• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Keberadaan limbah ternak di Indonesia cukup tinggi, salah satu diantaranya adalah tulang ternak. Hal ini diakibatkan oleh tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572 dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011). Limbah ternak berupa tulang ini jika tidak dilakukan penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan serta penyebaran penyakit menular (Deptan 2009). Tulang ternak memiliki potensi untuk diolah kembali menjadi berbagai produk yang masih bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga bernilai ekonomi tinggi. Perkiraan potensi limbah ternak berasal dari tulang sapi potong, ayam broiler, dan babi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Perkiraan potensi limbah ternak berasal dari tulang

No Ternak Bobot karkas (kg) Tulang (%) Sumber Acuan

1. Sapi PO 150 kg 13 Yurleni (2013)

2. Ayam Broiler 2 kg 17-25 Jull (1972)

3. Babi Turopolje (Kroasia)

80 kg 12-13 Dikic et al.

(2003)

Di Indonesia, tulang ternak banyak dimanfaatkan untuk bahan pembuatan cinderamata dan sebagian kecil untuk pembuatan tepung tulang sebagai sumber mineral Kalsium (Ca) dan Fosfor (P) pada campuran makanan ternak. Arang tulang (Bone Charcoal) adalah arang tulang ternak yang diolah dari limbah tulang ternak dan bermanfaat untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) pada air tanah (Smittakorn et al. 2010). Penelitian ini telah dilakukan di Thailand dengan membandingkan penelitian serupa di India.

Arang tulang merupakan bahan granular yang diproduksi melalui

pembakaran tulang-tulang hewan (charring animal bones). Arang tulang ini dapat diaplikasikan untuk proses defluoridation air dan penghilangan logam berat dari larutan air. Arang tulang ini sebagian besar terdiri dari kalsium fosfat dan sejumlah kecil karbon. Arang tulang biasanya memiliki luas permukaan yang lebih rendah daripada karbon aktif, tetapi dengan kapasitas serap tinggi bagi tembaga (Cu), seng (Zn), dan cadmium (Cd) (Wilson et al. 2003; Choy dan McKay 2005; Xiang 2003).

Di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, air tanah merupakan sumber air terbesar untuk konsumsi masyarakat. Menurut Laporan UNICEF, Thailand

20

dan 25 negara lain, termasuk Indonesia memiliki konsentrasi F yang cukup tinggi pada air tanah. Pada tahun 2006 WHO menyatakan bahwa maksimum limit kadar F yang direkomendasikan pada air minum adalah 1.5 mg/l (Smittakorn et al. 2010). Di Indonesia, persyaratan kualitas air minum dengan kandungan maksimum F dan Fe yang diperbolehkan adalah 1.5 mg/l dan 0.3 mg/l (Permenkes 2010). Pemanfaatan arang tulang ternak pada penyaring air minum bermanfaat untuk menurunkan kandungan F pada air tanah dan air minum masih sangat jarang diaplikasikan di Indonesia. Padahal, teknologi sederhana ini dapat diterapkan di wilayah pedesaan, terutama yang memiliki kandungan F yang melebihi batas ambang yang direkomendasikan oleh WHO.

Kandungan F yang berlebihan pada air yang dikonsumsi merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi besar untuk menimbulkan bahaya kesehatan jangka panjang. Asupan F yang melebihi batas standar air minum dapat menyebabkan dental fluorosis atau bahkan crippling skeletal (Fawell et al. 2006). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa

fluorosis yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi F juga berpotensi terhadap berbagai masalah kesehatan yang serius. Osteoporosis akut pada wanita telah didokumentasikan oleh Alhava et al. (1980) dan telah ditemukan adanya pengaruh

fluorosis pada jaringan tulang terhadap menurunnya kekuatan tulang (Carter dan Beaupre 1990).

