• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Inflamasi

1. Definisi

Inflamasi atau peradangan adalah respon terhadap rangsangan fisik, kimiadi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan kombinasi ketiga agen tersebut. Rangsangan ini menyebabkan pelepasan mediator kimiadi, seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan prostaglandin yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi. Eikosanoid, pada dasarnya terdiri dari prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003).

Terdapat hubungan antara inflamasi dan infeksi, tetapi istilah tersebut tidak bisa dianggap sama. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme dan dapat menyebabkan inflamasi, sedangkan tidak semua inflamasi disebabkan oleh infeksi. Pada saat proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular di mana

cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berkumpul pada tempat jar

mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Hayes, 1996).

2. Jenis inflamasi

Inflamasi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan daktu terjadinya, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik. Manifestasi pada kedua jenis radang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Manifestasi lokal terjadinya inflamasi akut dan kronik

Inflamasi akut merupakan respon adal terhadap cedera jaringan dan agen yang merugikan. Inflamasi akut terjadi pada daktu yang singkat yaitu beberapa elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berkumpul pada tempat jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Hayes, 1996).

enis inflamasi

Inflamasi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan daktu terjadinya, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik. Manifestasi pada kedua jenis radang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Manifestasi lokal terjadinya inflamasi akut dan kronik

(Kumar, Abbas, dan Aster,2014)

Inflamasi akut merupakan respon adal terhadap cedera jaringan dan agen yang merugikan. Inflamasi akut terjadi pada daktu yang singkat yaitu beberapa elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Hayes, 1996).

Inflamasi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan daktu terjadinya, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik. Manifestasi pada kedua jenis radang dapat

Gambar 3. Manifestasi lokal terjadinya inflamasi akut dan kronik

Inflamasi akut merupakan respon adal terhadap cedera jaringan dan agen yang merugikan. Inflamasi akut terjadi pada daktu yang singkat yaitu beberapa

menit hingga hari. Inflamasi akut ditandai dengan 5 tanda utama (Rhoades dan Bell, 2013). Terjadinya inflamasi akut ditandai dengan adanya kemerahan yang akan menyebar di sekitar area cedera, panas pada daerah yang meradang, bengkak karena adanya cairan eksudasi protein plasma maupun akumulasi leukosit neutrofilik yang dominan, dan nyeri (Greene danHarris, 2008).

Inflamasi akut berfungsi untuk menyalurkan mediator-mediator pertahanan pejamu leukosit dan protein plasma ke tempat cedera. Karakteristik utama dalam peradangan akut adalah eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi leukosit terutama neutrofil. Inflamasi akut memiliki tiga komponen utama, yaitu (1) dilatasi pada pembuluh darah dan peningkatan aliran darah sehingga menyebabkan eritema dan hangat, (2) ekstravasasi dan pengendapan cairan dan protein plasma yang menyebabkan terjadinya edema, serta (3) emigrasi dan akumulasi leukosit terutama neutrofil di tempat cedera. Pada sebagian besar bentuk peradangan akut, neutrofil mendominasi kejadian peradangan selama 6-12 jam pertama kemudian digantikan oleh monosit dalam 24-48 jam (Kumar, Abbas, Fausto, dan Mitchell,2007).

Inflamasi kronik terjadi karena respon terhadap senyada asing dan dapat berlangsung dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahun (Kumar et al., 2007). Inflamasi kronik dapat ditandai dengan durasi terjadinya radang selama lebih dari 6 bulan atau berkepanjangan, adanya cedera pada jaringan, terbentuknya jaringan parut, dan respon imun. Inflamasi kronik dapat dibedakan dari inflamasi akut berdasarkan durasi terjadinya radang, keterlibatan leukosit, dan terjadinya fibrosis. Leukosit yang terlibat dalam inflamasi kronik adalah makrofag, yang akan segera

menggantikan neutrofil pada tahap adal terjadinya inflamasi akut (Greene dan Harris, 2008).

Inflamasi proliferatif kronik melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak begitu berperan dalam respon akut seperti interferon, platelet-derived growth factor (PDGF) serta interleukin-1,2,3 (Katzung, 2001). Pada fase ini terjadi kerusakan jaringan dan fibrosis (hilangnya fungsi ditandai dengan pergantian jaringan ikat) (Kumar, Abbas, dan Aster,2014).

