• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kotoran Dan Tulang Ternak Sebagai Sumber Produk Non Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Kotoran Dan Tulang Ternak Sebagai Sumber Produk Non Pangan"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

i

POTENSI KOTORAN DAN TULANG TERNAK SEBAGAI

SUMBER PRODUK NON-PANGAN

NOVA RUGAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Potensi Kotoran dan Tulang Ternak sebagai Sumber Produk Non-Pangan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nova Rugayah

(4)
(5)

RINGKASAN

NOVA RUGAYAH. Potensi Kotoran dan Tulang Ternak sebagai Sumber Produk Non-Pangan. Dibimbing oleh MULADNO, HENNY NURAINI dan SALUNDIK.

Seiring dengan perkembangan teknologi, produk pangan maupun non pangan yang berasal dari ternak mulai ditinggalkan penggunaannya sejak ditemukan produk-produk sintetis yang manfaatnya jauh lebih baik. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pula yang semakin meningkatkan kesadaran manusia terhadap dampak negatif produk-produk sintetis akibat sulitnya terdekomposisi secara alami. Hal ini mengakibatkan manusia untuk

berpikir “back to nature” melalui pemanfaatan limbah peternakan (kulit, bulu,

wool, kotoran, tulang, lemak, dan organ dalam) secara optimal. Hal ini mampu meningkatkan nilai ekonomis limbah ternak sekaligus upaya dalam memelihara keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan limbah ternak secara efisien dan ekonomis akan mampu mencegah dahsyatnya pencemaran lingkungan, nilai estetis, dan berbagai masalah kesehatan terhadap kehidupan manusia.

Keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia cukup tinggi akibat tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572 dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011). Mengingat cukup tingginya keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia dan belum tercapainya pengolahan secara optimal, maka berbagai penelitian untuk mengetahui alternatif pengolahan limbah ternak untuk meningkatkan nilai ekonomis, mencegah pencemaran lingkungan yang sekaligus mampu meminimalkan masalah-masalah kesehatan sangat perlu untuk ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pemanfaatan kotoran dan tulang ternak (sapi, babi, dan ayam) sebagai material untuk produk bahan non-pangan.

Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan: 1) Penelitian terhadap kotoran ternak yang bertujuan mengetahui pengaruh pupuk kandang babi, sapi, dan ayam dengan campuran kotoran cacing (kascing) terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas Tanaman Bayam, 2) Penelitian terhadap tulang ternak yang bertujuan mengkaji potensi arang tulang sapi, ayam, dan babi untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) pada air tanah di Indonesia serta deteksi bahan baku arang tulang dan karbon aktif penyaring air komersial melalui tes DNA.

Penelitian tahap pertama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 10 perlakuan dan 3 ulangan. Pembuatan pupuk kandang mengaplikasikan sistem

(6)

Pupuk kandang ayam mengandung NPK relatif lebih baik dibandingkan pupuk kandang babi dan sapi. Pupuk kandang ayam dan babi memiliki hara makro (total NPK minimal 4%) sedangkan pupuk kandang sapi belum memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat (Permentan 2011). Pupuk kandang ayam mengandung N tertinggi yaitu 5,89%, diikuti oleh pupuk kandang babi (3,27%) dan sapi (1.56%). Kandungan unsur hara NPK pada kotoran ayam tertinggi dibandingkan kotoran sapi, kuda, babi, dan domba. Pupuk kandang ayam 20 ton ha-1 menghasilkan pertumbuhan dan produksi bayam terbaik dibandingkan dengan pupuk kandang babi dan sapi. Kualitas bayam terbaik dicapai dengan menggunakan kombinasi pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 dan kascing 10 ton ha-1. Penelitian tahap kedua menggunakan tulang sapi, babi, dan ayam. Proses pembuatan arang tulang menggunakan tanur suhu 600 oC. Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm. Pengujian terhadap kemampuan arang tulang menyerap F dan Fe pada air sintetis serta F pada air tanah. Air tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat, diambil dari wilayah Bogor dengan tiga ketinggian berbeda. Peubah yang diamati adalah kandungan F dan Fe air tanah, kualitas arang tulang sapi, ayam, dan babi, serta prosentase penyerapan arang tulang terhadap F dan Fe. Hasil analisis terhadap parameter yang diamati disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang tulang sapi memiliki prosentase penyerapan paling tinggi sebesar 77% terhadap F pada air tanah, diikuti oleh ayam (67%) dan babi (43%). Semakin banyak arang tulang semakin tinggi prosentase penyerapan terhadap F yang cenderung meningkat hingga 12 jam. Arang tulang sapi juga memiliki prosentase penyerapan paling tinggi terhadap Fe pada air tanah. Selama pengamatan 2 jam, arang tulang sapi mampu menyerap Fe hingga 100 %, diikuti oleh arang tulang ayam sebesar 99,7 %, dan babi 87 %.

Arang tulang mengandung kalsium hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] yang bersifat biomaterial keramik dengan permukaan memiliki pori-pori. Berdasarkan strukturnya dan akibat adanya gaya adhesi maka kalsium hidroksiapatit dapat mengadsorpsi zat-zat lain ke dalam pori-pori di permukaannya sehingga mampu menjadi penyerap (adsorbent). Foto SEM membuktikan pori-pori arang tulang tertutupi oleh suatu material berwarna putih yang diyakini adalah F yang terserap ke dalam pori-pori material kalsium hidroksiapatit.

DNA arang tulang dapat diisolasi secara kuantitatif meski dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu arang tulang sapi tertinggi sebesar 30.5 ng/µl diikuti oleh arang tulang ayam (16.7 ng/µl) dan babi (7.5 ng/µl). Kemurnian arang tulang sapi, ayam, babi, dan penyaring komersial, masing-masing sebesar 1,29, 1,38, 1,32, dan 1,46. Kemurnian DNA rendah karena masih jauh di bawah kemurnian DNA yang baik (1,8-2). Penggunaan suhu 600 oC mengakibatkan sebagian besar DNA rusak. Karbon aktif pada penyaring komersial tidak berasal dari bahan alami seperti arang tulang ternak sapi, babi, dan ayam melainkan berasal dari bahan sintetis yang memerlukan pengujian lebih lanjut.

(7)

SUMMARY

NOVA RUGAYAH. Potency of Animal By-Product from Manure and Bone as Source of Non-Food Product. Supervised by MULADNO, HENNY NURAINI and SALUNDIK.

Along with the development of technology, both food and non-food products derived from animals were gradually substituted by synthetic products with a much better quality. The times and technological advances as well that further enhance the human awareness to the negative impacts of synthetic products due to the difficulty to decompose naturally. This has led people to think "back to nature" through the utilization of farm waste (leather, fur, wool, faeces, bone, fat, and organs) optimally. It is able to increase the economic value of livestock wastes as well as efforts in maintaining environmental balance. Utilization of animal wastes efficiently and economically is able to prevent the enormity of environmental pollution, aesthetic value, and a variety of health problems to human life.

The existence of livestock manures and bones in Indonesia is quite high due to the high total consumption of beef, chicken, and pork in Indonesia which is reached 3.572 and 4.092 kg/capita/year in 2009 and 2010 (BPS 2011). Given the quite high presence of animal manure and bone wastes in Indonesia and not achieving optimal processing, the various studies to determine the livestock waste treatment alternatives for enhancing economic value as well as preventing pollution of the environment that is able to minimize the health problems really need to be improved in both quantity and quality. This study aims to explore the utilization of animal manure and bone wastes (cattle, pig, and chicken) as a material for non-food product ingredients.

This study is divided into two stages: 1) A study of animal manure to determine the effect of pig, cattle, and chicken manures with a mixture of worm faeces (casting) on the growth, production, and quality of spinach (Amaranthus sp). 2) A study of animal bones which aims to explore a potency of pig, cattle, and chicken bone charcoal for reducing fluoride level (defluoridation) of groundwater in Indonesia as well as the detection of bone charcoal as raw materials and activated carbon in commercial filter through DNA testing.

The first step of this research used Completely Randomized Design (CRD) with 10 treatments and 3 replications. Making the animal manure by applying the wind row system, which is the simplest and the cheapest process because it does not require a specific decomposition containers and special air regulation system but utilize natural air circulation, although its application requires a fairly extensive areas of land. Application of the manure and casting is at 2 weeks after sowing. The number of plots is 30 with 20 sample plants per plot. The harvesting plants are at 28 days after planting. The observation made on the growth of plant is height (cm), stem diameter (mm), and the number of leaves formed (strands). The measured parameters on the production are fresh and dry weight (g). The observations made on the quality are the protein content (%), Fe (mg), Ca (mg), chlorophyll (mg), vitamin A (mg), and vitamin C (mg).