Metode untuk menurunkan kandungan F pada air tanah dan air minum menggunakan arang tulang masih kurang diaplikasikan di Indonesia. India dan Thailand telah sukses menerapkan teknologi ini dengan menggunakan arang tulang yang berasal dari ternak sapi. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji potensi arang tulang sapi, babi, dan ayam untuk menurunkan kandungan F dan Fe pada air tanah di Jawa Barat, Indonesia.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Desember 2013. Pembuatan arang tulang dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian air tanah di Labkesda DKI Jakarta. Uji Energy Dispersive X-Ray (EDX) dan Scanning Electron Microscope (SEM) arang tulang dilakukan di Laboratorium Instrument Proksimat Terpadu, Puslitbang Keteknikan Kehutanan & Pengolahan Hasil Hutan. Pengujian arang tulang sebagai penyerap dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tulang yang berasal dari ternak sapi, babi, dan ayam sebagai bahan pembuatan arang tulang (bone charcoal); Aquades dan Natrium Fluorida (NaF) serta Besi Sulfat (FeSO4)untuk pengujian air sintetis; Air tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat, diambil dari wilayah di Bogor dengan tiga ketinggian (Lampiran 6), yaitu: Kurang dari 200m dpl, Di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Antara 200 – 400

21

m dpl, Di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Lebih dari 400m dpl, Di Desa Cipayung, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian

a. Pembuatan Arang Tulang

Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan arang tulang yang terdiri dari 3 jenis tulang yaitu tulang sapi, babi, dan ayam. Tulang ayam dan sapi diperoleh dari berbagai pasar tradisional yang ada di wilayah Bogor, seperti Pasar Ciampea, Pasar Caringin, Pasar Anyar, dan Pasar Bogor. Sedangkan tulang babi hanya bisa diperoleh di Pasar Bogor.

Proses pembuatan arang tulang terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1). Proses pembersihan tulang dari sisa-sisa daging dan lemak yang menempel, 2). Proses perebusan tulang, selama 1- 5 jam tergantung jenis tulang, 3). Proses pengeringan tulang, menggunakan oven suhu 60 oC selama 24 jam, dan 4). Proses pembakaran tulang, menggunakan tanur suhu 600 oC selama 1-3 jam. Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm.

Gambar 3.1 Arang tulang sapi, babi, dan ayam (dokumentasi penelitian)

Proses perebusan tulang yang dilakukan terhadap ketiga jenis tulang tersebut memerlukan waktu yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kekerasan tulang. Tulang ayam relatif paling lunak dari ketiganya sehingga proses perebusan tulang hanya memerlukan waktu kurang lebih 1 jam untuk siap dikeringkan dengan menggunakan oven di Laboratorium. Tulang babi memerlukan proses perebusan yang lebih lama dari tulang ayam, akan tetapi lebih pendek durasinya dari proses perebusan yang dilakukan pada tulang sapi. Tulang babi hanya memerlukan waktu selama kurang lebih 3 jam, sedangkan tulang sapi selama 5 jam. Proses pembuatan arang tulang juga memerlukan waktu yang berbeda saat dimasukkan ke dalam tanur dengan menggunakan suhu 600 oC. Tulang ayam selama 60-90 menit, tulang babi selama 120-150 menit, dan tulang sapi selama 150-200 menit. Hal ini dikarenakan tulang babi yang digunakan adalah tulang belakang (thoracic and lumbar vertebrae), sedangkan tulang ayam dan sapi yang digunakan adalah tulang kaki (femur).

