• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRIAL OVEREVIEW

Dalam dokumen DAFTAR ISI - TABLE OF CONTENTS (Halaman 44-50)

BI memperkirakan inflasi tahun ini dapat terkendali di kisaran 4% +/- 1%.

Meski perekonomian secara umum melambat, namun kepercayaan dunia luar terhadap iklim investasi di Tanah Air meningkat. Lembaga pemeringkat global kembali memberikan peringkat positif bagi utang Indonesia, seperti misalnya S&P yang memberikan peringkat BB+ dengan outlook stabil dan Moodys yang memberikan peringkat Baa3 dengan outlook stabil.

Pada Oktober 2014, Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) juga melakukan afirmasi sovereign credit rating RI pada BBB- dengan outlook stabil. Peringkat ini diberikan JCR setelah melihat beberapa faktor kunci seperti pengelolaan fiskal yang kuat, sistem perbankan yang sehat, serta ketahanan perekonomian terhadap tekanan eksternal. Selanjutnya pada November 2014, Fitch Ratings memberikan afirmasi sovereign credit rating BBB- atau investment grade dengan outlook stabil untuk Indonesia. Pemeringkatan ini tak terlepas dari penerapan kebijakan stabilisasi ekonomi yang secara konsisten ditempuh pemerintah dalam merespon tekanan domestik dan eksternal. Faktor kedua yang mendorong Indonesia memperoleh pemeringkatan ini ialah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dan stabil

dibandingkan dengan negara tetangga. Dengan diraihnya pemeringkatan ini, dunia usaha secara umum berharap pemerintah tetap fokus pada komitmennya untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global. Kondisi makro ekonomi ini tentu berdampak pada sektor pertambangan, perkembangan, serta industri alat berat sebagai pendukungnya. Seperti diketahui, pembatasan ekspor mineral termasuk batubara sebagai amanat UU Minerba yang diikuti oleh harga batubara yang terpukul membuat sebagian besar pengusaha tambang menahan laju produksi dan investasi sehingga menyebabkan penurunan produksi batubara.

Pada 2014, harga rata-rata batubara di pasar global menyentuh $ 75.12 per metrik ton. Harga ini lebih rendah dari harga rata-rata batubara pada akhir tahun 2013 yang berkisar $ 80 per metrik ton.

Therefore BI estimated this year’s inflation to be controlled at 4%+/-1%.

Although the economy is generally decelerating, there is an increase of trust from abroad in the country’s investment climate. Global ranking agencies have once again given a positive ranking on Indonesian debt, for example S&P which gave a BB+ rank with a stable outlook and Moody’s which gave a Baa3 rank with a stable outlook.

In January 2014, Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) also conducted the RI sovereign credit rating affirmation at BBB- with a stable outlook. This rank was given by the JCR after observing several key factors, such as strong fiscal management, sound banking system, and economic security from external pressures.

Furthermore, in November 2014, Fitch Ratings gave a BBB- sovereign credit rating affirmation or investment grade with a stable outlook for Indonesia. This rating is closely related to the implementation of economic stabilization policies consistently made by the government in responding to domestic and external pressures. The second factor which encouraged the rating is the higher and more stable Indonesian economic growth compared to neighboring countries. With the achievement of this rating, the business world generally hopes the government remains focused on its commitment to maintaining economic stability in the midst of global uncertainty.

These macro economic conditions certainly have an impact on the mining sector, development, and heavy equipment as its support. The limiting of mineral export including coal as the mandate of the Law on Mineral and Coal Mining (Minerba Law) followed by the drop in coal prices caused most mining companies to suppress the production and investment rate which resulted in a decrease of production.

In 2014, the average price of coal in the global market was $75,12 per metric ton. This price was lower than the average price of coal at the end of 2013 which ranged at $80 per metric ton.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memperkirakan, produksi batubara tahun 2014 hanya mencapai 400 juta ton atau turun 5% dari produksi tahun 2013 yang sebesar 421 juta ton. Harga jual batubara yang rendah menjadi penyebab turunnya kinerja perusahaan tambang batubara dalam negeri.

Di samping UU Minerba, penerapan kewajiban eksportir terdaftar juga menambah beban pelaku usaha. Inilah yang menyebabkan pengusaha tambang menahan laju produksi sambil menunggu harga batubara membaik. Dunia usaha tentu berharap, pembatasan laju produksi batubara nantinya akan berdampak pada peningkatan harga di masa mendatang.

Komoditas lainnya yang turut mempengaruhi permintaan alat berat ialah minyak sawit mentah (CPO). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi total produksi CPO nasional tahun 2014 mencapai 30-31,6 juta ton, atau lebih tinggi dari produksi tahun 2013 yang sebanyak 26 juta ton. Curah hujan yang meningkat sepanjang tahun lalu menjadi pemicu utama perbaikan produksi CPO.

The Indonesian Coal Mining Association (APBI) estimated that the coal production in 2014 only reached 400 million tons or a 5% decrease from the 2013 production of 421 million tons. Low selling price of coal caused the decline of the domestic coal mining companies’ performance.

