BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.2. Saran
1. Rekomendasi Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA, sehingga diharapkan kedepannya untuk dilakukan penelitian untuk mecari tahu bagaimana IMT dapat mempengaruhi kadar serum PSA dan mengkaji perbedaan pengaruh IMT pada kanker prostat dan BPH
b. Meskipun hasil penelitian ini signifikan namun kekuatan korelasinya masih lemah, sehingga diharapkan kedepannya dapat dilakukan penelitian serupa dengan jangka penelitian cukup panjang dan jumlah sampel yang cukup banyak.
2. Klinisi Kesehatan
a. Melampirkan data rekam medik dengan lebih lengkap
b. Memperhatikan kemungkinan perubahan cut off kadar serum PSA yang lebih rendah pada pasien obese maupun IMT yang lebih tinggi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh
2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe Quetelet ketika mengembangkan "ilmu fisika sosial" (Eknoyan, 2008). IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas (WHO, 2014). IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Oleh karena itu, IMT menjadi alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan.
Selain sebagai ukuran standar yang berhubungan dengan berat badan dan tinggi badan, IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan. IMT telah digunakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai standar untuk mencatat statistik obesitas sejak awal 1980-an. Di Amerika Serikat, IMT juga digunakan sebagai ukuran underweight, untuk penderita yang mengalami gangguan makan, seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa (Garrow JS, 1985).
2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
IMT merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuardrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin. IMT mungkin tidak berkorenspondensi untuk derajat
kegemukan pada populasi yang berbeda dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka (WHO, 2000).
Tabel 2.1. Klasifikasi internasional IMT untuk dewasa
(Sumber: WHO, 2014) Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF
Katagori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang <18.5
Berat badan normal 18.5 – 22.9
Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II ≥30.0
(Sumber: IOTF, International Obesity Taskforce)
Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda dengan kawasan lain, sebagaimana penelitian yang dilakukan WHO (2004) menunjukkan bahwa indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih
pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9; 4,6; 3,2; dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Soegondo, Sidartawan & Purnamasari, Dyah, 2006).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.
Tabel 2.3. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kategori kurus <18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih ≥25,0 - <27,0
Obese ≥27
(Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007)
Indeks massa tubuh tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tapi hasil riset telah menunjukan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung, seperti pengukuran dalam air dan Dual-energy X-Ray Absorptiometry (DXA). IMT adalah metode yang mudah dan tidak mahal untuk dilakukan dan memberikan indikator atas lemak tubuh, serta digunakan untuk screening berat badan yang dapat mengakibatkan problema kesehatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2011).
2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh
IMT didefinisikan sebagai ukuran yang diperoleh dari berat badan individu (kg) dibagi dengan kuadrat tingginya (m2). Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi
badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam formula (rumus). Formula yang universal digunakan adalah: (Garrow JS, 1985)
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan Kuadrat (m2)
Selain itu, penentuan IMT dapat juga dilakukan dengan menggunakan kurva IMT, yang menampilkan IMT sebagai fungsi berat badan (sumbu horizontal) dan tinggi badan (sumbu vertikal) dengan menggunakan garis kontur untuk nilai dari IMT yang berbeda atau warna yang berbeda untuk kategori IMT, berdasarkan grafik IMT CDC 2000 (Eknoyan, 2008).
IMT memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan pengukuran lainnya untuk menentukan adipositas. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang dinyatakan dalam IMT memberikan pengukuran yang reliabel dari kegemukan di populasi daripada pengukuran ketebalan lipatan kulit otot trisep. Reliabilitas pengukuran antara interobserver dan intraobserver sangat sulit ditegakkan, semakin rendah reliabilitas semakin tinggi lemak tubuh, dan tidak ada metode yang efisien untuk mengkaji reliabilitas dari berbagai survei. (Garrow JS, 1985 dan Eknoyan, 2008).
2.2. Prostat
2.2.1. Anatomi Prostat
Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria dan merupakan penghasil cairan semen. Dalam Smith’s General Urology 17th ed. (2008) disebutkan bahwa prostat berbentuk piramid, tersusun atas jaringan fibromuskular yang mengandung kelenjar. Prostat pada umumnya memiliki berat normal sekitar 20 g dan ukuran panjang sekitar 2,5 cm, mengelilingi uretra pria. Bagian anterior prostat didukung oleh ligamentum puboprostatika dan inferiornya oleh diafragma urogenital. Pada bagian depannya terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal, yang dinamakan cave of Retzius atau ruangan retropubik. Bagian belakangnya dekat dengan rektum, dipisahkan oleh
fascia Denonvilliers. Prostat juga berhubungan dengan duktus ejakulatorius pada posteriornya untuk pengosongan cairan ejakulat melalui verumontanum.