22

Gambar 3.2 Tahapan proses pembuatan arang tulang Tulang

(sapi, babi, dan ayam)

Tulang dibersihkan dari sisa daging dan lemak yang menempel

Tulang dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 60oC selama 24 jam

Tulang dibakar dengan menggunakan tanur suhu 600oC

(selama 60-200 menit tergantung jenis tulang)

Arang tulang warna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau

(ukuran sekitar 1-2 mm) Tulang direbus

23

b.Pembuatan “the adsorption batch experiment” dengan air sintetis

Pembuatan air sintetis, dengan mencampur NaF dengan aquades untuk F dan FeSO4 dengan aquades untuk Fe. Konsentrasi F dan Fe bervariasi 1 – 5 mg/l. Menambahkan arang tulang sapi sebanyak 10 g ke dalam 100 ml air sintetis dengan konsentrasi F dan Fe masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm ke dalam botol polyethylene. Hal yang sama dilakukan juga pada arang tulang dari tulang babi dan tulang ayam. Botol-botol tersebut kemudian ditempatkan dalam

water bath pada suhu kamar selama 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam. Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi F dan Fe dengan menggunakan Spektrofotometer (Metode AAS).

c. Pembuatan “the adsorption batch experiment” dengan air tanah

Menyiapkan air tanah dengan konsentrasi F sebesar 3 ppm. Menambahkan arang tulang sapi sebanyak 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 g ke dalam 100 ml air tanah dalam botol polyethylene. Hal yang sama dilakukan juga pada arang tulang dari tulang babi dan tulang ayam. Botol-botol tersebut kemudian ditempatkan dalam water bath pada suhu kamar selama 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam. Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi F dengan menggunakan Spektrofotometer (Metode AAS).

d.Peubah yang Diamati:

1. Kandungan F dan Fe air tanah.

2. Kualitas arang tulang sapi, babi, dan ayam.

3. Adsorption capacity, untuk mengukur prosentase F dan Fe pd larutan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% adsorption = _______ x 100

C0

Keterangan: C0 = konsentrasi awal

Ct = konsentrasi pada waktu t pada mg/l

e. Analisis Data

Metode deskriptif dengan tabel, grafik, dan narasi digunakan untuk menjelaskan data kandungan F dan Fe pada air sintetis serta F pada air tanah; data kualitas arang tulang sapi, babi, dan ayam; data prosentase penyerapan ketiga jenis arang tulang.

24

Hasil dan Pembahasan Kandungan F dan Fe Air Tanah

Hasil pengujian terhadap kandungan Fluor (F) dan Besi (Fe) pada air tanah di tiga level ketinggian dari permukaan laut dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan 3.3.

Tabel 3.2 Kandungan F (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian

F (ppm) < 200 m dpl 200 - 400 m dpl > 400 m dpl 1 0.89 ttd ttd 2 1.73 1.98 0.68 3 ttd 0.05 ttd 4 ttd ttd ttd 5 3.01 ttd ttd

Keterangan: m = meter, dpl = diatas permukaan laut, ttd = tidak terdeteksi

Dari kedua tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara kandungan F dan Fe pada air tanah. Kandungan F berada pada kisaran yang lebih tinggi dari kandungan Fe, dimana kandungan F yang terdeteksi hanya 6 sampel dengan kisaran antara 0.05 ppm hingga 3.01 ppm dari 15 sampel air yang diuji. Sedangkan kandungan Fe yang terdeteksi juga 6 sampel dengan kisaran 0.07 ppm hingga 1.13 ppm dari 15 sampel air yang diuji.

Tabel 3.3 Kandungan Fe (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian

Fe (ppm) < 200 m dpl 200 - 400 m dpl > 400 m dpl 1 0.17 ttd ttd 2 ttd 0.03 ttd 3 ttd ttd 0.07 4 0.35 ttd ttd 5 0.73 1.13 ttd

Keterangan: m = meter, dpl = diatas permukaan laut, ttd = tidak terdeteksi

Pengujian terhadap kandungan F dan Fe ini menjadi sangat penting karena air tanah yang terdapat di Indonesia, khususnya wilayah Kota dan Kabupaten Bogor, masih kurang diketahui akibat sangat minimnya penelitian terkait. Dengan semakin tingginya tingkat pencemaran air akibat berbagai aktivitas manusia maka diasumsikan bahwa semakin rendah level keberadaan air tanah dari permukaan laut semakin tinggi tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa aktivitas manusia di daerah dataran rendah lebih tinggi dan lebih variatif sehingga semakin berpotensi untuk mencemari air tanah.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari kandungan F dan Fe yang terdeteksi pada air tanah dimana pada level ketinggian <200 m dpl terdapat 3 sampel air yang terdeteksi mengandung F maupun Fe jika dibandingkan dengan ketinggian antara 200-400 m dpl hanya 2 sampel air terdeteksi mengandung F dan Fe serta 1 sampel air yang terdeteksi mengandung F dan Fe dari 15 sampel air yang diuji.

