• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KARBON AKTIF PENYARING AIR KOMERSIAL

Pendahuluan

Arang tulang ternak (bone charcoal) juga dikenal dengan sebutan “bone black (tulang hitam), ivory black (gading hitam), animal charcoal, atau abaiser, merupakan bahan granular yang diproduksi melalui pembakaran tulang-tulang hewan (charring animal bones) pada kisaran suhu 400-600 °C. Arang tulang ini sebagian besar terdiri dari kalsium fosfat dan sejumlah kecil karbon. Arang tulang biasanya memiliki luas permukaan yang lebih rendah daripada karbon aktif, tetapi dengan kapasitas serap tinggi bagi tembaga (Cu), seng (Zn), dan cadmium (Cd) (Wilson et al. 2003; Choy dan McKay 2005), serta Cobalt (Co) (Pan et al. 2009). Arang tulang ini juga dapat diaplikasikan untuk proses defluoridation air tanah (Smittakorn et al. 2010) dan penghilangan logam berat dari larutan air.

Limbah ternak berupa tulang di Indonesia cukup tinggi seiring dengan tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi. Pengolahan limbah tulang ternak menjadi arang tulang sebagai sumber karbon aktif pada penyaring air minum yang bermanfaat untuk menurunkan kandungan F dan menghilangkan logam berat pada air tanah dan air minum masih sangat jarang diaplikasikan di Indonesia. Padahal, teknologi sederhana ini telah dilakukan di Thailand dan India, terutama diaplikasikan di wilayah pedesaan yang memiliki kandungan F yang melebihi batas ambang yang direkomendasikan oleh WHO.

Limbah tulang ternak berupa arang tulang (bone charcoal) memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber produk non-pangan. Namun, arang tulang yang berasal dari babi akan menimbulkan masalah sangat besar untuk dapat diterapkan di Indonesia karena mayoritas jumlah penduduk beragama Islam yang mengharamkan untuk mengkonsumsi babi beserta hasil ikutannya, mengharuskan untuk menemukan alternatif pengganti produk-produk tersebut dari ternak lain dengan kualitas yang tidak terlalu berbeda jauh.

Menurut Undang-Undang Pangan No.18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Keamanan pangan asal hewan sangat perlu untuk mendapat perhatian serius dari Pemerintah dan konsumen. Pangan yang berasal dari hewan merupakan produk beresiko tinggi untuk menjadi tidak halal karena jenis hewan, proses pemotongan, kontaminasi dari unsur yang tidak halal pada proses produksinya, dan penggunaan zat aditif, dll (Bachruddin 2010). Peraturan Pemerintah Nomor

34

28 Tahun 2004 telah mendefinisikan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Dengan demikian identifikasi spesies hewan/ternak pada produk pangan dan non pangan sangat penting dilakukan untuk mengetahui keaslian produk demi menjamin keamanan dan kehalalan produk serta melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Identifikasi asal spesies hewan/ternak pada produk pangan dan non pangan relevan terhadap konsumen dengan tiga alasan, yaitu: 1). Kerugian secara ekonomi dari tindakan pemalsuan; 2). Persyaratan kesehatan bagi orang yang memiliki alergi pada produk tertentu; 3). Alasan agama, (Murano 2003; Miguel et al (2004); Siklenka et al (2004); Asensio et al (2007).

Metode analisis yang akurat untuk mendeteksi pemalsuan terhadap produk pangan dan non pangan sangat diperlukan untuk pelabelan produk yang beredar di pasaran. Metode analisis ini memerlukan prosedur yang sederhana dan cepat serta dapat memberikan hasil yang maksimal. Gen cytochrome b telah digunakan oleh beberapa ahli untuk membedakan material yang berasal dari spesies yang berbeda. Dari hasil review oleh Mafra et al (2008) pada beberapa penelitian identifikasi

species-specific DNA fragment pada produk olahan daging, gen cytochrome b

merupakan target gen yang paling banyak digunakan.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013. Pembuatan arang tulang dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian jenis arang tulang melalui test DNA dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tulang yang berasal dari ternak sapi, babi, dan ayam sebagai bahan pembuatan arang tulang (bone charcoal) dan arang tulang sapi, babi, dan ayam serta karbon aktif pada penyaring air komersial untuk mendeteksi bahan baku melalui tes DNA. Karbon aktif pada penyaring air komersial diambil dari bagian yang telah digunakan untuk menyaring air tanah.