Sumber: K. OH, William (2000)
Gambar 2.1. Rongga panggul pria
Sumber: Smith’s General Urology 17th ed. (2008) Gambar 2.2. Organ prostat
Berdasarkan klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior, posterior, median, lateral kanan, dan lateral kiri. Menurut McNeal (1972), prostat memiliki zona perifer, zona sentral, dan zona transisi; segmen anterior; dan zona sfingter preprostatika (Smith’s General Urology 17th ed., 2008).
Sumber: Smith’s General Urology 17th ed. (2008)
Gambar 2.3. Zona pada prostat menurut McNeal
Secara histologi, prostat terdiri dari kapsul fibrosa tipis yang secara sirkuler berorientasi pada serat otot polos dan jaringan kolagen yang mengelilingi uretra (sfingter involunter). Pada lapisan dalam, stroma prostat terdiri dari jaringan ikat, jaringan elastis, dan serat otot polos yang terdapat epitel kelenjar. Sekret dari kelenjar prostat mengalir ke saluran ekskretori utama yang terbuka didasar uretra antara verumontanum dan leher vesika (Smith’s General Urology 17th ed., 2008).
2.2.2. Sekresi Prostat
Sebagai kelenjar, prostat mengahasilkan beberapa produk protein yang biasa dijumpai pada cairan ejakulat. Seperti yang terlampir dalam Campbell-Walsh Urology 10th ed. (2012), beberapa protein ejakulat tersebut adalah:
Tabel 2.4. Protein sekresi mayor kelenjar aksesoris genitalia pria
(Sumber: Campbell-Walsh Urology 10th ed., 2012) 2.3. Prostate Specific Antigen (PSA)
2.3.1. Definisi Prostate Specific Antigen (PSA)
PSA adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. PSA merupakan protein yang diproduksi oleh sel prostat untuk menjaga viskositas cairan semen. PSA diproduksi sel-sel kelenjar prostat baik sehat maupun yang mengalami pembesaran jinak dan maligna. Oleh karena itu, pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar serum PSA (Joseph E.,
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, BPH, keganasan prostat, dan bertambahnya usia. Pada pasien BPH pemeriksaan kadar serum PSA penting untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009). Pada pasien kanker prostat pemeriksaan kadar serum PSA menjadi parameter berkelanjutan, semakin tinggi kadarnya maka semakin tinggi kecurigaan kanker prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2011).
Pemeriksaan PSA serum sangat diindikasikan pada pasien dengan gejala LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms). LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) dan iritasi (storage symptoms), yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitent), dan merasa tidak puas setelah miksi, yang kemudian menjadi retensi urine.
2.3.2. Jenis dan Nilai Kadar Serum PSA
Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan suatu glycoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel pada asinus dan duktus dari kelenjar prostat. PSA disekreasi kedalam cairan seminal oleh sel epitel luminal dari duktus prostat, asinus, dan kelenjar dari periuretral. Normalnya kadar serum PSA sangat rendah karena terkonsenttrasi pada prostat. Namun, kerusakan pada arsitektur jaringan prostat normal seperti pada prostatic disease, inflamasi atau trauma akan menyebabkan banyaknya jumlah PSA yang masuk ke dalam sirkulasi. Sehingga, peningkatan level PSA serum dijadikan sebagai marker penting pada beberapa prostate disease, antara lain BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Montironi R. et al., 2000).