25

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel air tanah di daerah dataran rendah memiliki kecenderungan nilai kandungan F dan Fe yang lebih tinggi akibat aktivitas manusia yang semakin beragam.

Fluor (F) yang banyak terkandung dalam pasta gigi membantu mencegah proses pembusukan. Percobaan klinis menunjukkan, bahwa pasta gigi yang mengandung F dapat mengurangi pembusukan gigi 15 sampai 30 persen (www.vision.net.id). Namun demikian, kandungan F yang terlalu tinggi dan cenderung berlebihan pada air tanah dapat berakibat buruk pada kesehatan manusia.

Menurut Laporan UNICEF, Indonesia merupakan salah satu negara dari 25 negara lainnya, termasuk Thailand, yang memiliki konsentrasi F yang tinggi pada air tanah. WHO (2006) menyatakan bahwa maksimum limit kadar F yang direkomendasikan pada air minum adalah 1.5 mg/l. Asupan F yang melebihi batas standar air minum dapat menyebabkan dental fluorosis atau bahkan

crippling skeletal (Fawell et.al 2006). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa berbagai masalah kesehatan yang serius sangat berpotensi mengakibatkan

fluorosis akibat tingginya konsentrasi F. Pada laki-laki remaja telah ditemukan adanya korelasi antara asupan fluoride yang tinggi dengan kanker tulang yang disebut osteosarcoma (Bassin et.al 2006). Kerusakan hati dan ginjal juga telah didokumentasikan oleh Xiong et.al (2007)

Kualias Arang Tulang

Untuk menentukan kandungan unsur-unsur yang masih terdapat pada arang tulang yang dihasilkan dengan menggunakan suhu yang sangat tinggi yaitu 600 oC dilakukan dengan menggunakan uji EDX. Hasil uji EDX memperlihatkan bahwa arang tulang yang dihasilkan memiliki kandungan O2 yang cukup tinggi yaitu > 40 %, dimana arang tulang babi memiliki kandungan O2 tertinggi yakni mencapai 62.4 % diikuti oleh arang tulang sapi sebesar 48.83 % dan arang tulang ayam sebanyak 40.83 %. Sedangkan arang tulang sapi memiliki kandungan unsur Ca sebesar 29.83 % dan P sebanyak 18.71 % yang lebih tinggi dibandingkan kandungan arang tulang babi dan ayam dengan kandungan kurang dari 13 %. Arang tulang ayam mengandung unsur C yang sangat tinggi mencapai 50.82 % dibandingkan arang tulang babi yang hanya 14.4 % dan arang tulang sapi bahkan hanya 1.74 %.

Unsur karbon yang dihasilkan oleh arang tulang ayam dan babi, meski jauh lebih tinggi daripada arang tulang sapi, ternyata masih belum memenuhi kisaran kandungan karbon yang baik sebesar 85-95% (Okeola and Odebunmi 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa menjadi penting untuk diperhatikan ketika pemanasan berlangsung, harus diupayakan agar tidak terjadi kebocoran udara di dalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi.

Menurut Sudrajat et al. (2005), arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan sebagai adsorbent (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang tersebut dilakukan aktivasi dengan aktivator bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut

26

sebagai arang aktif. Arang tulang sapi, babi, dan ayam memiliki daya serap cukup tinggi terhadap F karena diproses dengan pemanasan pada temperatur tinggi (600oC) meskipun tidak dilakukan aktivasi. Arang tulang sapi, babi, dan ayam cukup potensi untuk diproses lanjut menjadi arang aktif karena semakin tinggi kadar karbon, semakin baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang aktif.

