• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.3. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini ada 2 (dua) golongan; pertama si korban dan yang kedua nonkorban. Korban adalah NA dan BD, sedangkan yang nonkorban adalah orang tua korban, guru tempat korban bersekolah, kepala desa tempat tinggal korban, Kabid Perlindungan dan Perempuan Anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Pidie, Anggota Kepolisian Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie, LSM Paska. Dokumentasi yang digunakan bersumber dari hasil BAP Polisi terhadap korban dan hasil putusan pengadilan terhadap pelaku perkosaan terhadap NA dan BD.

3.3.1 Informan Korban (Kasus)

Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah kasus yang dialami oleh NA dan BD. NA berusia 15 tahun dengan berat badan 35 kg dan tinggi badan 145 cm. Ia pernah bersekolah di SMPLB Bambi, memiliki warna kulit hitam, kuku kotor dan badan agak berbau (waktu perkenalan pertama dengan informan). NA adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara. Ia berasal dari Gampong (Desa) Arosan Kecamatan Kembang Tanjong yang berjarak 5 km dari kota kecamatan dan berjarak 8 km dari kota Kabupaten Pidie

BD berumur 13 tahun, tinggi badan 135 cm, berat badan 30 kg, berkulit kuning langsat, dan memiliki rambut sebahu. BD mengalami keterbelakangan mental dan lugu. Pendidikan tamat MIN. Orang tuanya sudah bercerai kira-kira 8 tahun yang lalu. BD adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara dan berasal dari Gampong (Desa) Piala Kecamatan Padang Tiji yang berjarak 8 km dari kota kecamatan dan berjarak 13km dari kota Kabupaten Pidie.

3.3.2 Informan nonkorban

MR adalah ibu kandung NA, berumur 50 tahun, pernah bersekolah diSR (sekolah rakyat), bisa membaca tetapi tidak lancar. Ia memiliki tinggi badan 145cm, memilki kulit hitam dan keriput. Rambutnya sudah memutih dan sudah mengalami meunoupause sejak 3 tahun yang lalu. MR memiliki sifat yang berani dan agak kasar. Suaranya agak besar apabila diajak berkomunikasi. Aktivitas MR sehari – hari adalah mencari ikan di rawa, setelah itu hasil tangkapannya dijual ke pasar. Perhasilan yang didapat dalam sehari tidak tetap, kadang – kadang Rp 20.000 atau malah kadang – kadang tidak ada sedikitpun. MR lebih dominan dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan karena suaminya (Abu NA) sering sakit – sakitan setelah mengalami operasi Hernia.

AY adalah Kepala Desa Pasie Ieuleubeu ( desa sewaktu terjadinya perkosaan), berumur 45 tahun, pekerjaan wiraswasta. Beliau telah menjadi kepala desa sejak 5 tahun yang lalu. Tinggi badan kira – kira 170cm, memiliki postur tubuh egap dengan berwarna kulit hitam. AY memilki sifat yang keras dan tegas, walaupun demikian AY sangat peka terhadap masalah yang dialami warga desa.

Informan pada kasus BD adalah FT, berumur 48 tahun, pekerjaannya guru SD MIN Padang Tiji Guru dan beliau juga guru BD. Ia sudah 20 tahun berprofesi sebagai guru dan mengajar di MIN Kunyet tempat BD bersekolah. FT memilki sifat yang peramah, santun dalam bahasa dan banyak murit disekolah yang menyukainya. FT juga bertempat tinggal didesa Baro Kunyet. Informan yang lain untuk melengkapi data pada kasus BD adalah RS. RS adalah Kepala Desa Baro Kunyet,berumur 54 tahun, jenis kelamin laki - laki, keuchik Desa Baro Kunyet.Lahir dan dibesarkan di Desa Baro Kunyet. RS berprofesi sebagai petani.

RT berumur 25 tahun, tinggi badan 170cm kulit kuning langsat, berprofesi sebagai Polwan, bertugas di unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie. RT bertugas di unit ini sejak 5 tahun yang lalu. RT memiliki sifat yang ramah, suka tersenyum dan berbicara lembut dalam berkomunikasi. Unit PPA Polres Pidie memiliki staf polwan sebanyak 2 (dua ) orang. Yang menangani kasus NA dan BD adalah RT. Banyak kasus yang telah ditangani oleh RT selama dia bertugas diunit ini, baik kasus perkosaan terhadap anak maupun perempuan dewasa. Khusus pada kasus kekerasan terhadap anak, biasanya staf perempuan yang melakukan BAP.

