• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

5.3 Hasil Penelitian

5.3.7 Informan Ketujuh (Ibu Da, 35 thn, 4 anak, IRT)

Praktek pemberian makanan pendamping dini yang dilakukan informan berupa pemberian bubur nestle pada umur 5 bulan, pemberian bubur nestle dikarenakan informan takut ASI yang diberikan kurang banyak. Frekuensi pemberian bubur nestle yaitu 2 kali dalam sehari, pagi dan sore hari.

“...5 bulan sudah dikasih takutnya dia nih, asi saya takutnya kurang banyak sedangkan susu botol tuh dia kurang mau iya jadinya uda saya kasih, baru berapa 1 sachet itu ga semua, cuman 2 sendok...aku kasih 2 kali jadi pagi sama sore, iya asi juga, ga mau dia susu, maunya netek mulu...”

Pengalaman informan dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini sudah pernah diterapkan kepada anak sebelumnya, informan menganggap anak sudah lapar dan tidak kenyang jika diberikan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan hal ini dikarenakan kondisi anak tetap menangis setelah diberikan ASI.

“...iya 5 bulan (anak yang ke 4), yang kedua itu kan iya aku lupa, yang kedua itu dia makan juga sih tapi mungkin sama kali sekitar uda kayak 5 bulanan gitu kan uda lama kan jadi lupa gitu, yang pertama karena dia ga asi kan susu botol... iya tapi aku sih kalo ngasih anak tuh ga pernah diatas 6 bulan, dibawah 6 uda aku kasih, 5 bulan, 4 bulan pokoknya uda aku kasih, kalo ga nestle serelac gitu sama bubur bayi...”

Pemberian makanan pendamping ASI dini juga mendapat dukungan dari keluarga terdekat informan (ibu kandung), dan menganggap hal tersebut sama, jika harus menunggu 6 bulan, anak sudah lapar.

“...5 bulan emang dikasih, saya kan gini iya dak (dahlia) daripada dia nangis mulu, air tetek ga ada nyusu ga mau, dikasih makan aja dah, emang ga apa-apa mak, ga, kalo kata dokternya mah asal uda jalan 6 bulan baru kasih makan, kalo saya kan ga sabaran, lapar kan anak kecil kalo lapar kan, kita aja kalo lapar kan iya ini, uda dikasih dah tuh...” (Ibu Si, 55 thn)

Persepsi informan mengenai ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini, sudah pasti menganggap bahwa pemberian makanan tersebut menjadi kebutuhan agar anak tidak lapar dan anteng. Namun sebaliknya informan menganggap bahwa akan ada ancaman apabila dibiarkan saja menangis setelah diberikan ASI. Dengan adanya pengalaman serta dukungan dari keluarga terdekat

akan lebih mendukung keputusan informan dalam pemberian makanan pendamping ASI dini.

“...iya fikir itu anak nangis mulu laper, kasih tetek tapi kan karena dia uda lama netek digendong-gendongin masih nangis...tapi kan namanya saya ah kan dia nangis laper mulu biarin aja ah aku bilang gitu kan...katanya kalo anak sampe asi aja gitu iya belum tentu dia kenyang gitu kalo asinya sedikit kan...ada kan bayi pada gendut-gendut banget gitu kan, dah dia (anak yang ke 4) ga karena akunya uda sedikit (asinya)...” Padahal informan mengetahui jika ditanya kapan seharusnya diberikan makanan pendamping ASI dan kenapa pada umur tersebut diberikan makanan pendamping ASI, dan pada kenyataannya sudah memberikan makanan pendamping ASI dini. Informan tetap menganggap bahwa ASI yang diberikan kurang apabila bayi tetap menangis setelah diberikan ASI.

“...kalo kata orang ini katanya kalo ngasih makan sebelum 6 bulan keatas ususnya ga kuat ada yang ngomong gitu katanya jangan dulu dikasih ususnya ntar takut ga kuat, tapi kan namanya saya ah kan dia nangis laper mulu biarin aja ah aku bilang gitu kan...kasih aja dulu asi, kalo asi kalo dia ga kenyang gimana netek kurang...”

Kepercayaan informan untuk memberikan ASI dapat diketahui dari penuturan berikut, informan menganggap ASInya kurang banyak, tetapi tetap memiliki kepercayaan untuk memberikan ASI.

“...kalo kata susternya kalo uda 6 bulan baru dikasih makan, kalo daripada dia lapar nangis, air teteknya kurangkan, jalan 5 bulan uda dikasih, iya kita ga, kalo iya kan kalo anjuran dokterkan 6 bulan baru dikasih makan, tapi karena anak kita takut uda laper, pas 5 bulan uda laper, asi uda abis, ia iya kalo uda netekinnya uda lama masih nangis paling laper dia begitu, 6 bulan baru dikasih makan iya bu ntar kita nurutin kayak begitu anak kayak ga kenyang...”