Pembuatan Arang Tulang

Proses pembuatan arang tulang terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1). Proses pembersihan tulang dari sisa-sisa daging dan lemak yang menempel, 2). Proses perebusan tulang, selama 1- 5 jam tergantung jenis tulang, 3). Proses pengeringan tulang, menggunakan oven suhu 60 oC selama 24 jam, dan 4). Proses pembakaran tulang, menggunakan tanur suhu 600 oC selama 1-3 jam.

35

Proses pembuatan arang tulang dengan menggunakan tanur pada suhu 600 o

C juga memerlukan waktu yang berbeda yaitu: tulang ayam selama 60-90 menit, tulang babi selama 120-150 menit, dan tulang sapi selama 150-200 menit. Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm.

DNA Arang Tulang

Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metoda fenol chloroform

(Sambrook et al. 1989) yang dimodifikasi oleh Andreas et al. (2010). Sampel arang tulang dicuci dengan Tris EDTA konsentrasi rendah (low TE). Pada setiap pencucian disentrifugasi 3000 rpm selama dua menit kemudian diulang sebanyak lima kali dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan etanol absolute yang terdapat didalam sampel yang telah diawetkan dengan menggunakan buffer lisis

sel, yaitu 40 µl SDS 10%, 10 µl Proteinase- K 5 mg/ml, dan 1 x STE sampai 400 µl. Larutan di goyang pelan-pelan dalam inkubator pada suhu 55oC selama 2 jam. DNA dimurnikan dengan menambahkan 200 µl larutan phenol 400 µl CIAA (Cloroform Isoamil Aiconaol : 24:1) dan 40 µl SM NaCl selanjutnya di goyang pelan pada suhu ruang selama 1 jam, larutan disentrifuge pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. DNA diendapkan dengan 800 µl etanol absolut dan 40 µl 5M NaCl, Freezing selama satu malam kemudian disentrifus pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Bagian supernatan dibuang, selanjutnya DNA dilarutkan dengan 100 µl 80% TE. Kualitas DNA yang diperoleh dievaluasi dengan menggunakan elektroforesis 1,5% gel agarose selama kurang lebih 45 menit dengan voltase 100 V. Selanjutnya divisualisasi dengan Ultra violet (UV)

Transiluminator. Konsentrasi DNA dihitung menggunakan Nanodrop Spectrophotometer.

Analisis lanjutan dilakukan untuk mengetahui atau mengecek sumber arang tulang yang digunakan pada penyaring air komersial. Penanda yang digunakan adalah cytocrome b dari sapi dan babi. Amplifikasi DNA menggunakan PCR, adapun pereaksi PCR dibuat volume 11 µl dengan komposisi thermal buffer 10x, MgCl2 25mM, dNTP, primer F/R dan Taq DNA polymerase. Mesin yang digunakan GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem. Denaturasi awal pada suhu 95oC selama 5 menit dilakukan satu kali, dilanjutkan dengan 35 kali denaturasi pada suhu 95o selama 30 detik, annealing pada suhu 60oC selama 45 detik dan elongasi pada suhu 72oC selama 60 detik. Selanjutnya dilakukan ekstension lagi pada suhu 72oC selama 5 menit. Produk PCR dievaluasi dengan elektroforesis gel agaros.

Analisis Data

Hasil pengujian terhadap jenis arang tulang dan bahan baku karbon aktif pada penyaring air komersial melalui tes DNA disajikan secara deskriptif.

36

Hasil dan Pembahasan Pengujian Jenis Arang Tulang Melalui Tes DNA

Hasil pengujian terhadap kandungan DNA pada arang tulang sapi, babi, dan ayam baik secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.1. Dari hasil elektroforesis tampak bahwa DNA pada arang tulang sapi, babi, dan ayam, tidak dapat diisolasi, sedangkan pada karbon aktif penyaring air komersial DNA dapat terisolasi.