Tabel 3.4 Hasil uji EDX arang tulang sapi, babi, dan ayam

Unsur Arang Tulang

Sapi (%) Arang Tulang Ayam (%) Arang Tulang Babi (%) Oksigen 48,83 40,83 62,4 Kalsium 29,83 2,98 12,92 Fosfor 18,71 2,82 8,75 Karbon 1,74 50,82 14,4 Natrium 0,47 1,57 0,98 Magnesium 0,42 0,63 0,55 Aluminium - 0,35 - Total 100 100 100

Arang tulang utamanya tersusun atas kalsium hidroksiapatit (CaHA), karbon, dan kalsium karbonat. Hidroksiapatit ini memiliki kemampuan yang baik untuk menghilangkan kation anorganik sehingga dapat dikembangkan penggunaannya untuk menghilangkan logam-logam berat pada air yang terkontaminasi (Pan et al. 2009). Matriks-matriks ekstraselular dari jaringan keras tulang tersusun atas fasa-fasa anorganik dan organik. Fasa anorganik utama tersusun atas kristal-kristal hidroksiapatit (HA), dan fasa organik terutama terdiri atas kolagen dan sejumlah kecil senyawa lain termasuk glycosaminoglycans (GAGs), proteoglycans dan glikoprotein (Yildirim 2004).

Menurut Yildirim (2004), secara kimiawi komposisi penyusun tulang pada basis berat, terdiri dari kurang lebih 69% anorganik, 22% organik, dan 9% air. Sedangkan basis volume yaitu 40% anorganik, 35% organik, dan 25% air. Fasa organik utama dari tulang adalah kolagen (90% berat). Fasa utama anorganik dari tulang adalah sebuah mineral garam kristalin yang merupakan kalsium fosfat dan sering kali diidealkan sebagai hidroksilapatit yang juga disebut hidroksiapatit. Sedangkan fasa anorganik tulang selain hidroksiapatit adalah garam-garam dari natrium, magnesium, kalium, klor, fluor, dan sitrat dalam jumlah yang bervariasi.

Kristal hidroksiapatit secara fisik merupakan material biokeramik dengan struktur permukaannya yang memiliki pori-pori (Kubo 2003). Hidroksiapatit adalah mineral yang terjadi secara alami, dalam keadaan murni berbentuk kristal putih dengan rumus Ca5(PO4)3(OH), tetapi biasanya ditulis Ca10(PO4)6(OH)2. Secara teoritis hidroksiapatit, Ca10(PO4)6(OH)2 memiliki

27

kandungan (dalam % berat) kalsium 39,68; fosfor 18,45. Perbandingan Ca/P sebesar 2,151 dan perbandingan molar Ca/P adalah 1,67 (Yildirim 2004).

Pengujian Kualitas Arang Tulang

Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap F pada air sintetis dapat dilihat pada tabel 3.5. Tabel tersebut menunjukkan adanya perbedaan prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap F pada air sintetis dengan kandungan F sebesar 1 ppm hingga 5 ppm. Prosentase penyerapan arang tulang sapi cenderung lebih tinggi dibandingkan arang tulang babi dan ayam pada seluruh konsentrasi F yang diujikan. Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap F pada air sintetis berbanding lurus dengan konsentrasi F pada air sintetis dimana makin tinggi konsentrasi F pada air sintetis maka makin tinggi pula prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap unsur F.

