ANALISIS TRANSMISI HARGA TEH HITAM
GRADE
DUST
INDONESIA
(Dengan Pendekatan Model
Vector Autoregression
)
SKRIPSI
M. FADHIL ADINUGROHO H34070070
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
M. FADHIL ADINUGROHO. SKRIPSI. Analisis Transmisi Harga Teh Hitam Grade Dust Indonesia (Dengan Pendekatan Model Vector Autoregression). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI).
Harga menjadi salah satu isu penting dalam pelelangan teh di Jakarta Tea
Auction. Harga menjadi penting karena selain menjadi salah satu indikator
penerimaan bagi perusahaan, juga menjadi salah satu indikator penentuan produksi. Dalam pendugaannya harga lelang yang akan datang diduga menggunakan permodelan peramalan univariate, Naive Forecasting. Adanya liberalisasi perdagangan, maka diduga terdapat hubungan antara harga teh di Jakarta dengan tempat lelang lain seperti Colombo dan Guwahati. Sehingga dalam pendugaan harga yang akan datang akan lebih akurat jika menggunakan model peramalan multivariate.
Teh hitam yang dipasarkan di dunia Internasional memiliki 36 grade, enam grade yang diminati oleh pasar internasional antara lain, BOP (Broken Orange Pekoe), PF (Pekoe Fanning), Fanning, Dust, BP (Broken Pekoe), dan BT (Broken Tea). Dust digunakan dalam penelitian karena Dust merupakan salah satu grade teh yang sering digunakan dalam tea bag. Selain itu Dust merupakan jenis grade teh yang paling banyak dilelang di Jakarta Tea Auction kedua setelah Fanning.
Terkadang produsen masih seringkali kesulitan dalam menduga grade jenis apa yang diminati pada lelang yang akan datang, dikarenakan ketimpangan informasi yang didapat mengenai pasar sehingga mempengaruhi perencanaan penerimaan perusahaan. Vector Autoregression (VAR) merupakan permodelan multivariate
yang dapat menjelaskan hubungan antar variabel yang diduga berhubungan dan pendugaan harga yang akan datang. Sehingga diharapkan melalui model VAR dapat tergambar bagaimana kondisi pasar teh khususnya grade Dust.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis volatilitas harga teh grade Dust di pasar lelang dunia. (2) Menganalisis hubungan harga teh grade Dust di Jakarta Tea Auction terhadap
auction Colombo dan Guwahati. (3) Menganalisis performa model VAR dalam
menduga harga teh grade Dust Jakarta Tea Auction yang akan datang. (4) Menyusun rekomendasi strategi yang dapat dilakukan PT. KPB Nusantara, sebagai pelaksana Jakarta Tea Auction, dan Dewan Teh Indonesia, sebagai pemegang kebijakan agribisnis teh nasional, untuk meningkatkan penjualan teh khususnya grade Dust.
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data harga rataan teh grade Dust yang berasal dari tiga tempat lelang, untuk harga Dust Jakarta Tea Auction data bersumber dari laporan riset pasar milik PT. KPB Nusantara dan harga Dust
Colombo Tea Auction, besumber dari situs John Keels Ltd. Guwahati Tea Auction
iii
Hasil uji volatilitas menunjukkan pasa Colombo sebagai pasar teh grade Dust yang paling volatil. Jakarta keluar sebagai pasar yang paling rendah tingkat volatilitasnya, ini menunjukkan variasi harga yang terjadi di Jakarta sangat kecil. Berdasarkan keluaran model VAR, didapatkan tidak terdapat hubungan timbal balik antara Jakarta, Colombo dan Guwahati. Sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi di Jakarta Tea Auction. Berdasarkan keluaran fungsi respon impuls,
Jakarta Tea Auction merespon shock yang terjadi di Guwahati Tea Auction dan
Colombo Tea Auction pada periode kedua. Dikarenakan perbedaan waktu auction
yang dilaksaknakan oleh ketiga tempat lelang. Namun pengaruh shock yang dirasakan tidak terlalu besar, dikarenakan masih terbukanya peluang bagi pasar teh grade Dust. Selain diekspor ke Inggris, Mesir, dan Pakistan, Jakarta juga mengekspor teh grade Dust ke beberapa pasar lain seperti Malaysia, Belanda, Amerika Serikat, Jerman, dan Polandia. Dalam pendugaan harga yang akan datang, berdasarkan hasil Variance Decomposition, Jakarta Tea Auction
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penjelasan keragaman harga teh
grade Dust Jakarta Tea Auction yang akan datang, jika dibandingkan dengan
Guwahati Tea Auction dan Colombo Tea Auction.
Jika membandingkan antara Model Naive Forecasting dengan Model VAR, Model Naive Forecasting sudah cukup baik menggambarkan harga rata-rata teh
grade Dust untuk masa mendatang. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Mujiati,
peneliti di PT. KPB Nusantara, dalam penentuan harga teh lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yakni: kualitas teh yang dijual saat lelang, keadaan alam, kondisi geopolitik, kondisi ekonomi global, dan keadaan negara tujuan
buyer.
Berdasarkan hasil analisis dari permodelan VAR ada beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh PT. KPB Nusantara dan Dewan Teh Indonesia untuk meningkatkan penjualan teh grade Dust yang dilelang di Jakarta Tea
Auction antara lain; (1) PT. KPB Nusantara dapat mencoba untuk
memformulasikan model univariate pendugaan harga yang lebih tepat, seperti
Moving Average, Exponential Smoothing atau ARIMA, dikarenakan adanya
ANALISIS TRANSMISI HARGA TEH HITAM
GRADE
DUST
INDONESIA
(Dengan Pendekatan Model
Vector Autoregression
)
M. FADHIL ADINUGROHO H34070070
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Transmisi Harga Teh Hitam Grade Dust Indonesia (Dengan Pendekatan Model Vector Autoregression)
Nama : M. Fadhil Adinugroho
NIM : H34070070
Disetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Harmini, M.Si.
NIP. 19600921 198703 2 002
Diketahui,
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ―Analisis Transmisi Harga Teh Hitam Grade Dust Indonesia (Dengan Pendekatan Model
Vector Autoregression) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
M. Fadhil Adinugroho
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 September 1989. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Indra Praseno dan
Nani Mulyaningsih.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Tunas
Rimba I, Bogor pada tahun 1994. Tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Dasar Negeri Panaragan I, Bogor. Tahun 2001, penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bogor. Tahun 2004, penulis
memasuki pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk Institut Pertanian Bogor), penulis diterima di program studi Agribisnis,
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Transmisi Harga Teh Hitam Grade Dust Indonesia (Dengan Pendekatan Model Vector Autoregression) sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana hubungan harga
yang terjadi antara pasar lelang teh grade Dust ortodoks luar negeri (Colombo dan Guwahati) dengan pasar lelang Jakarta serta melihat bagaimana pendugaan
terhadap harga yang akan datang dengan bantuan model VAR (Vector
Autoregression). Selain itu penelitian ini juga dilakukan untuk merumuskan
strategi yang dapat dilakukan oleh PT. KPB Nusantara dan Dewan Teh Indonesia
berdasarkan hasil keluaran model VAR.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini jauh dari
sempurna, baik dalam materi maupun penyajiannya dikarenanakan keterbatasan
penulis. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semuanya.
Bogor, September 2011
M. Fadhil Adinugroho
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, semangat,
saran, dan kritik sehingga dapat menyelesaikan studi di Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
1. Ayah dan Ibu , yang selalu dengan tulus ikhlas dengan penuh kesabaran tidak
bosan memberikan doa, dukungan moral, semangat, dan mendidik penulis
agar dapat menjadi lebih baik lagi.
2. Ir. Harmini, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing
akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran, motivasi dan pengarahan kepada penulis.
3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MS. dan Suprehatin SP, MAB atas masukan dan
ketersediaannya untuk meluangkan waktu menjadi dosen penguji pada sidang
skripsi penulis.
4. Adik penulis, Innamia Indriani, yang sedang berkuliah di Institut Teknologi
Bandung, yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, selaku Ketua Departemen Agribisnis, FEM IPB.