Informan non kasus lainnya adalah ET, berumur 45tahun, jenis kelamin perempuan, memiliki tinggi badan 55cm berwarna kulit kuning langsat dan berkaca mata. Pendidikan D3 komunikasi, sudah menjadi Kabid Perlindungan Terhadap Anak Kabupaten Pidie sejak 4 tahun yang lalu. ET memeliki sifat yang tegas dan sangat peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami anak di Kabupaten Pidie. Banyak program - program yang diperjuangkan oleh beliau untuk keberhasilan

dalam menurunkan kekerasan yang terjadi terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Pidie. Tidak segan – segannya ET untuk memarahi dan memukul korban perkosaan terhadap anak, apabila kasus perkosaan tersebut terjadi dibatas kewajaran manusia. Selain itu, ET juga memilki hubungan yang baik dengan pihak lain seperti Unit PPA Polres Pidie, Kejaksaan, Rumah Sakit dan LSM yang ada di Kabupaten Pidie. Pengiat LSM yang sering menangani kasus perkosaan terhadap anak adalah ER, berumur 28 tahun, perempuan, bekerja di LSM Paska, pendidikan D3 keperawatan. ER sudah bekerja di LSM Paska sejak 6 tahun yang lalu.

3.3.3 Syarat Informan

Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat – syarat dari informan, informan adalah korban yang pernah mengalami kekerasan seksual khususnya perkosaan, memiliki kemampuan menceritakan kembali perkosaan yang pernah dialaminya, serta masih bertempat tinggal di Kabupaten Pidie. Syarat untuk non kasus adalah yang mereka mengetahui secara langsung atau tidak langsung tentang kekerasan seksual yang dialami anak, informan bersedia diwawancara, memiliki kondisi emosional yang stabil, dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data pada kasus perkosaan pada anak yang ada Kabupaten Pidie.

3.3.4 Proses Penelusuran Informan

Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah anak yang sudah pernah mengalami perkosaan yang tinggal diwilayah Kabupaten Pidie yang terdata di Badan Kesejahteraan perempuan dan Perlindungan Anak ( BKSPP ) Kabupaten Pidie Tahun 2012. Dari 4 orang anak korban perkosaan, peneliti hanya memilih 2

orang anak yang dijadikan informan dalam penelitian ini, karena dari 4 orang korban hanya mereka berdua yang dapat dijadikan informan dan memenuhi persyaratan. Peneliti juga melihat dampak yang ditimbulkan secara langsung dari anak adalah mengalami kehamilan akibat perkosaan.

Pemilihan terhadap calon informan ini hanya terbatas pada anak korban perkosaan dan dapat berkomunikasi dengan baik. Peneliti juga mempertimbangkan tempat tinggal informan yang mudah dijangkau, yaitu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kota Sigli. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam berkomunikasi. Salah satu korban perkosaan sudah pindah tinggal di kecamatan lain yang jaraknya susah dijangkau oleh peneliti, sehingga anak tersebut tidak dijadikan informan dalam penelitian ini. Korban satunya lagi mengalami tuna rugu sehingga tidak bisa dijadikan informan . Selanjutnya peneliti melakukan penyaringan informan untuk melihat apakah ada fenomena yang menarik untuk diteliti pada anak korban perkosaan.

Penelitian dilakukan pada 2 orang anak korban perkosaan. Sebelum melakukan wawancara dengan informan, peneliti melakukan pendekatan dengan orang yang terdekat dengan korban dan mengetahui keberadaan informan sehingga memudahkan peneliti untuk setiap hari melakukan wawancara dengan informan. Pendekatan yang dilakukan sebelum melakukan wawancara adalah peneliti sering berkunjung ke rumah informan. Saat berkunjung, peneliti membawa makanan, makan bersama dengan kelurga informan dan berkomunikasi dengan keluarga korban sehingga membina keakraban dengan informan sehingga timbulnya keakraban antara

informan dengan peneliti. Membina hubungan rasa percaya dengan informan sangat diperlukan karena penelitian ini sangat bersifat pribadi sehingga diperlukan keterbukaan dalam menyampaikan informasi.