(8)

cattle manure has not met the minimum technical requirements of solid organic fertilizer (Permentan 2011). Chicken manure contains the highest of N 5.89%, followed by pig manure (3.27%) and cattle (1.56%). The content of NPK nutrients on chicken manure is the highest compared to manure of cattle, horse, pig, and sheep. Chicken manure 20 tons/ha resulted in the best growth and production of Spinach compared to cattle and pig manure. The best quality of Spinach is achieved by using a combination of cattle manure 10 tons/ha and casting 10 tons/ha.

The second step used the bones of cattle, pig, and chicken. The making process of bone charcoal is by using furnace temperature of 600 oC. The bone charcoal is grayish black, brittle, and odorless with a size of about 1-2 mm. Testing on the ability of bone charcoal to adsorb F and Fe in synthetic water and F in groundwater. The groundwater consumed by the community is taken from Bogor area with three different altitudes. The measured parameters were F and Fe content in the groundwater, the quality of bone charcoal from pig, cattle, and chicken as well as the adsorption percentage of bone charcoal to F and Fe. The analysis results of the measured parameters are presented descriptively.

Results of studies in animal bone indicate that cattle bone charcoal has the highest percentage of adsorption by 77% to F in groundwater, followed by chicken (67%) and pig (43%). The more bone charcoal is added the higher percentage of adsorption to the F which is likely to increase up to 12 hours. Cattle bone charcoal also has the highest percentage of adsorption to the Fe in the groundwater. During the 2-hour observation, cattle bone charcoal can adsorb up to 100% Fe, followed by a chicken and pig bone charcoal were 99.7% and 87% respectively.

The bone charcoal containing calcium hydroxyapatite [CA10(PO4)6(OH)2] which is a ceramic biomaterial with surfaces have pores. Based on the structure and due to the calcium hydroxyapatite adhesion force, so it can adsorb other substances into the pores on the surface and being an adsorbent. SEM photograph proves the bone charcoal pores covered by a white material which is believed as F is absorbed into the pores of calcium hydroxyapatite material.

The DNA of bone charcoal can still be isolated quantitatively even with very small concentrations, ie. cattle bone charcoal is the highest concentration of 30.5 ng/µl followed by chicken and pig bone charcoal as much as 16.7 ng/µl and 7.5 ng/µl respectively, whereas the purity of cattle, chicken, pig, and commercial filters as much as 1.29, 1.38, 1.32, and 1.46 respectively. The purity of the obtained DNA is low because the best range is from 1.8 to 2. The making process by using temperature of 600 °C resulted in the majority of the DNA becomes damaged. The active carbon used in the commercial filters is not derived from natural materials such as cattle, chicken, and pig bone charcoal but from synthetic materials which are requires further testing.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan sesuatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

POTENSI KOTORAN DAN TULANG TERNAK SEBAGAI

SUMBER PRODUK NON-PANGAN

NOVA RUGAYAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Pollung H Siagian, MS 2. Dr Ir Didid Diapari, MSi

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah swt atas hidayahNya sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul “Potensi Kotoran dan Tulang Ternak Sebagai Sumber Produk Non-Pangan”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, Ibu Dr. Ir. Henny Nuraeni, MSi, Bapak Dr. Ir. Salundik, MSi yang telah memberi arahan, bimbingan, saran, dan perhatian dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dr. Ir. Salundik, MSi, mantan Ketua Program Studi (Almh) Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA, Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, serta para dosen dan staf administrasi Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan Sekolah Pascasarjana IPB yang selalu memberikan perhatian, semangat, bantuan, dan semua masukan dalam proses penulisan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Muh. Basir Cyio, SE, MS, Rektor Universitas Tadulako, Prof. Dr. Ir. Kaharuddin Kasim, MS, Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Prof. Dr. Ir. Asriani Hasanuddin, MSi, Wakil Dekan 2 Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Dr. Ir. Rudy Priyanto, Kepala Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan IPB, atas pemberian rekomendasi dan support untuk melanjutkan studi Jenjang Doktor pada Fakultas Peternakan IPB. Demikian juga kepada Prof. Dr. Ir. Pollung Siagian, MSi dan Dr. Ir. Didid Diapari, MSi atas kesedian menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup tanggal 17 Juni 2014 serta kepada Dr Ir Pius Ketaren, MSc dan Prof Dr Ir Panca Dewi MHKS, MSi pada Ujian Terbuka tanggal 11 Juli 2014.

Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Tengah yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST), mahasiswa Pascasarjana Fapet angkatan 2009, dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuan dan kerja sama selama studi bahkan pada tahap-tahap penelitian hingga penulisan disertasi ini.

Terima kasih tak terhingga kepada Suami tercinta Musatar Muchtar, SP dan ananda tersayang, kedua orangtua Alm. Machmud Kawandaud, Almh. Ramlah Binol, kakak Almh. Lilyansi dan mertua Alm. Bapak Muchtar Bolla, Ibu Hj. Andi Mustika, serta seluruh keluarga atas doa dan motivasinya selama ini.

Ucapan terima kasih juga kepada DIKTI atas pemberian beasiswa BPPS tahun 2009-2013, Hibah Doktor tahun 2013, dan kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich tahun 2011 di University of Sydney, Australia.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK DALAM BUDIDAYA TANAMAN BAYAM

Pendahuluan 6

Bahan dan Metode 8

Hasil dan Pembahasan 10

Simpulan 18

3 POTENSI ARANG TULANG (BONE CHARCOAL) SAPI,

BABI, DAN AYAM UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN F DAN Fe AIR TANAH DI JAWA BARAT, INDONESIA

Pendahuluan 19

Bahan dan Metode 20

Hasil dan Pembahasan 24

Simpulan 32

4 DETEKSI DNA PADA ARANG TULANG DAN KARBON AKTIF PENYARING AIR KOMERSIAL

Pendahuluan 33

Bahan dan Metode 34

Hasil dan Pembahasan 36

Simpulan 39

5 PEMBAHASAN UMUM 40

6 SIMPULAN DAN SARAN 44

DAFTAR PUSTAKA 45

(18)

ii

DAFTAR TABEL

1.1 Pemanfaatan kotoran dan tulang dari ternak sapi, ayam dan

babi di Indonesia 1

1.2 Tahapan penelitian dan tujuan yang hendak dicapai 5

2.1 Produksi nutrisi dari kotoran ternak sapi potong, ayam broiler

dan babi 6

2.2 Komposisi kimia kotoran dan pupuk kandang yang

dianalisa di laboratorium departemen ilmu tanah IPB (2012) 10

2.3 Komposisi kimia tanah dan kascing yang dianalisa

di laboratorium departemen ilmu tanah IPB (2012) 11

2.4 Rataan tinggi tanaman (cm) pada umur hari setelah tanam

(HST) 11

2.5 Rataan jumlah daun (helai) pada umur hari setelah tanam

(HST) 12

2.6 Hasil analisis kandungan vitamin A, C, protein, Fe, Ca, dan klorofil yang dianalisis di laboratorium kimia fisik dan

lingkungan departemen kimia FMIPA IPB (2012) 17

3.1 Perkiraan potensi limbah ternak berasal dari tulang 19

3.2 Kandungan F (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian 24

3.3 Kandungan Fe (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian 24

3.4 Hasil uji EDX arang tulang sapi, babi, dan ayam 26

3.5 Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam

terhadap F (ppm) pada air sintetis 27

3.6 Prosentase penyerapan arang tulang sapi, babi, dan ayam

terhadap Fe (ppm) pada air sintetis 28

4.1 Hasil isolasi DNA arang tulang sapi, babi, dan ayam serta

(19)

iii

DAFTAR GAMBAR

1.1 Potensi limbah ternak 3

1.2 Kerangka pemikiran penelitian 4

2.1 Proses pembuatan pupuk kandang dengan sistem Windrow 9

2.2 Diameter batang (mm) pada umur 14, 21, dan 28 HST 14

2.3 Bobot segar dan bobot kering (g) pada umur 28 HST 16

3.1 Arang tulang sapi, babi, dan ayam (dokumentasi penelitian) 21

3.2 Tahapan proses pembuatan arang tulang 22

3.3 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang sapi,

sebagai adsorbent F pada air tanah 28

3.4 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang ayam

sebagai adsorbent F pada air tanah 29

3.5 Prosentase penyerapan (% adsorption) arang tulang babi

sebagai adsorbent F pada air tanah 29

3.6 Hasil foto SEM serbuk arang tulang sapi (1000x) 31

4.1 Hasil isolasi DNA arang tulang dan penyaring air komersial 36

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan teknologi, produk pangan maupun non pangan yang berasal dari ternak mulai ditinggalkan penggunaannya sejak ditemukan produk-produk sintetis yang kemampuannya jauh lebih baik. Misalnya, kulit sintetis telah menggantikan kulit hewan atau wool, minyak nabati menggantikan lemak hewan, dan sabun sintetis menggantikan sabun dari lemak hewan.

