• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA

D. Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial pada daerah cedera atau nekrosis (Price dan Wilson, 1992). Menurut Bellanti (1993), inflamasi dapat dipandang sebagai satu seri peristiwa kompleks

yang berkembang bila tubuh mendapat injuri secara mekanik atau agen kimia atau oleh proses penghancuran diri (autoimun).

Inflamasi secara umum dibagi dalam 3 fase, yakni : inflamasi akut, respon imun, dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui mekanisme pelepasan mediator kimia dan pada umumnya didahului oleh pembentukan respon imun (Katzung, 2002).

Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis . Akibat dari respon imun bagi hospes mungkin menguntungkan, sebab organisme penyerang difagositosis atau dinetralisir, sebaliknya akibat tersebut juga dapat merusak bila menjurus pada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses cedera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam respon akut seperti interferon, PDGF (platelet-derived growth factor) serta interleukin-1,2,3 (Katzung, 2002).

Gejala reaksi radang yang dapat diamati :

1. Rubor/kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar akibat adanya pelepasan mediator kimia yakni histamin (Kee dan Hayes, 1996). Dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat

terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Price dan Wilson, 1992).

2. Tumor/pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi yang timbul akibat pengiriman cairan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan radang (Wilmana, 1995). Oleh karena kinin mendilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka plasma merembes ke dalam jaringan interstisial pada tempat cedera (Kee dan Hayes, 1996).

3. Calor/panas, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi peradangan akut. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan tubuh yang terkena daripada yang disalurkan ke daerah normal (Price dan Wilson, 1992). Panas juga mungkin dapat disebabkan pirogen yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus (Kee dan Hayes, 1996).

4. Dolor/rasa sakit, dari reaksi peradangan ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1992).

5. Fungtio Laesa/hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee dan Hayes, 1996).

Gejala-gejala ini merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan dalam pembuluh pengalir terminal, gangguan keluarnya plasma darah (eksudasi) ke dalam ruang ekstra sel akibat meningkatnya ketetapan kapiler dan perangsangan reseptor nyeri. Reaksi ini disebabkan oleh pembebasan bahan-bahan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin dan kinin) (Mutschler, 1991).

Penyebab inflamasi banyak sekali dan beraneka ragam, dan penting sekali untuk diketahui bahwa inflamasi dan infeksi itu tidak sinonim. Yang dimaksud dengan infeksi adalah adanya mikroorganisme hidup dalam jaringan. Infeksi ini hanya merupakan salah satu penyebab dari inflamasi. Inflamasi dapat terjadi dengan mudah pada keadaan steril sempurna, seperti sewaktu sebagian jaringan mati karena hilangnya suplai darah (Price dan Wilson, 1992). Pengaruh yang sifatnya merusak sel sering juga disebut noksi. Noksi dapat berupa noksi kimia (obat-obatan), noksi fisika (panas atau dingin yang berlebihan, radiasi, benturan), serta infeksi dengan mikroorganisme atau parasit (Mutschler, 1991).

Pada proses peradangan terjadi pembentukan dan atau pengeluaran zat-zat kimia didalam tubuh yang dinamakan mediator. Mediator ini merupakan aspek penting dalam proses peradangan. Mediator yang dikenal pada proses inflamasi dapat digolongkan ke dalam kelompok amina vasoaktif, substansi yang dihasilkan

oleh sistem enzim plasma, metabolit asam arakhidonat, dan berbagai macam produk sel (Price dan Wilson, 1992).

Amina vasoaktif yang paling penting histamin, yang mampu menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Histamin merupakan bentuk dasar amin dari histidine decarboxylase, disimpan di granul dalam sel mast dan basofil dan sekresi dilengkapi komponen C3 dan C5 interaksi dengan membran reseptor spesifik atau ketika antigen interaksi dengan IgE (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003).