6. Bapak Dadang Juanda, Ketua dari Jakarta Tea Auction dan Staff Marketing Teh, Kopi, dan Kakao di PT. KPB Nusantara yang telah membantu penulis
dalam penulisan skripsi ini, dan memberikan gambaran mengenai seluk beluk
pelelangan teh di Jakarta Tea Auction.
7. Ibu Mujiati, dan Staff Divisi Riset Pasar PT. KPB Nusantara yang telah
membantu dalam memberikan data dan informasi, serta beberapa masukan
mengenai penulisan skripsi ini.
8. Bapak Sulthoni Arifin, Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia dan Bapak
Boyke S. Soeratin, Staff Research and Business PT. Bursa Berjangka Jakarta,
yang telah memberikan pengarahan mengenai gambaran komoditi teh
nasional yang berguna pada penulisan skripsi ini.
9. Bapak Yayat Adisaputra, ADM Perkebunan Teh PTPN VIII Gedeh, yang
x
melakukan penelitian ini dan mengajarkan tata cara pembuatan dan
pengemasan teh hitam serta gambaran mengenai pemasaran di pabrik teh
yang menjadi salah satu info berguna bagi penulisan skripsi ini.
10. Seluruh dosen dan staff Departemen Agribisnis, FEM IPB.
11. Rezsa Berri P., Annisa Dian Z., dan Auzi Asfarian, yang selalu sabar untuk
menemani penulis berdiskusi kalau sedang kebingungan. Semangat juga
dengan penelitiannya masing-masing.
12. Teman-teman yang masih sering kontak (Fitrah S.F.K., Titania A., Asep K.,
M. Azhar, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu) yang telah membantu dan memberikan dukungan dan do‘anya untuk penulis.
13. Teman-teman Agribisnis 44, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang
sudah mau dan bersedia menjadi teman cerita, dan membantu penulis selama
selama penulisan skripsi ini. Khusus untuk, Venty F.N., Dinar F.S. Putri K.
dan Novia F.P., terima kasih telah memberikan ‗jalan terang‘ di tengah kegalauan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
14. Teman-teman satu bimbingan (Ardie, Dede, dan Asti). Teman yang berjuang
bersama dibawah bimbingan pembimbing kita tercinta.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan orang-orang yang telah
membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga memohon maaf atas
segala kekurangan yang ada pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semuanya.
Bogor, September 2011
DAFTAR ISI
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 26
IV METODE PENELITIAN ... 30
6.1. Volatilitas Harga Jakarta Tea Auction (JTA), Colombo Tea Auction (CTA), dan Guwahati Tea Auction (GTA) ... 50
6.2. Penyusunan Model VAR (Vector Autoregression) ... 53
xii
6.2.2 Penentuan Lag (Kelambanan) Optimal ... 54
6.2.3 Estimasi Model VAR ... 54
6.2.5 Fungsi Respon Impuls ... 56
6.2.6.Variance Decomposition ... 57
6.2.7.Peramalan ... 58
6.3. Pembahasan Hasil Model VAR Jakarta Tea Auction ... 59
VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
7.1. Kesimpulan ... 62
7.2. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Tahun 2005-2009*... 1 2. Produksi, Luas Area, dan Ekspor Teh Nasional Tahun
2005-2011... 3
3. Perbandingan Harga Rata-rata dan Volume Lelang Grade Teh
Mutu I Tahunan Jakarta Tea Auction (Tahun 2008 - 2010)... 6
4. Produksi Teh Beberapa Negara Dunia Tahun 2005-2008 (dalam
metrik ton)... 11
5. Volume Eskpor Teh Beberapa Negara Dunia Tahun 2005-2008
(dalam metrik ton)... 12 6. Volume Impor Teh Beberapa Negara Dunia Tahun 2005-2008
(dalam metrik ton)... 12 7. Daftar Anggota Jakarta Tea Auction... 40
8. Jumlah Teh yang Dilelang di Jakarta Tea Auction Menurut
Jenis Teh Pada Tahun 2008-2010 (dalam kilogram)... 42
9. Volume dan Negara Tujuan Ekspor Teh Indonesia Tahun
2007-2010 (dalam kilogram)... 43
10. Produksi Teh Sri Lanka Tahun 2006-2010 (dalam
kilogram)... 45
11. Presentase Auction Terhadap Ekspor Teh di Sri Lanka Tahun
2006-2009 (dalam kilogram)... 46
12. Volume dan Negara Tujuan Ekspor Teh Sri Lanka Tahun
2006—2009 (dalam metrik ton)... 46
13. Produksi Teh India Tahun 2004-2008 (dalam kilogram)... 47
14. Jumlah Teh yang Dilelang di Guwahati Tea Auction Tahun
2008-2010 (dalam kilogram)... 48
15. Volume dan Negara Tujuan Ekspor India Tahun 2005-2007
(dalam metrik ton)... 48
16. Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Varians Harga Teh
Grade Dust Jakarta Tea Auction (JTA), Colombo Tea Auction
xiv 17. Hasil Unit Root TestJakarta Tea Auction (JTA), Colombo Tea
Auction (CTA), dan Guwahati Tea Auction (GTA)... 53
18. Penentuan Lag (Kelambanan) Optimal Model VAR... 54
19. Estimasi Model VAR lag (kelambanan) 1... 55
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Grafik harga lelang rataan Jakarta Tea Auction (JTA), Colombo
Tea Auction (CTA), Mombasa Tea Auction (MTA), dan
Guwahati Tea Auction (GTA) Tahun 1999-2008... 4
2. Supply Chain Komoditas Teh Nasional... 19
3. Kerangka Pemikiran Operasional... 29
4. Skema Penyusunan Model VAR... 31
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Tabel Fungsi Respon Impuls Jakarta Tea Auction... 68 2. Grafik Fungsi Respon Impuls Jakarta Tea Auction... 69 3. Hasil Perhitungan Perbandingan Peramalan Naive Forecasting
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya, dari Sabang hingga
Merauke dapat dilihat banyak sekali ragam kekayaan alam yang dimiliki oleh
Indonesia. Kekayaan alam hayati yang dimiliki oleh Indonesia disebabkan oleh
tanahnya yang subur, sehingga beragam jenis tanaman dapat ditanam di
Indonesia. Didukung kondisi geografisnya, sebagian besar masyarakat Indonesia
bermata pencaharian sebagai petani, oleh karena itu sektor pertanian merupakan
salah satu tulang punggung dari perekonomian Indonesia.
Tabel 1. Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Tahun 2005-2009* Tahun
Kegiatan
2005 2006 2007 2008 2009
(US$ 000)
1 Subsektor Perkebunan
Ekspor 10.673.186 13.972.064 19.948.923 27.369.363 21.581.670
Impor 1.532.520 1.675.067 3.379.875 4.535.918 3.949.191
Neraca 9.140.666 12.296.997 16.569.048 22.833.445 17.632.479
2 Subsektor Hortikultur
Ekspor 227.974 238.063 254.765 432.727 378.627
Impor 367.425 527.415 795.846 909.669 1.063.120
Neraca -139.451 -289.352 -541.081 -476.942 -684.493
3 Subsektor Peternakan
Ekspor 396.526 388.939 748.531 1.148.170 754.914
Impor 1.121.832 1.190.396 1.696.459 2.352.219 2.132.800
Neraca -725.306 -801.457 -947.928 -1.204.049 -1.337.886
4 Subsektor Tanaman Pangan
Ekspor 286.744 264.155 289.049 348.914 321.280
Impor 2.115.140 2.568.453 2.729.147 3.526.961 2.737.862
Neraca -1.828.396 -2.304.299 -2.440.098 -3.178.047 -2.416.582
5 Sektor Pertanian
Ekspor 11.584.429 14.863.221 21.241.268 29.299.174 23.036.491
Impor 5.136.916 5.961.331. 8.601.327 11.324.767 9.882.973
Neraca 6.447.513 8.901.890 12.639.941 17.974.407 13.153.518
2
Sektor perkebunan Indonesia memiliki beberapa komoditi yang menjadi
andalan yakni karet, minyak sawit, kopi, teh, kina, tebu dan tembakau.