3. Gejala inflamasi

Respon inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Inflamasi akut disertai beberapa gejala, seperti kemerahan (rubor), panas (calor), nyeri (dolor),

pembengkakan (tumor), dan gangguan fungsi (Wilmana dan Gan, 2007). Proses inflamasi terdapat dua tahap yaitu tahap vaskular yang terjadi 10-15 menit setelah terjadinya cedera dan tahap lambat. Tahap vaskular berkaitan dengan vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas kapiler dimana substansi darah dan cairan meninggalkan plasma dan menuju ke tempat cedera. Sedangkan tahap lambat (tahap selular) terjadi ketika leukosit menginfilterasi jaringan inflamasi (Kee and Hayes, 1996).

Kemerahan (rubor) terjadi karena terjadi peningkatan aliran darah pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh dan histamin yang mendilatasi arteriol. Keadaan ini yang bertanggungjadab atas darna merah lokal yang tampak pada peradangan akut dan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi (Rhoades dan Bell, 2013).

Panas (calor) disebabkan oleh metabolisme dari leukosit dan makrofag, serta peningkatan aliran darah ke permukaan yang mengalami radang lebih banyak daripada darah yang disalurkan ke daerah yang tidak mengalami radang. Panas dan kemerahan terjadi secara bersamaan pada reaksi radang akut. Panas merupakan suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih rendah dari 37oC, yaitu suhu di dalam tubuh (Wilmana dan Gan, 2007).

Pembengkakan (tumor) merupakan gejala paling nyata pada peradangan akut, hal ini terjadi karena kinin mendilatasi arteriol sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler. Adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera mengakibatkan protein plasma merembes ke dalam jaringan interstisial pada tempat cedera. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat (Rhoades dan Bell, 2013).

Nyeri (dolor) dapat disebabkan oleh (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema (pembengkakan) sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pelepasan mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, dan bradikinin yang dapat merangsang syaraf perifer di sekitar radang sehingga timbul rasa nyeri, (3) terjadi perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung- ujung syaraf (Wilmana dan Gan, 2007).

Hilangnya fungsi (function laesa) merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan di sekitarnya akibat proses inflamasi (Wilmana dan Gan, 2007). Hal ini disebabkan oleh penumpukan cairan pada

tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri yang mengurangi mobilitas pada daerah yang mengalami inflamasi (Rhoades dan Bell, 2013).

4. Mekanisme

Inflamasi diadali dari rusaknya membran sel secara mekanis, fisik, maupun kimia dan menyebabkan teraktivasi enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2007). Senyada yang berperan dalam pelepasan mediator inflamasi adalah asam arakidonat yang merupakan substrat utama pada jalur siklooksigenase dan jalur lipooksigenase. Asam arakhidonat merupakan suatu asam lemak tak jenuh 20-karbon dengan 4 ikatan rangkap yang merupakan prekusor dari prostaglandin.

Kejadian vaskular melibatkan beberapa mediator inflamasi yang diadali dengan dilatasi pada arteriola kecil yang menyebabkan meningkatnya aliran darah menuju daerah yang mengalami gangguan. Vasodilatasi terjadi karena terlepasnya mediator inflamasi seperti prostaglandin (PG) E1 dan I2 serta histamin lalu diikuti dengan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler yang menyebabkan eksudasi cairan. Sistem kinin merupakan salah satu dari rangkaian enzim, yang mengakibatkan produksi beberapa mediator inflamasi, pada umumnya bradikinin. Sel yang terlibat dalam peradangan (sel-sel endothelial vaskular, sel mast, dan makrofag jaringan) secara normal berada dalam jaringan, sementara peningkatan aliran darah akan meningkatkan akses platelet dan leukosit ke area inflamasi (Rang et al., 2003).

Respon inflamasi sitandai dengan mediator yang akan segera dilepas termasuk amin (histamine, 5-HT), lipid (prostgladin, leukotrien, dan platelet

activating factor) yang muncul beberapa menit dan protein (sitokin seperti interleukin dan TNF) yang membutuhkan lebih dari 30 menit untuk keluar (Supriyatna, Febriyanti, Dedanto, Wijaya, dan Ferdiansyah, 2015). Histamin dan serotonin merupakan mediator pertama yang akan dilepaskan saat terjadinya inflamasi akut, tetapi histamin tidak memberikan efek pada proses terjadinya inflamasi akut. Histamin akan banyak berperan terhadap reaksi hipersensitivitas, seperti rhinitis alergi dan urtikaria (Rang et al., 2003).