Tabel 3.5 Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap F (ppm) pada air sintetis

LP (jam) 1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm 5 ppm A S B A S B A S B A S B A S B 2 42 48 35 66 70 44 75 71 65 77 85 72 83 87 79 4 3 58 4 50 64 34 57 61 34 71 65 55 81 82 50 6 17 28 12 30 61 7 48 67 35 75 73 26 63 79 44 8 33 81 9 32 96 16 60 96 37 67 94 20 74 90 64 10 5 48 5 47 75 40 42 76 47 46 86 43 51 79 31 12 5 27 74 6 76 54 35 83 72 48 95 81 57 89 71 Keterangan: LP = lama penyerapan, F = Fluor, A = Arang tulang ayam, S = Arang tulang sapi, B = Arang tulang babi

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh kenaikan prosentase penyerapan (%

adsorption) arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap unsur F. Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap unsur F berbanding terbalik dengan kenaikan prosentase penyerapan itu sendiri dimana makin tinggi konsentrasi F pada air sintetis maka makin rendah kenaikan prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap unsur F. Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap unsur F pada konsentrasi 1 ppm sebesar 30 %, meningkat menjadi 48 % pada konsentrasi 2 ppm dengan kenaikan prosentase penyerapan 18 %, lalu meningkat menjadi 59 % pada konsentrasi 3 ppm dengan kenaikan prosentase penyerapan hanya 11 %. Selanjutnya kenaikan prosentase penyerapan hanya sebesar 7 % pada konsentrasi 4 ppm meski prosentase penyerapan meningkat menjadi 66 %. Pada akhirnya kenaikan prosentase penyerapan semakin menurun menjadi hanya 4 % pada konsentrasi 5 ppm dengan prosentase penyerapan yang tertinggi yaitu sebesar 70 %.

28

Tabel 3.6 Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap Fe (ppm) pada air sintetis

Fe (ppm) ayam babi sapi % adsorption

1 100 82 100 94 2 100 91 100 97 3 100 86 100 95 4 100 86 100 95 5 99 90 100 96

Gambar 3.3 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang sapi sebagai

adsorbent F pada air tanah. Prosentase penyerapan arang tulang sapi = 77 %.

2 jam 4 jam 6 jam 8 jam 10 jam 12 jam

12 g 78 78 85 88 92 95 10 g 75 75 81 87 87 91 8 g 72 81 81 85 88 90 6 g 63 66 72 77 81 84 4 g 60 63 70 75 79 85 2 g 53 53 59 69 74 79 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % adsorption 12 g 10 g 8 g 6 g 4 g 2 g

29

Gambar 3.4 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang ayam sebagai

adsorbent F pada air tanah. Prosentase penyerapan arang tulang ayam = 67 %

Gambar 3.5 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang babi sebagai

adsorbent F pada air tanah. Prosentase penyerapan arang tulang babi = 43 %

2 jam 4 jam 6 jam 8 jam 10 jam 12 jam

12 g 73 80 80 86 89 93 10 g 64 65 69 72 77 85 8 g 65 65 67 71 74 81 6 g 65 65 66 73 74 79 4 g 35 50 54 66 73 74 2 g 24 30 43 50 58 68 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % adsorption 12 g 10 g 8 g 6 g 4 g 2 g

2 jam 4 jam 6 jam 8 jam 10 jam 12 jam

12 g 48 48 57 61 67 72 10 g 41 41 48 57 65 68 8 g 38 38 44 52 55 58 6 g 34 34 40 44 49 57 4 g 16 16 23 37 44 51 2 g 7 7 14 18 41 45 0 10 20 30 40 50 60 70 80 % adsorption 12 g 10 g 8 g 6 g 4 g 2 g

30

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan arang tulang sapi, babi, dan ayam sebagai adsorbent F pada air sintetis akan mengalami peningkatan pada prosentase penyerapan dengan penurunan pada kenaikan prosentase penyerapan itu sendiri seiring dengan bertambahnya waktu. Pada konsentrasi F sebesar 5 ppm menghasilkan kecenderungan prosentase penyerapan terbaik hingga 12 jam pada arang tulang sapi, diikuti oleh arang tulang ayam dan babi.