Komoditi-komoditi ini banyak menyumbangkan devisa bagi negara Indonesia. Pada tahun
2008 subsektor perkebunan menyumbang lebih dari 90 persen terhadap total
ekspor pertanian, yakni sebesar US$ 27,37 miliar dari total ekspor pertanian US$
29,30 miliar. Meskipun ekspor perkebunan mengalami penurunan pada tahun
2009, menjadi US$ 21,58 miliar, subsektor perkebunan masih mendominasi total
ekspor pertanian Indonesia yang mana pada tahun 2009 mencapai US$ 23,04
miliar, dan masih lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah impornya, yakni
US$ 3,95 miliar. Ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan di
sektor perkebunan.
Besarnya jumlah margin yang diberikan oleh komoditi perkebunan
ternyata memberikan pengaruh bagi perkembangan luas areal perkebunan di
Indonesia, yang mana kelapa sawit mendominasi luasan areal perkebunan
Indonesia. Sekitar 7.363.847Ha lahan pada tahun 2008 digunakan untuk komoditi
kelapa sawit, dan hal ini diperkirakan akan terus meningkat1 dikarenakan harga CPO (Crude Palm Oil) yang bertambah. Hal yang berlawanan dialami oleh komoditi teh, salah satu komoditi yang mendominasi areal perkebunan di Pulau
Jawa dan Sumatera ini terus mengalami penurunan luasan areal kebun. Menurut
data dari Direktorat Jendral Perkebunan (Ditjenbun), pada tahun 2007 luasan areal
teh yakni 133,734 Ha, turun menjadi 123,506 Ha pada tahun 20092. Hal ini disebabkan rendahnya harga komoditi teh di pasar internasional, yang
berimplikasi pada rendahnya harga jual teh domestik. Rendahnya harga tidak
sebanding dengan biaya produksi yang terus meningkat setiap tahunnya, sehingga
banyak pembudidaya teh rakyat yang mengkonversi lahan teh miliknya menjadi
komoditi yang lebih menguntungkan bagi mereka, seperti sayur-sayuran dan
kelapa sawit.
Permasalahan ini berdampak pada jumlah produksi teh Indonesia (Tabel
2), yang mana produksi teh Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2005
1
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan: Tree Crop Statistics 2009-2011 Kelapa Sawit. Jakarta. Direktorat Jendral Perkebunan. Hlm. 1.
2
3
hingga tahun 2006. Pada tahun 2007 hingga sekarang, terjadi peningkatan
produksi teh namun masih belum sebesar tahun 2005. Pengurangan jumlah
produksi ini mempengaruhi volume ekspor teh Indonesia karena, hampir 80
persen teh yang diproduksi oleh Indonesia dialokasikan untuk dijual ke pasar
ekspor.
Tabel 2. Produksi, Luas Area dan Ekspor Teh Nasional Tahun 2005-2011
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Produksi (Ton) 166.951 146.858 150.623 153.971 156.901 150.342 153.175
Luas Area (Ha) 139.121 135.590 133.734 127.712 123.506 124.573 123.554
Indonesia pernah berada di posisi kelima negara pengekspor teh dunia pada tahun
1999. Oleh karena itu, untuk memperbaiki citra teh Indonesia, Dewan Teh
Indonesia sebagai lembaga yang didirikan untuk memadukan kepentingan pelaku
agribisnis teh Indonesia berencana menggalakkan program Gerakan Penyelamatan
Agribisnis Teh Nasional (GPATN).
Program GPATN ini bertujuan untuk merevitalisasi sistem agribisnis teh
Indonesia. Adapun beberapa hal yang menjadi fokus dalam program ini;
perbaikan perkebunan teh rakyat, perbaikan gabungan kelompok tani, penguatan
lembaga riset teh, penyempurnaan SNI (Standar Nasional Indonesia) hasil teh
yang mengakomodasi standar-standar dunia, penambahan pabrik pengolahan dan
peremajaan pabrik yang sudah ada, dan yang terakhir penguatan lembaga
pemasaran teh, khususnya Jakarta Tea Auction .
Mayoritas teh yang diekspor ke seluruh dunia dipasarkan dengan cara
lelang, di pusat lelang teh di masing-masing negara yang memproduksi teh. Saat
4
(Sri Lanka), Jakarta (Indonesia), Limbe (Malawai), Chitagong (Bangladesh),
Kolkata, Guwahati, Sliiguri, Kochi, Coimbatore, dan Conoor (keenamnya berada
di India). Berkembangnya tempat pelelangan teh yang bertempat di negara-negara
produsen teh dikarenakan London Tea Auction, sebagai tempat lelang teh terbesar di dunia yang tidak lagi beroperasi sejak tahun 1998.
Pelelangan teh di Indonesia dipegang oleh PT. Kharisma Pemasaran
Bersama Nusantara (PT. KPB Nusantara) yang terletak di Jakarta, atau lebih
dikenal dengan Jakarta Tea Auction (JTA). Sebagian besar teh yang dilelang di
Jakarta Tea Auction saat ini merupakan hasil produksi dari perkebunan negara yang dipegang oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN). Bentuk dan kualitas teh
yang dihasilkan oleh Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara-negara
pengekspor teh lainnya, namun dalam pemasarannya seringkali harga lelang teh
rata-rata Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan harga lelang teh di
tempat lain, seperti Colombo (Sri Lanka) dan Mombasa (Afrika Timur).
Gambar1. Grafik harga lelang rataan Jakarta Tea Auction (JTA), Colombo Tea
Auction (CTA), Mombasa Tea Auction (MTA), dan Guwahati Tea
Auction (MTA) Tahun 1999-2008
Sumber : ITC (International Tea Committee) (2009)
Merujuk pada grafik pergerakan harga lelang teh (Gambar 1), rataan harga
lelang teh Indonesia berada di bawah rataan harga lelang Colombo dan Mombasa, 0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
5
namun masih berada di atas hara rata-rata teh di Guwahati, India. Namun,
dikarenakan teh hitam memiliki banyak grade data harga rataan masih belum dapat memberikan informasi jenis grade apa yang sedang diminati oleh pasar dunia saat ini.
Adanya liberalisasi perdagangan membuat sebuah negara dengan mudah
melakukan kegiatan perdagangan ke negara lain. Sehingga, diduga harga teh yang
terjadi di setiap tempat lelang akan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini
disebabkan adanya persaingan ekspor teh antara teh Indonesia dan teh di beberapa
auction tersebut. Persaingan ini menyebabkan harga ekspor teh Indonesia menjadi
fluktuatif, yang terkadang mempersulit pihak perkebunan untuk menentukan
komposisi produksi karena ketidakpastian harga teh yang akan mereka terima
kedepannya. Selain itu harga penjualan lelang juga menjadi salah satu dasar harga
untuk penjualan sistem free sales atau private sales, sehingga jika harga lelang turun akan berdampak kepada harga jual teh di tingkat domestik yang mengikuti
pergerakan harga lelang.
1.2. Perumusan Masalah
Mayoritas produksi teh hitam baik CTC (Crush, Tearing and Curling) maupun ortodoks yang diproduksi oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN)
dipasarkan melalui sistem lelang yang dilakukan di Jakarta Tea Auction yang diselenggarakan oleh PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPB
Nusantara), yang terletak di Jl. Cut Mutiah No. 11 Jakarta. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Ketua Jakarta Tea Auction, Dadang Juanda, Jakarta Tea
Auction memegang peranan penting dalam pemasaran produksi hasil perkebunan
teh PT. Perkebunan Nusantara.
Harga yang terjadi di Jakarta Tea Auction akan diinformasikan kepada pihak perkebunan, agar pihak perkebunan dapat menyesuaikan komposisi
produksi teh mereka dengan grade yang sedang diminati di Jakarta Tea Auction. Dalam menentukan pendugaan harga lelang teh yang akan datang biasanya
digunakan pendugaan harga sebelumnya (Naive Forecasting).