109 6.1 Keterbatasan penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah metode observasi yang tidak dapat dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dipraktekkan informan (ibu). Terkait pada penelitian lanjutan Anggraeni (2012) dengan karakteristik responden penelitian adalah ibu yang memiliki bayi usia 6-11 bulan tahun 2012, maka dapat disimpulkan bahwa umur anak pada penelitian ini sudah mendapatkan makanan pendamping ASI yang seharusnya.

6.2 Gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini

Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan oleh beberapa informan utama pada umumnya memberikan madu ketika bayi baru lahir, dengan cara dioleskan di bibir bayi selama tiga hari, satu minggu dan setiap ingin menyusui. Pemberian madu berguna untuk mencegah agar bibir bayi tidak pecah-pecah, tidak kering, tidak mudah sariawan dan mengurangi rasa sakit setelah menyusui.

Beberapa informan utama juga memberikan makanan padat lain seperti pemberian pisang ambon, bubur nestle, bubur sun dan susu formula, yang diberikan saat anak berumur satu, dua, tiga, dan lima bulan. Alasan pemberian makanan padat karena anak masih menangis setelah diberikan ASI, agar anak menjadi anteng, dan menambah berat badan anak yang kelahirannya prematur. Disamping itu, adanya pemberian lain seperti

pemberian air tajin karena ASI belum keluar, dan pemberian kopi yang berguna untuk mencegah step apabila bayi terkena demam. Pemberian air tajin dan kopi tersebut diberikan informan utama pada kondisi saat itu saja, dan setelahnya tidak pernah diberikan lagi. Mengingat setelah diberikan anak menjadi anteng dan tidak sakit.

The Weaning Project yang disponsori oleh United States Agency For International Development (USAID) pada tahun 1985-1989 di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur mendapatkan hasil 64% ibu-ibu di NTB dan 76% ibu-ibu di Jawa Timur memberikan makanan padat dini berupa pisang yang dihaluskan atau dikunyah (Wiryo, 1996 dalam Suyatno, 2001). Selanjutnya, Wiryo dan Kasniah (1991) dalam Suyatno (2001) melalui penelitian etnografi di NTB menemukan makanan padat yang diberikan kepada bayi adalah madu, kelapa muda, bubur dan pisang. Ditemukan sebanyak 94,80% ibu-ibu yang memberikan pisang atau campuran nasi-pisang kepada bayi baru lahir.

Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan 10% anak balita di Jawa Tengah sejak usia 2 bulan sudah mulai diberi pengganti ASI (16 % berupa makanan lumat) (BPS, 1994). Penelitian Suyatno (1996) di sejumlah desa di Jawa Tengah, menemukan praktek pemberian makanan tradisional seperti nasi ulek, pisang, madu, kelapa muda, pada bayi usia kurang dari 3 bulan, bahkan beberapa jenis makanan tersebut telah diberikan pada bayi beberapa saat setelah kelahirannya (Suyatno, 2001)

Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini adalah agar bayi lebih kuat dan cepat besar. Jenis makanan pendamping ASI dini yang dikonsumsi bayi antara lain pisang, susu formula (bubuk dan kental manis), biskuit, bubur beras, makanan bayi produk industri (sun, promina, dan milna), dan nasi lumat (Irawati, 2004).

Hasil penelitian Setyowati dan Budiarso tahun 1998, diantara anak yang masih mendapat ASI sekitar 42% bayi umur < 4 bulan sudah mendapat minuman atau makanan pendamping ASI. Hasil penelitian lain yang mendukung, hasil penelitian Budi, dkk (1990) dalam Setyowati dan Budiarso (1998), di Indramayu dan daerah Jakarta Utara melaporkan persentase bayi yang mendapat minuman/makanan pendamping ASI cukup tinggi yaitu sekitar 80% ibu dalam tiga bulan pertama telah memberikan makanan tambahan berupa bubur beras, bubur kacang hijau atau tempe yang dihaluskan bahkan dalam minggu pertama bayi telah mendapat makanan pisang yang dilumatkan.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Afifah (2007), sebagian subjek telah mulai memberikan makanan pendamping ASI sejak bayi berusia kurang dari satu bulan, bahkan ada satu subjek yang memberikan makanan berupa nasi dan pisang ulek pada saat bayi berusia 11 hari. Alasan umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan diberi susu formula. Dan subjek-subjek penelitian yang persalinannya yang ditolong oleh dukun bayi sudah diberikan madu, kelapa muda, dan kurma ketika awal kelahirannya.

