• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. Inflasi

a. Pengertian Inflasi

Secara umum inflasi berarti kenaikan tingkat harga secara umum dari barang/komoditas dan jasa selama suatu periode waktu tertentu. Menurut Adiwarman Karim (2008:135)

Huda, Mustafa, Handi dan Ranti (2008:175) Dalam banyak literatur disebutkan bahwa inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum secara terus menerus dari suatu perekonomian. Sedangkan menurut Rahardja dan Manurung (2004:155) mengatakan bahwa, inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Sedangkan menurut Sukirno (2004:333) Inflasi yaitu, kenaikan dalam harga barang dan jasa, yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar. Dengan kata lain, terlalu banyak uang yang memburu barang yang terlalu sedikit.

Tingkat inflasi adalah perubahan persentase dalam seluruh tingkat harga yang sangat bervariasi sepanjang waktu dan antar negara. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. IHK adalah suatu ukuran atas keseluruhan biaya pembelian barang dan jasa oleh rata-rata konsumen.

Inflasi adalah pencerminan tingkat harga, yang merupakan

opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang asset finansial. Artinya, makin tinggi perubahan inflasi, makin tinggi pula opportunity cost untuk memegang asset finansial. Jika asset finansial luar negeri dijadikan salah satu pilihan asset dalam negeri, maka perbedaan tingkat inflasi dalam dan luar negeri akan menyebabkan perbedaan antara nilai tukar dalam dan luar negeri. Heriberta (1997)

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus-menerus (continue). Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) dan

Cara menghitung laju inflasi adalah perubahan persentase dalam indeks harga dari jangka waktu yang sebelumnya. Rumusnya sebagai berikut :

Keterangan :

Laju Inflasi =Laju inflasi/deflasi pada bulan ke n. IHKn = Indeks harga konsumen pada bulan ke n. IHK(n-1) = Indeks harga konsumen pada bulan ke n-1.

Pengelompokkan inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan kedalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu : (www.bi.go.id)

1) Kelompok Bahan Makanan.

2) Kelompok Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau. 3) Kelompok Perumahan.

4) Kelompok Sandang. 5) Kelompok Kesehatan.

6) Kelompok Pendidikan dan Olahraga. 7) Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

IHKn – IHK(n-1) x 100%

Laju Inflasi=

b. Teori Inflasi

Menurut Adwin S. Atmadja (1999:55) 1) Teori Kuantitas

Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :

(a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.

(b) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

2) Keynesian Model

Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah

persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan (permintaan agregat). Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.

3) Mark-up Model

Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu persentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen- komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.

Price = Cost + Profit Margin

4) Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang

Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau

cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam dan sebagainya) atau hal- hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks.

c. Penyebab Inflasi

Menurut Adiwarman Karim (2008:138) Ada beberapa penyebab terjadinya inflasi yaitu terdiri dari :

1) Natural Inflation dan Human Error Inflation. Natural Inflation

adalah Inflasi yang terjadi karena sebab-sebab alamiah yang manusia tidak mempunyai kekuasaan dan mencegahnya. Human Error Inflation adalah inflasi yang terjadi karena kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri.

2) Actual/Expected Inflation dan Unanticipated/Unexpected Inflation. Pada Expected Inflation tingkat suku bunga pinjaman riil akan sama dengan tingkat suku bunga pinjaman nominal dikurangi inflasi, sedangkan pada Unexpected Inflation tingkat suku bunga pinjaman nominal belum atau tidak merefleksikan kompensasi terhadap efek inflasi.

3) Demand Pull dan Cost Push Inflation. Demand Pull Inflation

diakibatkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada sisi permintaan agregatif (AD) dari barang dan jasa pada suatu perekonomian. Cost Push Inflation adalah inflasi yang terjadi karena adanya perubahan-perubahan pada sisi penawaran agregatif (AS) dari barang dan jasa pada suatu perekonomian.

4) Spiralling Inflation. Inflasi yang diakibatkan oleh inflasi yang terjadi sebelumnya yang mana inflasi yang sebelumnya itu terjadi sebagai akibat dari inflasi yang terjadi sebelumnya lagi dan begitu seterusnya.

5) Imported Inflation dan Domestic Inflation. Imported Inflation

adalah inflasi di negara lain yang ikut dialami oleh suatu negara karena harus menjadi price taker dalam pasar perdagangan Internasional. Domestic Inflation adalah inflasi yang hanya terjadi di dalam negeri suatu negara yang tidak begitu mempengaruhi negara-negara lainnya.

d. Dampak Inflasi

Adiwarman Karim (2008:139) Menurut para ekonom Islam, Inflasi berakibat sangat buruk bagi perekonomian karena :

1) Menimbulkan gangguan terhadap fungsi uang, terutama terhadap fungsi tabungan (nilai simpan), fungsi dari pembayaran di muka dan fungsi dari unit perhitungan.

2) Melemahkan semangat menabung dan sikap terhadap menabung dari masyarakat (turunnya Marginal Propensity to Save).

3) Meningkatkan kecenderungan untuk berbelanja terutama untuk non-primer dan barang-barang mewah (naiknya Marginal Propensity to Consume).

4) Mengarahkan investasi pada hal-hal yang non-produktif yaitu penumpukan kekayaan (hoarding) seperti: tanah, bangunan, logam mulia, mata uang asing dengan mengorbankan investasi ke arah produktif seperti: pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan lainnya.