Liberalisasi perdagangan menyebabkan adanya kemungkinan bahwa harga
6
dari auction lainnya. Dikarenakan semakin terbukanya pintu perdagangan bagi negara-negara lain untuk mengekspor produk yang mereka hasilkan ke negara
lain.
Kekurangan yang terdapat pada pemasaran teh, terkadang dalam publikasi
umum mengenai harga digunakan masih menggunakan pendekatan harga rataan.
Sehingga masih terdapat beberapa produsen teh yang kesulitan untuk
mendapatkan gambaran bagaimana kondisi pasar teh pada tingkat grade teh, bagaimana pengaruh harga kompetitor terhadap harga masih belum dapat
tergambarkan, karena informasi hanya dipegang oleh beberapa pihak saja.
Fluktuasi harga yang ada, semakin membuat para produsen yang kurang
mendapat informasi sulit menentukan komposisi produksi dalam tingkat grade
dikarenakan ketidakpastian penerimaan yang akan mereka terima.
Pentingnya sebuah riset pasar (market reasearch) guna mendapatkan informasi mengenai industri teh dalam tingkat grade, informasi yang didapat akan mempermudah perencanaan produksi dan pemasaran bagi produsen teh. Apabila
produsen dapat melihat bagaimana fluktuasi harga pasar, pengaruh dari
kompetitor terhadap produk yang dijual, dan pendugaan harga yang akan datang,
hal ini akan mempermudah produsen teh dalam menyusun strategi pemasaran dan
produksinya yang akan datang.
Tabel 3. Perbandingan Harga Rata-rata dan Volume Lelang Grade Teh Mutu I Tahunan Jakarta Tea Auction (Tahun 2008 - 2010)
Jenis
7
Teh dalam produksinya dibagi kembali menjadi beberapa grade, yang mana masing-masing grade memiliki standar harga sendiri. Adapun grade yang menjadi unggulan di Jakarta Tea Auction antara lain: BOP (Broken Orange
Pekoe), BOPF (Broken Orange Pekoe Fanning), PF (Pekoe Fanning), BP (Broken
Pekoe), dan Dust. Kelima grade ini menunjukkan perkembangan harga yang baik
dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dapat menjadi peluang bagi produsen
teh dalam mengembangkan perencanaan produksinya karena jika produsen teh
dapat mengetahui informasi mengenai grade apa yang sedang diminati saat sebuah auction sedang berlangsung produsen dapat dengan mudah memanfaatkan peluang tersebut dengan mengubah komposisi produksinya agar dapat
memperoleh keuntungan.
Dalam penelitian ini, digunakan teh dengan grade Dust, Dust dipilih karena memiliki harga yang cukup tinggi di pasar lelang. Selain itu Dust juga
merupakan jenis grade teh terbanyak kedua yang diproduksi oleh perkebunan di Indonesia, sekitar 16 persen teh yang dilelang di Jakarta Tea Auction merupakan
grade Dust, dikarenakan grade Dust merupakan salah satu bahan baku yang
digunakan untuk tea bag, dan juga merupakan salah satu dari beberapa jenis
grade teh yang dilelang pada Colombo Tea Auction dan Guwahati Tea Auction.
Colombo Tea Auction dipilih karena merupakan sentra pelelangan teh
orthodoks terbesar di dunia, sedangkan Guwahati Tea Auction dipilih karena berada di provinsi sentra penghasil teh terbesar di India, Assam, dan merupakan
salah satu sentra pelelangan teh terbesar di India. Selain itu pada kedua tempat
pelelangan ini teh grade Dust ortodoks merupakan salah satu produk yang mereka
lelang di pelelangan.
Vector Autoregression (VAR) dapat menjadi salah satu solusi metode
dalam melihat hubungan dinamis time series antar variabel yang diduga memiliki hubungan satu sama lain selain itu VAR juga dapat digunakan untuk menduga
harga lelang yang akan datang. Permodelan VAR digunakan dalam penelitian
untuk melihat hubungan antara harga teh Jakarta Tea Auction dengan harga teh di
auction luar negeri dan menduga harga yang akan terjadi di pelelangan yang akan
datang. VAR merupakan sebuah model dinamis yang menunjukkan pendugaan
8
dan variabel-variabel lain yang terlibat dalam sistem pada periode-periode
sebelumnya (Enders, 1995).
Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana volatilitas harga teh grade Dust di pasar dunia ?
2. Bagaimana hubungan harga teh grade Dust di pasar dunia dan pasar Indonesia berdasarkan model VAR yang dibuat ?
3. Bagaimana performa model VAR dalam menggambarkan pergerakan harga
teh grade Dust Jakarta Tea Auction ?
4. Bagaimana implikasi model VAR terhadap perencanaan strategi pemasaran
teh kedepannya ?
1.3. Tujuan Penelitian
Merujuk pada pemaparan rumusan masalah diatas maka tujuan dari
penelitian ini antara lain:
1. Menganalisis volatilitas harga teh grade Dust di pasar lelang dunia.
2. Menganalisis hubungan harga teh grade Dust di Jakarta Tea Auction
terhadap auction di Colombo dan Guwahati.
3. Mengetahui bagaimana performa model VAR dalam menggambarkan
pergerakan harga di Jakarta Tea Auction.
4. Menyusun rekomendasi strategi yang dapat dilakukan PT. KPB Nusantara
dan Dewan Teh Indonesia untuk meningkatkan penjualan teh khususnya
grade Dust.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi;
1. Dewan Teh Indonesia sebagai penentu kebijakan strategis teh nasional.
2. Produsen teh, khususnya yang memasarkan produknya di Jakarta Tea
Auction, untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasarannya,
khususnya dalam produksi grade Dust.
3. PT. KPB Nusantara, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai
9
4. Peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai
referensi bagi penelitian selanjutnya.
5. Mahasiswa, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan
serta sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah diterima di bangku
kuliah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai harga lelang teh pada tingakat grade
menggunakan data dari salah satu grade yang diminati di pasar lelang yakni Dust dari total sekitar 26 grade teh yang dilelang di Jakarta Tea Auction (JTA) oleh PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara. Hal ini disebabkan teh grade Dust ortodoks juga dilelang di Colombo Tea Auction (CTA) dan Guwahati Tea Auction
(GTA), sehingga dalam penelitian ini dapat terlihat hubungan harga teh grade
Dust di Jakarta Tea Auction (JTA) dengan harga lelang teh grade Dust yang terjadi di auction yang ada di luar negeri seperti Colombo Tea Auction (CTA) dan
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pasar Lelang
Ngadijarno et al. (2006) menjelaskan, lelang menurut pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang adalah penjualan barang terbuka untuk
umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara
penawaran harga secara lisan dan ataupun secara tertulis yang didahului dengan
usaha mengumpulkan peminat, namun juga harus dilakukan dengan campur
tangan/dihadapan/di depan Pejabat Lelang dan untuk setiap pelaksanaan lelang
harus dibuat berita acara tersendiri (Risalah Lelang) oleh Pejabat Lelang yang
melaksanakan lelang. Pelelangan harus mengandung beberapa asas, yakni asas
keterbukaan (seluruh lapisan masyarakat mengetahui dan dapat mengikuti
jalannya lelang), asas keadilan (dalam pelaksanaannya lelang harus adil, tidak
boleh memihak), asas kepastian hukum (adanya perlndungan hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang), asas efisiensi (pelaksanaan
lelang dilakukan dengan cepat dan tidak memerlukan biaya banyak), dan asas
akuntabilitas (lelang yang dilaksanakan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada semua pihak yang berkepentingan).
Mardjoko (2004) dalam artikelnya, Pasar Lelang: Harapan baru
memperbaiki posisi tawar petani, menyatakan bahwa pasar lelang adalah pasar di
mana penjual (petani produsen) menawarkan komoditi dengan volume, mutu, dan
harga tertentu, bertransaksi dengan pembeli melalui harga penawaran tertinggi.