Dan hasil penelitian Maas, (2004) dalam Afifah (2007), bahwa pada suku Sasak di Lombok, ibu yang bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang dan lain-lain. ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.

Penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2001) di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang mendapatkan bahwa 77% responden memberikan makanan tambahan kepada bayi baru lahir. Jenis makanan yang diberikan, meliputi: madu, air madu, air matang, dan susu formula. Menurut responden, madu merupakan makanan terbaik bagi bayi baru lahir selain ASI. Alasan utama pemberian makanan tersebut adalah karena ASI belum keluar (64,8%), agar bayi tidak lapar (14,6%), disarankan dukun bayi (12,3%), disarankan orang tua (4,7%), dan ibu belum kuat menyusui (3,6%).

Menurut Roesli (2007), praktek memuaskan bayi baru lahir atau memberikan makanan atau minuman berupa air masak, madu, atau air gula kepada bayi baru lahir adalah tidak dibenarkan. Sampai bayi berusia 6 bulan bayi tidak diperkenankan untuk diberikan jenis makanan lain, seperti buah, bubur susu, nasi lumat, gula merah, air gula, madu, dan sebagainya kecuali diberikan ASI saja.

Menurut Lubis (2006), dalam Afifah (2007), pemberian makanan pendamping ASI dini seperti nasi dan pisang justru akan menyebabkan penyumbatan saluran cerna karena liat dan tidak bisa dicerna atau yang disebut phyto bezoar sehingga dapat menyebabkan kematian dan menimbulkan risiko jangka panjang seperti obesitas, hipertensi, atherosklerosis, dan alergi makanan. WHO melarang pemberian madu kepada bayi dibawah 1 tahun karena terdapat kandungan Clostridium botulinum, spora yang membahayakan dan mematikan (Susanto, 2007 dalam Afifah, 2007). Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini tidak tepat karena akan menyebabkan bayi kenyang dan akan mengurangi keluarnya ASI. Selain itu bayi menjadi malas menyusu karena sudah mendapatkan makanan atau minuman terlebih dahulu (Depkes RI, 2005).

Mengisi perut bayi tidak cukup berbekal dengan naluri belaka. Kita membutuhkan yang lain dan pilihan itu harus masuk akal, terukur dan bisa dipercaya. Karena perut yang sehat berkaitan dengan hari depan anak. Susunan pencernaan bayi belum sepenuhnya berfungsi seperti pencernaan orang dewasa. Pada saat dilahirkan lambung dan usus bayi belum berfungsi sepenuhnya, semua enzim pencernaan belum lengkap diproduksi, struktur saluran pencernaan bayi belum terbentuk sempurna dan kemampuan bayi untuk menelan segala macam makanan dan minuman seperti orang dewasa, sekurang-kurangnya sampai bayi berumur 6 bulan belum boleh ada jenis makanan lain bayi selain ASI (Nadesul, 2005).

Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini yang disebabkan karena bayi masih menangis setelah diberikan ASI bukan merupakan suatu alasan yang tepat untuk mulai diperkenalkannya makanan pendamping ASI dini pada bayi, menurut Bobak (2004), menangis tidak selalu berarti bayi lapar. Bayi mungkin merasa tidak nyaman secara fisik atau hanya ingin digendong, ingin disendawakan atau diganti popoknya. Menurut Yuliarti (2010) menangis merupakan salah satu bayi berkomunikasi. Apabila bayi menangis terlalu lama maka ia akan menjadi lelah sehingga kemampuan mengisapnya berkurang. Selain itu, ibu juga menjadi kesal sehingga dapat menganggu proses laktasi. Bayi menangis belum tentu lapar atau haus, mungkin saja ia takut, kesepian, bosan, basah, kotor, sakit, atau ada rasa yang tidak enak pada ASI yang disebabkan oleh makanan ibu atau obat yang diminum ibu. Yang tidak dapat diterangkan karena sebab tersebut

biasanya disebut sebagai “kolik”. Bayi akan menangis terus-menerus pada

waktu-waktu tertentu dan dapat diusahakan dengan menggendongnya. Tidak ada gangguan pertumbuhan pada bayi karena kolik. Biasanya, hal tersebut akan hilang sendiri setelah 3 bulan (Yuliarti, 2010).

Menurut Suhardjo (1992), pada keadaan normal, air susu ibu mampu memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur 6 bulan. Meskipun ASI yang keluar pada beberapa hari pertama setelah melahirkan sedikit menurut ukuran kita, tetapi volume kolostrum yang ada dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari (Roesli, 2000).