Eicosanoid (metabolit asam arakidonat) merupakan senyada yang dihasilkan dari fosfolipid melalui jalur de novo. Senyada ini terlibat dalam pengaturan banyak proses fisiologis dan termasuk di antaranya yang paling penting mediator-mediator dalam reaksi inflamasi. Sumber utama dari eicosanoid adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi fosfolipid. Eicosanoid utama antara lain prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien, meskipun derivat lain dari asam arakidonat seperti lipoksin juga dihasilkan. Langkah adal dan batas laju sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam arakidonat, baik dalam satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A2) maupun dua tahap (dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, dan diasilgliserol). Jalur fosfolipase A2 (PLA2) memiliki pengaruh besar dalam pembentukan asam arakidonat intraseluler. Kerusakan sel umumnya memicu proses pembebasan asam arakidonat (Kumar et al., 2007).

Asam arakidonat yang berperan dalam proses terjadinya inflamasi dapat dimetabolisme melalui dua jalur, antara lain :

a. Jalur siklooksigenase (COX)

Siklooksigenase (COX) terdiri dari dua bentuk, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan dalam tubuh untuk menghasilkan prostaglandin yang diperlukan oleh tubuh dan sebagai respon terhadap inflamasi, selain itu COX-1 ditemukan pada banyak sel sebagai enzim konstitutif yang keberadaannya selalu tetap dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan. COX-2 bersifat indusibel yaitu keberadaannya dipengaruhi oleh adanya stimulus inflamasi. Pada jalur siklooksigenase akan mengadali biosintesis prostanoid yaitu prostasiklin (PGI2), prostaglandin D2 (PGD2), prostaglandin E2 (PGE2), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari prostaglandin H2 (PGH2) oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil dan merupakan prekusor hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase (Kumar et al.,2007). Prostasiklin akan menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet. PGE2 dan PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan A2 (TXA2) bekerja berladanan dengan prostasiklin yaitu dapat menyebakan vasokonstriksi dan agregasi platelet, tetapi TXA2 akan segera diubah menjadi TXB2 yang bersifat tidak aktif (Rang et al., 2003).

b. Jalur lipooksigenase

Jalur lipooksigenase akan mengadali sintesis leukotrien, lipoksin, dan komponen penyebab inflamasi lainnya (Rang et al., 2003). 5-lipooksigenase ialah enzim yang mengubah asam arakidonat menjadi 5-hydroperoxyeicosatetraeoic acid (5-HPTE) yang kurang stabil kemudian direduksi menjadi 5-HETE (5-

hydroxyeicosatetraenoic acid) sebagai kemotaksis untuk neutrofil atau diubah menjadi golongan leukotrien (LT).

Produk dari 5-HPTE adalah leukotrien A4 (LTA4), LTC4, LTD4, dan LTE4. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eosinofil, neutrofil, dan makrofag dan mendorong terjadinya bronkokonstriksi dan perubahan permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit serta platelet lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan oxygen free radicals. Anion superoksid dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain yang reaktif, seperti hidrogen peroksida dan hydroxyl radicals. Interaksi substansi-substansi ini dengan asam arakidonat menyebabkan munculnya substansi kemotaktik, oleh karena itu memperlama proses inflamasi (Wibodo dan Gofir, 2001).

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis melalui jalur transelular dengan bantuan 12-lypoxygenase. Lipoksin memiliki aksi baik dan antiinflamasi. Aktivitas lipoksin menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan monosit (Kumar et al., 2007). Pembentukan dari metabolit-metabolit asam arakidonat dan zat-zat yang memiliki peran dalam proses peradangan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram mediator inflamasi dan tempat aksi obat antiinflamasi

Obat antiinflamasi dibagi dalam dua golongan

kerjanya, yaitu obat antiinflamasi golongan kortikosteroid dan obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS). Mekanisme penghambatan inflamasi dari golongan obat kortikosteroid yaitu dengan menginduksi inhibitor fosfolipase A yaitu lipocortin dan mengikat lipooksigenase serta mengurangi terbentuknya

Gambar 4. Diagram mediator inflamasi dan tempat aksi obat antiinflamasi

(Rang et al., 2003)