Penelitian juga telah menunjukan bahwa PSA yang terdapat dalam serum terdiri dari beberapa molekular (Christensson A. et al., 1993 dalam Arneth, 2009). Penelitian terdahulu menggambarkan keuntungan potensial pada penggunaan bentuk molekular PSA untuk meningkatkan manfaat klinis test PSA pada deteksi dini kanker prostat. Penelitian juga telah memperlihatkan kegunaan bentuk PSA
yang lebih spesifik yang terdapat pada serum yang dapat meningkatkan kemampuan dari PSA untuk membedakan antara pasien dengan kanker prostat dan yang jinak (Stenman U.H. et al., 1991 dalam Durmaz, 2014). Penemuan keberadaan PSA di serum dalam beberapa bentuk molekular menambah manfaat klinik pada pemeriksaan PSA. Bentuk yang besar termasuk di dalamnya nonkomplek atau free PSA dan PSA komplek dengan serine protease inhibitor α1-antichymotrypsin (ACT) dan α2-macroglobulin (Christensson A. et al., 1993 dalam Arneth, 2009).
Tabel 2.5. Molecular Forms of Prostate-Specific Antigen
(Sumber: Lilja H. et al., 1991)
Biopsi prostat dianjurkan pada pasien dengan PSA > 4.0 ng/ml atau DRE yang abnormal. American Urologic Association merekomendasikan biopsi jarum prostat pada pria dengan nilai PSA lebih dari 4 ng/ml, atau pada DRE di jumpai prostat yang tidak normal (AUA Commentary, 2000). Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai nilai standar secara internasional, namun nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml.
Peningkatan kadar PSA bisa terjadi pada keadaan BPH, infeksi saluran kemih dan kanker prostat sehingga dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi nilai PSA yaitu PSA velocity atau perubahan laju nilai PSA, densitas PSA dan nilai rata – rata PSA, yang nilainya bergantung kepada umur penderita.
Tabel 2.6. Rata-rata nilai normal kadar PSA menurut umur Umur (tahun) Rata – Rata Nilai Normal PSA (ng/mL) 40 – 49 0.0 – 2.5
50 – 59 0.0 – 3.5 60 – 69 0.0 – 4.5 70 – 79 0.0 – 6.5
Sumber : Dawson C. dan Whitfield H., 1996 dalam Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009
Pemeriksaan PSA di Negara Barat mempunyai hasil yang sangat sensitif namun tidak spesifik, yakni rata-rata mencapai tingkat sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas kurang dari 25%, untuk kadar nilai ambang PSA 4 ng/ml (Brewer MK, 1999). Dan pada peningkatan nilai ambang PSA 10 ng/ml terjadi penurunan sensitivitas menjadi lebih dari 75% sementara pada spesifisitas meningkat hampir dua kali lipat menjadi 48% (Joseph E.,1991). Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian mengenai nilai spesifisitas dan sensitivitas tentang pemeriksaan PSA baru dilakukan di RS Kariadi Semarang dengan hasil nilai spesifisitas meningkat pada nilai ambang batas PSA 10 ng/ml dan nilai PSA >10 ng/ml menjadi nilai rekomendasi untuk dilakukan biopsi prostat sebelum diagnosis pasti kanker prostat ditegakkan (Erlangga N., 2007)
2.3.3. Hal-hal yang Mempengaruhi Kadar Serum PSA
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar serum PSA, antara lain: a. Usia
Terjadi peningkatan kadar serum PSA seiring dengan bertambahnya usia. Secara fisiologis, angka normal kadar PSA dalam darah meningkat sesuai dengan penambahan umur, yang disebut “age related PSA” (Joseph E, 1991 dan Brawer MK, 1999). Hal ini terjadi karena terdapat penurunan fungsi
kontrol metabolisme oleh tubuh dengan semakin bertambahnya usia (Joseph E, 1991). Sehingga pemeriksaan PSA pada pasien yang sama jika dilakukan secara rutin dan berkala, menunjukkan penurunan sensitivitas dan spesifisitas PSA terhadap kanker prostat.
b. Statin
Statin (HMG-CoA reductase inhibitors) merupakan preparat yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol. Hasil penelitian M. H. Hager et al. (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan prostat dan kanker prostat dipengaruhi oleh metabolisme kolesterol yang abnormal, dimana makin tinggi kolesterol maka pertumbuhan prostat semakin meningkat. Selanjutnya, L Zhuang et al. (2005) dan K. Pelton (2012) mendapati bahwa penurunan bioavaibilitas kolesterol menginduksi apoptosis sel prostat. (Sang Hun Lee et al., 2013)
c. Insulin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Heiko Muller et al. (2009) mengenai “Hubungan Diabetes dan IMT terhadap PSA,” didapatkan hasil bahwa pasien diabetes yang menggunakan pengobatan insulin cenderung memiliki kadar serum PSA yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien diabetes tanpa pengobatan. Dimana pasien diabetes tanpa pengobatan ini memiliki kadar serum PSA yang relatif sama dengan pasien tanpa diabetes. Hal ini mugkin dipengaruhi oleh insulin, bahkan pada penggunaan secara oral juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.