Dewasa ini, semakin disadari dampak negatif dari produk-produk sintetis yang sulit mengalami dekomposisi secara alami. Hal ini mengakibatkan manusia

untuk berpikir “back to nature” guna meningkatkan nilai ekonomis limbah ternak

sekaligus dalam upaya penyelamatan keseimbangan lingkungan melalui pemanfaatan limbah pencemar secara optimal. Pemanfaatan limbah ternak secara efisien dan ekonomis akan mampu mencegah dahsyatnya pencemaran lingkungan, nilai estetis, dan berbagai masalah kesehatan terhadap kehidupan manusia (Ockerman dan Hansen 2000).

Berbagai potensi limbah ternak berupa kulit, bulu, wool, kotoran, tulang, lemak, dan organ dalam sebagaimana terangkum dalam Gambar 1.1 sangat menjanjikan untuk diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk ternak baik pangan maupun non-pangan. Tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572 dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011) menghasilkan estimasi limbah ternak berupa kotoran dan tulang yang cukup tinggi dan berpotensi untuk diolah lanjut menjadi berbagai produk yang masih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Limbah ternak berpotensi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara global melalui pengelolaan limbah (padat dan cair) menjadi energi terbarukan.

Tabel 1.1 Pemanfaatan kotoran dan tulang dari ternak sapi, ayam dan babi di Indonesia

No Limbah

Ternak Sapi Ayam Babi

1. Kotoran Pupuk kandang

Biogas Makanan ikan Pupuk kandang Biogas Makanan ikan Pupuk kandang Biogas

2. Tulang Tepung tulang (Ca, P)

Vas bunga (di Bali)

Gelatin

Tepung tulang (Ca, P)

Tepung tulang (Ca, P)

(22)

2

Produk ternak selama ini lebih banyak diolah untuk menjadi produk pangan daripada produk non-pangan. Produk komersial non-pangan yang dihasilkan dari ternak sangat menjanjikan untuk dikembangkan, utamanya yang berasal dari limbah ternak. Salah satunya adalah kotoran ternak yang telah lama diolah oleh masyarakat pedesaan menjadi pupuk kandang. Petani/peternak biasanya memanfaatkan limbah kotoran ternak yang mencemari lingkungan dengan bau yang mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar untuk menjadi pupuk tanaman dengan biaya yang sangat rendah. Hal ini terjadi akibat kurang tersedianya pupuk buatan di pedesaan, dan bahkan ketersediaannya seringkali langka dipasaran diikuti dengan harga yang cukup mahal sehingga tidak terjangkau oleh petani. Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kandang merupakan alternatif bagi petani untuk mendaur ulang limbah peternakan dengan penerapan teknologi sederhana sehingga mudah diaplikasikan di lapangan.

Pupuk kandang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dapat menyediakan unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung (Adenawoola dan Adejoro 2005; Agbede dan Ojeniyi 2009), mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat optimal (Adediran et al. 2003; Awodun et al. 2007). Pupuk kandang jika dikombinasikan dengan kotoran cacing (kascing) berpotensi tinggi meningkatkan kesuburan tanah dan membantu proses penghancuran limbah organik, karena mampu menahan air, membantu menyediakan nutrisi bagi tanaman, dan mampu memperbaiki struktur tanah (Mashur 2001), serta mampu memacu pertumbuhan tanaman yang meliputi akar, ranting, dan daun dengan kandungan alami berbagai hormon dan enzim (Tomatti et al. 1988).

Sistem pembuatan pupuk kandang secara konvensional terdiri atas sistem

windrow, aerated static pile, dan in vessel yang telah banyak digunakan secara luas untuk memproduksi pupuk kandang (Setiawan 2012). Sistem windrow

merupakan proses yang paling sederhana dan paling murah karena memanfaatkan sirkulasi udara secara alami, meski aplikasinya memerlukan areal lahan yang cukup luas. Penelitian ini mengaplikasikan sistem windrow mengingat sangat cocok untuk diterapkan di wilayah pedesaan, dibandingkan dengan 2 sistem lainnya yang membutuhkan wadah dekomposisi yang spesifik serta memerlukan sistem pengaturan udara yang khusus.

Limbah tulang ternak, selama ini lebih banyak diolah untuk dimanfaatkan kembali bagi tanaman dan bahkan oleh ternak itu sendiri, baik berupa pupuk untuk penyubur tanaman dan penyuplai bahan organik serta tepung tulang untuk campuran makanan ternak sebagai sumber Kalsium (Ca) dan Fosfor (P). Limbah tulang ternak yang diolah menjadi arang tulang (bone charcoal) telah lama diketahui manfaatnya, diantaranya digunakan dalam industri pemurnian gula untuk decolorizing, menyuling minyak mentah, dan sebagai pigmen hitam yang digunakan oleh para seniman untuk cat, seni grafis, tinta kaligrafi dan gambar serta aplikasi seni (Ockerman dan Hansen 2000), menghilangkan F dari air (Abe

(23)

3

Gambar 1.1 Potensi limbah ternak (Ockerman dan Hansen 2000, www.rizkycool.multiply.com)

Sikat gigi

Tepung protein tinggi Jaket bulu Insulasi Peralatan atletik Permadani/karpet Sarung tangan Dompet Sepatu Jaket kulit

Filter air minum (karbon aktif)

Ca & P Refining sugar Knife handles Campuran gerabah tanah liat Yogurt Es krim

Mentega Jus Margarin

Minuman ringan Fertilizer Perekat Vaksin Tablet Media fermentasi Snack Kosmetik Mie Perasa buatan Susu Kosmetik

Perasa & Pewarna Obat tablet Mentega Campuran sosis Cake/Roti/Biskuit Pelumas Ban

Insektisida & Germisida

Obat gigi Susu Kosmetik Selongsing sosis Media fermentasi Keju Heparin Selongsong sosis Benang jahit luka Musical strings

Lipase Tripsin

Pepsin Insulin

(24)

4

Gambar 1.2 Kerangka pemikiran penelitian

Produktivitas

& Reproduksi

Babi Tinggi

Daging

Bahan Pangan

(lemak, kulit, organ dalam)

Non

Daging

Bahan

Non-Pangan

(tulang, kotoran, bulu, kulit)

Potensi Kotoran dan Tulang dibanding

Ternak lain

(sapi & ayam)

???

Sustainable Agriculture

(zero waste+cost, added value) Mengurangi polusi

Kualitas air

Efisiensi penggunaan nutrien

(25)

5

Tujuan Penelitian

Mengkaji pemanfaatan kotoran dan tulang ternak sapi, babi, dan ayam sebagai bahan untuk produk bahan non-pangan. Memanfaatkan kotoran dan tulang ternak sapi, babi, dan ayam sebagai pupuk tanaman dan arang tulang untuk pemurnian air.

Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan pemanfaatan kotoran ternak berupa pupuk kandang yang dikombinasikan dengan limbah peternakan cacing berupa kascing sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman bayam (Amaranthus sp).

2. Meningkatkan pemanfaatan tulang ternak untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) dan Fe air tanah.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi kajian pemanfaatan limbah ternak berupa kotoran dan tulang. Kotoran ternak dikombinasikan dengan kotoran cacing (kascing) untuk pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman Bayam. Tulang ternak diolah menjadi arang tulang (bone charcoal) sebagai adsorbent untuk menurunkan kandungan F dan Fe air tanah.

Tabel 1.2 Tahapan penelitian dan tujuan yang hendak dicapai

Tahapan Penelitian

Tujuan

Penelitian 1

Penelitian 2

1. Mengidentifikasi pengaruh jenis pupuk kandang yg berbeda (terbuat dari kotoran sapi, babi, dan ayam) terhadap

pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman bayam. 2. Mengidentifikasi pengaruh pupuk campuran

(kotoran+kascing) dan komposisi terbaik terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman bayam.

1.Mengidentifikasi kandungan F dan Fe pada air tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat.

2.Mengkaji pemanfaatan dan efektivitas tulang sapi, babi, dan ayam menjadi arang tulang (bone charcoal) untuk

menurunkan kandungan F dan Fe pada air tanah di Indonesia.

(26)

6

2

PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK

DALAM BUDIDAYA TANAMAN BAYAM

(

Amaranthus sp

)

Pendahuluan

Kotoran ternak adalah salah satu limbah kegiatan peternakan yang memiliki andil dalam pencemaran lingkungan karena sering menimbulkan masalah lingkungan yang mengganggu kenyamanan hidup masyarakat disekitar peternakan. Gangguan itu berupa bau yang tidak sedap yang ditimbulkan oleh gas yang berasal dari kotoran ternak, terutama gas Amoniak (NH3) dan gas Hidrogen (H2S). Penanganan limbah ternak baik padat, cair maupun gas, seperti kotoran dan urin maupun sisa pakan dibuang ke lingkungan, sehingga jika tidak dilakukan penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air serta penyebaran penyakit menular (Deptan 2009). Olehnya, sangat diperlukan usaha untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan peternakan tersebut salah satunya dengan melakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan.

