• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

E. Inflamasi

Inflamasi merupakan suatu mekanisme protektif tubuh terhadap gangguan dari luar atau infeksi (Wibowo dan Gofir, 2001). Inflamasi adalah suatu usaha tubuh untuk menginaktifasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan (Mycek, Harvey, dan Champe, 2001). Inflamasi secara umum dibagi dalam 3 fase, yakni : inflamasi akut, respon imun, dan inflamsi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui mekanisme pelepasan mediator kimia dan pada umumnya didahului respon imun (Katzung, 2001).

Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik

yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut secara kronis. Akibat dari respon imun bagi hospes mungkin menguntungkan, sebab organisme penyerang difagositosis atau dinetralisir, sebaliknya akibat tersebut juga dapat merusak bila menjurus pada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses cidera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam respon akut seperti interleukin-1, 2, 3, Granulosyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) serta interferon (Katzung, 2001).

2. Gejala

Lima ciri khas dari inflamasi, dikenal sebagai tanda-tanda utama inflamasi adalah kemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), serta gangguan fungsi (fungsio laesa). Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar akibat adanya pelepasan mediator kimia yakni histamin. Dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia

atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Price dan Wilson, 1992).

Calor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Panas merupakan suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan

badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370C, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas daripada sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah (pada suhu 370C) yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena daripada yang disalurkan ke daerah yang normal (Price &Wilson, 1992).

Tumor atau pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi yang timbul akibat pengiriman cairan serta sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan radang (Wilmana, 1995). Oleh karena kinin mendilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka plasma merembes ke dalam jaringan interstitial pada tempat cedera.

Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara, antara lain perubahan pH lokal, perubahan konsentrasi lokal ion-ion tertentu, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya yang dapat merangsang saraf. Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1992).

Functio laesa atau perubahan fungsi terjadi karena bagian yang bengkak dan nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal menyebabkan fungsi jaringan yang meradang menjadi terganggu (Price dan Wolson, 1992).

Peradangan juga ditandai dengan munculnya sifat-sifat yaitu vasodilatasi pembuluh darah lokal dengan akibat terjadinya aliran darah lokal yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran banyak sekali cairan ke

dalam ruang interstitial, pembengkakan cairan dalam ruang tersebut yang disebabkan oleh sejumlah kebocoran fibrinogen dan protein lainnya yang belebihan, dan pembengkakan sel. Bahan-bahan yang dihasilkan oleh jaringan yang menimbulkan reaksi ini, meliputi histamin, bradikinin, serotonin, dan prostaglandin. Bahan-bahan ini mengaktifkan sistem makrofag untuk merusak jaringan dan selanjutnya dapat melukai sel-sel jaringan yang masih hidup (Guyton, 1996). noksius Kerusakan sel Pembebasan bahan mediator Emigrasi leukosit Proliferasi sel eksudasi Perangsangan reseptor nyeri Gangguan sirkulasi lokal

pemerahan panas Pembeng kakan

Gangguan fungsi

nyeri

Gambar 2. Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler, 1986)

3. Mekanisme

Kerusakan sel yang menyertai perdangan menyebabkan pelepasan enzim lisosom dari leukosit melalui kerja atas membrane sel, kemudian asam arakhidonat dilepaskan dari senyawa precursor oleh fosfolipase (Mycek dkk, 2001). Enzim siklooksigenase merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan. Lipoksigenase ialah enzim yang merubah asam arakidonat menjadi leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada

eosinofil, neutrofil, dan makrofag dan mendorong terjadinya bronkokonstriksi dan perubahan permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan free radicals derivat oksigen. Anion superoksid dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain yang reaktif, seperti hidrogen peroksid dan hydroxyl radicals. Interaksi substansi-substansi ini dengan asam arakidonat menyebabkan munculnya substansi kemotaktik, oleh karena itu melestarikan proses inflamasi (Wibowo dan Gofir, 2001).

Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan (tromboksan, leukotrien,

asamhidroperoksieikosatetraenoat/HPETE dan asamhidroksieikosatetraenoat/HETE) diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua

jaringan. Umumnya bekerja lokal pada jaringan tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersikulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah (Mycek dkk, 2001)

Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, yaitu sesuai dengan enzim yang mencetuskan reaksi:

1. jalur siklooksigenase (COX)

Mula-mula dibentuk suatu endoperiksida siklik prostaglandin G2 (PGG2),

yang kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh peroksidase.

PGH2 sendiri sangat tidak stabil, lalu membentuk prostasiklin (PGI2) dan

prostaglandin F2 (PGF2). Aspirin dan agen antiinflamasi non steroid (AINS)

seperti indometasin menghambat siklooksigenase dan karena itu menghambat sintesis prostaglandin (Robbin dan Kumar, 1995).