Tabel 3.6. menunjukkan adanya perbedaan prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap Fe pada air sintetis dengan kandungan Fe sebesar 1 ppm hingga 5 ppm. Prosentase penyerapan arang tulang sapi lebih tinggi dibandingkan arang tulang babi dan ayam pada seluruh konsentrasi Fe yang diujikan, dimana selama 2 jam mencapai 100 %, diikuti oleh arang tulang ayam sebesar 99.8 % dan arang tulang babi sebesar 87.1 %. Prosentase penyerapan tertinggi dari arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap Fe pada air sintetis dicapai pada konsentrasi Fe sebesar 2 ppm yaitu 97 % dan terendah pada konsentrasi Fe sebesar 1 ppm yaitu 94 %.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan arang tulang sapi, babi, dan ayam sebagai adsorbent Fe pada air sintetis sangat baik sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya prosentase penyerapan yang mencapai > 80 %. Bahkan hasil yang sangat menakjubkan ditunjukkan oleh arang tulang sapi yang mampu menyerap Fe hingga 100 % hanya dalam waktu 2 jam. Pada konsentrasi Fe sebesar 2 ppm menghasilkan kecenderungan prosentase penyerapan terbaik hingga 2 jam pada arang tulang sapi, diikuti oleh arang tulang ayam dan babi. Moreno et al. (2010) menemukan bahwa arang tulang sapi memiliki kapasitas penyerapan yang tinggi karena mampu menyerap Fe sebesar 31.43 mg.g-1.

Penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap kandungan Fe tidak dilanjutkan pengujiannya pada air tanah akibat telah terserapnya hingga 100 % pada 2 jam pertama. Pengujian pada air tanah dilakukan dengan menguji penambahan arang tulang yang berbeda yaitu 2 hingga 12 g dengan lama pengamatan 2 hingga 12 jam.

Gambar 3.3, 3.4, dan 3.5 menunjukkan adanya perbedaan prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap kandungan F pada air tanah dengan jumlah arang tulang yang bervariasi dari 2, 4, 6, 8, 10 hingga 12 g dengan lama penyerapan selama 2, 4, 6, 8, 10 hingga 12 jam. Prosentase penyerapan arang tulang sapi terhadap F air tanah cenderung lebih tinggi dibandingkan arang tulang ayam dan babi pada berbagai level jumlah arang tulang dan lama penyerapan. Arang tulang sapi memiliki daya serap paling tinggi (77%) terhadap F, diikuti oleh ayam (67%) dan babi (43%).

Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang sapi, babi, dan ayam terhadap konsentrasi F pada air tanah berbanding lurus dengan jumlah arang tulang dan lama penyerapan, dimana makin banyak arang tulang yang ditambahkan makin tinggi % penyerapan terhadap F dan % penyerapan terhadap F cenderung meningkat dari lama penyerapan 2 jam hingga 12 jam.

Daya serap terhadap F dengan menggunakan arang tulang sapi, babi, dan ayam lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Thailand pada arang tulang sapi yang berada di kisaran 60-80% dengan menggunakan air sintetis dan mencapai 80% dengan menggunakan air tanah (Smittakorn et al. 2010). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa arang tulang sapi memiliki daya serap terhadap F yang terbaik, diikuti oleh arang tulang ayam dan babi. Arang tulang

31

babi juga memiliki daya serap yang cukup tinggi jika digunakan sebagai

adsorbent untuk unsur Cobalt (Co) dimana mampu mencapai 88% dengan prosentase penyerapan tertinggi dicapai pada 5 menit pertama (Pan et al. 2009).

Secara kimiawi tulang ayam tersusun atas 75% bahan-bahan anorganik dan 25% bahan organik. Anorganik terutama mineral garam kristalin dan kalsium yang terdapat dalam bentuk hidroksiapatit, Ca10(PO4)6(OH)2, sedangkan Na, Mg, K, Cl, F, CaCO3, Ca3(PO4)2 dan ion-ion sitrat ada dalam jumlah yang

Dokumen terkait