Kotoran ternak memiliki potensi untuk diolah kembali menjadi berbagai produk yang masih bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga bernilai ekonomi tinggi. Kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk kandang dan biogas, bahkan untuk bahan makanan ternak dan ikan (Ayoola dan Makinde 2008; Sihombing 2006; Setiawan 2008). Potensi kotoran ternak sapi potong, ayam broiler dan babi cukup tinggi untuk diolah lanjut menjadi pupuk kandang, yaitu mencapai 4,6 %, 6,6 %, dan 5,1 % dari bobot hidup/hari (Taiganides 1977). Selain itu, kotoran ternak memiliki produksi nutrisi yang cukup tinggi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Produksi nutrisi dari kotoran ternak sapi potong, ayam broiler dan babi

No Ternak

Kotoran (kg/thn) Manure/litter

production2

Bahan Organik2

Protein kasar1

TDN2

1. Sapi potong 657,0 (1.8 kg/hr) 558,0 79,0 251,0

2. Ayam broiler 6,8 (19 g/hr) 5,8 1,7 3,7

3. Babi 146,0 (0.4 kg/hr) 121,2 26,3 58,0

Keterangan: TDN = Total Digestible Nutrient

Sumber: 1Yeck et al. (1975); Smith (1973) dan 2 Müller (1975) dalam FAO (2013).

(27)

7

manusia dan ternak (Adediran et al. 2003; Agbede dan Adekiya 2012; Adeniyan dan Ojeniyi 2005).

Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kandang merupakan proses daur ulang limbah peternakan dengan penerapan teknologi yang mudah diaplikasikan di lapangan. Sistem pembuatan pupuk kandang secara konvensional yang telah banyak digunakan secara luas untuk memproduksi pupuk kandang terdiri atas sistem windrow, aerated static pile dan in vessel (Setiawan 2012). Sistem

windrow merupakan proses yang paling sederhana dan paling murah karena memanfaatkan sirkulasi udara secara alami, meskipun aplikasinya memerlukan areal lahan yang cukup luas. Penelitian ini mengaplikasikan sistem windrow

mengingat sangat cocok untuk diterapkan di wilayah pedesaan, dibandingkan dengan 2 sistem lainnya yang membutuhkan wadah dekomposisi yang spesifik serta memerlukan sistem pengaturan udara yang khusus.

Pupuk kandang bermanfaat sebagai penyedia unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung (Adenawoola dan Adejoro 2005; Agbede dan Ojeniyi 2009). Pupuk kandang mampu meningkatkan kandungan unsur hara tersedia dalam tanah. Bahan organik yang terkandung dalam pupuk kandang merupakan sumber karbon untuk pertumbuhan mikroba sehingga aktivitas mikroba akan meningkat dan berdampak positif terhadap proses mineralisasi unsur hara sehingga ketersediaan unsur hara bagi tanaman lebih meningkat. Pupuk kandang juga dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal (Adediran et al. 2003; Awodun et al. 2007). Pupuk kandang juga menyebabkan porositas tanah menjadi besar sehingga memudahkan akar menembus dan berkembang selanjutnya memperbesar penyerapan hara dan air. Selain itu juga berperan memperbaiki sifat fisik tanah yang menyebabkan pertumbuhan akar menjadi lebih baik, dapat mengubah permeabilitas, peredaran udara dalam tanah, dan akar tanaman lebih dalam dan luas, menyerap unsur hara yang diperlukan untuk meningkatkan hasil tanaman.

Kotoran cacing (kascing) merupakan limbah peternakan cacing tanah yang berpotensi tinggi meningkatkan kesuburan tanah dan membantu proses penghancuran limbah organik, karena mampu menahan air, membantu menyediakan nutrisi bagi tanaman, serta mampu memperbaiki struktur tanah (Mashur 2001). Kascing juga mampu memacu pertumbuhan tanaman yang meliputi akar, ranting, dan daun dengan kandungan alami berbagai hormon dan enzim (Tomatti et al. 1988).

Pemanfaatan limbah pertanian memungkinkan terwujudnya prinsip zero waste (tidak dihasilkan limbah), added value (limbah menjadi bahan bernilai guna), dan zero cost (bahan baku berupa limbah) dalam kerangka sustainable agriculture (Adediran et al. 2003). Pengolahan limbah kotoran ternak menjadi pupuk kandang sebagai sumber unsur hara alami yang dipadukan dengan limbah kotoran cacing tanah (kascing) sebagai sumber unsur hara dan hormon pertumbuhan alami merupakan salah satu upaya untuk mengurangi eksistensi limbah peternakan menuju sustainable agriculture.

(28)

8

toksik, obat diare, menyembuhkan bengkak, dan membersihkan darah (Sudiono et al. 2004). Olehnya, peningkatan produktivitas dan kualitas bayam adalah penting untuk meningkatkan hasil budidaya di pihak petani sayuran dan sumber gizi bagi masyarakat luas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pupuk kandang sapi, babi, dan ayam dengan campuran kascing terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas Tanaman Bayam (Amaranthus sp).

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012 di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, yang terletak pada ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut. Analisa sampel tanah, kotoran, pupuk kandang, dan kascing dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Analisa kualitas kimia tanaman Bayam dilakukan di Laboratorium kimia fisik dan lingkungan, Departemen Kimia, FMIPA IPB.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan adalah benih bayam, pupuk dasar NPK, pupuk kandang dari kotoran sapi potong, babi, dan ayam broiler serta bahan-bahan lain. Kotoran sapi dan babi diperoleh dari peternakan rakyat di Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor; kotoran ayam broiler diperoleh dari Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Kascing diperoleh dari peternakan cacing di Cimahi, Bandung.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu: kontrol (tanpa pupuk kandang dan kascing), B20 (pupuk kandang babi 20 ton ha-1), B15K5 (pupuk kandang babi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1), B10K10 (pupuk kandang babi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha -1

), S20 (pupuk kandang sapi 20 ton ha-1), S15K5 (pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1), S10K10 (pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1), A20 (pupuk kandang ayam 20 ton ha-1), A15K5 (pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1), A10K10 (pupuk kandang ayam 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1).

Jumlah plot sebanyak 30 dengan ukuran 1 x 2 m = 2 m2, dimana jumlah sampel tanaman sebanyak 20 per plot.

Pelaksanaan Penelitian

(29)

9

dan didiamkan selama 3 minggu hingga matang. Pelaksanaan penelitian terdiri atas 2 bagian, yaitu di lapangan dan di laboratorium.

Pengolahan tanah dan penanaman dimulai dengan membersihkan lahan, mengolah dan membuat bedengan dengan panjang plot 2 m, lebar 1 m, dan tinggi 20 cm sebanyak 30 plot. Selanjutnya, aplikasi pemupukan dasar, yaitu NPK dilakukan 3 hari sebelum penaburan benih dengan dosis 160 kg untuk luasan 1 ha, terdiri atas Urea 70 kg/ha, TSP 50 kg/ha, dan KCl 40 kg/ha. Benih bayam ditaburi di bedengan pembenihan dan setelah tumbuh dengan baik baru dipilih untuk dipindahkan pada bedengan perlakuan.

Aplikasi pupuk kandang dan kascing, dilakukan pada 2 minggu setelah penaburan benih, dosis pada masing-masing plot diberikan sesuai dengan perlakuan. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiraman 1-2 kali sehari, pagi dan sore, tergantung keadaan di lapangan. Penyiraman dilakukan seperlunya agar tanah tidak dalam keadaan kering dan tidak terlalu basah. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma yang tumbuh di areal petak percobaan.

Pemanenan tanaman dilakukan saat tanaman berumur 28 hari setelah tanam. Pemanenan dilakukan dengan mencabut tanaman setelah areal terlebih dahulu dibasahi untuk memudahkan pencabutan. Hasil panen dipisahkan sesuai dengan perlakuan dalam kantongan plastik untuk selanjutnya dianalisa untuk mengetahui kandungan protein, Fe, Ca, klorofil, vitamin A, dan vitamin C.

(30)

10

Parameter yang Diamati

Pengamatan pertumbuhan tanaman bayam dilakukan terhadap 1) tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga bagian pucuk tanaman, dihitung pada 7, 14, 21, dan 28 hari setelah tanam (HST), 2) diameter batang (mm), diukur pada ketinggian 5 cm dari permukaan tanah, dihitung pada 14, 21, dan 28 HST, 3) jumlah daun terbentuk (helai), penghitungan dimulai dari daun pertama terbentuk hingga saat panen, yaitu daun-daun yang telah membuka sempurna. Penghitungan dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman.