(www.wikipedia.org), Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hyperinflation) keadaan perekonomian

menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu, orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan: berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

e. Indikator Inflasi

(www.wikipedia.org), Untuk mengukur tingkat inflasi, indeks harga yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah indeks harga dan barang – barang yang selalu digunakan para konsumen. Akibatnya suatu perekonomian dalam masa inflasi terdapat kecenderungan diantara pemilik modal untuk menggunakan uangnya dalam investasi bersifat spekulatif dan tingkat bunga meningkat sehingga dapat mengurangi investasi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi dimasa depan.

Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut diantaranya : 1) Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI),

adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.

2) Indeks Biaya Hidup atau Cost of Living Index (COLI).

3) Indeks Harga Produsen(IHP) adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK dimasa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.

4) Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.

5) Indeks harga barang-barang modal.

6) Deflator PDB, menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi dan jasa.

Macam-Macam Ukuran Inflasi, Menurut Adwin S. Atmadja (1999:58)

1) Inflasi ringan : Dibawah 10% (single digit) 2) Inflasi sedang : 10% - 30%

3) Inflasi tinggi : 30% - 100% 4) hyperinflation : Lebih dari 100%

Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas (yang menderita) dari inflasi yang sedang terjadi.

f. Peran Bank Sentral

(www.wikipedia.org), Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen, salah satunya disebabkan pengaruh pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik, Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.

g. Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Islam

Luluk Chorida (2010:29) Dalam Islam tidak dikenal dengan inflasi, karena mata uang yang dipakai adalah dinar dan dirham, yang mana mempunyai nilai yang stabil. Adhiwarman Karim mengatakan bahwa, Syekh An-Nabhani (2001:147) Memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang sesuai itu adalah dengan menggunakan emas dan perak, padahal harta itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan sebagai kekayaan

1. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang baku dan tidak berubah-ubah, ketika Islam mewajibkan diat, maka yang dijadikan sebagai ukurannya adalah dalam bentuk emas.

2. Rasulullah telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sebagai standar uang. 3. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan

zakat uang, Allah telah menetapkan zakat tersebut dengan nisab emas dan perak.

4. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak, begitu pun dengan transaksi lainnya hanya dinyatakan dengan emas dan perak.

Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan. Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah yang besar, tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya.

Huda, Mustafa, Handi dan Ranti (2008:103) Beberapa alasan dari penggunaan mata uang dinar Islam dalam menuju stabilitas sistem moneter, antara lain :

1) Uang yang stabil. Perbedaan uang dinar dengan uang fiat adalah kestabilan nilai uang tersebut. Setiap mata uang dinar mengandung 4,25 gram emas 22 karat dan tidak ada perbedaan ukuran emas yang dikandung dinar pada setiap negara, tidak ada perbedaan nilai dinar yang digunakan di Irak dengan dinar yang digunakan di negara Arab Saudi. Uang dinar tidak mengalami inflasi semenjak zaman Rasulullah SAW, hingga sekarang.

2) Alat tukar yang tepat. Dengan adanya nilai yang stabil dan standar yang sama di setiap negara, dinar akan memberikan kemudahan dan kelebihan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi domestik dan transaksi internasional sekalipun, tidak ada perbedaan antara seekor kambing yang berharga satu dinar di Arab Saudi dengan seekor kambing di Indonesia yang seharga satu dinar, karena dinar kedua negara tersebut memiliki nilai yang sama.

3) Mengurangi spekulasi, manipulasi dan arbitrase. Nilai dinar yang sama akan mengurangi tingkat spekulasi dan arbitrase di pasar valuta asing, karena kemungkinan perbedaan nilai tukar akan sulit terjadi.

h. Hubungan Inflasi dengan Pembiayaan Murabahah

Kenaikan produksi akan menaikan harga barang dan turunnya produksi, kenaikan proses produksi tersebut terjadi pada :

1) Biaya operasional, yaitu tingkat inflasi yang lebih tinggi akan meningkatkan tingkat bunga nominal menjadi lebih tinggi dan sebaliknya tingkat keseimbangan uang riil rendah.

2) Biaya menu (menu cost), semakin sering merubah harga yang terkadang sering menimbulkan biaya yang lebih besar karena harus mencetak ulang (katalog), memproduksi, mendistribusi dan sebagainya.

3) Biaya akibat ketidak-nyamanan hidup yang ditimbulkan akibat adanya inflasi. Uang sebagai tolak ukur dalam transaksi ekonomi dan ketika terjadinya inflasi, alat ukur itu telah berubah panjangnya sehingga seringkali hal ini dapat mengacaukan rencana anggaran belanja baik rumah tangga produsen maupun rumah tangga konsumen. Dalam kasus pembiayaan murabahah, bank syariah sebagai investor dalam pelaksanaanya harus melakukan pembelian terlebih dahulu terhadap barang yang akan dibeli nasabah atau

menghitung terlebih dahulu prospek usaha yang akan didanai oleh pembiayaan bagi hasil dan pembiayaan jual-beli.

Maka inflasi akan berpengaruh dalam pelaksanaan pembiayaan

murabahah ini adalah sebagai berikut :

1) Secara langsung pada harga barang yang menjadi objek transaksi. 2) Kemampuan nasabah dan bank dikemudian hari apabila terjadi

inflasi yang mempengaruhi kemampuannya dalam melakukan cicilan.

3) Tingkat keuntungan bank.

Jadi hubungan antara inflasi dengan pembiayaan murabahah adalah searah negatif. Jika inflasi meningkat maka harga barang yang menjadi objek transaksi akan meningkat juga, selera masyarakat menjadi menurun dan pembiayaan murabahah juga menurun. Saras Pinaringani (2011:32)

6. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Dokumen terkait