Mardjoko (2004) membagi pasar lelang menjadi; pasar lelang spot, pasar lelang
lokal, pasar lelang regional, dan pasar lelang forward. Pasar lelang spot adalah pasar di mana terjadi transaksi cash and carry antara penjual dan pembeli komoditi dengan sistem lelang. Pasar lelang lokal adalah pasar di mana para
penjual dan pembelinya berdomisili di sekitar lokasi pasar dan komoditi yang
diperjualbelikan dengan sistem lelang baik jenis maupun volumenya terbatas.
Pasar lelang regional adalah pasar di mana para penjual dan pembelinya berasal
dari luar daerah (luar lokasi pasar) dengan jenis dan volume komoditi yang
11
forward adalah tempat bertemunya para penjual dan pembeli suatu komoditi
dengan menggunakan sistem lelang dengan penyerahan di kemudian hari.
Beberapa pasar lelang yang aktif di Indonesia mayoritas dipegang oleh
Kementrian Perdagangan (Kemendag) di bawah pengawasan Badan Pengawas
Berjangka Komoditi (Bappebti). Selain pasar lelang yang dijalankan oleh
Kemendag, ada juga pasar lelang yang dipegang oleh PT. KPB Nusantara, yang
mayoritas melelang hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan oleh PT.
Perkebunan Nusantara.
2.2. Teh di Dunia
Teh yang memiliki nama latin Camellia sinensis, merupakan sebuah tanaman yang sudah dibudidayakan cukup lama di Cina bagian tenggara. Teh
sudah digunakan sebagai minuman sejak dua atau tiga ratus tahun yang lalu.
Awalnya tanaman ini hanya tersebar di Cina, Indo-Cina dan Assam, namun mulai
berkembang hingga daerah tropis dan sub tropis (Eden, 1958). Saat ini teh
menjadi minuman yang mendunia, hampir seluruh dunia mengetahui dan
mengkonsumsi minuman teh, hal ini dapat dilihat melalui data statistik produksi
teh dunia3 dan data konsumsi teh dunia yang meningkat setiap tahunnya4.. Data produksi teh dunia dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Produksi Teh Beberapa Negara Dunia Tahun 2005-2008 (dalam metrik ton)
Negara
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
Cina 835.231 934.857 1.028.064 1.140.000 1.200.000
India 892.965 945.974 981.095 944.678 980.818
Kenya 324.608 323.497 310.578 369.606 345.817
Sri Lanka 308.089 317.196 310.822 304.613 318.697
Vietnam 119.050 133.350 142.500 149.270 166.375
Turki 165.000 135.000 142.000 175.000 155.000
Indonesia 164.817 156.273 146.847 137.248 137.499
Sumber : International Tea Committee (2009) (diolah)
3
International Tea Committee. 2009. Annual Buletin of Statistics.London. International Tea
CommitteeTC. Hlm 35
4
12
Berdasarkan data International Tea Committee (ITC) (2009), China dan India memiliki tingkat produksi yang tinggi untuk pasar teh dunia. Sedagkan
untuk ekspor, teh lebih di dominasi oleh negara-negara Afrika seperti Sri Lanka
dan Kenya, hal ini dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 5. Volume Ekspor Teh Beberapa Negara Dunia Tahun 2005-2008 (dalam metrik ton)
Negara
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
Kenya 332.502 348.276 312.156 343.703 383.444
Srilanka 290.604 298.769 314.915 294.254 297.469
China 280.193 286.563 286.594 289.431 296.935
India 193.908 195.228 215.672 175.841 193.000
Vietnam 99.351 87.918 105.116 110.929 104.000
Indonesia 98.572 102.294 95.339 83.659 96.210
Argentina 66.374 66.289 70.723 74.880 77.228
Sumber: International Tea Committee (2009) (diolah)
Mayoritas negara yang mengkonsumsi teh merupakan negara Eropa.
Dikarenakan pada awalnya teh ditanam dan dibudidayakan untuk konsumsi
negara-negara Eropa. Beberapa negara pengimpor teh terbesar di dunia dapat
dilihat pada tabel 6.
Inggris 128.755 128.252 135.403 131.152 129.759
Pakistan 120.017 139.261 116.780 106.366 99.116
Amerika Serikat 99.484 100.060 107.572 109.396 116.749
Mesir 71.803 73.500 78.500 69.000 104.000
Irak 51.000 58.000 67.000 32.000 36.000
Polandia 32.114 31.057 27.144 28.077 30.595
13
Mayoritas teh dunia dipasarkan menggunakan sistem lelang. Awalnya
pelelangan teh dunia diadakan oleh East India Company (EIC) di London pada abad ke-17, yang bertujuan sebagai pengumpul teh yang dijual oleh Cina ke benua
Eropa. Oleh karena EIC merupakan organisasi dagang yang paling berpengaruh
saat itu, pada tahun 1983 EIC memberlakukan aturan seluruh teh yang akan dijual
ke Eropa harus melalui EIC, sehingga teh yang akan dijual ke Eropa harus
disimpan di gudang milik EIC. Metode lelang yang diberlakukan saat itu dapat
dibilang unik karena menggunakan sistem lilin (by the candle), dimana setiap orang diberikan waktu untuk menawar berapapun jumlah teh yang ingin dibeli,
hingga lilin yang dinyalakan meleleh sepanjang satu inci.
Setelah sistem tersebut, pada 10 Januari 1837 dibentuk sebuah sistem
lelang menggantikan sistem by the candle. Hal ini ditengarai pihak EIC yang merasa peserta lelang harus memiliki informasi yang sama mengenai barang yang
akan dilelang agar terjadi keseimbangan informasi antar pembeli sehingga
mekanisme lelang dapat berjalan lebih efektif. Hal ini dilakukan dengan
memberikan beberapa sampel kepada peserta pelelangan beberapa hari sebelum
lelang teh dimulai. Sistem lelang seperti ini masih digunakan umum di beberapa
tempat lelang teh dunia hingga saat ini.
London Tea Auction sempat ditutup akibat Perang Dunia Kedua dan
karena terjadi penumpukan supply teh di London, lelang dipindahkan ke dua tempat yakni Calcutta, India pada tahun 1947 dan Colombo, Sri Lanka pada 1948,
guna menghindari oversupply. Tidak aktifnya London Tea Auction hingga tahun 1951 dan dibukanya dua auction baru, mendorong beberapa negara produsen teh untuk membuka tempat lelang sendiri karena akan lebih menghemat biaya dan
dapat dengan mengatur proses pelelangannya. Pada akhirnya, London TeaAuction
sebagai tempat lelang teh pertama di dunia ditutup pada tahun 1998. Hingga saat
ini terdapat sekitar sebelas tempat lelang teh di dunia yang masih aktif melakukan
kegiatan pelelangan teh yakni Kolkata, Cochin, Coonoor, Guwahati, Siliguri,
Coimbatore, Colombo, Mombasa, Chittagong, Limbe, dan Jakarta.
14
Hongaria, Amerika Serikat dan Kanada (2) Kelompok pasar-2 terdiri
dari pasar negara-negara Eropa Barat (Inggris, Jerman, Belanda), Australia,
Jepang, negara-negara Eropa Timur secara umum, Turki, negara-negara Amerika
Utara dan Amerika Selatan secara umum, dan India; (3) Kelompok pasar-3
meliputi pasar teh negara Pakistan, Afghanistan, Mesir, Malaysia, dan Singapura,
(4) Kelompok pasar-4 meliputi pasar teh negara Iran dan negara-negara Timur
Tengah secara umum, dan (5) Kelompok pasar-5 yang meliputi pasar teh
negara-negara Irak, Syria, dan wilayah Rusia khususnya Federasi Rusia.
Teh small grades seperti Fanning, Pekoe Fanning (PF), dan Dust lebih diminati di kelompok pasar-1 (Polandia, Hongaria, Amerika Serikat dan Kanada),
2 (Eropa Barat (Inggris, Jerman, Belanda), Australia, Jepang, negara-negara Eropa
Timur, Turki, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan India), dan 3 (Pakistan,
Afghanistan, Mesir, Malaysia, dan Singapura). Berbeda dengan kelompok pasar-1
dan 2, kelompok pasar-3 meminta teh small grades dengan mutu lebih tinggi dari
pasar-1 dan 2. Sedangkan untuk teh jenis broken grades, seperti Broken Orange
Pekoe (BOP), Broken Pekoe (BP) dan Broken Tea (BT), lebih diminati di
kelompok pasar-4 (Iran dan negara-negara Timur Tengah) dan 5 (Irak, Syria, dan
wilayah Rusia).
