. (2007), menggunakan analisa Cohort, menunjukkan adanya hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA. IMT yang lebih tinggi dikaitkan dengan konsentrasi serum PSA praoperasi yang lebih rendah pada SEARCH Cohort (p= 0.001), Duke Cohort (p= 0,001), dan Hopkins Cohort (p= 0,02). Dimana pria dengan IMT ≥35 memiliki kadar serum PSA 11% -21% lebih rendah dan volume plasma -21%-23% lebih tinggi dibanding pria dengan IMT normal. Namun massa PSA tidak mengalami perubahan yang signifikan seiring peningkatan IMT pada SEARCH Cohort (p= 0,76) dan Duke Cohort (p= 0,5). Sehingga Banez et al. (2007) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan massa PSA, namun terdapat hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA yang dikarenakan peningkatan plasma volume menyebabkan penurunan konsentrasi PSA.
Obesitas dikaitkan dengan hemodilusi dan beberapa perubahan hormonal tubuh, terutama penurunan kadar testosteron dan peningkatan kadar esterogen. Hemodilusi terkait obesitas hanya mempengaruhi penanda tumor yang tidak diatur secara sistemik, salah satunya PSA, sedangkan hormon dan serum protein dikontrol secara sistemik oleh tubuh. Teori ini lah yang sangat sering dikaitkan dengan perubahan kadar serum PSA berdasarkan IMT. Ketika PSA berlebihan dialirkan ke serum pada tingkat yang stabil dan terjadi peningkatan volume distribusi plasma, maka akan terjadi penurunan konsentrasi PSA menyebabkan penurunan kadar serum PSA.
Dari hasil analisis data menggunakan uji regresi linier, peneliti mendapatkan nilai IMT hanya mempengaruhi 12,4% kadar serum PSA (p= 0,001; konstanta B= 59,478; konstanta IMT= -2,044; R square= 0,124) dengan persamaan Y = 59.478 + (-2.044)X + e. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya nilai IMT yang mempengaruhi kadar serum PSA, tapi juga terdapat faktor lain yang berperan mempengaruhi kadar serum PSA.
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar serum PSA, dimana angka normal kadar PSA dalam darah meningkat sesuai dengan penambahan umur “age related PSA” (Joseph E, 1991 dan Brawer MK, 1999). Selain itu metabolisme kolesterol dan penurunan bioavaibilitas kolesterol dengan penggunaan statin dapat menginduksi apoptosis sel prostat, dan menyebabkan perubahan kadar serum prostat (M. H. Hager et al., 2006; L Zhuang et al., 2005; dan K. Pelton, 2012). Disamping itu, beberapa penelitian juga menyatakan bahwa penggunaan insulin (Heiko Muller et al., 2009), penggunaan 5-α-reductase inhibitors dan antiandrogen (Chiang et al., 2013), serta riwayat trauma dan penyakit pada prostat dan saluran kemih dapat mempengaruhi kadar serum PSA.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, bukan pengukuran langsung tinggi badan dan berat badan pada hari yang sama pengambilan sampel darah PSA. Beberapa pengukuran juga tidak dilakukan pada kunjungan pertama dengan keluhan LUTS. Hal ini mungkin mempengaruhi hasil penelitian yang berkorelasi lemah. Hal lain yang mungkin mempengaruhi penelitian ini adalah jumlah sampel yang terlalu sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Usia rata-rata pasien Poliklinik RSUP H. Adam Malik dengan gejala LUTS 66,2 tahun dan rentang usia yang paling banyak berkunjung 60-69 tahun (41,6%), terutama usia 69 tahun
2. Nilai IMT rata-rata pasien Poliklinik RSUP H. Adam Malik dengan gejala LUTS adalah 23,22827 (BB berlebih) dan IMT yang paling banyak 23,438 (BB berlebih), meskipun jenis IMT pasien yang berkunjung didominasi dengan IMT normal (57,6%)
3. Kadar serum PSA rata-rata pasien Poliklinik RSUP H. Adam Malik dengan gejala LUTS adalah 11,9880 ng/ml dan kadar serum PSA yang paling banyak 4,10 ng/ml, serta kadar serum PSA pasien yang berkunjung didominasi dengan kadar serum PSA > 4 ng/ml (50,4%)
4. Nilai IMT berkorelasi lemah dan terbalik terhadap kadar serum PSA, dimana setiap peningkatan nilai IMT maka kadar serum PSA mengalami penurunan, dan sebaliknya. Menggunakan persamaan regresi linier Y = 59,478 + (-2,044)X + e, dengan X= nilai IMT dan Y= kadar serum PSA, jika nilai IMT mengalami peningkatan 1 angka maka kadar serum PSA akan mengalami penurunan sebesar 2,044. Dan nilai IMT mempengaruhi 12,4% kadar serum PSA dan 87,6% nya dipengaruhi oleh faktor lain.
