• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

H. Metode Uji Daya Antiinflamasi

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur daya antiiflamasi. Metode-metode itu antara lain dikemukakan oleh Evans dan Williamson (1996):

1. inflamasi (eritema dan udem) pada telinga hewan pengerat.

Pada metode ini digunakan mencit putih dewasa dengan berat badan lebih kurang 20 g untuk pengukuran eritema dan udem, sedangkan tikus untuk pengukuran udem. Iritan yang digunakan untuk menginduksi eritema atau udem antara lain: minyak kroton, asam arakhidonat, dan etil fenil propionate. Sebagai antagonisnya adalah ekstrak tanaman. Antagonis pembanding yang digunakan adalah indometasin, quersetin, atau thioanisol.

Dalam metode ini terdapat prosedur berupa perlakuan sebagai berikut: hewan uji dibagi dalam beberapa kelompok dimana setiap kelompok terdiri atas 5-7 hewan. Ekstrak tanaman atau bahan antiinflmasi diberikan pada ujung telinga menggunakan mikropipet kurang lebih 15 menit sebekum pemberian iritan (pada area yang sama). Uji eritema ini paling mudah dilakukan pada mencit karena mempunyai telinga yang transparan. Kemudian dilakukan penilaian eritema dengan melakukan pengamatan pada bagian telinga mencit. Juka terjadi eritema yang nyata diberi tanda ++, jika eritemanya sedikit (ringan) diberi tanda +, dan jika tidak terjadi ertitema 0. Penilaian udem dilakukan dengan memotong salah satu telinga lalu ditimbang dan diukur ketebalannya.

2. uji udema pada telapak kaki tikus

Hewan uji yang digunakan adalah tikus dengan berat badan 120-180 g. Bahan penginduksi radang yang digunakan adalah karagenin 1% dalam NaCl 0,9% b/v dengan volume sebesar 0,1 ml untuk tikus dan 0,05 ml untuk mencit; kapsaisin 1-10 µg/kg dalam 10% atau dalam tween 80 atau NaCl 0,9%; dekstrin 6% b/v dalam gom akasia 2% b/v sebanyak 0,1 ml; dan kaolin yang disuspensikan dalam NaCl 0,9% atau gom arab 0,9%.

Adapun prosedur dari metode ini sebagai berikut: hewan uji dibagi dalam beberapa kelompok dimana setiap kelompok terdiri atas 6-8 ekor hewan. Ekstrak tanaman diberikan satu jam sebelum bahan peradang diberikan secara oral atau 30 menit sebelumnya jika diberikan secara intra perotonial. Kemudian penghambatan dari udema kaki digunakan sebagai ukuran aktivitas antiinflamasi. Udema kaki terbentuk karena injeksi subplantar bahan peradang pada kaki kanan belakang. Volume telapak kaki diukur pada selang waktu 1 jam sampai 5 jam. Pada mencit, pengukuran umumnya dilakukan dengan mengorbankan mencit lalu memotong kaki pada pergelangannya, selanjutnya udema diukur dengan membandingkan volume kaki yang dibengkakkan dengan kaki yang tidak dibengkakkan.

3. uji induksi arthritis pada tikus atau mencit

Hewan uji yang digunakan adalah tikus galur Charles foster dengan berat badan 120-180 g dan mencit galur Swiss dengan berat badan 18-26 g. Prosedur dari metode ini adalah membagi mencit beberapa kelompok dimana tiap kelompok terdiri atas 5 ekor per dosis. Induksi artritis dilakukan dengan menginjeksikan suatu bahan, biasanya suspensi Mycobacterium tubercullosis

(yang sudah dimatikan) 0,5% b/v dalam parafin cair secara intradermal pada kaki belakang (0,05 ml untuk tikus dan 0,025 ml untuk mencit). Obat antiinflamasi diberikan sehari sebelum injeksi bahan penginduksi artritis dan dilanjutkan sesuai yang diinginkan sampai 28 hari, untuk memberikan informasi tentang perkembangan artritis dan pengobatan kronik. Pengukuran dilakukan ketika pembengkakan muncul (biasanya pada hari ke-13) menggunakan metode pemindahan volume seperti pada uji udema. Ekstrak tanaman yang diuji disuspensikan dalam gom akasia atau pelarut yang lain yang sesuai.

Selain metode-metode di atas ada pula metode-metode lain: a. tes granuloma

Hewan uji yang digunakan berupa tikus betina galur Wistar dengan berat badan rata-rata 150 g, diinjeksi secara subkutan dengan 25 ml udara, kemudian diinjeksikan 0,5 ml minyak kapas sebagai senyawa kimia yang merangsang pembentukan udema. Hari kedua setelah pembentukkan kantong, udara dihampakan. Pada hari ketiga, kantong ditekan secara manual untuk mencegah terjadinya perlekatan. Pada hari keempat, kantong dibuka dan cairan eksudat disedot lalu volumenya diukur (Turner, 1965).

b. percobaan invitro

Percobaan invitro ini berdasarkan pada kemampuan suatu obat untuk melepaskan diri dari proses oksidasi fosforilasi, tetapi tidak semua penghambatan eksudasi fosforilasi adalah antiinflamasi, misalnya 2,4- dinitrofenol.