d. 5-α-reductase inhibitors dan antiandrogen
5-α-reductase inhibitors dapat menyebabkan sitoreduksi jaringan prostat (Chiang et al., 2013) dan antiandrogen dapat menyebabkan penurunan kadar testosterone yang berperan pada biokimia kelenjar prostat, sehingga penggunaan preparat ini dapat menurunkan kadar serum PSA.
e. Trauma dan penyakit pada prostat dan saluran kemih
Akut retensi urine, akut atau kronik prostatitis, kateterisasi kurang dari 5 hari, dan operasi yang berhubungan dengan BPH kurang dari 3 bulan merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trauma pada prostat, sehingga terjadi peningkatan kadar serum PSA.
2.4. Hubungan IMT dengan Kadar Serum PSA
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada pria biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa obesitas menjadi faktor resiko terjadinya pembesaran prostat baik jinak maupun ganas.
Berdasarkan penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011) dalam Asian Pacific Journal of Cancer Prevention vol. 12 melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar serum PSA pada pasien seiring dengan peningkatan IMT (terutama obesitas) sehingga dibutuhkan cutoff yang berbeda antara pasien yang obesitas dengan IMT normal. Banez et al. (2007) dalam The Journal of the American Medical Association vol. 298 melaporkan bahwa kadar serum PSA menurun secara signifikan dengan peningkatan IMT karena dilusi dari jumlah PSA yang tetap dalam volume plasma pada pasien dengan IMT yang lebih tinggi.
Namun, belum ada penelitian yang secara pasti mengenai penyebab terjadinya penurunan nilai kadar serum PSA pada penderita dengan IMT diatas normal. Ohwaki et al. (2010) dan Grubb et al. (2009) dalam Peter Kang-Fu Chiu et al. (2011) mengemukakan bahwa hubungan terbalik IMT dengan PSA dapat dijelaskan oleh hemodilusi karena volume plasma yang lebih tinggi pada pria obesitas. Penjelasan lain menyebutkan bahwa pria obesitas memiliki tingkat androgen rendah. Androgen berperan penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi prostat normal, dengan demikian tingkat androgen rendah dapat menyebabkan massa PSA lebih rendah. Namun, Banez et al. ( 2007) mengemukakan bahwa massa PSA pada pasien obesitas adalah sama atau bahkan lebih tinggi
dibandingkan populasi normal, sehingga penjelasan androgenik kurang masuk akal. Rata-rata PSA dalam studi yang dipublikasikan berkisar antara 0.7-1.5 ng/mL, nilai ini jauh dari cutoff yang diakui untuk dilakukan biopsi prostat yaitu 4 ng/ml. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosa kanker prostat pada pasien obesitas.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak pada inferior vesica urinaria, anterior rektum, dan posterior uretra bagian proksimal, sehingga jika terjadi pembesaran tentunya sangat mengganggu proses perkemihan. Dalam Campbell-Walsh Urology 10th ed. (2012) disebutkan bahwa sebagai kelenjar, prostat memproduksi beberapa protein seperti PSA (human kallikrein 3 [hK3, protein; atau KLK3, gen]); human kallikrein 2 (hK2 atau KLK2); prostase/KLK-L1 (Yousef et al., 1999; Lwaleed et al., 2004; dan Clements, 2008); prostatic acid phosphatase; dan prostate-specific protein (PSP-94) yang juga dikenal sebagai β -microseminoprotein (β-MSP). Normalnya protein-protein ini ditemukan pada cairan semen. Kadar dari beberapa protein ini dijadikan sebagai diagnostik beberapa penyakit yang menyerang prostat, seperti kadar serum PSA pada BPH (Benign Prostate Hyperplasia) dan kanker prostat.
PSA (Prostate Specific Antigen) adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. Oleh karena itu, pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar serum PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, BPH, keganasan prostat, dan bertambahnya usia. Pada pasien BPH pemeriksaan kadar serum PSA penting untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009). Pada pasien kanker prostat pemeriksaan kadar serum PSA menjadi parameter berkelanjutan, semakin tinggi kadarnya maka semakin tinggi kecurigaan kanker prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2011).