Aside from the Coal and Mineral Law, the implementation of registered exporter obligation also added to the burden of businesses. This caused mining companies to suppress production rate while waiting for coal prices to improve. The business world certainly hopes that the suppression of coal production rate will result in future price increase.

Another commodity which affects the demand for heavy equipment is crude palm oil (CPO). The Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) predicted that the total of national CPO production in 2014 reached 30-31.6 million tons, or higher than the 2013 production of 26 million tons. Increasing rainfall throughout the last year was the main trigger in the improvement of CPO production.

Sumber/ Source : Mundi

Dec 2009 Mar 2010 Jun 2010 Sep 2010 Dec 2010 Mar 2011 Jun 2011 Sep 2011 Dec 2011 Mar 2012 Jun 2012 Sep 2012 Dec 2012 Mar 2013 Jun 2013 Sep 2013 Dec 2013 Mar 2014 Jun 2014 Sep 2014 Dec 2014

US Dollars per Metric Ton

149.04 131.9 114.76 97.62 80.48 63.35

Meski mengalami kenaikan produksi, namun harga rata-rata CPO hanya berada di kisaran $ 739,4 per metrik ton. Harga ini lebih rendah dari harga CPO akhir tahun 2013 yang sekitar $ 790 per metrik ton.

Hingga 2020, produksi CPO nasional diperkirakan berkisar 38 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 5%-6% per tahun. Pertumbuhan yang tidak agresif ini disebabkan keterbatasan perluasan lahan sawit. Permintaan CPO yang meningkat menyebabkan kebutuhan alat berat di sektor perkebunan sawit tahun lalu dapat sedikit menopang industri ini secara umum.

Sektor komoditas yang menunjukkan penurunan pada 2013 turut membuat permintaan alat berat sebagai industri pendukung kedua sektor tersebut, ikut melambat. Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) memperkirakan permintaan alat berat tahun 2014 hanya menyentuh 8.000 unit, lebih kecil dari target awal sebesar 10.000 unit. Penurunan pada penjualan alat berat juga turut memukul industri pembiayaan alat berat. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia memprediksi, penyaluran

pembiayaan alat berat masih akan menurun di tahun 2015. Untuk mencegah penurunan yang lebih dalam, secara

The commodity sectors which exhibited decline in 2014 decelerated the demands for heavy equipment as the support industry for both said sectors. Heavy Equipment Manufacturer Association of Indonesia (Hinabi) estimated the demands for heavy equipment in 2014 were only 8,000 units, smaller than the initial target of 10,000 units. The decrease in heavy equipment selling also affected the heavy equipment financing industry. The Indonesia Finance Services Association predicted that the distribution of heavy equipment financing will still decline in 2015. To prevent further decline, heavy equipment financing

Sumber/ Source : Mundi

Dec 2009 Mar 2010 Jun 2010 Sep 2010 Dec 2010 Mar 2011 Jun 2011 Sep 2011 Dec 2011 Mar 2012 Jun 2012 Sep 2012 Dec 2012 Mar 2013 Jun 2013 Sep 2013 Dec 2013 Mar 2014 Jun 2014 Sep 2014 Dec 2014

US Dollars per Metric Ton

1.31K 1.17K 1.02K 880.38 736.85 593.31

Although experiencing production increase, the CPO average price was only at $739.4 per metric ton. This price was lower than the CPO price at the end of 2013 of $790 per metric ton.

Up to 2020, the national CPO production is estimated to range around 38 million tons with an annual growth rate of 5%-6%. This non-aggressive growth is due to the limitation in palm land expansion. The increase in CPO demands caused the need for heavy equipment in the palm plantation sector last year to support the industry in general.

umum para pelaku pembiayaan alat berat akan melakukan diversifikasi usaha baik dengan cara memperluas segmen pembiayaan alat berat ke pasar yang belum disentuh maupun membuka segmen pembiayaan baru. Di samping mempertahankan pasar pertambangan dan perkebunan, pengusaha alat berat juga agresif memasarkan produknya ke sektor infrastruktur, kehutanan, dan pertanian. Posisi Indonesia sebagai emerging country mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan di segala lini dan telah menuangkan komitmen ini dalam Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Komitmen pemerintah dalam memajukan pembangunan ini praktis turut mendorong permintaan alat berat untuk sektor konstruksi dan infrastruktur. Dari sektor konstruksi, terlihat pada pasokan properti di kota-kota besar masih terus berlanjut mulai dari properti jenis residensial, perkantoran, hingga komersial. Minat investor asing pada industri manufaktur di Tanah Air juga mendorong pembangunan pabrik baru. Kebutuhan listrik yang senantiasa meningkat juga mendorong pembangunan pembangkit listrik yang lebih merata. Begitu pula halnya dengan pembangunan infrastruktur utama seperti perluasan pelabuhan, perluasan bandara, pembangunan jalan tol, dan pembangunan jalan raya. Semua kegiatan pembangunan ini tentunya mendukung industri alat berat.

