• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teh pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari Jepang yang dibawa oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, menurut Valentjin, usaha pengembangan teh skala perkebunan dimulai oleh pemerintah Belanda, hingga abad 19, teh mulai dikenal luas sebagai tanaman perkebunan Indonesia. Ekspor teh pertama Indonesia dimulai pada tahun 1835, dengan negara tujuan Amsterdam (Nazaruddin, 1993).

Mulai dari saat itu, teh dikenal sebagai salah satu industri yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Beberapa penelitian terus dilakukan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) untuk menghasilkan beberapa tanaman teh unggul. Hingga saat ini dikenal beberapa klon teh unggul, yakni TRI 2024, TRI 2025, Gambung, Pasir Sarongge (PS), Rancabali (RB) dan beberapa klon lainnya.

15

Klon Gambung 6 – Gambung 11 merupakan klon tanaman yang unggul karena dapat memproduksi sekiar 4.000kg/Ha-5.500kg/Ha tanaman teh basah. Klon ini merupakan klon tanaman teh yang dikembangkan oleh PPTK Gambung pada tahun 1998, yang dianjurkan untuk ditanam menggantikan klon-klon yang sudah beredar. Tanaman teh tersebar di beberapa pelosok Indonesia yakni, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga saat ini, berdasarkan data dari Departemen Pertanian tercatat ada sekitar 127.384 Ha lahan yang digunakan untuk menanam teh, dan menghasilkan 149.764 ton teh per tahunnya.

Menurut PPTK (2006), beberapa syarat tumbuh tanaman teh antara lain; (1) Iklim

Tanaman teh akan tumbuh dengan baik bila ditanam di daerah dengan suhu 13-25OC, dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merata, karena tanaman ini tidak tahan terhadap kekeringan, sekitar kurang lebih 2000 mm curah hujan tahunannya. Tanaman teh juga tidak tahan terhadap panas sehingga jika suhu berada ditas 30OC pertumbuhannya akan terhenti, oleh karena itu di perkebunan dataran rendah perlu ditanam pohon pelindung untuk melindungi tanaman teh dari suhu tinggi.

(2) Tanah

Tanah yang memenuhi kriteria pertumbuhan tanaman teh adalah tanah yang subur, mengandung bahan organik, dan memiliki pH 4,5-5,6. Umumnya tanah dengan kandungan seperti ini terjadi di tanah andisol (vulkanis muda) yang terletak di lereng-lereng gunung berapi.

(3) Elevasi

Elevasi (ketinggian) juga menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi karena terkait dengan iklim (suhu udara); semakin rendah maka suhu akan semakin tinggi, oleh karena itu di daerah rendah perlu ditanam pohon pelindung. Perkebunan teh dibagi menjadi tiga berdasarkan ketinggiannya; Perkebunan Daerah Rendah (<800m diatas permukaan laut (dpl)), Perkebunan Daerah Sedang (800-1200m dpl) dan Perkebunan Daerah Tinggi (>1200m dpl).

16 2.4. Proses Produksi Teh Hitam dan Pemasarannya

Ada dua macam jenis produksi teh yang dikenal dalam agroindustri teh, yakni produksi teh basah dan produksi teh kering. Produksi teh basah merupakan hasil pemetikan tanaman teh yang akan menjadi bahan baku untuk diolah menjadi teh kering, oleh karena itu hasil produksi basah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi mutu teh kering yang akan dihasilkan. Secara fisik menurut Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), pucuk yang bermutu adalah pucuk yang utuh, segar, dan berwarna kehijauan. Mencegah turunnya mutu pucuk diperlukan pengaturan yang baik dari pemetikan, penampungan di los pucuk, pewadahan, hingga pengangkutan sampai ke pabrik.

Sebagian besar pabrik teh di Indonesia mengolah teh hitam karena teh hitam sudah mendapat perhatian dari pasar ekspor semenjak ekspor teh pertama ke Amsterdam pada 1835. Oleh karena itu untuk menghasilkan teh hitam yang bermutu, diperlukan beberapa faktor penunjang yakni: memperhatikan pasar yang dituju, pengetahuan akan proses pengolahan dan peranan pengolah dalam mengarahkan cara kerja yang benar, mesin yang dipakai, dan bahan baku pucuk yang akan diolah.

Secara umum pengolahan teh hitam dibagi menjadi dua yakni; ortodoks (dibagi menjadi ortodoks-murni dan ortodoks-rotorvane) dan CTC (Crush,

Tearing, and Curling). Pengolahan teh hitam yang dilakukan rata-rata oleh

industri teh Indonesia menggunakan metode ortodoks-rotorvane karena pasar ekspor lebih menyukai ke teh hitam dengan partikel kecil (bubuk). Adapun beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk mengolah teh secara orthodoks adalah sebagai berikut (PPTK 2008);

(1) Pelayuan

Pelayuan merupakan tahap pertama dalam pengolahan teh hitam, indikator yang menjadi penentu kualitas teh hitam yang dihasilkan adalah derajat layu, besarnya derajat layu agar pengolahan teh hitam orthodoks menghasilkan mutu yang baik adalah 44-46 persen, derajat layu merupakan hasil keringan dibagi pucuk layu yang dikalikan seratus persen. Dalam proses pelayuan daun teh dibeber pada alat withering through

17

(2) Penggulungan, Penggilingan, dan Sortasi Basah

Proses kedua dari pengolahan teh hitam adalah penggulungan, penggilingan dan sortasi basah, setelah dilayukan daun teh akan digulung dengan menggunakan mesin open top roller selama 30-40 menit. Penggulungan dilakukan untuk merangsang terjadinya oksidasi enzimatis akibat cairan sel yang keluar dari daun.