Pengamatan produksi tanaman bayam dilakukan terhadap 1) Bobot segar tanaman (g), ditimbang pada saat panen (28 HST), setelah dicabut tanaman lalu dicuci, dikering anginkan kemudian ditimbang, 2) Bobot kering tanaman (g), sampel tanaman dibersihkan dari kotoran, lalu dikering-ovenkan pada suhu 70 0C, setelah bobotnya stabil ditimbang. Jumlah sampel adalah 10 batang tanaman per plot.

Pengamatan kualitas tanaman bayam dilakukan terhadap 1) Kandungan protein (%), 2) Kandungan Fe (mg), 3) Kandungan Ca (mg), 4) Kandungan klorofil (mg), 5) Kandungan vitamin A (mg), dan 6) Kandungan vitamin C (mg).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Jika terdapat pengaruh terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji Least Square

Means (SAS User‟s Guide: Statistics 1985).

Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Tanaman Bayam

Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa pupuk kandang ayam memiliki kandungan NPK yang relatif lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang babi dan sapi. Pupuk kandang ayam dan babi memiliki hara makro (total NPK minimal 4 %) sedangkan pupuk kandang sapi belum memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat (Permentan 2011). Persentase kandungan unsur hara NPK pada kotoran ayam tertinggi dibandingkan kotoran sapi, kuda, babi, dan domba (Hardjowigeno, 2003).

Tabel 2.2 Komposisi kimia kotoran dan pupuk kandang yang dianalisa di laboratorium departemen ilmu tanah IPB (2012)

Kotoran dan Pupuk Ternak N (%) P (%) K (%)

Kotoran babi 0.58 0.39 0.10

Kotoran sapi 0.26 0.15 0.29

Kotoran ayam 1.61 1.72 1.39

Pupuk kandang babi 3.27 2.95 2.25

Pupuk kandang sapi 1.56 1.02 0.46

Pupuk kandang ayam 5.89 5.78 3.02

(31)

11

Tabel 2.3 Komposisi kimia tanah dan kascing yang dianalisa di laboratorium departemen ilmu tanah IPB (2012)

Unsur Tanah Kascing

pH 6.50 7.70

C-organik (%) 0.96 23.36

N-total (%) 0.10 0.73

P(ppm) 13.7 55.3

K (me/100g) 0.56 5.21

Ca (me/100g) 16.85 37.14

Mg (me/100g) 3.12 8.61

Na 0 5.34

Fe (ppm) 1.10 0

Pb (ppm) 0.29 0

Keterangan: Tanah dianalisa sebelum diberikan perlakuan

N = Nitrogen, P = Fosfor, K = Kalium, C = Karbon, Ca = Kalsium, Mg = Magnesium, Na = Natrium, Fe = Besi, Pb = Timbal

Tiap jenis ternak menghasilkan pupuk kandang dengan sifat yang berbeda-beda. Jenis konsentrat yang diberikan akan sangat menentukan kadar hara ini. Disamping itu dalam kotoran ayam tersebut tercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam sebagai alas kandang sehingga turut menyumbangkan tambahan hara ke dalam pupuk kandang, juga terhadap sayuran yang dihasilkan. Umur ternak, pakan dan lingkungan juga berpengaruh terhadap jumlah unsur hara (Onwudike 2010; Solaiman dan Rabbani 2006).

Tabel 2.4 Rataan tinggi tanaman (cm) pada umur hari setelah tanam (HST)

Perlakuan 7 HST 14 HST 21HST 28HST

Kontrol 1.68 ± 0.15 3.53 ± 0.45 7.15 ± 0.53a 18.03 ± 1.24a

B20 1.69 ± 0.32 4.03 ± 0.60 8.85 ± 0.88b 13.06 ± 2.51a

S20 1.38 ± 0.26 3.17 ± 1.01 8.13 ± 1.13b 28.78 ± 6.93b

A20 B15K5 B10K10 S15K5 S10K10 A15K5 A10K10

1.59 ± 0.06 1.74 ± 0.15 1.53 ± 0.24 1.66 ± 0.08 1.50 ± 0.76 1.65 ± 0.36 1.56 ± 0.62

3.72 ± 0.10 4.45 ± 0.62 3.35 ± 0.56 3.98 ± 0.32 3.25 ± 0.06 3.85 ± 1.08 3.42 ± 0.16

7.53 ± 0.20a 9.47 ± 0.35b 7.48 ± 0.60a 8.90 ± 1.16b 7.82 ± 1.04a 7.93 ± 0.23a 7.57 ± 2.08a

39.22 ± 6.08c 28.22 ± 1.03b 25.50 ± 1.07b 36.06 ± 2.06c 30.94 ± 1.08b 31.86 ± 3.06b 32.50 ± 4.06b

(32)

12

Pemanfaatan pupuk kandang babi di Indonesia hanya terdapat di beberapa lokasi tertentu yang letaknya berdekatan dengan peternakan babi. Pupuk kandang babi memiliki tekstur yang lembek, yang akan bertambah cair jika tercampur dengan urin. Petani di sekitar peternakan babi biasanya mencampur pupuk kandang babi ini dengan pupuk kandang ayam atau kambing berdasarkan pengalaman petani yang memperoleh hasil pertumbuhan tanaman sayuran yang kurang baik jika pupuk kandang babi diaplikasikan secara terpisah. Secara umum pupuk kandang babi mengandung hara P yang cukup, tetapi rendah kandungan unsur Mg (Hartatik dan Widowati 2006).

Tabel 2.4 memperlihatkan bahwa tinggi tanaman mengalami peningkatan mulai dari umur 7 hingga 28 HST, dimana tinggi tanaman meningkat lebih cepat setelah berumur 21 HST. Dari umur 7 hingga 14 HST, tinggi tanaman bertambah rata-rata sekitar 0,29 cm hari-1, dan dari umur 21 hingga 28 HST sekitar 2,90 cm hari-1. Peningkatan tinggi tanaman ini sejalan dengan pertambahan diameter batang yang relatif merata mulai dari umur 14 hingga 28 HST, rata-rata sekitar 0,63 mm hari-1 (Gambar 2.1), dan jumlah daun terbentuk yang bertambah hampir merata sebanyak 2,48 helai hari-1 (Tabel 2.5).

Tabel 2.5 Rataan jumlah daun (helai) pada umur hari setelah tanam (HST)

Perlakuan 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST

Kontrol 2.40 ± 0.26 4.60 ± 0.50 8.73 ± 0.32a 32.22 ± 2.42a

B20 2.60 ± 0.10 4.57 ± 0.12 8.90 ± 0.20a 47.17 ± 11.14b

S20 3.17 ± 0.21 5.00 ± 0.26 9.47 ± 0.93b 61.28 ± 8.64c

A20 B15K5 B10K10 S15K5 S10K10 A15K5 A10K10

3.27 ± 0.81 3.50 ± 0.32 3.13 ± 0.57 3.13 ± 0.57 3.23 ± 0.24 3.10 ± 0.32 3.03 ± 0.92

5.70 ± 0.52 5.80 ± 0.61 5.33 ± 0.44 5.13 ± 0.52 5.23 ± 0.72 5.33 ± 0.42 5.07 ± 0.86

9.27 ± 0.55b 10.23 ± 0.46b 9.60 ± 0.82b 9.90 ± 0.97b 9.97 ± 0.76b 9.20 ± 0.65b 8.70 ± 1.52a

51.39 ± 8.11bc 53.39 ± 4.52b 61.89 ± 0.55c 60.78 ± 1.59c 48.89 ± 3.52b 54.33 ± 2.57b 47.44 ± 2.53b

Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata B20 = pupuk kandang babi 20 ton ha-1, S20 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1, A20 = pupuk kandang babi 20 ton ha-1 B15K5 = pupuk kandang babi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, B10K10 = pupuk kandang babi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, S15K5 = pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, S10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, A15K5 = pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, A10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1.

[image:32.595.86.486.356.559.2]
(33)

13

Gambaran ini menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang babi sebanyak 15 ton/ha yang dikombinasikan dengan kascing sebanyak 5 ton/ha lebih efektif terhadap pertumbuhan tanaman pada masa awal pertumbuhan. Peningkatan tinggi tanaman ini sejalan dengan pertambahan diameter batang yang relatif mengalami peningkatan merata mulai dari umur 14 hingga 21 HST pada perlakuan B15K5 dan pada umur 28 HST diperoleh pada perlakuan A20 (Gambar 2.1).