2.3. Teh di Indonesia
Teh pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari
Jepang yang dibawa oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Andreas
Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, menurut
Valentjin, usaha pengembangan teh skala perkebunan dimulai oleh pemerintah
Belanda, hingga abad 19, teh mulai dikenal luas sebagai tanaman perkebunan
Indonesia. Ekspor teh pertama Indonesia dimulai pada tahun 1835, dengan negara
tujuan Amsterdam (Nazaruddin, 1993).
Mulai dari saat itu, teh dikenal sebagai salah satu industri yang potensial
untuk dikembangkan di Indonesia. Beberapa penelitian terus dilakukan oleh Pusat
Penelitian Teh dan Kina (PPTK) untuk menghasilkan beberapa tanaman teh
unggul. Hingga saat ini dikenal beberapa klon teh unggul, yakni TRI 2024, TRI
15
Klon Gambung 6 – Gambung 11 merupakan klon tanaman yang unggul karena dapat memproduksi sekiar 4.000kg/Ha-5.500kg/Ha tanaman teh basah. Klon ini
merupakan klon tanaman teh yang dikembangkan oleh PPTK Gambung pada
tahun 1998, yang dianjurkan untuk ditanam menggantikan klon-klon yang sudah
beredar. Tanaman teh tersebar di beberapa pelosok Indonesia yakni, Jawa Barat,
Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga saat ini, berdasarkan data
dari Departemen Pertanian tercatat ada sekitar 127.384 Ha lahan yang digunakan
untuk menanam teh, dan menghasilkan 149.764 ton teh per tahunnya.
Menurut PPTK (2006), beberapa syarat tumbuh tanaman teh antara lain;
(1) Iklim
Tanaman teh akan tumbuh dengan baik bila ditanam di daerah dengan suhu
13-25OC, dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merata, karena tanaman ini tidak tahan terhadap kekeringan, sekitar kurang lebih 2000 mm curah
hujan tahunannya. Tanaman teh juga tidak tahan terhadap panas sehingga jika
suhu berada ditas 30OC pertumbuhannya akan terhenti, oleh karena itu di perkebunan dataran rendah perlu ditanam pohon pelindung untuk melindungi
tanaman teh dari suhu tinggi.
(2) Tanah
Tanah yang memenuhi kriteria pertumbuhan tanaman teh adalah tanah yang
subur, mengandung bahan organik, dan memiliki pH 4,5-5,6. Umumnya
tanah dengan kandungan seperti ini terjadi di tanah andisol (vulkanis muda)
yang terletak di lereng-lereng gunung berapi.
(3) Elevasi
Elevasi (ketinggian) juga menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi karena
terkait dengan iklim (suhu udara); semakin rendah maka suhu akan semakin
tinggi, oleh karena itu di daerah rendah perlu ditanam pohon pelindung.
Perkebunan teh dibagi menjadi tiga berdasarkan ketinggiannya; Perkebunan
Daerah Rendah (<800m diatas permukaan laut (dpl)), Perkebunan Daerah
16 2.4. Proses Produksi Teh Hitam dan Pemasarannya
Ada dua macam jenis produksi teh yang dikenal dalam agroindustri teh,
yakni produksi teh basah dan produksi teh kering. Produksi teh basah merupakan
hasil pemetikan tanaman teh yang akan menjadi bahan baku untuk diolah menjadi
teh kering, oleh karena itu hasil produksi basah menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi mutu teh kering yang akan dihasilkan. Secara fisik menurut Pusat
Penelitian Teh dan Kina (PPTK), pucuk yang bermutu adalah pucuk yang utuh,
segar, dan berwarna kehijauan. Mencegah turunnya mutu pucuk diperlukan
pengaturan yang baik dari pemetikan, penampungan di los pucuk, pewadahan,
hingga pengangkutan sampai ke pabrik.
Sebagian besar pabrik teh di Indonesia mengolah teh hitam karena teh
hitam sudah mendapat perhatian dari pasar ekspor semenjak ekspor teh pertama
ke Amsterdam pada 1835. Oleh karena itu untuk menghasilkan teh hitam yang
bermutu, diperlukan beberapa faktor penunjang yakni: memperhatikan pasar yang
dituju, pengetahuan akan proses pengolahan dan peranan pengolah dalam
mengarahkan cara kerja yang benar, mesin yang dipakai, dan bahan baku pucuk
yang akan diolah.
Secara umum pengolahan teh hitam dibagi menjadi dua yakni; ortodoks
(dibagi menjadi ortodoks-murni dan ortodoks-rotorvane) dan CTC (Crush,
Tearing, and Curling). Pengolahan teh hitam yang dilakukan rata-rata oleh
industri teh Indonesia menggunakan metode ortodoks-rotorvane karena pasar ekspor lebih menyukai ke teh hitam dengan partikel kecil (bubuk). Adapun
beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk mengolah teh secara orthodoks
adalah sebagai berikut (PPTK 2008);
(1) Pelayuan
Pelayuan merupakan tahap pertama dalam pengolahan teh hitam, indikator
yang menjadi penentu kualitas teh hitam yang dihasilkan adalah derajat
layu, besarnya derajat layu agar pengolahan teh hitam orthodoks
menghasilkan mutu yang baik adalah 44-46 persen, derajat layu
merupakan hasil keringan dibagi pucuk layu yang dikalikan seratus persen.
Dalam proses pelayuan daun teh dibeber pada alat withering through
17
(2) Penggulungan, Penggilingan, dan Sortasi Basah
Proses kedua dari pengolahan teh hitam adalah penggulungan,
penggilingan dan sortasi basah, setelah dilayukan daun teh akan digulung
dengan menggunakan mesin open top roller selama 30-40 menit. Penggulungan dilakukan untuk merangsang terjadinya oksidasi enzimatis
akibat cairan sel yang keluar dari daun.
Setelah digulung daun akan dimasukkan ke dalam Press Cap Roller atau
Rotorvane untuk digiling. Proses penggilingan bertujuan untuk
memperkecil gulungan menjadi partikel yang dikehendaki, menggerus
pucuk agar cairan sel keluar semaksimal mungkin dan membenntuk hasil
keringan yang keriting, dan memperoleh bubuk basah yang banyak. Proses
penggilingan dilakukan sekitar 40-70 menit. Biasanya di perkebunan
dilakukan penggilingan dengan penggunaan rotorvane di gilingan kedua dan ketiga atau ketiga dan keempat karena akan menghasilkan bubuk lebih
dari 85 persen dan mengurangi jumlah badag, bubuk teh dengan mutu rendah.
Sortasi bubuk basah dilakukan untuk memperoleh ukuran bubuk yang
seragam, memudahkan pekerjaan sortasi kering, dan memudahkan
pengaturan pengeringan di -fluid bed dryer. Mesin yang digunakan untuk sortasi adalah rotary ball breaker dengan ukuran mesh 7,7,7 atau 6,6,7. (3) Oksidasi Enzimatis
Oksidasi Enzimatis bergantung kepada beberapa faktor; kadar air suhu dan
kelembaban, kadar enzim, jenis bahan, dan oksigen. Suhu dan kelembaban
ruang giling harus diatur sedemikian rupa agar proses ini dapat berjalan
dengan baik. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan theaflavin dan
thearubigin yang akan menentukan kualitas seduhan, proses oksidasi
enzimatis biasanya dilakukan selama 90-110 menit.
(4) Pengeringan
Proses pengeringan bertujuan untuk menghentikan oksidasi enzimatis pada
saat komposisi zat-zat pendukung sudah mencapai keadaan optimal. Mesin
yang biasanya digunakan yakni; Endless Chain Pressure atau Fluid Bed
90-18
95ºC dengan suhu keluar 40-50ºC, lamanya proses pengeringan sekitar 20
menit, pengeringan yang terlalu lama akan mengakibatkan teh menjadi
gosong.