Perseroan sebagai perusahaan yang senantiasa melakukan transformasi dan inovasi dalam menyikapi arah perubahan bisnis menyambut hal ini sebagai peluang yang positif. Sejak harga komoditas menunjukkan tren pelemahan beberapa tahun belakangan, INTA menyikapi hal ini dengan memperluas pasar baru non-tambang dan non-perkebunan seperti di infrastruktur, kehutanan, dan pertanian. Selain itu, INTA juga memperkuat lini bisnis lain yang tidak terkait tambang seperti pembiayaan dan sewa alat dari sektor non-tambang.

Perluasan segmen usaha ini merupakan wujud komitmen INTA sebagai perusahaan yang telah lama menggeluti industri alat berat dan akan terus mengembangkan

agents will generally diversify their business whether by expanding the heavy equipment financing segment to unexplored markets or opening new financing segments.

Aside from maintaining the mining and plantation markets, heavy equipment companies also aggressively market their products to infrastructure, forestry, and agriculture sectors. Indonesia’s position as an emerging country encourages the government to accelerate development in every line and this commitment has been formulated in the Masterplan for the Expansion and Acceleration of Indonesia’s Economic Development (MP3EI).

The government’s commitment in advancing development practically pushes the demand for heavy equipment in the construction and infrastructure sectors. From the construction sector, property supply in big cities is continually evident from residential type properties, office, and commercial. Foreign investors’ interest in the country’s manufacturing industry also promotes the construction of new factories. Continuously increasing electricity demands also propel the construction of more evenly distributed power plants. As well as the development of major infrastructure such as harbor expansion, airport expansion, toll road construction, and main road construction. All these development activities certainly support the heavy equipment industry.

The Company as a company that strives to transform and innovate in addressing the directions of business turns welcomes this as a positive opportunity. With the weakening trend of commodity prices these last several years, INTA addressed the issue by expanding new non-mining and non-plantation markets, such as infrastructure, forestry, and agriculture. Furthermore, INTA also strengthens other non-mining related business lines, such as equipment financing and rental from non-mining sectors.

This business segment expansion is the manifestation of INTA’s commitment as a company which has engaged in the heavy equipment industry for a considerable amount

usaha ini di tahun-tahun mendatang. Perseroan memiliki keyakinan bahwa industri alat berat akan senantiasa bertumbuh dan dapat menciptakan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia yang terus melakukan pembangunan. Atas dasar keyakinan itu, Perseroan akan terus

melanjutkan perkembangan usaha tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah strategis yang diambil.

of time and will continue to develop this business in the coming years. The Company believes that the heavy equipment industry will constantly grow and able to create added value for Indonesia’s perpetually developing economy. Based on that belief, the Company will continue to develop its business while maintaining precautionary principles in every strategic step taken.

tinjaUan biSniS

1. ikhtisar produk dan Layanan

Kehadiran INTA selama 44 tahun (1970-2014) sebagai Penyedia Solusi Total telah menguatkan tujuan Perseroan untuk menjadi bagian dari pengembangan ekonomi lokal atau local economy development. Dalam mewujudkan cita-cita untuk tumbuh bersama masyarakat dan negara, INTA didukung oleh lebih dari 1.400 karyawan.

Bertepatan dengan semangat pembangunan yang diusung pemerintah melalui MP3EI, Perseroan juga ingin mengambil bagian dalam misi percepatan pembangunan bangsa tersebut. Sebagai wujud nyata, INTA akan berperan aktif dalam sektor infrastruktur dengan memanfaatkan keunggulan Perseroan di industri alat berat serta jaringan bisnis yang tersebar di Tanah Air.

Dalam waktu dekat, wujud peran serta INTA di dalam pembangunan Indonesia akan terkait dengan bisnis inti Perseroan di bidang alat berat. Dengan posisi ini, INTA tetap mengukuhkan diri sebagai pemimpin pasar alat berat bersegmen khusus yang menyediakan layanan terintegrasi dengan konsep Penyedia Solusi Total. Lebih jauh ke depan, INTA tidak menutup kemungkinan untuk berpartisipasi di sektor non-alat berat seperti pembangunan pembangkit listrik maupun konstruksi infrastruktur umum.

INTA berharap setiap hasil yang diperoleh dari bisnis, akan membawa dampak positif bagi karyawan, pemerintah, masyarakat, serta pemegang saham. Perseroan juga berharap setiap ekspansi yang dilakukan turut mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Memiliki fundamental yang kuat menjadikan saham INTA salah satu yang patut diperhitungkan oleh para investor. Kinerja yang bertumbuh secara berkelanjutan ini memampukan INTA dalam menghadapi segala tekanan yang berasal dari industri tambang dan alat berat. Fundamental yang kuat pun turut membuat saham Perseroan layak diperhitungkan di antara saham perusahaan sejenis.

Dalam dokumen DAFTAR ISI - TABLE OF CONTENTS (Halaman 44-50)

Dokumen terkait