Dari Tabel 2.5 terlihat rataan perlakuan jumlah daun pada umur 7 HST dan 14 HST tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada aplikasi pupuk kandang dengan campuran kascing maupun tanpa campuran kascing. Jumlah daun pada umur 21 HST dan 28 HST menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Perlakuan B15K5 yaitu kombinasi pupuk kandang babi 15 ton/ha dengan kascing 5 ton/ha menghasilkan jumlah daun terbentuk yang lebih banyak selama 3 minggu masa pertumbuhan (7, 14, dan 21 HST) dan pada umur 28 HST jumlah daun terbentuk yang terbanyak dihasilkan oleh perlakuan B10K10 yaitu pupuk kandang babi 10 ton/ha dengan kascing 10 ton/ha. Gambaran ini menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang babi yang dikombinasikan dengan kascing lebih efektif dibandingkan pupuk kandang lainnya terhadap jumlah daun terbentuk pada masa pertumbuhan hingga umur 28 HST.

Pemberian nitrogen konsentrasi tinggi pada tanaman cenderung meningkatkan jumlah daun dan ukuran yang secara keseluruhan akan meningkatkan produksi daun (Agbede dan Ojeniyi 2009). Tingginya kandungan kascing pada perlakuan B10K10 menunjukkan bahwa pada umur 28 HST tanaman bayam memerlukan hormon pertumbuhan yang lebih tinggi untuk mampu memacu pertumbuhan tanaman, diantaranya pertumbuhan daun selain pertumbuhan akar dan ranting (Tomatti et al. 1988). Lebih lanjut dijelaskan kascing mengandung hormon pertumbuhan seperti Auxin 3,80 µg equiev per gram bahan kering (BK), Cytokinin 1,05 µg equiev per gram BK, dan Giberelin 2,75 µg equiev per gram BK. Kascing juga mengandung enzim-enzim seperti protease, amilase, lipase dan selulase yang berfungsi dalam perombakan bahan organik.

Cahaya yang cukup dapat mempercepat pertumbuhan tanaman yang dicirikan dengan pembentukan primordia daun, perkembangan daun dan pembelahan sel pada ruas yang lebih awal. Ditambahkan oleh Solaiman dan Rabbani (2006) pada kondisi yang menguntungkan, tingginya luas daun, kecepatan asimilasi CO2 dan rendahnya alokasi biomasa untuk respirasi jaringan akan sangat menguntungkan untuk pertumbuhan.

Dari rataan perlakuan pada Gambar 2.1 diperoleh bahwa diameter batang pada umur 14 HST dan 21 HST tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada aplikasi pupuk kandang tanpa campuran kascing maupun dengan campuran kascing (Lampiran 1). Diameter batang pada umur 28 HST menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Dari Gambar tersebut juga terlihat bahwa pertambahan diameter batang relatif mengalami peningkatan merata mulai dari umur 14 hingga 21 HST dengan nilai tertinggi pada perlakuan B15K5 dan pada umur 28 HST diperoleh pada perlakuan A20.

(34)

14

tertinggi yaitu 5,89 %, diikuti oleh pupuk kandang babi (3.27 %) dan sapi (1.56 %). Perbedaan tinggi tanaman ini diduga karena adanya pengaruh dari pupuk yang diberikan serta didukung oleh cahaya yang cukup sehingga dapat meningkatkan laju fotosintesis dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Ayoola dan Makinde 2008; Endriani 2006).

Gambar 2.1 Diameter batang (mm) pada umur 14, 21, dan 28 HST

HST = Hari Setelah Tanam, B20 = pupuk kandang babi 20 ton ha-1, B15K5 = pupuk kandang babi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, B10K10 = pupuk kandang babi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, S20 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1, S15K5 = pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, S10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, A20 = pupuk kandang ayam 20 ton ha-1, A15K5 = pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, A10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1.

Menurut Endriani (2006), pupuk kandang ayam memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan pupuk kandang domba dan pupuk kascing terhadap pertumbuhan lidah buaya karena kandungan hara lebih tinggi dan laju dekomposisi pupuk kandang ayam lebih cepat dibandingkan pupuk kandang lainnya. Dekomposisi memungkinkan pembentukan agregat tanah untuk selanjutnya mampu memperbaiki permeabilitas dan peredaran udara tanah, akar tanaman menjadi kokoh dan lebih mampu menyerap hara lebih banyak (Agbede dan Adekiya 2012; Agbede dan Ojeniyi 2009; Yulipriyanto 2010).

Cahaya berpengaruh terhadap pemanjangan sel, pembesaran sel dan sifat fotomorfogenetik tanaman (Adediran et al. 2003). Kondisi kekurangan cahaya

1,45 1,49

1,89 1,75

1,62 1,59 1,68 1,75 1,47 1,51 3,15 3,21

4,27

4,00 3,88

3,79 3,93 4,15

3,20 3,53 5,39

4,57 8,69

8,39

(35)

15

menyebabkan terganggunya metabolisme dan sintesis karbohidrat sehingga mengakibatkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Adenawoola dan Adejoro 2005; Yulipriyanto 2010) yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman. Tinggi tanaman dan diameter batang pada minggu keempat terlihat berhubungan erat dengan bobot segar dan bobot kering tanaman, dimana nilai tertinggi keduanya diperoleh pada perlakuan A20.

Produksi Tanaman Bayam

Dari rataan perlakuan pada Gambar 2.2 diperoleh bahwa bobot segar dan bobot kering pada umur 28 HST menunjukkan perbedaan yang nyata pada aplikasi pupuk kandang tanpa campuran kascing maupun dengan campuran kascing (P<0.05), dengan nilai tertinggi dicapai pada perlakuan A20 (Lampiran 1).

Pemberian pupuk kandang ayam menghasilkan bobot segar dan bobot kering tertinggi (Gambar 2.2) karena diduga pupuk kandang menyebabkan porositas tanah menjadi besar sehingga memudahkan akar menembus dan berkembang selanjutnya memperbesar penyerapan hara dan air. Adediran et al.

(2003) dan Yulipriyanto (2010) mengemukakan bahwa pupuk organik, termasuk pupuk kandang, dapat mengubah permeabilitas, peredaran udara dalam tanah dan akar tanaman lebih dalam dan luas, menyerap unsur hara yang diperlukan untuk meningkatkan hasil sebagaimana dibuktikan oleh Mandal dan Sinha (2004) pada hasil tanaman sawi (Brassica juncea).

Selain itu pupuk kandang ayam memiliki N dan K yang lebih tinggi dari pupuk kandang babi dan sapi (Agbede dan Adekiya 2012; Onwudike 2010; Solaiman dan Rabbani 2006). Nitrogen merupakan penyusun senyawa untuk metabolisme sedangkan kalium berperan sebagai zat pengaktif dalam proses fotosintesis dan respirasi serta translokasi karbohidrat (Adenawoola dan Adejoro 2005). Magnesium dan nitrogen merupakan unsur pembentuk klorofil sehingga terlibat dalam proses fotosintesis (Gadner et al. 1991; Hardjowigeno 2003; Salisbury dan Ross 1995).

Bahan organik yang berasal dari pupuk kandang ayam, seperti juga kompos dari jerami padi mengandung bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas sp). Bakteri pelarut fosfat yang terdapat di kompos dapat meningkatkan P tersedia dalam tanah (Bougnom et al. 2010; Bertham dan Nusantara 2011). Keadaan ini menguntungkan untuk P tersedia dalam tanah yang rendah. Fosfat diperlukan oleh tanaman sebagai sumber ATP untuk metabolisme sel yang dapat digunakan untuk pertumbuhan akar serta meningkatkan jumlah bintil akar (Schulze et al. 2011). Peningkatan jumlah bintil akar akan berpengaruh pada peningkatan fiksasi N2 sehingga serapan N pada tanaman juga meningkat (Mulyadi 2012).

(36)

16

kompos juga dapat meningkatkan pH tanah dan mampu meningkatkan kandungan unsur hara tersedia dalam tanah (Melati dan Andriyani 2005; Zarea et al. 2011).

Gambar 2.2 Bobot segar dan bobot kering (g) pada umur 28 HST

Bobot segar dan bobot kering (g) diperleh dari 10 unit tanaman/plot HST = Hari Setelah Tanam, B20 = pupuk kandang babi 20 ton ha-1, B15K5 = pupuk kandang babi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, B10K10 = pupuk kandang babi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, 20 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1, S15K5 = pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, S10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, A20 = pupuk kandang ayam 20 ton ha-1, A15K5 = pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, A10K10 = pupuk kandang sapi 10 on ha-1 + kascing 10 ton ha-1.

Cahaya merupakan sumber energi bagi fotosintesis karena itu cahaya merupakan faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap fotosintesis. Vanden Heuvel et al. (2004) menyatakan bahwa naungan mengurangi radiasi sinar utama yang aktif pada fotosíntesis. Tanaman yang tumbuh pada intensitas cahaya tinggi umumnya mengabsorbsi ion lebih cepat daripada tanaman yang tumbuh pada intensitas cahaya rendah (Bayu et al. 2006; Abou El-Magd et al. 2005) dan menyerap air lebih banyak sehingga menghasilkan bobot basah lebih tinggi (Manna et al. 2007).