(5) Sortasi Kering
Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan teh sesuai dengan partikel dan
warna yang diinginkan oleh konsumen. Mesin yang digunakan dalam
proses sortasi biasanya dengan chota shifter atau ayakan tangan (untuk memisahkan bentuk), winnower (untuk memisahkan sesuai berat),
vibroscreen (untuk membersihkan serat), peti miring (penyimpanan teh jadi), dan tea bulker (untuk pencampuran).
(6) Pengemasan
Teh yang sudah jadi akan dimasukkan ke peti miring, lalu dimasukkan ke
tea bulker sebelum dikemas ke dalam chop, biasanya dengan
menggunakan paper sack..
Dari proses pengolahan teh hitam menjadi bubuk tersebut dihasilkan tiga
standar mutu, dari grade pertama, teh daun (leaf grade) dihasikan beberapa mutu yakni, OP (Orange Pekoe), OP Sup (Orange Pekoe Superior), FOP (Flowery
(Broken Tea), BT II, BOPF (Broken Orange Pekoe Fanning) ,BOPF Sup (Broken
Orange Pekoe Superior), dan BM (Broken Mixed). Sedangkan grade ketiga, teh halus (small grades), mutunya terbagi menjadi F (Fanning), F II, TF (Tippy Fanning), PF (Pekoe Fanning), PF II, Dust, Dust II, dan Dust III. Perbedaan jenis mutu dan grade ini didasarkan atas perbedaan bobot dari partikel teh dan bentuk dari partikel teh yang sudah disortasi melalui Winnower (penentuan mutu) dan
chota shifter (penentuan grade). Perlakuan mutu teh ini tertera dalam Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Nomor SP-17-1975 Revisi 1989.
Dalam pemasarannya biasanya teh hitam yang sudah diproduksi oleh
19
perusahaan packing atau blending 2) diekspor langsung ke negaralain 3) dilelang
di Jakarta Tea Auction. Biasanya hampir 80 persen teh yang diproduksi oleh perkebunan akan dilelang di Jakarta Tea Auction5. Harga yang terjadi di Jakarta
Tea Auction akan menjadi dasar penentuan harga penjualan teh untuk kedua rantai
lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga yang terjadi di Jakarta Tea
Auction memegang peranan dalam industri teh nasional. Diagram mengenai
supply chain dari industri teh nasional dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2.Supply Chain Komoditas Teh Nasional
Sumber : Kustanti et al. (2007)
2.5. Analisis Transmisi Harga
Beberapa penelitian mengenai analisis transmisi harga komoditas telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, Priyadi et al. (2004) menganalisis mengenai distribusi ayam broiler di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Suharyatno et al. (2008), menganalisis mengenai pemasaran dan tataniaga anggur di Bali. Rifin (2009), menganalisis mengenai transmisi harga CPO terhadap harga
minyak goreng di Indonesia. Dharmasena et al. (2004) menganalisis transmisi harga teh pada pasar lelang dunia, dalam penelitiannya ia menggunakan harga
rataan dari beberapa tempat lelang teh dunia.
5
20
Priyadi et al. (2004) dan Suharyatno et al. (2008), menganalisis transmisi harga dengan menggunakan model elastisitas transmisi harga. Priyadi et al.
(2004), menyimpulkan bahwa besarnya nilai elastisitas transmisi harga pedagang
pengumpul dan pedagang pengecer terhadap peternak ayam masing-masing
adalah 0,836536 dan 0,926226. Suharyatno et al. (2008), menyimpulkan bahwa besarnya nilai elastisitas petani anggur terhadap perubahan harga di tingkat
konsumen adalah 0,0457.
Dharmasena et al. (2004) dan Rifin (2009) mencoba mengembangkan permodelan transmisi harga dengan menggunakan VAR. Berdasarkan hasil
analisisnya Dharmasena et al. (2004) dalam salah satu kesimpulannya, menyimpulkan bahwa harga teh di Indonesia dipengaruhi oleh harga teh di Sri
Lanka dan Indonesia itu sendiri, artinya perubahan harga lelang yang terjadi di Sri
Lanka akan ditransmisikan terhadap harga lelang yang terjadi di Indonesia. Rifiin
(2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa harga CPO internasional
mempengaruhi harga CPO domestik dan harga minyak goreng, sedangkan harga
CPO domestik dan minyak goreng memiliki hubungan timbal balik. Besarnya
pengaruh perubahan harga CPO internasional akan menaikkan harga CPO
domestik sebsar 0.04 persen. Perubahan harga CPO internasional akan
mempengaruhi harga minyak goreng, harga akan menurun namun dalam jumlah
yang kecil.
Pada penelitian Priyadi et al. (2004) dan Suharyatno et al. (2008), model elastisitas transmisi harga hanya melihat hubungan yang terjadi antara konsumen
dan petani, tidak melihat bagaimana dampaknya dua arah dari suatu perubahan
harga pada satu rantai terhadap rantai lainnya. Model VAR yang digunakan oleh
Dharmasena et al. (2004) dan Rifin (2009) mampu menjelaskan hubungan dinamis antar variabel yang diduga saling berhubungan, sehingga dapat melihat
suatu hubungan sebab akibat yang terjadi dalam model, selain itu besarnya
transmisi harga dapat dilihat melalui fungsi respon impuls.
Dalam penelitian ini VAR digunakan untuk melihat transmisi harga dari
21
dalam penelitian ini akan dibahas mengenai hubungan antara harga auction teh di
Jakarta Tea Auction dengan auction luar negeri menggunakan pendekatan metode
VAR; dengan menggunakan salah satu harga grade teh yang dilelang di pelelangan, yakni Dust. Selain membahas mengenai transmisi harga, penelitian ini
III Kerangka Pemikiran
3.1Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Manajemen Pemasaran
Manajamen pemasaran adalah proses analisa, perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan program-program yang bertujuan menimbulkan pertukaran
dengan pasar yang dituju untuk mencapai tujuan perusahaan (Kotler 1991). Dalam
pemasaran, analisa mengenai pasar menjadi salah satu faktor penting karena akan
menentukan perencanaan strategi yang akan dilakukan oleh perusahaan.
Kotler (1991) menjelaskan dalam proses analisa pasar, informasi pasar
merupakan sebuah elemen penting untuk menyususun sistem pemasaran yang
efektif, karena informasi dapat menjelaskan tren pemasaran nasional dan
internasional, transisi dari permintaan pembeli dan kebutuhan pembeli, dan
transisi dari kompetisi harga hingga non-harga. Informasi pasar yang baik
mencakup empat subsistem; 1) Internal Records System 2) Market Intelligence 3)
Market Research 4) Market Decision Support System.
Dengan mengetahui informasi maka perusahaan dapat merespon
perubahan dinamis yang berada di luar sana, yang dapat digunakan untuk
keuntungan perusahaan. Sistem agribisnis yang berdaya saing tinggi adalah sistem
agribisnis yang fleksibel atau mampu merespons setiap perubahan pasar secara
efektif dan efisien. Efektif dalam pengertian bahwa respons yang diberikan oleh
sistem agribisnis sesuai dengan dinamika kebutuhan pasar (volume, tempat dan
waktu) dan preferensi konsumen, sedangkan efisien memiliki makna bahwa
sistem agribisnis tersebut mampu memproduksi dan memasarkan produk dengan
harga relatif murah untuk kualitas produk yang sama di tangan konsumen (Irawan,
2007).
3.1.2 Volatilitas
Volatilitas berasal dari kata volatil (volatile), yang mana istilah ini mengacu kepada kondisi tidak stabil, bervariasi, dan sulit diperkirakan. Volatilitas
23
diduga (predictable) dan komponen yang tidak dapat diduga (unpredictable) (Sumaryanto 2009).
Sumaryanto (2009) menjelaskan ada tiga hal yang melandasi pentingnya
permodelan dan peramalan volatilitas harga. Pertama, hasil dari permodelan akan
bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan risiko yang
disebabkan oleh perubahan harga yang terjadi. Kedua, ketepatan hasil peramalan
bersifat time-varying sehingga ketepatan permodelan akan didapat dengan memodelkan ragam galatnya. Ketiga, untuk memperoleh teknik peramalan dan
pendugaan harga kedepannya yang lebih tepat.