Penelitian dua dekade belakangan ini banyak mencari tahu efek Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap kejadian pembesaran prostat, karena banyaknya pengaruh IMT, terutama obesitas, terhadap kesehatan saat ini. Hasil yang didapat
cukup menarik, pada pasien obesitas cenderung memiliki kadar serum PSA yang relatif lebih rendah. Berdasarkan penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011) dalam Asian Pacific Journal of Cancer Prevention didapati bahwa terjadi penurunan kadar serum PSA pada pasien seiring dengan peningkatan IMT (terutama obesitas) sehingga dibutuhkan batas yang berbeda antara pasien yang obesitas dengan IMT normal. Banez et al. (2007) dalam The Journal of the American Medical Association mendapati bahwa kadar serum PSA menurun secara signifikan pada peningkatan IMT karena dilusi dari jumlah PSA yang tetap dalam volume plasma pada pasien dengan IMT yang lebih tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, penting untuk diteliti hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kadar Serum Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan IMT dengan kadar serum PSA pada pasien poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi usia pasien dengan gejala LUTS poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik
2. Untuk mengetahui distribusi IMT pasien dengan gejala LUTS poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik
3. Untuk mengetahui distribusi kadar serum PSA pasien dengan gejala LUTS poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik
4. Untuk mengetahui hubungan IMT dengan kadar serum PSA pada pasien poliklinik urologi RSUP H. Adam Malik.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1.Peneliti
a. Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian b. Menambah ilmu pengetahuan
2.Penelitian Selanjutnya
a. Menjadi bahan rujukan bagi penelitian yang akan datang b. Menjadi inspirasi bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam
hubungan antara IMT dan kadar serum PSA 3.Tenaga Kesehatan
Menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan cutoff kadar serum PSA pada diagnostik prostat.
ABSTRAK
Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan glycoprotein spesifik untuk prostat namun tidak untuk kanker prostat, yang normalnya terkonsentrasi di prostat dan kadarnya sangat rendah di serum. Kadar serum PSA mengalami peningkatan pada beberapa gangguan prostat, sehingga dapat digunakan untuk diagnostik dini dan parameter berkelanjutan pada BPH dan kanker prostat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor resiko terjadinya BPH dan kanker prostat, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar serum PSA pada pria dengan IMT normal dan rendah cenderung lebih tinggi daripada pria overweight dan obese.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi usia, IMT, dan kadar serum PSA, serta hubungan antara IMT dan kadar serum PSA pasien Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional menggunakan data rekam medik pasien dengan gejala LUTS pada Poliklinik Urologi RSUP H. Adam Malik. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling dari Juli hingga Nopember 2014 dengan mengeksklusi pasien yang menjalani operasi prostat atau tindakan yang berhubungan dengan prostat <3 bulan, retensi urin akut, akut dan kronis prostatitis, dan kateterisasi <5 hari.
Hasil penelitian menunjukkan total 125 sampel dengan usia rerata 66,2 tahun, IMT rerata 23,22827 (BB berlebih), dan kadar serum PSA rerata 11,9880 ng/ml. Hasil analisis korelasi Spearman didapatkan nilai IMT berkorelasi negatif terhadap kadar serum PSA (p=0,001; r=-0,368). Dimana rerata kadar serum PSA untuk IMT kurus (mean IMT=17,209; mean PSA=33,459ng/ml; n=16) dan IMT normal (mean IMT=22,299; mean PSA=10,172ng/ml; n=72) >10ng/ml, sedangkan untuk IMT berat badan lebih (mean IMT=25,976; mean PSA=8,664ng/ml; n=11) dan obese (mean IMT=28,343; mean PSA=5,212ng/ml; n=26) <10ng/ml. Dari analisis regresi linier didapatkan sebuah persamaan, kadar serum PSA = 59,478 – 2,044(nilai IMT) + e, dimana IMT mempengaruhi 12,4% kadar serum PSA (p=0,001; R square=0,124).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan ada hubungan antara IMT dengan kadar serum PSA.
ABSTRACT
Prostate Specific Antigen (PSA) is a specific glycoprotein for prostate but not for prostate cancer, which is normally concentrated in prostate and very low in serum. Serum PSA levels increased in some prostate problems, so it can be