Gambar 4.1 Hasil isolasi DNA arang tulang dan penyaring air komersial M : marker DNA 100 bp, PK : penyaring air komersial

Selanjutnya, untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan memastikan apakah DNA pada arang tulang dapat diisolasi maka dilakukan pengujian secara kuantitatif dengan menggunakan Nanodrop Spectrophotometer sebagaimana hasil pada Tabel 4.1. Hasil yang diperoleh menunjukkan DNA masih dapat diisolasi dari ketiga arang tulang maupun dari karbon aktif penyaring air komersial dengan konsentrasi masing-masing sapi tertinggi sebesar 30.5 ng/µl diikuti oleh arang tulang ayam (16.7 ng/µl) dan babi (7.5 ng/µl), sedangkan kemurnian arang tulang sapi, ayam, babi dan karbon aktif penyaring air komersial, masing-masing sebesar 1,29, 1,38, 1,32, dan 1,46. Kemurnian DNA yang diperoleh termasuk dalam kategori rendah sebagaimana Muladno (2010) menyatakan bahwa kemurnian DNA yang baik berkisar 1.8 – 2.

37

Tabel 4.1 Hasil isolasi DNA arang tulang sapi, babi, dan ayam serta karbon aktif pada penyaring air komersial

Tahapan berikut untuk mengetahui karbon aktif yang digunakan pada penyaring air komersial, dilakukan pengujian DNA dengan menggunakan penanda gen cytochrome b. Adapun penanda gen cytochrome b yang digunakan dalam hal ini primer spesifik yang mengapit cytochrome b pada sapi (274 bp) dan babi (398 bp).

Gambar 4.2 Hasil elektroforesis produk PCR

M : DNA marker 100 bp, S : kontrol positif (Cyt_b sapi murni), B : kontrol positif (Cyt-b babi murni),

C : kontrol positif campuran, DW : kontrol negatif (air), 1 : penyaring air komersial (PK) ulangan 1, 2 : PK ulangan 2, 3 : PK ulangan 3, dan 4 : PK ulangan 4 No. Sampel Hasil Analisis Kualitatif Kuantitatif Konsentrasi (ng/µl) Kemurnian 1. Babi - 7.5 1.32 2. Penyaring Komersial √ 22.2 1.46 3. Ayam - 16.7 1.38 4. Sapi - 30.5 1.29

38

Hasil PCR menunjukkan bahwa gen cytochrome b tidak dapat

diamplifikasi. Hal ini diduga disebabkan rendahnya kualitas DNA yang digunakan dengan konsentrasi hanya 22,2 ng/µl dan kemurniannya 1.46 (< 1.8). Keberhasilan penggandaan DNA dengan PCR ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah komponen bahan yang digunakan termasuk template DNA. Kemurnian yang rendah, misalnya karena ada metabolit sekunder, akan menghambat penempelan primer pada susunan basa rantai DNA (Padmalatha and Prasad, 2006)

Penggunaan gen cytochrome b dianggap memiliki kelemahan karena diduga adanya pseudogen (gen mirip mitokondria tetapi terdapat dalam gen inti). Pada penelitian ini digunakan primer universal untuk amplifikasi fragmen DNA spesifik sapi dan babi mengikuti Matsunaga et al (1999), dengan primer forward

yang sama yaitu 5‟-GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT TGA TGA AA-3‟. Primer reverse sapi dan babi mengikuti Matsunaga et al. (1999)

yaitu sapi 5‟- CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG – 3‟ dan

babi 5‟ – GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA – 3‟. Penggunaan primer universal dalam PCR harus dikombinasikan dengan materi sampel DNA yang memadai sebagai template. Hal ini penting untuk meningkatkan akurasi hasil PCR (Winaya, 2010).

Kemungkinan lainnya diduga bahwa penyaring air komersial tidak menggunakan karbon aktif dari arang tulang sapi maupun babi. Adapun DNA yang terisolasi pada penyaring air komersial diduga berasal dari DNA bakteri yang berasal dari air tanah yang disaring, mengingat karbon aktif pada penyaring air komersial diambil dari bagian yang telah digunakan untuk menyaring air tanah.