Kebanyakan pelaku usaha dan pemerintah dalam penanganan masalah
yang berkenaan dengan risiko pada umumnya cenderung mengarah pada
keragaman yang dapat diduga (predictable), sehingga terkadang langkah antisipasi terhadap perubahan menjadi kurang tepat, terlebih lagi jika pola
fluktuasinya berubah dari pola fluktuasi yang ada sekarang (Wolf 2003, diacu
dalam Sumaryanto 2009). Analisis volatilitas sering dilakukan pada pasar uang
dan pasar saham, namun belakangan ini sering dilakukan pada pasar komoditi.
Analisis ini menjadi penting apabila pelaku bisnis dihadapkan pada kondisi harga
yang tidak stabil dan pola pergerakannya tidak dapat diperkirakan.
3.1.3 Transmisi Harga
Transmisi harga merupakan sebuah studi analisis mengenai bagaimana
sebuah harga saling mempengaruhi pada pasar, baik secara spasial (perbedaan
geografis) maupun vertikal (dilihat dari rantai pemasarannya) (Abbott et al. 2011, Conforti 2004). Transmisi harga yang simetris akan terjadi dengan baik pada
pasar yang menganut Law of One Price, artinya jika harga pada suatu pasar mengalami peningkatan maka pasar yang menjual produk yang sama akan
merespon perubahan harga tersebut mengikuti harga yang terjadi di pasar. Hal ini
menandakan bahwa pasar sudah terintegrasi dengan baik dan sudah efisien karena
persebaran informasinya merata yang dapat dilihat melalui respon yang
ditimbulkan terhadap perubahan harga tersebut, sehingga tidak menimbulkan
24
pemerintah, melalui berbagai instrumen kebijakan perdagangan, pasar yang tidak
terintegrasi secara sempurna, atau tingginya biaya transaksi yang membuat pasar
menjadi tersegmen.
Model transmisi harga digunakan untuk menangkap pengaruh kebijakan
terhadap pasar, mengukur sejauh mana pasar terintegrasi atau menguji apakah
Law of One Price berlaku. Law of One Price diharapkan dapat mengukur
hubungan harga spasial, yang mana harga pada setiap rantai produksi akan
berbeda, bergantung pada biaya produksi (Conforti 2004). Ada enam faktor yang
mempengaruhi transmisi harga;
1) Biaya Transportasi dan Transaksi
Hal ini dapat diklasifikasi kembali menjadi tiga grup yang terdiri atas biaya
informasi, biaya negosiasi dan biaya monitoring serta biaya penegakan
pelaksanaan. Hal ini dapat membuat harga antar pasar menjadi berbeda, yang
dapat diatasi dengan menetapkan harga yang berbeda di dua tempat yang
berbeda agar terjadi keadilan dan integrasi di antara dua buah tempat tersebut.
2) Kekuatan Pasar
Pada sebuah rantai produksi yang panjang, beberapa agen akan berlaku
sebagai price maker (pembuat harga), bergantung pada sisi mana industri tersebut terkonsentrasi.
3) Increasing returns to scale pada produksi
Hal ini terjadi biasanya pada permulaan pasar. Increasing returns to scale
dapat mempengaruhi transmisi harga secara vertikal.
4) Produk yang homogen dan differensiasi
Tingkat substitusi pada konsumsi barang serupa yang diproduksi pada dua
buah negara berbeda akan mempengaruhi integrasi pasar dan transmisi harga.
5) Nilai Tukar
Pengaruh perubahan nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lain akan
memiliki pengaruh pada kemampuan sebuah perusahaan untuk membedakan
harga yang bergantung pada tujuan (price-to-market behaviour), struktur pasar, produk non-homogen, dan biaya pada perusahaan.
25
Hal ini secara langsung mempengaruhi transmisi harga spasial, antara lain
kebijakan perdagangan, sedangkan kebijakan domestik yang berkenaan
dengan harga akan mempengaruhi transmisi harga secara vertikal dan spasial.
3.1.4 Model VAR (Vector Autoregression)
VAR atau Vector Autoregression, merupakan model yang dikembangkan oleh Sims pada tahun 1980, sebagai alternatif pendekatan permodelan ekonomi
dinamis, yang nyatanya diketahui banyak hubungan antara variabel-variabel yang
saling berkaitan digunakan dalam model persamaan simultan (Enders 1995). Sims
mengembangkan model VAR dengan asumsi, jika terdapat hubungan simultan
antara variabel-variabel yang diobservasi maka variabel tersebut perlu mendapat
perlakuan yang sama, sehingga atas dasar itu muncul model VAR.
VAR merupakan sebuah model non struktural, karena model ini dibangun
dengan pertimbangan pendekatan teori yang minimal agar mampu menangkap
sebuah fenomena ekonomi dengan baik. Dalam model VAR interaksi dinamis
antar variabel yang menjadi bahan perhatian utama. VAR dibagi menjadi tiga
jenis, (1) VAR in level, jika data yang digunakan sudah stasioner, (2) VAR in difference, jika data yang digunakan belum stasioner dan tidak ada kointegrasi antara variabel-variabel yang digunakan dalam model, dan (3) VECM (Vector
Eror Correction Model), jika data yang digunakan belum stasioner dan ada
kointegrasi antara variabel yang digunakan dalam model (Widarjono 2010).
3.1.5 Model VECM (Vector Error Correction Model)
Model VECM disusun apabila ternyata setelah melakukan Uji Johansen,
variabel-variabel time series menunjukkan adanya kointegrasi, hubungan jangka panjang. VECM bertujuan untuk merestriksi hubungan perilaku jangka panjang
antar variabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun
masih memberikan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Model
ini deviasi jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian
26 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Terdapat beberapa masalah yang menjadi isu dalam industri teh nasional,
mulai dari hilir, on farm, hingga hulu, seperti biaya produksi yang cenderung naik, dibutuhkannya klon unggul untuk meningkatkan produktivitas petani teh,
perlunya alat pengolahan yang modern, hingga perlunya sistem pemasaran yang
baik. Mengatasi hal ini, Dewan Teh Indonesia menyusun Gerakan Penyelamatan
Agribisnis Teh Nasional yang mencakup perbaikan perkebunan teh rakyat,
perbaikan gabungan kelompok tani, penguatan lembaga riset teh, penyempurnaan
Standar Nasional Indonesia (SNI) hasil teh yang mengakomodasi standar-standar
dunia, penambahan pabrik pengolahan dan peremajaan pabrik yang sudah ada,
dan yang terakhir penguatan lembaga pemasaran teh, khususnya Jakarta Tea
Auction, yang dipegang oleh PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT.
KPB Nusantara).
Salah satu permasalahan yang menjadi isu penting dalam lembaga
pemasaran adalah harga pasar lelang teh nasional (Jakarta Tea Auction), karena mayoritas produksi teh nasional dijual melalui mekanisme lelang di Jakarta Tea
Auction. Harga yang terjadi di Jakarta Tea Auction menjadi acuan bagi produsen
teh dalam merencanakan komposisi produksi teh mereka pada auction yang akan datang. Tidak hanya berpengaruh pada pihak pekebunan negara, harga yang
terjadi pada Jakarta Tea Auction juga akan mempengaruhi harga jual yang teh yang terjadi di dalam negeri. Sehingga harga pelelangan yang terjadi pada Jakarta
Tea Auction menjadi faktor penting bagi produsen teh nasional dalam
merencanakan produksinya.
Hingga saat ini harga teh yang dilelang di Jakarta Tea Auction masih diduga dengan menggunakan model Naive Forecasting, yang terkadang menyebabkan beberapa produsen teh masih kesulitan dalam menduga grade yang sedang diminati pada pasar lelang yang akan datang. Selain itu, harga lelang yang
cenderung fluktuatif juga membuat beberapa produsen penghasil teh masih
kesulitan dalam menduga pergerakan harga teh yang akan datang, dikarenakan