6.2. Saran
1. Rekomendasi Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA, sehingga diharapkan kedepannya untuk dilakukan penelitian untuk mecari tahu bagaimana IMT dapat mempengaruhi kadar serum PSA dan mengkaji perbedaan pengaruh IMT pada kanker prostat dan BPH
b. Meskipun hasil penelitian ini signifikan namun kekuatan korelasinya masih lemah, sehingga diharapkan kedepannya dapat dilakukan penelitian serupa dengan jangka penelitian cukup panjang dan jumlah sampel yang cukup banyak.
2. Klinisi Kesehatan
a. Melampirkan data rekam medik dengan lebih lengkap
b. Memperhatikan kemungkinan perubahan cut off kadar serum PSA yang lebih rendah pada pasien obese maupun IMT yang lebih tinggi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh
2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe Quetelet ketika mengembangkan "ilmu fisika sosial" (Eknoyan, 2008). IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas (WHO, 2014). IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Oleh karena itu, IMT menjadi alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan.
Selain sebagai ukuran standar yang berhubungan dengan berat badan dan tinggi badan, IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan. IMT telah digunakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai standar untuk mencatat statistik obesitas sejak awal 1980-an. Di Amerika Serikat, IMT juga digunakan sebagai ukuran underweight, untuk penderita yang mengalami gangguan makan, seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa (Garrow JS, 1985).
2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
IMT merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuardrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin. IMT mungkin tidak berkorenspondensi untuk derajat
kegemukan pada populasi yang berbeda dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka (WHO, 2000).
Tabel 2.1. Klasifikasi internasional IMT untuk dewasa
(Sumber: WHO, 2014) Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF
Katagori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang <18.5
Berat badan normal 18.5 – 22.9
Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II ≥30.0
(Sumber: IOTF, International Obesity Taskforce)
Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda dengan kawasan lain, sebagaimana penelitian yang dilakukan WHO (2004) menunjukkan bahwa indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih
pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9; 4,6; 3,2; dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Soegondo, Sidartawan & Purnamasari, Dyah, 2006).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.
Tabel 2.3. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kategori kurus <18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih ≥25,0 - <27,0
Obese ≥27
(Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007)
Indeks massa tubuh tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tapi hasil riset telah menunjukan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung, seperti pengukuran dalam air dan Dual-energy X-Ray Absorptiometry (DXA). IMT adalah metode yang mudah dan tidak mahal untuk dilakukan dan memberikan indikator atas lemak tubuh, serta digunakan untuk screening berat badan yang dapat mengakibatkan problema kesehatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2011).
2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh
IMT didefinisikan sebagai ukuran yang diperoleh dari berat badan individu (kg) dibagi dengan kuadrat tingginya (m2). Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi
badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam formula (rumus). Formula yang universal digunakan adalah: (Garrow JS, 1985)
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan Kuadrat (m2)
Selain itu, penentuan IMT dapat juga dilakukan dengan menggunakan kurva IMT, yang menampilkan IMT sebagai fungsi berat badan (sumbu horizontal) dan tinggi badan (sumbu vertikal) dengan menggunakan garis kontur untuk nilai dari IMT yang berbeda atau warna yang berbeda untuk kategori IMT, berdasarkan grafik IMT CDC 2000 (Eknoyan, 2008).
IMT memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan pengukuran lainnya untuk menentukan adipositas. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang dinyatakan dalam IMT memberikan pengukuran yang reliabel dari kegemukan di populasi daripada pengukuran ketebalan lipatan kulit otot trisep. Reliabilitas pengukuran antara interobserver dan intraobserver sangat sulit ditegakkan, semakin rendah reliabilitas semakin tinggi lemak tubuh, dan tidak ada metode yang efisien untuk mengkaji reliabilitas dari berbagai survei. (Garrow JS, 1985 dan Eknoyan, 2008).