Kandungan bahan beracun pada air tanah dapat dideteksi dari penampilan fisik air. Air yang berwarna kekuningan kemungkinan banyak mengandung besi. Air tanah yang ada di Indonesia termasuk di beberapa wilayah Bogor banyak yang berwarna kekuningan, sehingga kemungkinan besar mengandung besi dengan kandungan yang melebihi batas ambang. Seperti halnya F yang banyak terkandung dalam pasta gigi, dimana penelitian menunjukkan bahwa pasta gigi dengan kandungan F dapat mengurangi proses pembusukan gigi sebesar 15-30 % (www.vision.net.id). Namun, kandungan F berlebihan pada air tanah dan air konsumsi merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi besar untuk menimbulkan bahaya kesehatan jangka panjang. Misalnya, cacat lahir dan keterbelakangan mental serta epidemic Alzheimer (Macek et al. 2006).

Konsumsi F yang berlebihan juga dapat mencegah biosintesis hemoglobin yang menyebabkan anemia pada manusia. Hal ini telah diteliti pada ibu hamil, dimana bahaya anemia pada kehamilan akan menyebabkan kelainan pada

perkembangan embrio/janin. Hal ini telah dibuktikan oleh

Profesor A.K. Susheela, PhD yang telah meneliti F selama lebih dari 20 tahun dan merupakan salah satu peneliti terkemuka di dunia. Bahaya F ini juga diperkuat dengan beberapa penelitian yang telah menemukan bahwa tingginya konsentrasi F pada air minum berpotensi mengakibatkan fluorosis yang selanjutnya juga berpotensi terhadap berbagai masalah kesehatan yang serius, diantaranya korelasi antara asupan F yang tinggi dengan kanker tulang

39

(osteosarcoma) pada laki-laki remaja (Bassin et al. 2006), crippling skeletal

(Fawell et al. 2006), dan kerusakan hati dan ginjal (Xiong et al. 2007).

Untuk menekan bahaya F tersebut terhadap kesehatan seluruh penduduk di dunia maka Badan Kesehatan Dunia WHO pada tahun 2006 merekomendasikan maksimum limit kadar F pada air minum sebesar 1.5 mg/l. Olehnya, penelitian ini ingin melihat seberapa besar kemampuan arang tulang sebagai adsorbent terhadap Fluor (F) dan Besi (Fe) pada air tanah yang pastinya diambil oleh masyarakat untuk dijadikan air minum.

Arang tulang (Bone Charcoal) merupakan sumber karbon aktif yang telah digunakan dalam penyaring air komersial. Hal ini disebabkan karena arang tulang ini dapat diaplikasikan untuk proses defluoridation air dan penghilangan logam berat dari larutan air. Dewasa ini, telah ada di pasaran alat yang mengaplikasikan teknologi pemurnian air siap minum yang tanpa memerlukan proses pemasakan terlebih dulu. Alat ini cukup diminati oleh masyarakat karena dapat menjadi alternatif untuk memperoleh air yang lebih jernih dan sehat.

Di Indonesia, alat pemurnian air minum seperti ini tidak menjelaskan secara detail kepada konsumen bahan baku yang digunakan sebagai sumber karbon aktif tersebut. Seandainya bahan baku sumber karbon aktif tersebut adalah arang tulang, maka perlu diinformasikan dengan detail berasal dari tulang apa arang tersebut. Hal ini mengingat mayoritas jumlah penduduk beragama Islam yang mengharamkan untuk mengkonsumsi babi beserta hasil ikutannya.

Teknologi genetika molekuler menitikberatkan pada test DNA merupakan salah satu metode penentuan bahan baku arang tulang yang dapat ditempuh. Akan tetapi, pengujian jenis arang tulang melalui test DNA secara kualitatif (elektroforesis) yang telah dilakukan belum memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya suhu (hingga 600 oC) yang digunakan pada tanur dalam proses pembuatan arang tulang mengakibatkan DNA yang ada telah rusak dan tidak dapat terekstraksi dengan baik.