16,11 27,78 42,78 56,39 50,83 49,17 40,55 58,61 33,33 41,11 11,13 16,56 30,93 33,87 37,09 26,38 29,01 39,35 19,96 30,85 0 10 20 30 40 50 60 70 B o b o t segar d an ke ri n g ( g ) Perlakuan

Bobot segar (g)

(37)

17

Kualitas Tanaman Bayam

Kualitas tanaman bayam yang meliputi kandungan vitamin A, protein, Fe, Ca, dan klorofil dapat dilihat pada Tabel 2.6. Dari tabel tersebut terlihat kandungan Ca tertinggi berhubungan dengan tinggi tanaman, dimana tinggi tanaman perlakuan S15K5 merupakan kedua tertinggi pada minggu ketiga dan keempat. Berdasarkan kesamaan bentuk hubungan ini dapat diduga bahwa tingginya kandungan Ca berhubungan dengan pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh peningkatan tinggi tanaman dan pembentukan daun baru (Marschner 1986).

Kandungan tertinggi vitamin A dalam bentuk senyawa β-karoten (pigmen) daun tanaman terlihat berhubungan dengan kandungan klorofil. Keadaan ini

menunjukkan bahwa kandungan β-karoten lebih rendah pada perlakuan dengan N yang relatif rendah. Menurut Harris dan Karmas (1989), tanah yang kekurangan N menyebabkan penurunan karoten pada bayam dan peningkatan pada rumput, ubi jalar, dan wortel.

Tabel 2.6 Hasil analisis kandungan vitamin A, C, protein, Fe, Ca, dan klorofil yang dianalisis di laboratorium kimia fisik dan lingkungan, departemen kimia, FMIPA IPB (2012)

Perlakuan Vitamin A (mg) Vitamin C (mg) Protein (%) Ferrum (mg) Calcium (mg) Klorofil (mg)

Kontrol 5025.63 8.58 1.69 67.9 189 19.41

B20 6183.75 18.13 1.77 79.4 201 19.59

B15K5 6391.85 12.51 2.21 86.4 285 22.72

B10K10 6062.09 13.16 1.89 69.5 302 20.67

S20 6570.65 29.67 1.80 75.7 255 20.41

S15K5 5975.28 14.32 1.94 85.9 312 21.21

S10K10 6730.21 11.91 2.33 94.7 241 24.37

A20 6227.41 15.90 2.15 74.9 178 22.26

A15K5 6024.61 35.39 1.95 80.5 243 20.80

A10K10 6008.93 41.78 2.08 91.7 220 21.57

Keterangan: B20 = pupuk kandang babi 20 ton ha-1, B15K5 = pupuk kandang babi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, B10K10 = pupuk kandang babi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1, S20 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1, S15K5 = pupuk kandang sapi 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, S10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1

+ kascing 10 ton ha-1, A20 = pupuk kandang ayam 20 ton ha-1, A15K5 = pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 + kascing 5 ton ha-1, A10K10 = pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 + kascing 10 ton ha-1.

[image:37.595.107.512.355.613.2]
(38)

18

(1983), Fe diperlukan pada sintesa protein kloroplas dan sintesa klorofil. Kekurangan Fe akan melemahkan mekanisme dan sistem produksi klorofil (Salisbury dan Ross 1995). Selain dalam bentuk senyawa ferodoksin, kandungan zat besi dalam tanaman juga berhubungan dengan berbagai sintesa yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.

Sintesis vitamin C sangat cocok pada intensitas sinar matahari tinggi, namun bervariasi pada berbagai jenis tanaman yang berbeda. Konsentrasi asam askorbat sangat beragam dalam semua jaringan tanaman. Kualitas asam askorbat dalam tiap galur tanaman dikendalikan oleh faktor keturunan, suhu, intensitas sinar matahari dan kandungan air (Rosmarkam dan Nasih 2002).

SIMPULAN

(39)

19

3

POTENSI ARANG TULANG (

BONE CHARCOAL

)

SAPI, BABI, DAN AYAM UNTUK MENURUNKAN

KANDUNGAN F DAN Fe AIR TANAH

DI JAWA BARAT, INDONESIA

Pendahuluan

Keberadaan limbah ternak di Indonesia cukup tinggi, salah satu diantaranya adalah tulang ternak. Hal ini diakibatkan oleh tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572 dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011). Limbah ternak berupa tulang ini jika tidak dilakukan penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan serta penyebaran penyakit menular (Deptan 2009). Tulang ternak memiliki potensi untuk diolah kembali menjadi berbagai produk yang masih bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga bernilai ekonomi tinggi. Perkiraan potensi limbah ternak berasal dari tulang sapi potong, ayam broiler, dan babi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Perkiraan potensi limbah ternak berasal dari tulang

No Ternak Bobot karkas (kg) Tulang (%) Sumber Acuan

1. Sapi PO 150 kg 13 Yurleni (2013)

2. Ayam Broiler 2 kg 17-25 Jull (1972)

3. Babi Turopolje (Kroasia)

80 kg 12-13 Dikic et al.

(2003)

Di Indonesia, tulang ternak banyak dimanfaatkan untuk bahan pembuatan cinderamata dan sebagian kecil untuk pembuatan tepung tulang sebagai sumber mineral Kalsium (Ca) dan Fosfor (P) pada campuran makanan ternak. Arang tulang (Bone Charcoal) adalah arang tulang ternak yang diolah dari limbah tulang ternak dan bermanfaat untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) pada air tanah (Smittakorn et al. 2010). Penelitian ini telah dilakukan di Thailand dengan membandingkan penelitian serupa di India.

Arang tulang merupakan bahan granular yang diproduksi melalui

pembakaran tulang-tulang hewan (charring animal bones). Arang tulang ini dapat diaplikasikan untuk proses defluoridation air dan penghilangan logam berat dari larutan air. Arang tulang ini sebagian besar terdiri dari kalsium fosfat dan sejumlah kecil karbon. Arang tulang biasanya memiliki luas permukaan yang lebih rendah daripada karbon aktif, tetapi dengan kapasitas serap tinggi bagi tembaga (Cu), seng (Zn), dan cadmium (Cd) (Wilson et al. 2003; Choy dan McKay 2005; Xiang 2003).

(40)

20

dan 25 negara lain, termasuk Indonesia memiliki konsentrasi F yang cukup tinggi pada air tanah. Pada tahun 2006 WHO menyatakan bahwa maksimum limit kadar F yang direkomendasikan pada air minum adalah 1.5 mg/l (Smittakorn et al. 2010). Di Indonesia, persyaratan kualitas air minum dengan kandungan maksimum F dan Fe yang diperbolehkan adalah 1.5 mg/l dan 0.3 mg/l (Permenkes 2010). Pemanfaatan arang tulang ternak pada penyaring air minum bermanfaat untuk menurunkan kandungan F pada air tanah dan air minum masih sangat jarang diaplikasikan di Indonesia. Padahal, teknologi sederhana ini dapat diterapkan di wilayah pedesaan, terutama yang memiliki kandungan F yang melebihi batas ambang yang direkomendasikan oleh WHO.

Kandungan F yang berlebihan pada air yang dikonsumsi merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi besar untuk menimbulkan bahaya kesehatan jangka panjang. Asupan F yang melebihi batas standar air minum dapat menyebabkan dental fluorosis atau bahkan crippling skeletal (Fawell et al. 2006). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa

fluorosis yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi F juga berpotensi terhadap berbagai masalah kesehatan yang serius. Osteoporosis akut pada wanita telah didokumentasikan oleh Alhava et al. (1980) dan telah ditemukan adanya pengaruh

fluorosis pada jaringan tulang terhadap menurunnya kekuatan tulang (Carter dan Beaupre 1990).

Metode untuk menurunkan kandungan F pada air tanah dan air minum menggunakan arang tulang masih kurang diaplikasikan di Indonesia. India dan Thailand telah sukses menerapkan teknologi ini dengan menggunakan arang tulang yang berasal dari ternak sapi. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji potensi arang tulang sapi, babi, dan ayam untuk menurunkan kandungan F dan Fe pada air tanah di Jawa Barat, Indonesia.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Desember 2013. Pembuatan arang tulang dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian air tanah di Labkesda DKI Jakarta. Uji Energy Dispersive X-Ray (EDX) dan Scanning Electron Microscope (SEM) arang tulang dilakukan di Laboratorium Instrument Proksimat Terpadu, Puslitbang Keteknikan Kehutanan & Pengolahan Hasil Hutan. Pengujian arang tulang sebagai penyerap dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

(41)

21

m dpl, Di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Lebih dari 400m dpl, Di Desa Cipayung, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian

a. Pembuatan Arang Tulang

Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan arang tulang yang terdiri dari 3 jenis tulang yaitu tulang sapi, babi, dan ayam. Tulang ayam dan sapi diperoleh dari berbagai pasar tradisional yang ada di wilayah Bogor, seperti Pasar Ciampea, Pasar Caringin, Pasar Anyar, dan Pasar Bogor. Sedangkan tulang babi hanya bisa diperoleh di Pasar Bogor.