Setelah digulung daun akan dimasukkan ke dalam Press Cap Roller atau

Rotorvane untuk digiling. Proses penggilingan bertujuan untuk

memperkecil gulungan menjadi partikel yang dikehendaki, menggerus pucuk agar cairan sel keluar semaksimal mungkin dan membenntuk hasil keringan yang keriting, dan memperoleh bubuk basah yang banyak. Proses penggilingan dilakukan sekitar 40-70 menit. Biasanya di perkebunan dilakukan penggilingan dengan penggunaan rotorvane di gilingan kedua dan ketiga atau ketiga dan keempat karena akan menghasilkan bubuk lebih dari 85 persen dan mengurangi jumlah badag, bubuk teh dengan mutu rendah.

Sortasi bubuk basah dilakukan untuk memperoleh ukuran bubuk yang seragam, memudahkan pekerjaan sortasi kering, dan memudahkan pengaturan pengeringan di -fluid bed dryer. Mesin yang digunakan untuk sortasi adalah rotary ball breaker dengan ukuran mesh 7,7,7 atau 6,6,7. (3) Oksidasi Enzimatis

Oksidasi Enzimatis bergantung kepada beberapa faktor; kadar air suhu dan kelembaban, kadar enzim, jenis bahan, dan oksigen. Suhu dan kelembaban ruang giling harus diatur sedemikian rupa agar proses ini dapat berjalan dengan baik. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan theaflavin dan

thearubigin yang akan menentukan kualitas seduhan, proses oksidasi

enzimatis biasanya dilakukan selama 90-110 menit. (4) Pengeringan

Proses pengeringan bertujuan untuk menghentikan oksidasi enzimatis pada saat komposisi zat-zat pendukung sudah mencapai keadaan optimal. Mesin yang biasanya digunakan yakni; Endless Chain Pressure atau Fluid Bed

18

95ºC dengan suhu keluar 40-50ºC, lamanya proses pengeringan sekitar 20 menit, pengeringan yang terlalu lama akan mengakibatkan teh menjadi gosong.

(5) Sortasi Kering

Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan teh sesuai dengan partikel dan warna yang diinginkan oleh konsumen. Mesin yang digunakan dalam proses sortasi biasanya dengan chota shifter atau ayakan tangan (untuk memisahkan bentuk), winnower (untuk memisahkan sesuai berat),

vibroscreen (untuk membersihkan serat), peti miring (penyimpanan teh jadi), dan tea bulker (untuk pencampuran).

(6) Pengemasan

Teh yang sudah jadi akan dimasukkan ke peti miring, lalu dimasukkan ke

tea bulker sebelum dikemas ke dalam chop, biasanya dengan

menggunakan paper sack..

Dari proses pengolahan teh hitam menjadi bubuk tersebut dihasilkan tiga standar mutu, dari grade pertama, teh daun (leaf grade) dihasikan beberapa mutu yakni, OP (Orange Pekoe), OP Sup (Orange Pekoe Superior), FOP (Flowery Orange Pekoe), S (Souchon), BS (Broken Souchon), BOP Sup (Broken Orange Pekoe Superior), BOP Grof (Broken Orange Pekoe Grof), BOP Sp (Broken Orange Pekoe Special), dan LM (Leaf Mixed). Grade kedua teh bubuk (broken grade) dihasilkan beberapa grade seperti; BOP/BOP I (Broken Orange Pekoe), BOP II, FBOP (Flowery Broken Orang Pekoe), BP (Broken Pekoe), BP II, BT

(Broken Tea), BT II, BOPF (Broken Orange Pekoe Fanning) ,BOPF Sup (Broken

Orange Pekoe Superior), dan BM (Broken Mixed). Sedangkan grade ketiga, teh halus (small grades), mutunya terbagi menjadi F (Fanning), F II, TF (Tippy Fanning), PF (Pekoe Fanning), PF II, Dust, Dust II, dan Dust III. Perbedaan jenis mutu dan grade ini didasarkan atas perbedaan bobot dari partikel teh dan bentuk dari partikel teh yang sudah disortasi melalui Winnower (penentuan mutu) dan

chota shifter (penentuan grade). Perlakuan mutu teh ini tertera dalam Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Nomor SP-17-1975 Revisi 1989.

Dalam pemasarannya biasanya teh hitam yang sudah diproduksi oleh pihak perkebunan akan dipasarkan melalui tiga jalur 1) dijual langsung ke

19

perusahaan packing atau blending 2) diekspor langsung ke negaralain 3) dilelang di Jakarta Tea Auction. Biasanya hampir 80 persen teh yang diproduksi oleh perkebunan akan dilelang di Jakarta Tea Auction5. Harga yang terjadi di Jakarta

Tea Auction akan menjadi dasar penentuan harga penjualan teh untuk kedua rantai

lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga yang terjadi di Jakarta Tea

Auction memegang peranan dalam industri teh nasional. Diagram mengenai

supply chain dari industri teh nasional dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2.Supply Chain Komoditas Teh Nasional

Sumber : Kustanti et al. (2007)

Dokumen terkait