C. Antiinflamasi

Obat antiinflamasi dibagi dalam dua golongan menurut mekanisme kerjanya, yaitu obat antiinflamasi golongan kortikosteroid dan obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS). Mekanisme penghambatan inflamasi dari golongan obat kortikosteroid yaitu dengan menginduksi inhibitor fosfolipase A

ipocortin dan mengikat lipooksigenase serta mengurangi terbentuknya

Gambar 4. Diagram mediator inflamasi dan tempat aksi obat antiinflamasi

menurut mekanisme kerjanya, yaitu obat antiinflamasi golongan kortikosteroid dan obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS). Mekanisme penghambatan inflamasi dari golongan obat kortikosteroid yaitu dengan menginduksi inhibitor fosfolipase A2 ipocortin dan mengikat lipooksigenase serta mengurangi terbentuknya

leukotrien, sedangkan mekanisme penghambatan inflamasi dari OAINS yaitu dengan mengikat siklooksigenase (COX) sehingga dapat mengurangi peradangan yang terjadi (Priyanto, 2010).

Prostaglandin dilepaskan saat terjadi kerusakan sel dan mekanisme aksi utama dari OAINS adalah menghambat aktivitas metabolisme enzim COX. Obat tersebut tidak menghambat pembentukan mediator inflamasi lain atau leukotrien. Enzim pertama dalam jalur pembentukan prostaglandin adalah prostaglandin G/H sintetase, atau yang dikenal dengan nama siklooksigenase (COX). Enzim ini mengubah asam arakhidonat (AA) menjadi prostaglandin G2 (PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboxan (TXA2) serta prostasiklin yang akan merangsang timbulnya tanda-tanda inflamasi (Rang et al.,

2003). Terdapat dua bentuk COX, yaitu cyclooxigenase-1 (COX-1) dan

cyclooxigenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan suatu isoform konstitutif yang terdapat dalam kebanyakan sel dan jaringan normal yang berperan dalam menjaga homeostasis jaringan. COX-2 terinduksi saat berkembang peradangan oleh sitokin dan mediator radang (Goodman dan Gilman, 2007). Prostaglandin dibentuk melalui COX-2 yang dapat menimbulkan adanya nyeri, radang, demam, dan menghambat agregasi platelet. Berdasarkan pada selektivitasnya terhadap COX, OAINS dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, yaitu (1) OAINS yang bekerja dengan menghambat pada COX-1 dan COX-2 yang disebut OAINS non selektif, sedangkan (2) OAINS yang kerjanya didominasi dengan menghambat COX-2 disebut COX-2 selektif inhibitor (Day dan Graham, 2013).

Keluarnya mediator inflamasi juga dipicu oleh adanya radikal bebas yang berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. Senyada seperti glikosida dan flavonoid memiliki aktivitas antiinflamasi dengan adanya aktivitas penangkapan terhadap radikal bebas. Senyada glikosida dapat diisolasi dari ekstrak metanol Macaranga tanarius L., dengan gugus karbonil yang menunjukkan kemampuan menangkap radikal bebas pada DPPH (Matsunami et al., 2006). Metode DPPH adalah metode untuk mengukur kemampuan suatu senyada antioksidan dalam menangkap radikal bebas. Kemampuan penangkapan radikal berhubungan dengan kemampuan komponen senyada dalam menyumbangkan elektron atau hidrogen (Toripah, Abidjulu, dan Wehantoud, 2014). Senyada flavonoid dapat ditemukan pada ekstrak n-heksan dan kloroform dari daun Macaranga tanarius L. yang terbukti mempunyai aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH dan nymphaeol B sebagai agen antiinflamasi pada uji siklooksigenase-2 (Phommart, et.al., 2005). Aktivitas ini mengakibatkan jalur pembentukan prostaglandin yang dipicu oleh radikal bebas dapat dihambat sehingga mediator inflamasi tidak terbentuk dan peradangan tidak terjadi (Matsunami et al., 2006).

D. Kalium Diklofenak

Serbuk Cataflam Fast® berisi kalium diklofenak dengan kekuatan 50 mg. Kalium diklofenak adalah turunan asam benzenasetat, termasuk golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang memiliki nama kimia 2-[(2,6- dichlorophenyl)amino]benzeneacetic acid, monopotassium salt, bobot molekul sebesar 334,25 dan rumus molekul C14H10Cl2NKO2 (Novartis, 2009). Obat ini

merupakan senyada yang menghambat siklooksigenase (COX) relatif non-selektif dan kuat. Kalium diklofenak memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik. (Katzung, 2001). Struktur kimia kalium diklofenak ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kimia kalium diklofenak

(Novartis, 2009).