Adapun metode yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada konsep metode Langford et al. yang telah dimodifikasi. Perbedaannya dengan metode Langford et al adalah pada penggunaan zat peradang serta perlakuan pada kaki bagian belakang, yaitu menggunakan zat peradang suspensi ragi 5%; dan pada kedua kaki bagian belakang diberi perlakuan yang sama (kedua kaki bagian belakang disuntik zat peradang, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol), sedangkan pada penelitian ini zat peradang yang digunakan adalah suspensi karagenin 1%; perlakuan kaki bagian belakang berbeda antara kaki kiri dan kanan (kaki kiri disuntik suspensi karagenin 1% subplantar, sedangkan kaki kanan disuntik subplantar tanpa karagenin sebagai kontrol).

Perhitungan besar kecilnya efek/respon antiinflamasi (yang dinyatakan dalam daya, karena menunjukkan kuantitas) menurut metode Langford dinyatakan sebagai berikut:

Persen (%) daya antiinflamasi =

D D U

x 100%

Keterangan :

U: rata-rata berat kaki kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

D: rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

Perhitungan tersebut setelah dianalisis lebih lanjut, ternyata terdapat perbedaan dengan cara perhitungan yang digunakan oleh Inaktia (2005), yaitu dengan menghitung selisih rata-rata berat kaki kelompok karagenin dengan rata- rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan rata-rata berat kaki kelompok karagenin (kelompok karagenin merupakan kelompok kontrol negatif),

sehingga rumus untuk perhitungan persen daya antiinflamasinya adalah sebagai berikut:

Persen (%) daya antiinflamasi =

U D U

x 100%

Keterangan :

U: rata-rata berat kaki kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( kaki kanan )

D: rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( kaki kanan )

Sebenarnya dasar pemikiran dari kedua cara perhitungan ini adalah sama, dimana dengan bentuk lain ditulis sebagai berikut:

Persen (%) daya antiiflamasi =

D D U − x 100% = D U - 1 x 100% (Langford et al, 1972)

Persen (%) daya antiinflamasi =

U D U − x 100% = 1 - U D x 100% Keterangan :

U: rata-rata berat kaki kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( kaki kanan )

D: rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal ( kaki kanan )

Letak perbedaannya adalah bahwa pada metode Langford, persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan merupakan hasil selisih rata-rata berat kaki

kelompok karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan, sedangkan pada cara perhitungan yang digunakan oleh (Inaktia, 2005) adalah persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan merupakan hasil perbandingan selisih rata-rata berat kaki kelompok karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan rata-rata berat kaki kelompok karagenin. Kedua cara perhitungan ini sama-sama dapat memberikan hasil negatif (-) bila harga U < D.

I. Landasan teori

Inflamasi adalah suatu usaha tubuh untuk menginaktifasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan (Mycek dkk, 2001). Reaksi inflamasi yang diinduksi karagenin mempunyai dua fase: fase awal dan akhir. Fase awal berakhir setelah 60 menit dan dihubungkan dengan pelepasan histamin, serotonin, dan bradikinin. Fase akhir terjadi antara 60 menit setelah injeksi dan berakhir setelah tiga jam. Fase ini dihubungkan dengan pelepasan prostaglandin dan neutrofil yang menghasilkan radikal bebas, seperti hidrogen peroksida, superoksida, dan radikal hidroksil (Suleyman, Demircan, dan Karagoz, 2004).

Ketika terjadi peradangan dan nyeri maka akan dibebaskan pula radikal– radikal oksigen yang mampu memperparah peradangan dengan cara mengambil elektron–elektron dalam sel–sel di sekitar radang sehingga sel–sel tersebut akan mengalami degenerasi bahkan mutasi (Anonim, 2002). Dengan adanya antioksidan yang dapat mencegah terbentuknya prostaglandin dan menetralkan

radikal–radikal bebas di sekitar lokasi radang dan nyeri maka kerusakan jaringan berlebih dapat dikurangi (Tjay dan Rahardja, 2002).

Dalam buah tomat mengandung suatu antioksidan penting yang mempunyai kekuatan yang besar untuk mencegah terjadinya oksidasi, senyawa tersebut adalah likopen. Likopen sendiri bekerja dengan memberikan elektronnya kepada radikal–radikal bebas sehingga radikal–radikal bebas tersebut menjadi stabil. Tomat sendiri banyak digunakan untuk menjaga daya tahan tubuh dengan menangkal radikal–radikal bebas yang masuk ke tubuh.

Likopen terbukti dapat menetralisir reaksi oksidasi yang terjadi pada LDL (Tjandrawinata, 2003), dimana likopen menghambat oksidasi LDL-C menjadi ox-LDL sehingga akan mengurangi produksi ROS (Radical Oxygen Spesies) serta memperbaiki disfungsi endotel (Suryadipraja cit Inaktia, 2005).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, diharapkan likopen yang terkandung dalam jus tomat dapat mencegah sintesis prostaglandin dan menetralkan radikal–radikal bebas di sekitar lokasi peradangan sehingga gejala inflamasi yang terukur dapat diturunkan. Dengan demikian diharapkan jus tomat memiliki efek antiinflamasi.

Dokumen terkait