Gambar 1. Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam arakhidonat dan titik tangkap kerja obat anti-inflamasi (Katzung, 2002; Rang dkk, 2003)

Metabolit asam arakhidonat merupakan mediator peradangan yang paling penting. Asam arakhidonat berasal dari banyak fosfolipid diaktifkan oleh cedera. Asam arakhidonat dapat dimetabolisasikan dalam dua jalur yang berbeda, yakni jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang menghasilkan sejumlah prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. Selain itu, sejumlah substansi yang dihasilkan oleh sel, memiliki sifat-sifat yang juga penting dalam peradangan (Price dan Wilson, 1992). Fosfolipida selain diubah menjadi asam arakhidonat oleh enzim fosfolipase juga diubah menjadi lyso-glyseril-fosforikolin yang kemudian diubah lagi menjadi Platelet Activating Factor (PAF) (Rang dkk, 2003).

Enzim siklooksigenase yang terlibat dalam reaksi ini terdiri dari dua isoenzim, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1 terdapat kebanyakan di jaringan-jaringan antara lain di pelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). COX-1 ini bersifat konstitutif (bersifat pokok, selalu ada) dan cenderung menjadi homeostasis dalam fungsinya (Katzung, 2002). COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dalam jaringan tapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang (Tjay dan Rahardja, 2002).

Asam arakhidonat yang dikatalis oleh siklooksigenase diubah menjadi endeperoksida dan seterusnya menjadi zat prostaglandin. Prostaglandin yang dibentuk ada tiga kelompok yaitu prostaglandin (PG), prostasiklin (PGI2), dan tromboksan (TXA2, TXB2). Prostaglandin (PG) dapat dibentuk oleh semua jaringan. Yang terpenting adalah PGE2 dan PGF2 yang berdaya vasodilatasi dan dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh dan membran sinovial

sehingga terjadi radang dan nyeri. Prostasiklin terutama dibentuk di dinding pembuluh dan berdaya vasodilatasi. Tromboksan khusus dibentuk dalam trombosit berdaya vasokonstriksi (antara lain di jantung) (Tjay dan Rahardja, 2002)

Bagian lain dari asam arakhidonat diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi zat leukotrien (LT). LTB4, LTC4, LTD4 dibentuk sebagai hasil dari metabolisme leukotrien ini. LTE4. LTC4, LTD4 dan LTE4 terutama dibentuk di eosinofil dan berfungsi sebagai bronkokonsiktor dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. LTB4 khusus di sintesis di makrofag dan neutrofil alveolar, yang bekerja kemotaksis (merangsang migrasi leukosit). Leukosit yang tertarik oleh leukotrien menginvasi daerah peradangan dan mengaktifkan banyak gejala radang (Tjay dan Rahardja,2002; Rang dkk, 2003).

Proses terjadinya inflamasi dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut :

Gambar 2. Patogenesis dan gejala suatu peradangan (Mutschler, 1991)

Kejadian peradangan secara garis besar cenderung sama, oleh karena itu reaksi peradangan dapat dipelajari sebagai gejala umum. Mekanisme peradangan antara lain dapat dilihat pada kejadian hyperimia, ukuran arteriol pengatur aliran darah dalam kapiler. Dalam keadaan normal, aliran sedemikian rupa sehingga beberapa kapiler kelihatan kolaps dan lainnya sempit. Pada dilatasi arteriol, pertambahan volume darah yang mengalir ke dalam kapiler meregangkan dan menimbulkan perubahan warna menjadi kemerahan yang mencolok pada jaringan, hal ini merupakan gejala awal dari suatu peradangan (Price dan Wilson, 1992)

Trauma/luka pada sel Gangguan pada membran sel

Fosfolipid

enzim fosfolipase

Asam arakhidonat Dihambat oleh kortikosteroid

Enzim lipooksigenase enzim siklooksigenase Dihambat obat AINS (*serupa-aspirin*) Hidroperoksid Endoperoksid PGG2/PGH Leukotrien PGE2, PGF2, PGD2 Prostasiklin Tromboksan

Prostaglandin merupakan mediator yang paling penting dalam proses inflamasi. Prostaglandin tidak disimpan secara intraselute, prostaglandin merupakan hasil pemecahan dari asam arakhidonat oleh enzim fosfolipase sebagai respon terhadap berbagai rangsangan (Wilmana, 1995).

Dokumen terkait