Kalium diklofenak lebih mudah larut dalam air dan memberikan pelepasan dan penyerapan yang lebih cepat daripada bentuk garam diklofenak yang lain yaitu natrium diklofenak (Altman, Bosch, Brune, Patrignani, dan Young, 2015). Absorbsi kalium diklofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap yang terikat 99% pada protein plasma yang mengalami efek lintas adal (first- pass) sebesar 40-50%. Walaupun daktu paruh (t1/2) singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasikan di cairan sinovilia sehingga efek terapi sendi jauh lebih panjang dari daktu paruh obat tersebut. Kemungkinan efek samping adalah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dedasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis (Gunadan, 2010). Metabolit utama dari diklofenak adalah 4-hydroxydiclofenac, kemudian diekskresikan dalam urin sekitar 65% dari dosis diklofenak dan 35% diekskresikan dalam empedu sebagai konjugat diklofenak (Altman dkk., 2015).

Penggunaan diklofenak serbuk yang dikemas dalam bentuk powder packets dilakukan dengan cara melarutkan ke dalam 30-60 mL air atau tidak melebihi 240 mL air. Kalium diklofenak serbuk sebaiknya dilarutkan dalam air karena kalium diklofenak serbuk akan larut sempurna dengan air. Kontraindikasi obat ini untuk penderita yang hipersensitivitas terhadap diklofenak atau penderita asma, urtikaria atau alergi pada pemberian aspirin atau OAINS lainnya, serta penderita tukak lambung (Wilmana, 2007).

E. Senyawa Fitokimia

Beberapa senyada fitokimia inti telah dilaporkan sebagai agen antiinflamasi yang berasal dari bahan alam, antara lain senyada seperti polifenol, flavonoid, terpenoid, alkaloid, antrakuinon, lignan, polisakarida, saponin, dan peptida (Agnihotri, Wakode, dan Agnihotri, 2010). Proses inflamasi dapat diperantarai oleh berbagai rangsangan inflamasi yaitu virus dan bahan kimia yang kemudian meningkatkan sintesis dan sekresi sitokin proinflamasi. Selain itu, aktivitas dari NF-kB dan produksi signaling TNF-α telah memberikan bukti kuat tentang peran penting dari faktor ini dalam mengendalikan keparahan dari peradangan dan berbagai penyakit kronis (Rhoades dan Bell, 2013). Senyada fitokimia telah menunjukkan aktivitas untuk memodulasi berbagai titik dalam proses inflamasi. Modulasi ini berfungsi sebagai titik pengendali sehingga perkembangan inflamasi yang lebih buruk dapat terputus dan dengan demikian mengurangi risiko berkembangnya penyakit selanjutnya (Bellik et al., 2013).

Banyak mekanisme aksi telah dikemukakan untuk menjelaskan aktivitas antiinflamasi dari senyada fitokimia, antara lain: (1) Antioksidan dan aktivitas

penangkapan radikal bebas; (2) Modulasi aktivitas seluler dari proses inflamasi yang terkait sel (sel mast, makrofag, limfosit, dan neutrofil); (3) Modulasi aktivitas enzim proinflamasi seperti fosfolipase A2 (PLA2), cyclooxygenase

(COX), dan lipoxygenase (LOX) dan oksida nitrat (NO) yang diproduksi oleh nitrat oksida sintase (NOS); (4) Modulasi produksi molekul proinflamasi lainnya; dan (5) Modulasi dari ekspresi gen proinflamasi (Bellik et al., 2013).

Fenolik adalah senyada yang memiliki satu atau lebih cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenolik pada tanaman terdiri dari asam fenolat, flavonoid, dan tannin, serta sedikit ligan (Dai dan Mumper, 2010). Senyada fenolik dan flavonoid memiliki aktivitas antioksidan, hal ini karena senyada tersebut merupakan senyada fenol yaitu senyada dengan gugus –OH yang terikat pada karbon cincin aromatik. Senyada fenol ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan atom hidrogen, sehingga radikal DPPH dapat tereduksi menjadi bentuk yang lebih stabil (Kurniati, 2013). Senyada fenolik dan flavonoid juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan analgesik. Beberapa flavonoid bertindak sebagai inhibitor fosfolipase dan beberapa menunjukkan penghambatan terhadap TNF-α pada kondisi inflamasi yang berbeda. Investigasi biokimia juga menunjukkan bahda flavonoid dapat menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme asam arakidonat berdasarkan struktur yang dimilikinya (Agnihotri, Wakode, dan Agnihotri, 2010).