Hal ini menunjukkan bahwa DNA pada arang tulang masih dapat dideteksi melalui pengujian DNA secara kuantitatif meskipun suhu yang digunakan pada proses pembuatannya sangat tinggi yang mengakibatkan rusaknya DNA sehingga tidak memungkinkannya untuk dideteksi melalui test DNA secara kualitatif. Pendeteksian bahan baku karbon aktif pada penyaring air komersial menunjukkan bahwa karbon aktif yang digunakan tidak berasal dari bahan alami seperti arang tulang ternak sapi, babi, dan ayam melainkan berasal dari bahan sintetis yang memerlukan pengujian lebih lanjut.

SIMPULAN

DNA arang tulang hanya dapat diisolasi secara kuantitatif menggunakan Spektrofotometer dengan jumlah sangat kecil. Proses pembuatan suhu 600 oC mengakibatkan sebagian besar DNA rusak. DNA pada penyaring air komersial masih dapat diisolasi secara kualitatif dan kuantitatif. Deteksi bahan baku karbon aktif pada penyaring air komersial menunjukkan bahwa karbon aktif yang digunakan tidak berasal dari bahan alami seperti arang tulang ternak sapi, babi, dan ayam melainkan berasal dari bahan sintetis yang memerlukan pengujian lebih lanjut.

40

5

PEMBAHASAN UMUM

Pada tahun 2010, Penduduk Indonesia mencapai 238,5 juta orang (BPS 2012) sehingga berada di urutan keempat untuk negara dengan jumlah populasi penduduk terbesar di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief, laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,49 % per tahun, artinya setiap tahun jumlah populasi meningkat 3,5 juta hingga 4 juta orang. Dengan demikian, menurut prediksi penduduk Indonesia akan mencapai 255,46 dan 271,06 juta orang pada tahun 2015 dan 2020. Peningkatan populasi penduduk yang cukup tinggi dengan sendirinya akan berdampak pada peningkatan konsumsi pangan, baik pangan nabati maupun hewani, termasuk bahan pangan yang berasal dari ternak. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi yang mencapai 3.572 dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011).

Fenomena ini mengakibatkan cukup tingginya keberadaan limbah ternak berupa kotoran dan tulang ternak di Indonesia. Kotoran dan tulang ternak sebenarnya memiliki potensi untuk diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk yang berkualitas baik, baik produk pangan maupun non-pangan, yang masih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kotoran dan tulang ternak yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut memiliki potensi yang sangat tinggi untuk mencemari lingkungan, menurunkan nilai estetis dan bahkan sangat berpotensi menimbulkan masalah-masalah kesehatan yang mengganggu kehidupan manusia (Ockerman dan Hansen 2000).

Seiring dengan perkembangan teknologi, berbagai produk non-pangan yang berasal dari ternak mulai ditinggalkan penggunaannya sejak ditemukan produk- produk sintetis yang kemampuannya jauh lebih baik. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan teknologi, semakin disadari dampak negatif dari produk-produk sintetis yang sulit mengalami dekomposisi secara alami. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa produk- produk sintetis memiliki berbagai dampak negatif yang cukup signifikan jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka meminimalkan dampak negatif tersebut telah terbukti tidak sederhana dan cukup rumit serta terkadang memerlukan biaya dan waktu yang cukup lama untuk kembali ke kondisi semula.

Hal ini mengakibatkan manusia untuk berpikir “back to nature”. Salah satu diantaranya yang dapat diupayakan adalah dengan meningkatkan pemanfaatan berbagai limbah yang dihasilkan oleh manusia, ternak, dan tumbuhan. Melalui pemanfaatan limbah tersebut, khususnya limbah ternak, diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis limbah ternak sekaligus dalam upaya penyelamatan keseimbangan lingkungan melalui pemanfaatannya secara optimal. Dengan demikian, menjadi sangat perlu untuk mencari alternatif pengolahan limbah ternak, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Kotoran ternak merupakan salah satu limbah ternak yang telah lama diolah oleh masyarakat pedesaan menjadi pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang pada tanaman sebenarnya sudah berlangsung lama, karena memang petani menyadari bahwa pupuk kandang mempunyai pengaruh yang sangat baik bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini juga terjadi akibat kurang tersedianya pupuk