Proses pembuatan arang tulang terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1). Proses pembersihan tulang dari sisa-sisa daging dan lemak yang menempel, 2). Proses perebusan tulang, selama 1- 5 jam tergantung jenis tulang, 3). Proses pengeringan tulang, menggunakan oven suhu 60 oC selama 24 jam, dan 4). Proses pembakaran tulang, menggunakan tanur suhu 600 oC selama 1-3 jam. Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm.

Gambar 3.1 Arang tulang sapi, babi, dan ayam (dokumentasi penelitian)

(42)

22

Gambar 3.2 Tahapan proses pembuatan arang tulang Tulang

(sapi, babi, dan ayam)

Tulang dibersihkan dari sisa daging dan lemak yang menempel

Tulang dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 60oC selama 24 jam

Tulang dibakar dengan menggunakan tanur suhu 600oC

(selama 60-200 menit tergantung jenis tulang)

Arang tulang warna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau

(ukuran sekitar 1-2 mm) Tulang direbus

(43)

23

b.Pembuatan “the adsorption batch experiment” dengan air sintetis

Pembuatan air sintetis, dengan mencampur NaF dengan aquades untuk F dan FeSO4 dengan aquades untuk Fe. Konsentrasi F dan Fe bervariasi 1 – 5 mg/l. Menambahkan arang tulang sapi sebanyak 10 g ke dalam 100 ml air sintetis dengan konsentrasi F dan Fe masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm ke dalam botol polyethylene. Hal yang sama dilakukan juga pada arang tulang dari tulang babi dan tulang ayam. Botol-botol tersebut kemudian ditempatkan dalam

water bath pada suhu kamar selama 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam. Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi F dan Fe dengan menggunakan Spektrofotometer (Metode AAS).

c. Pembuatan “the adsorption batch experiment” dengan air tanah

Menyiapkan air tanah dengan konsentrasi F sebesar 3 ppm. Menambahkan arang tulang sapi sebanyak 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 g ke dalam 100 ml air tanah dalam botol polyethylene. Hal yang sama dilakukan juga pada arang tulang dari tulang babi dan tulang ayam. Botol-botol tersebut kemudian ditempatkan dalam water bath pada suhu kamar selama 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam. Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi F dengan menggunakan Spektrofotometer (Metode AAS).

d.Peubah yang Diamati:

1. Kandungan F dan Fe air tanah.

2. Kualitas arang tulang sapi, babi, dan ayam.

3. Adsorption capacity, untuk mengukur prosentase F dan Fe pd larutan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% adsorption = _______ x 100

C0

Keterangan: C0 = konsentrasi awal

Ct = konsentrasi pada waktu t pada mg/l

e. Analisis Data

Metode deskriptif dengan tabel, grafik, dan narasi digunakan untuk menjelaskan data kandungan F dan Fe pada air sintetis serta F pada air tanah; data kualitas arang tulang sapi, babi, dan ayam; data prosentase penyerapan ketiga jenis arang tulang.

(44)

24

Hasil dan Pembahasan Kandungan F dan Fe Air Tanah

Hasil pengujian terhadap kandungan Fluor (F) dan Besi (Fe) pada air tanah di tiga level ketinggian dari permukaan laut dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan 3.3.

Tabel 3.2 Kandungan F (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian

F (ppm) < 200 m dpl 200 - 400 m dpl > 400 m dpl

1 0.89 ttd ttd

2 1.73 1.98 0.68

3 ttd 0.05 ttd

4 ttd ttd ttd

5 3.01 ttd ttd

Keterangan: m = meter, dpl = diatas permukaan laut, ttd = tidak terdeteksi

Dari kedua tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara kandungan F dan Fe pada air tanah. Kandungan F berada pada kisaran yang lebih tinggi dari kandungan Fe, dimana kandungan F yang terdeteksi hanya 6 sampel dengan kisaran antara 0.05 ppm hingga 3.01 ppm dari 15 sampel air yang diuji. Sedangkan kandungan Fe yang terdeteksi juga 6 sampel dengan kisaran 0.07 ppm hingga 1.13 ppm dari 15 sampel air yang diuji.

Tabel 3.3 Kandungan Fe (ppm) air tanah pada tiga level ketinggian

Fe (ppm) < 200 m dpl 200 - 400 m dpl > 400 m dpl

1 0.17 ttd ttd

2 ttd 0.03 ttd

3 ttd ttd 0.07

4 0.35 ttd ttd

5 0.73 1.13 ttd

Keterangan: m = meter, dpl = diatas permukaan laut, ttd = tidak terdeteksi

Pengujian terhadap kandungan F dan Fe ini menjadi sangat penting karena air tanah yang terdapat di Indonesia, khususnya wilayah Kota dan Kabupaten Bogor, masih kurang diketahui akibat sangat minimnya penelitian terkait. Dengan semakin tingginya tingkat pencemaran air akibat berbagai aktivitas manusia maka diasumsikan bahwa semakin rendah level keberadaan air tanah dari permukaan laut semakin tinggi tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa aktivitas manusia di daerah dataran rendah lebih tinggi dan lebih variatif sehingga semakin berpotensi untuk mencemari air tanah.

(45)

25

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel air tanah di daerah dataran rendah memiliki kecenderungan nilai kandungan F dan Fe yang lebih tinggi akibat aktivitas manusia yang semakin beragam.

Fluor (F) yang banyak terkandung dalam pasta gigi membantu mencegah proses pembusukan. Percobaan klinis menunjukkan, bahwa pasta gigi yang mengandung F dapat mengurangi pembusukan gigi 15 sampai 30 persen (www.vision.net.id). Namun demikian, kandungan F yang terlalu tinggi dan cenderung berlebihan pada air tanah dapat berakibat buruk pada kesehatan manusia.

Menurut Laporan UNICEF, Indonesia merupakan salah satu negara dari 25 negara lainnya, termasuk Thailand, yang memiliki konsentrasi F yang tinggi pada air tanah. WHO (2006) menyatakan bahwa maksimum limit kadar F yang direkomendasikan pada air minum adalah 1.5 mg/l. Asupan F yang melebihi batas standar air minum dapat menyebabkan dental fluorosis atau bahkan

crippling skeletal (Fawell et.al 2006). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa berbagai masalah kesehatan yang serius sangat berpotensi mengakibatkan

fluorosis akibat tingginya konsentrasi F. Pada laki-laki remaja telah ditemukan adanya korelasi antara asupan fluoride yang tinggi dengan kanker tulang yang disebut osteosarcoma (Bassin et.al 2006). Kerusakan hati dan

Gambar

Tabel 1.1 Pemanfaatan kotoran dan tulang dari ternak sapi, ayam dan babi di Indonesia
Gambar 1.1  Potensi limbah ternak (Ockerman dan Hansen 2000, www.rizkycool.multiply.com)
Gambar 1.2  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2.1 Produksi nutrisi dari kotoran ternak sapi potong, ayam broiler dan babi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di suatu Kecamatan dihitung sebagai selisih antara daya dukung pakan limbah tanaman pangan dengan jumlah ternak sapi yang ada

Penelitian ini menganalisis harga komoditas pangan hewani asal ternak, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa naskah Tugas Akhir “ Analisis potensi kotoran ternak sapi sebagai pembangkit listrik tenaga biogas di Pantai Baru Bantul ” merupakan hasil

penanganan manure (manure management) pada semua jenis ternak (sapi perah, sapi potong, kerbau, domba, kambing, babi, itik, ayam ras, ayam kampung, ayam petelur)

Dengan jumlah daya dukung bahan kering pakan limbah tanaman pangan sebesar 257.839 ST dihubungkan dengan populasi ternak ruminansia (sapi potong) sebanyak 30.673 ST, maka

Hasil kegiatan menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi dengan tema pemanfaatan kotoran ternak sapi menjadi biogas mendapatkan respon yang baik dari semua

Penelitian ini diharapkan berguna untuk petani/peternak dalam meningkatkan pemanfaatan feses babi menjadi produk yang memiliki nilai dibandingkan bila dibiarkan

29 PENDAMPINGAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN TERNAK SAPI POTONG ALTERNATIF DI DESA PANCA TUNGGAL KABUPATEN BANGKA SELATAN 1Yulia,