Biasanya pada hari-hari pertama ASI belum keluar. ASI baru keluar kira-kira hari ke-3 atau ke-4, yang keluar adalah air susu kental kekuning-kuningan yang disebut kolostrum (Dainur, 1995). Jika ASI belum keluar atau tidak lancar, bayi masih memiliki daya tahan tubuh yang dibawa dalam kandungan sehingga bayi tidak akan kelaparan selama 2x24 jam (Yuliarti, 2010).

Peran kolostrum sebagai imunisasi pasif yang dikeluarkan segera setelah bayi lahir. Kolostrum pada hari pertama tiap 100 ml mengandung 600 IgA, 80 IgC, dan 125 IgM. Komposisi ini akan terus berubah sesuai dengan ketahanan tubuh bayi. Peran kolostrum sampai hari ke 3 juga mempunyai fungsi sebagai pencahar untuk mengeluarkan mekonium dari usus bayi. Oleh karenanya, bayi sering defekasi dan feses berwarna hitam. Proses ini dapat membersihkan mekonium yang ada dalam sistem pencernaan bayi, ketika sistem pencernaan telah bersih, usus bayi siap mencerna ASI (Purwanti, 2003).

Kolostrum kuning kental sesuai untuk kebutuhan bayi baru lahir. Kolostrum mengandung antibodi vital dan nutrisi padat dalam volume kecil, sesuai sekali untuk makanan awal bayi. Menyusui dini yang efisien berkorelasi dengan penurunan kadar bilirubin darah. Kadar protein yang tinggi di dalam kolostrum mempermudah ikatan bilirubin dan kerja laksatif kolostrum untuk mempermudah perjalanan mekonium. Kolostrum secara bertahap berubah menjadi susu ibu antara hari ketiga dan kelima selama nifas (Bobak, 2004).

Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya melalui ari-ari. Namun, kadar zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif pada waktu berusia sekitar 9 sampai 12 bulan. Pada saat kadar zat kekebalan bawaan menurun, sedangkan yang dibentuk oleh badan bayi belum mencukupi, maka akan terjadi kesenjangan zat kekebalan pada bayi. Kesenjangan akan hilang atau berkurang apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, bakteri, virus, parasit, dan jamur (Roesli, 2000).

Secara tidak langsung, posisi kolostrum yang keluar pada awal kelahiran bayi berfungsi sebagai makanan awal bayi sekaligus sebagai perisai dari penyakit-penyakit infeksi awal kelahiran bayi, kemudian posisi kolostrum digantikan dengan ASI sebagai pelindung aktif dan pasif tubuh bayi. Maka pemberian makanan/minuman pada awal kelahiran sebenarnya sangat tidak berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi atau alasan pemberian lainnya. Dan malah sebaliknya pemberian makanan lain selain ASI dapat meningkatkan risiko terganggunya usus bayi yang masih belum siap (Yuliarti, 2010).

ASI adalah makanan bernutrisi dan berenergi tinggi yang mudah dicerna. ASI dirancang untuk sistem pencernaan bayi yang sensitif. Protein dan lemak pada ASI lebih mudah dicerna oleh bayi. ASI mengandung paling tidak 100 bahan yang tidak ditemukan dalam susu sapi dan tidak

dapat dibuat di laboratorium. Pada bulan-bulan pertama, saat bayi dalam kondisi yang paling rentan, ASI eksklusif membantu melindungi bayi dari diare, sindrom SID (sudden infant death) atau kematian mendadak, infeksi telinga, dan penyakit infeksi lainnya (Prabantini, 2010).

Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran. Jumlah asam lambung dan pepsin baru meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa pada saat bayi berumur 3-4 bulan. Sampai umur sekitar 6 bulan, jumlah enzim amilase yang diproduksi oleh pankreas belum cukup untuk mencerna makanan kasar. Enzim pencerna karbohidrat, seperti maltase, isomaltase, dan sukrase belum mencapai tingkat orang dewasa sebelum bayi umur 7 bulan. Sebelum umur 6-9 bulan, jumlah lipase dan bile salts juga sedikit sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa. Selain itu, bayi belum dapat mengontrol dengan baik otot-otot tenggorokan dan lidah karena itulah proses menelan jadi sulit dan dapat menyebabkan bayi tersedak. Refleks lidah masih sangat kuat dan dapat menyebabkan pemberian makanan padat menjadi sulit (Prabantini, 2010).

Pada umur 6-9 bulan baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, bayi siap menerima makanan padat. Makanan padat yang diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya mengakibatkan makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan (misalnya gangguan pencernaan, timbulnya gas/kembung, konstipasi/sembelit, dan sebagainya) (Prabantini, 2010).

Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pola pemberian makan terbaik untuk bayi sejak lahir sampai anak berumur 2 (dua) tahun meliputi : (a) memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 1 (satu) jam setelah lahir; (b) memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 (enam) bulan. Hampir semua ibu dapat sukses menyusui diukur dari permulaan pemberian ASI dalam jam pertama kehidupan bayi. Menyusui menurunkan risiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga, haemophilus influenza, meningitis dan infeksi saluran kemih. Menyusui juga melindungi bayi dari penyakit kronis masa depan seperti diabetes tipe 1. Menyusui selama masa bayi berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan kolesterol serum total, berhubungan dengan prevalensi diabetes tipe 2 yang lebih rendah, serta kelebihan berat badan dan obesitas pada masa remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2012).

Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan keputusan baru Menkes sebagai penerapaan kode etik WHO. Keputusan tersebut mencantumkan soal pemberian ASI eksklusif (Permenkes nomor 450/Menkes/SK/IV/2004). ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes RI, 2005). Pemerintah mengatur pula makanan pendamping ASI (MPASI) dalam peraturan nomor 237/1997. Perlu ditegaskan bahwa MPASI bukanlah makanan pengganti ASI (Prabantini, 2010).

Berbagai studi menunjukkan bahwa makanan padat dapat mengganti porsi susu dalam menu makan bayi. Semakin banyak makanan padat yang dimakan oleh bayi, semakin sedikit susu yang dia serap dari ibunya. Jika susu yang diserap dari ibu semakin sedikit, berarti produksi ASI juga makin sedikit. Bayi yang makan banyak makanan padat atau makan makanan padat pada umur lebih muda cenderung lebih cepat disapih (Prabantini, 2010).

Prinsip produksi ASI adalah supply by demand, artinya semakin

banyak disusui/diperah, produksinya akan semakin banyak.

Jadi, cara untuk meningkatkan produksi ASI, selain banyak-banyak disusui langsung, perbanyak pula perah (Bonyata, 2011).

Ada beberapa posisi dan teknik menyusui benar yaitu ibu harus menemukan posisi yang paling sesuai baginya. Bayi harus berada dalam posisi yang nyaman untuk mempermudah keadaan dan tidak harus memutar kepala atau meregangkan lehernya untuk dapat menjangkau puting. Ketika ibu menyentuh lembut bibir bayi dengan putingnya, bayi akan memberi respons dengan refleks rooting alami dan berpaling ke puting dan membuka mulutnya. Puting dan sebagian besar areola harus berada di dalam mulut bayi. Apabila hidung bayi kelihatan tertutup oleh payudara, ibu dapat mengangkat panggul bayi, sehingga memberikan lebih banyak ruang untuk bernapas. Menekan payudara biasanya akan membuat puting terlepas dari mulut bayi. Ketika ibu sudah siap untuk membuat bayi bersendawa, ia harus dengan lembut memasukkan jari tangannya ke sudut mulut bayi, di antara kedua gusi untuk menghentikan isapan. Menarik bayi begitu saja tanpa menghentikan isapan dapat menimbulkan nyeri pada puting (Bobak, 2004)

Menurut Bobak (2004) ketika bayi menyusui dengan benar, tidak akan timbul nyeri di payudara atau kerusakan jaringan. Meletakkan bayi di payudara dan melepasnya dengan hati-hati, meletakkannya pada posisi yang benar, dan cara supaya bayi mengisap dengan benar memerlukan latihan, baik bagi ibu maupun bagi bayi. Rasa nyeri biasanya merupakan tanda bahwa bayi tidak berada dalam posisi yang benar. Misalnya ibu perlu belajar menggendong bayi lebih dekat, memberi lebih banyak topangan pada payudaranya, membuat mulut bayi membuka lebih besar, atau memegang dagu bayi ke bawah untuk membantu lidah keluar. Apabila air susu menetes keluar dan membasahi puting, rasa nyeri berkurang. Memeras beberapa tetes susu untuk membasahi puting mempermudah bayi menyusu dengan baik. Ibu perlu mencoba berbagai posisi untuk melakukan penyesuaian terhadap isapan bayi (Storr, 1988)

Salah satu sebab tertahannya refleks pengeluaran ASI adalah bayi tidak menempel dengan mantap pada payudara. Hal ini terjadi bila bayi hanya memasukkan puting saja ke mulut sehingga tidak mampu merangsang keseluruhan proses produksi ASI dalam payudara. Ibu tidak dapat merasakan getaran dari refleks pengeluaran ASI dan bayi hanya berhasil