41

buatan di pedesaan, dan bahkan ketersediaannya seringkali langka. Kondisi ini diperparah dengan harga yang cukup mahal sehingga daya beli petani terhadap pupuk buatan menjadi rendah. Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kandang merupakan alternatif bagi petani untuk mendaur ulang limbah peternakan dengan menerapkan teknologi sederhana. Petani biasanya memanfaatkan limbah kotoran ternak menjadi pupuk kandang bagi tanaman mereka dengan biaya pembuatan yang serendah mungkin.

Cacing tanah yang berada di alam bebas akan memakan sampah organik, mengurainya, dan kemudian dikeluarkannya kembali dalam bentuk kotoran yang biasa disebut dengan bekas cacing atau disingkat dengan kascing. Bila dibiarkan berkembang biak di lahan pertanian, maka cacing tanah akan memperbaiki aerasi tanah dan sekaligus mempertahankan struktur tanah. Dengan demikian, lahan pertanian yang ada akan menjadi lebih subur, lebih gembur dan lebih produktif. Keberadaan cacing tanah di lahan pertanian juga akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman.

Kascing merupakan produk samping dari usaha peternakan cacing. Kascing biasanya ditemukan pada bagian permukaan media hidup cacing tanah. Kascing lazimnya tampak seperti gundukan tanah berwarna agak kehitaman sewaktu masih basah dan sedikit kecoklatan saat sudah kering. Kascing masih memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena bisa dijual untuk menambah jumlah pendapatan, selanjutnya digunakan sebagai pupuk organik yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Kelebihan kascing adalah memiliki partikel yang ukurannya lebih kecil daripada partikel tanah biasa sehingga unsur hara yang terkandung didalamnya lebih mudah diserap oleh akar tanaman. Bahkan sifat kimia dan unsur hara yang terdapat pada kascing setara dengan kompos, dan lebih bagus dan lengkap ketimbang pupuk buatan (anorganik).

Pupuk kandang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dapat menyediakan unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung (Adenawoola dan Adejoro 2005; Agbede dan Ojeniyi 2009), mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal (Adediran et al. 2003; Awodun et al. 2007), jika dikombinasikan dengan kotoran cacing (kascing) berpotensi tinggi meningkatkan kesuburan tanah dan membantu proses penghancuran limbah organik, karena mampu menahan air, membantu menyediakan nutrisi bagi tanaman, dan mampu memperbaiki struktur tanah (Mashur 2001), serta mampu memacu pertumbuhan tanaman yang meliputi akar, ranting, dan daun dengan kandungan nutrisi, enzim dan hormon-hormon pertumbuhan alami seperti auxin, cytokinin, dan giberellin

(Tomatti et al. 1988).

Di wilayah pedesaan sangat memungkinkan untuk menerapkan pembuatan pupuk kandang dengan sistem windrow ini akibat masih luasnya areal tanah yang tersedia dan rendahnya biaya yang dibutuhkan dalam proses pembuatannya. Pupuk kandang yang dihasilkan melalui aplikasi sistem windrow ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman bayam. Pupuk kandang ayam memiliki kandungan N tertinggi yaitu 5.89 %, diikuti oleh pupuk kandang babi (3,27%) dan sapi (1,56%). Pupuk kandang ayam memberikan pengaruh yang lebih baik karena kandungan hara lebih tinggi dan laju dekomposisi pupuk kandang ayam lebih

42

cepat dibandingkan pupuk kandang lainnya. Dekomposisi memungkinkan pembentukan agregat tanah untuk selanjutnya mampu memperbaiki permeabilitas dan peredaran udara tanah, akar tanaman menjadi kokoh dan lebih mampu menyerap hara lebih banyak (Agbede dan Adekiya 2012; Agbede dan Ojeniyi 2009; Yulipriyanto 2010).

Di Indonesia, limbah tulang ternak utamanya tulang sapi, telah

Dokumen terkait