Telah diteliti bahwa ada dua isoenzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Di dalam tubuh COX-1 merupakan bentuk yang lebih dominan. Enzim COX-1 disebut juga sebagai enzim “constitutive” yang mengubah PGH2 menjadi beberapa jenis

prostaglandin (PGE2, PGI2) dan tromboksan (TXA2) yang dibutuhkan dalam

fungsi homeostatis. Enzim COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan, antara lain di ginjal dan saluran cerna. Enzim COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang dan dalam sel-sel imun, sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan mengubah PGH2 manjadi PGE2 yang

berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim pertahanan. Tapi pada kenyataannya,, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yag dapat diinduksi. Menurut perkiraan, penghambatan COX-2 lebih memberikan efek antiinflamasi terhadap obat antinflamasi non steroid (Lelo, 2002).

2. jalur lipoksigenase

Jalur ini merupakan jalan lain. Reaksi awal pada jalur ini ialah adanya tambahan gugus hdroperoksi pada posisi karbon 5-, 12-, 15- yang oleh enzim masing-masing membentuk lipoksigenase-5, lipoksigenase-12, lipoksigenase-15. Lipoksigenase-5 merupakan enzim utama neutrofil dan

metabolit-metabolit hasil kerjanya berciri khas. Derivat 5-hidroperoksi asam arakhidonat yang disebut 5-HPETE, sangat tidak stabil dan direduksi sebagai 5- HETE (yang bekerja kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan dari 5-HPETE disebut leukotrien A4 (LTA4), kemudian oleh hidrolisis enzim membentuk leukotrien B4 (LTB4) atau

leukotrien C4 (LTCa) dengan penambahan glutation. Leukotrien C4 diubah

menjadi leukotrien D4 (LTD4) dan akhirnya menjadi leukotrien E4 (LTE4).

Leukotrien B4 merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi

neutrofil. Leukotrien C4 dan LTD4 menyebabkan vasokonstriksi, spasmus bronkus

dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Robbin, dan Kumar, 1995). Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam arakidonat dan titik tangkap kerja obat dapat dilihat pada gambar 3.

PGE2 (vasodilator; hyperalgesic) PGD2 (inhibits platelet aggregation; vasodilator) PGF2α (bronchoconstrictor; myometrial contraction) Phospholipid Glucocorticoids (induce lipocortin) Arachidonate Lyso-glyceril- phosphorylcholine Cyclic endoperoxides Phospholipase A2 PAF Antagonists Cyclo-oxygenase NSAIDs PAF (vasodilator; increases vascular permeability; bronchoconstrictor; chemotaxin) 5-HPETE LTA4 5-Lipoxygenase 5-Lipoxygenase inhibitors (e.g. zileutin) TXA2 Antagonists TXA2 (thrombotic; vasoconstrictor) TXA2 synthase inhibitors PGI2 (vasodilator; hyperalgesic; stops platelet aggregation) LTB4 Glucocorticoids inhibit induction Lipoxins A andB 12-HETE (chemotaxin) 12-Lipoxygenase 15-Lipoxygenase LTC4 LTD4 LTE4 (bronchoconstrictors; increase vascular permeability) Leukotriene receptor antagonists, e.g. zafirukast, montelukast PG antagonists

Gambar 3. Diagram mediator-mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipida beserta aksinya, serta titik tangkap kerja obat anti-inflamasi (Rang, Dale, Ritter dan Moore, 2003) Keterangan: PG = prostaglandin PGI2 = prostasiklin TX = troboksan LT = leukotrien

HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid PAF = platelet-activating factor

F. Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan steroid dan golongan non steroid (AINS). Golongan steroid bekerja dengan menghambat pembentukkan asam arakidonat dari fosfolipida oleh enzim fosfolipase, sehingga pembentukkan prostaglandin dan leukotrien tidak terjadi, obat antiinflamasi golongan non steroid menghambat sintesis prostaglandin di mana kedua jenis siklooksigenase (COX) dihambat (Tjay dan Rahardja, 2002). Sediaan AINS mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut struktur kimianya, tingkat keasaman, atau ketersediaan awal (pro-drug atau bukan). Meskipun secara umum, sebagai antiinflamasi AINS bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, namun sekarang AINS dikelompokkan menurut selektivitasnya dalam menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2, apakah selektif sebagai penghambat COX-1 atau non selektif (Lelo, 2002).

Golongan obat AINS ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Respon individual terhaap

AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan suatu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang berbeda.

Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat ini. Akhir-akhir ini efek toksik terhadap ginjal lebih banyak

dilaporkan sehingga fungsi ginjal perlu lebih diperhatikan pada penggunaan obat ini (Wilmana, 1995).

G. Natrium diklofenak ( Diklofenak-Na )

Diklofenak-Na termasuk turunan fenilasetat. Absorbsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak-Na diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada panderita tukak lambung. Peningatan enzim transaminase dapat terjadi pada 15% pasien dan pada umumnya kembali normal. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari, terbagi dalam 2 atau 3 dosis (Wilmana, 1995)

Diklofenak-Na termasuk NSAID yang terkuat daya antiiradang dengan efek samping yang kurang keras dibanding dengan obat antiinflamasi non steroid lainnya (indometasin, peroxicam). Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok (Tjay dan Rahardja, 2002).

Dokumen terkait