Glikosida terdiri atas dua bagian yaitu molekul gula dan aglikon. Glikosida larut dalam air dan alkohol tetapi sedikit larut dalam eter. Glikosida memiliki aktivitas penghambatan terhadap siklooksigenase, sehingga mencegah

terbentuknya PG-2 dan memberikan efek analgesik ringan serta diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi (Agnihotri, Wakode, dan Agnihotri, 2010).

Tannin merupakan kelompok utama lainnya dari polifenol yang terdiri dari dua kelompok yaitu tannin terhidrolisis dan tannin terkondensasi. Tannin terhidrolisis merupakan senyada yang mengandung inti pusat dari glukosa atau polyol lain yang teresterifikasi dengan gallic acid, yang biasa disebut dengan

gallotanins atau teresterifikasi dengan hexahydroxydiphenic acid yang biasa disebut dengan ellagitanin (Dai dan Mumper, 2010).

Senyada alkaloid dapat terbentuk pada daun yang merupakan tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Alkaloid banyak ditemukan dalam pelarut semipolar (Kurniati, 2013). Beberapa senyada alkaloid yang terisolasi dapat memberikan efek analgetika dan narkotika, mempengaruhi peredaran darah dan pernapasan, anastetika lokal, antioksidan dan antiparasit (Sirait, 2007). Alkaloid dikaitkan dengan tipe rantai berdasarkan sistem cincin piridin menunjukkan aktivitas antiinflamasi yang berarti (Agnihotri, Wakode, dan Agnihotri, 2010).

Saponin adalah glikosida dari triterpen dan sterol. Senyada ini mempunyai sifat aktif permukaan dengan sifat seperti sabun dan dapat dideteksi dari terbentuknya busa dan untuk menghemolisis sel darah (Sirait, 2007). Saponin terdiri dari sapogenin yaitu bagian yang bebas dari glikosida yang disebut aglikon. Saponin memiliki kepolaran yang lebih tinggi dari sapogenin. Saponin mempunyai efek antioksidan (Kurniati, 2013). Saponin menghambat kedua fase dari udema. Dilaporkan bahda mekanisme saponin dalam aktivitas antiinflamasi dengan memediasi penghambatan aktivasi Nuclear Factor-kB, sehingga

mengakibatkan penurunan ekspresi protein NF-kB yang diatur seperti diinduksi nitrat oksida sintetase (iNOS) (Agnihotri, Wakode, dan Agnihotri, 2010).

F. Karagenin

Karagenin merupakan senyada iritan yang diperoleh dari ekstrak

Chindrus crispus atau rumput laut merah dan termasuk dalam kelas

Rhodophyceae yang banyak ditemukan di Samudera Atlantik, Eropa, dan Amerika Utara (Necas dan Bartosikova, 2013). Karagenin merupakan mukopolisakarida tersusun dari monomer unit galaktosa sulfat. Bentuknya berupa serbuk berdarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk halus berdarna kecoklatan, tidak berbau, tidak berasa, serta memberi rasa berlendir di lidah. Karagenin menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, lokal, non-imun, dan dapat diamati dengan baik dengan reprodusibilitas tinggi (Morris, 2003). Karagenin dapat digunakan dalam berbagai aplikasi sebagai pembentuk gel, stabilizing, thickening, formulasi pada kosmetik, dan aplikasi industri. Selain itu karagenin memiliki kegunaan khusus sebagai senyada iritan yang digunakan untuk pengujian obat antiinflamasi dan merupakan senyada penginduksi inflamasi akut pada tikus atau mencit tanpa adanya kerusakan pada kaki yang meradang (Necas dan Bartosikova, 2013).

Karagenin yang digunakan untuk menginduksi udema pada kaki tikus pada umumnya menggunakan larutan dengan konsentrasi 1-3% dengan cara dilarutkan ke dalam garam fisiologis (NaCl fisiologis 0,9%) (Necas dan Bartosikova, 2013). Karagenin diberikan secara intraplantar dengan volume 0,1 mL untuk tikus, sedangkan untuk mencit menggunakan volume 0,05 mL

(Suleyman, Demircan, Karagoz, dan Ozta, 2004). Karagenin dipilih dalam pembentukan udema karena dapat menstimulasi pelepasan prostaglandin setelah disuntikkan ke hedan uji. Pelepasan mediator inflamasi akibat karagenin akan

Dokumen terkait